Perhatian Islam pada masalah sosial
Al-qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menuntun umat manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang.
Al-qur`an sebagai wahyu juga mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia,
baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
Kalau dicermati, ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur masalah sosial lebih
banyak dari pada ayat- ayat yang mengatur ibadah ritual, bahkan perbandingannya
adalah satu banding seratus, satu ayat berbicara masalah ibadah ritual
sementara seratus ayat berbicara tentang masalah sosial. Hal ini bukan berarti
bahwa ibadah sosial mengalahkan ibadah ritual. Akan tetapi, ibadah sosial
adalah sebagai penyeimbang ibadah ritual agar manusia tidak individualistis
dalam menjalani hidup.
Sebagai contoh adalah
sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mu’minun (23 : 1–9): Orang
beriman ialah orang yang khusyu’ dalam
shalatnya (ibadah ritual), menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak
bermanfa’at (ibadah sosial) menjaga amanat dan janjinya (ibadah sosial) dan
memelihara shalatnya (ibadah ritual). Dari sekian
tanda orang yang beriman, hanya dua yang menyangkut ibadah ritual yakni shalat
dan zakat.
Selain itu, terdapat
ayat lain pula yang menjelaskan tentang tanda-tanda orang yang takwa dalam
surat Ali Imran (3 :133–135) : “infaq
dalam suka dan duka (ibadah sosial), menahan amarah (ibadah sosial), memafkan manusia (ibadah sosial), berbuat baik (ibadah
ritual dan sosial), dzikir (ibadah ritual), bila berbuat dosa, menganiaya atau
menganiaya dirinya sendiri ( ibadah
ritual dan sosial) serta meminta maaf atas dosa-dosanya(ibadah ritual)”.
Dengan demikian dipahami bahwa Islam adalah agama yang menekankan pentingnya urusan-urusan social
tanpa mengesampingkan ibadah mahdhoh.
alasan lain lebih ditekankannya ibadah sosial dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah,
maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. Berkata : “Aku
sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisnya bayi,
aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya atas
tangisannya itu”.
ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi
ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu,
shalat jama’ah lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dilakukan sendirian
bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar
pantangan tertentu, maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan, maka fidyah
makanan bagi orang miskin harus dibayarkan. Bila suami istri bercampur siang
hari di bulan ramadhan tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin. Dalam Hadits Qudsi,
salah satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah menyantuni orang-orang
yang lemah, menyayangi orang miskin, anak yatim, janda dan yang mendapat
musibah.
Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadah
tidak dapat menutupnya.Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus
dosanya dengan shalat tahajjud. Yang berbuat dzalim tidak dapat menghapus dosanya dengan membaca
dzikir seribu kali. Bahkan, dikatakan bahwa ibadah ritual tidak diterima oleh
Allah, bila pelakunya melanggar norma-norma muamalah. ”Dikatakan kepada
Rasulullah saw. bahwa seorang perempuan puasa siang hari, dan berdiri shalat di
malam hari, tetapi ia menyakiti tetangganya. Rasulullah menjawab : ”Perempuan
tersebut masuk neraka”.
Di sini tampak jelas betapa shalat dan puasa menjadi tidak akan berarti
karena si pelakunya merusak hubungan baik dengan tetangganya. Dalam hadits yang
lain, orang-orang yang tidak baik dengan tetangganya, yang memutuskan
silaturrahim, yang merampas hak orang lain, bukan saja ibadahnya tidak
diterima, bahkan tidak lagi termasuk orang beriman. Nabi bersabda : “Tidak
beriman kepadaku orang-orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya
kelaparan”dan Hadits lain menerangkan, “Tidak masuk surga yang
memutuskan silaturrahim”
Dalam al-Qur’an, orang-orang yang shalat akan celaka, bila ia menghardik
anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, riya’ dalam amal, dan tidak mau
memberikan pertolongan. Dalam hadits lain diriwayatkan tentang orang muflis(bangkrut)
pada hari kiyamat, yang kehilangan seluruh ganjaran shalat, puasa dan hajinya,
karena merampas hak orang lain, menuduh yang tidak bersalah, atau menyakiti
hamba Allah.
melakukan amal baik
dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah
sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebagai berikut ini: “Orang yang
bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah dan seperti orang yang terus- menerus shalat malam dan
terus-menerus puasa”.