Blog Archive

Wednesday, May 17, 2017

fitrah



فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ( الروم: 30)
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS al-Rum [30]:30)
Tafsir
Fitrah berarti sifat asal, kesucian , bakat dan pembawaan[1]sedang menurut al-Ghazali, fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), seperti kata “khalaqa”. Jadi fitrah ( isim masdar ) berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada saat diciptakan.[2]
Menurut al-Ghazali ayat diatas menunjukkan bahwa fitrah adalah beriman kepada Allah Swt. Dengan mengakui keesaan-Nya. Fitrah ini sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang condong kepada tauhid ( Islam).[3]
Menunjuk pada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh ulama sebagai tauhid. Persoalan berikutnya adalah: apakah fitrah manusia hanya terbatas pada tauhid maupun keagamaan?. Jelas tidak, karena bukan saja redaksi ayat tersebut tidak dalam bentuk pembatasan, akan tetapi karena masih banyak ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia walaupun tidak menggunakan kata fitrah misalnya dalam QS Ali Imran[3]: 14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ   (ال عمران: 14)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS Ali Imran[3]: 14).
Batasan makna dan uraian yang terkait dengan fitrah manusia tersebut dapat dipertegas bahwa: setiap manusia yang menghuni alam raya ini mempunyai fitrah yaitu fitrah beragama. Fitrah beragama ini sebenarnya telah tampak semenjak zaman azali. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa manusia selamanya tidak akan mencapai tahap kemajuan yang tinggi dan kehidupan yang sejahtera jika tidak berpegang pada agama. Potensi teologis doktrinal dan keagamaan inilah yang menjadi sebab pengembangan manusia dalam kehidupan sosial keagamaan.
Hakikat fitrah manusia, apabila mereka taat dan patuh pada perintah Allah, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat, ia akan merasa bahwa setiap perilaku dan gerakanya berada dalam pengawasan Allah. Seumpama seorang bintang film yang sedang berada di depan kamera, segala gaya dan mimiknya akan direkam dan hasilnya akan dipertontonkan nanti. Maka si bintang film akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan peranya dengan penuh penghayatan dan berupaya untuk tidak menyalahi skenario yang telah digariskan.
Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga maka akan timbulah sifat Ihsan[4] dalam dirinya, ia akan terasa berada dalam perhatian Allah, sehingga menjadikanya tertib dan berhati-hati dalam setip sikap dan perbuatan. Karena ia sadar bahwa setiap perilakunya sedang direkam dan bakal dipertontonkan di mahkamah tertinggi maupun di mahkamah mahsyar nanti. Inilah kesan dekatnya hamba kepada tuhanya ketika telah kembali kepada fitrahnya.


قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري)
Sahabat bertanya, ya Rasulallah, apa yang dikatakan dengan ihsan. Rasul menjawab: Yaitu takut kepada Allah (maupun ancaman dan siksaan-Nya) seakan-akan anda melihat-Nya, akan tetapi jika tidak bisa demikian maka percayalah bahwa Tuhan benar-benar menyaksikan anda (HR.Bukhari).

قَالَ فَمَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْمَلَ لِلَّهِ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه أحمد)

Sahabat bertanya, ya Rasulallah, apa yang dikatakan dengan ihsan. Rasul menjawab: Beramal benar-benar karena Allah seakan-akan anda melihat-Nya, akan tetapi jika tidak bisa demikian maka percayalah bahwa Tuhan benar-benar menyaksikan anda (HR.Bukhari).

            Kontekstualisasi ihsan dan kedekatan manusia dengan Allah Swt sebagaimana dibentangkan pada tiga hadis di atas adalah menggunakan redaksi yang agak berbeda antara yang satu dengan lainnya. Hadis pertama menggunakan redaksi yang terkait dengan ibadah maupun ritual (أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ), sedangkan hadis kedua menggunakan redaksi yang terkait dengan aspek teologis maupun psikologis (قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ) dan hadis ketiga menggunakan redaksi yang terkait dengan muamalah maupun aktifitas lainnya (أَنْ تَعْمَلَ لِلَّهِ). Tiga bentuk ihsan sebagai pewujudan kreativitas manusia sesungguhnya adalah bersumber pada nilai-nilai dasar keagamaan maupun fitrah manusia.
Sayyid Qutub membagi fitrah ada dua macam: Pertama fitrah manusia yaitu bahwa potensi dasar yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan selalu condong kepada kebenaran. Kedua fitrah Agama yaitu wahyu Allah yang disampaikan lewat para Rasul-Nya untuk menguatkan dan menjaga fitrah manusia itu. Kedua macam fitrah ini adalah diciptakan dan bersumber dari Allah Swt. Oleh karenanya antara fitrah manusia dan fitrah agama tidaklah akan pernah terjadi pertentangan. Karena keduanya mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesunyian jiwa yang menjadikan manusia kembali dan dekat kepada Sang Pencipta-nya.
Sejarah telah membuktikan bahwa manusia sejak dahulu telah mencari sesuatu yang memiliki kuasa tertinggi yang telah menciptakan mereka dan kehidupan alam ini, walaupun manusia pada hakekatnya asyik dengan kemewahan dan pesona duniawi yang mewarnai kehidupan ini. Manusia di dalam kejahuan sudut hatinya masih ada ruang untuk beriman kepada Allah. Perkara ini diperkuat lagi dengan keadaan apabila manusia itu ditimpa kesusahan dan kesulitan dalam suatu masa tertentu niscaya mereka akan memohon pertolongan kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Ankabut [29]: 65.

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ         (العنكبوت: 65)

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo`a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS al-Ankabut [29]: 65)

Maksud ayat suci di atas mengisyaratkan betapa fitrah beragama di dalam diri manusia ini tidak dapat dipisahkan sama sekali dalam kehidupannya. Walau sedalam manapun manusia terbuai dalam kemewahan duniawi, manusia akan tetap kembali kepada Tuhan mereka. Tegasnya, fitrah beragama ini amat penting dalam setiap detik kehidupan manusia sejagat. Pendek kata dengan adanya Agama melandasi kehidupan manusia niscaya manusia dapat menelusuri pentas kehidupan ini dengan sempurna berasaskan kepada peraturan-peraturan dan nilai-nilai hidup yang telah digariskan oleh agama tersebut.
Di dalam Islam, fitrah merupakan satu kejadian yang diciptakan Allah kepada setiap yang dilahirkan sejak dari dalam rahim ibunya. Istilah fitrah ditakrifkan sebagai satu sifat semula atau bakat pembawaan dan juga sebagai perasaan keagamaan. Ringkasnya, fitrah ialah satu sifat semula yang berupa dorongan dan pembawaan yang ada pada setiap manusia sejak dilahirkan ke dunia ini. Sifat ini bagaimanapun boleh berubah dan diubah melalui corak asuhan, tahap pendidikan dan pengalaman hidup. Dalam hal ini Rasullulah Saw bersabda.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ[3]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya dapat menjadikannya sebagai yahudi, nasrani atau majusi, bagaikan binatang yang dilahirkan dari induknya juga dalam bentuk yang sempurna. Aapakah anda menemukannya suatu kekurangan?. (HR Bukhari dan Ahmad Ibn Hanbal).

Berdasarkan hadis di atas, maka anak pada saat kelahirannya yang pertama kali di perdengarkan kepada manusia adalah nama Allah dengan cara memperdengarkan suara adzan pada telinga sebelah kanannya dan iqomat pada telinga sebelah kirinya. Keadaan demikian dipupuk dengan cara memberikan nama yang baik, karena nama yang baik mendoakan kepada orang yang di namainya. Selanjutnya diberikan makanan yang bersih dan suci yang dilambangkan dengan memberi madu pada saat kelahiran anak, di cukur rambutnya dengan tujuan agar menyukai kebersihan, keindahan dan ketampanan yang semuanya itu di sukai Allah. Selanjutnya di potongkan hewan aqiqah yang dihidangkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan maksud untuk mengakui eksistensi anak tersebut di tengah-tengah lingkungan keluarganya yang selanjutnya dapat menumbuhkan rasa harga dirinya. Selanjutnya anak tersebut dididik mengerjakan shalat, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya. Demikian seterusnya hingga kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan unsur terpenting dalam beragama tetap terpelihara dengan baik.[4]
Manusia yang difitrahkan berhajat kepada Agama, mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa agama dan manusia tidak boleh dipisahkan. Sifat fitrah manusia kepada agama memangnya ada pada setiap manusia, bangsa dan umat yang menghuni alam semesta ini. Sifat fitrah yang wujud bagi manusia amat banyak seperti makan, minum, tidur dan sebagainya. Maka beragama juga dikatakan sebagai sifat fitrah bagi manusia yang hidup di alam ini. Manusia menginginkan agama sebagai tempat berlindung dan bergantung harapan serta tempat mencari ketenangan jiwa dari beberapa masalah dan kemelut yang menghantui kehidupan.

C.Agama Sebagai Fenomena Manusiawi
Agama adalah ajaran yang berasal daru Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalmnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang gaib tersebut.
Pemikiran di atas dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia atau agama kebudayaan. Kedua aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci. Keempan aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke genarasi lain. Kelima aspek sumbernya , yaitu Kitab Suci.[5]
Gambaran dan fenomena manusia beragama, sebensrnya tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang biasa dibayangkan oleh banyak orang. Ada manfaatnya memang untuk sesekali melihat agama dalam bentuknya yang tidak sederhana, lantaran berbagai persoalan yang terkait dengan fenomena itu sendiri. Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama: Normativitas atau Historisitas ?   menyatakan: Menunjukkan agama dengan sebutan proper noun seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindudan Budha adalah sangat mudah, tetapi pertanyaan yang lebih mendasar apakah tidak ada bentuk abstrak noun dari segala macam tersebut. Jika tidak ada bentuk abstrak noun sebagai landasan ontologi suatu percakapan, mustahil agaknya manusia dapat menyebutkan dengan sebutan proper noun terhadap apapun, lantaran abstrak noun sebenarnya adalah dasar logika penyebutan proper noun.[6]
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman manusia lewat pintu masuk antropologi, adalah seperti halnya seseorang mendekati dan memahami ”objeck” agama dari berbagai sudut pengamatan yang berbeda-beda. Dari situ akan muncul pemahaman sosiologis, pemahaman historis, pemahaman psikologis terhadap fenomena keberagaman manusia. Namun diakui bahwa berbagai pendekatan tersebut dapat saja terasa dangkal dan amat periferial sifatnya, lantaran sering kali pendekatan tersebut tidak menyentuh esensi religiositas manusia itu sendiri.
Amin Abdullah bahkan berkeyakinan bahwa fenomena keberagaman manusia secara umum memang tidak lagi cukup untuk tidak mengatakan tidak lagi tepat hanya didekati lewat pendekatan teologis semata-mata. Fenomena keberagaman manusia perlu didekati, diteliti, dipahami, dikritik, bahkan dinikmati lewat cara pendekatan sosiologis dan antropologis. Menurutnya, jika seseorang ingin memperoleh pemahaman yang kokoh terhadap agama yang dipeluk oleh masing-masing (having a religion) sekaligus dapat pula menghargai, berkomunikasi, berdialog, bertemu dalam perjumpaan yang hangat dan saling menghormati dengan penganut agama-agama lain lewat dasar berpijak religiositas yang mendalam, yang melekat pada hati sanubari masing-masing para pemeluk agama.
Sejalan dengan pemikiran dio atas, Moh. Shofan dalam bukunya Jalan ketiga Pemikiran Islam, mengatakan Bahwa agama adalah kebebasan pribadi yang bersangkutan dan Islam melarang pemaksaan satu pendapat, satu keyakinan kepada orang lain. [7] Lebih lanjut, Moh. Shofan menjelaskan: Barangkali cerita klasik dari Imam Malik, sangat menarik. Imam Malik adalah salah satu pendiri madzhab empat yang tinggal di Madinah. Suatu ketika Imam Malik sedang menyelesaikan buku al-Muwaththa’ yang berisi kumpulan-kumpulan hadis disertai komentar dari beliau, juga membahas tentang tradisi penduduk Madinah. Setelah selesai, orang mengatakan kitab ini bagus sekali. Kemudian diusulkanlah kepada Imam Malik, apakah anda tidak ingin kitab yang bagus ini dijadikan pedoman untuk umat Islam dan kita minta kepada Amirul Mukminin meresmikannya sebagai undang-undang yang berlaku untuk mengikat seluruh umat Islam. Imam Malik mengatakan: ”Saya tidak mau, sebab ini adalah pendapat saya, belum tentu orang yang tidak setuju terhadap saya menyepakati apa yang saya tulis dalam kitab al- Muwaththa’ ini. Biarlah kitab ini menjadi bacaan semua orang dengan tidak diresmikan”. Sejalan dengan cerita tentang Imam Malik di atas, Imam Syafii muridnya Imam Malik, mengatakan bahwa, ”pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah , tapi bisa saja benar”. [8]
Beberapa realitas dan fenomena di atas menunjukkan bahwa pernyataan para pemikir yang diwariskan untuk generasi sekarang ini dapat dijadikan sebagai cermin bahwa setiap produk pemikiran masih sangat memungkinkan adanya keterbukaan untuk dicermati dalam berbagai perspektif sehingga dapat melahirkan sejumlah temuan baru, dan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan perkembangan, tuntutan jaman dan karakteristik manusia pada jamannya masing-masing..

D.Islam dalam Aspek Sosial
Islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiolagi agama. Pada zaman dahulu sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat: bagaimana Agama sebagai sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi pergeseran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan..[9] Oleh karena itu dapat juga diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi pemikiran keagamaan. Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah rumah kita ada Masjid. Kalau kita tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di situ, kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal di kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di Masjid kota itu, kita tidak dianggap kurang saleh dalam beragama. Mengapa? karena indikasi kesalehan telah bergeser dan berbeda bagi orang Desa dan Kota. Kehidupan kota telah menyebabkan pergeseran itu; perkembangan masyarakat telah mempengaruhi cara perpikir orang mengenai penilaian kesalehan.
Atho Mudzhar mencatat adanya lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau seseorang hendak mempelajari suatu agama. Pertama scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau para pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, puasa, haji, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereja, lonceng, dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Katholik, Gereja Protestan dan lain-lain.[10] Lebih jauh ia menegaskan bahwa penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala tersebut di atas. Orang boleh mengambil tokohnya, boleh alatnya, terserah dari sudut mana kita menelitinya. Alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian, namun perlu diperhatikan bahwa ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap sebagai alat agama. Di dalam Islam juga terjadi hal yang sama. Di dunia ini sebenarnya tidak ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan seorang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar bin Khattab mengatakan: Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu, sama dengan batu-batu yang lain. Maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak dalam kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu mensakralkan wahyu Allah, tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan yang dibacakan ataukah isinya[11].
Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi nilai tolong-menolong, nasehat menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan derajat) tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaan-nya yang ditunjukkan oleh potensi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini maka dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama.. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosisl tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.[12]
Menurut penelitihan yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi Masjid tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah           (dalam arti khusus). Hal demikian dapat dilihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka boleh ibadah diperpendek atau ditangguhkan (diqosor atau dijamak dan bukan ditinggalkan). Bahkan Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama–sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi dari pada shalat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat sebagaimana hadis Nabi Saw sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم، قَالَ : صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (رواه مسلم) . [13]

Diriwayatkan dari Ibn `Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Shalat berjamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat sendirian dengan selisih duapuluh derajat (HR. Muslim)

Dalam pada itu, Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalat, urusan ibadahnya tidak dapat menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan shalat tahajud. Orang yang berbuat dhalim atau aniaya terhadap sesamanya tidak akan hilang dosanya dengan tebusan membaca dzikir seribu kali dan seterusnya. Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima oleh Allah, bila pelakunya melanggar norma-noma muamalah.[14].

E.Wujud Islam Sebagai Produk Sosial
Sejak kelahiran belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang memperhatikan dan peduli pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara urusan ibadah dengan urusan muamalah. Jika diadakan suatu perbandingan antara perhatian Islam terhadap urusan ibadah dengan urusan muamalah ternyata Islam menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah dalam arti yang khusus. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi sebagai masjid tempat mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah dalam arti yang khusus.
Keterkaitan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut di atas menjadi penting jika dikaitkan dengan situasi kemanusiaan di zaman modern. Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera, serba cepat, instan dan otomatis. Kadang-kadang kita merasa bahwa situasi yang penuh dengan problematika di dunia modern justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri, tetapi pada saat yang sama kita juga melihat bahwa umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil cipta dan karsanya sendiri. Sejak manusia memasuki zaman modern, mereka mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka memang telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mistis yang irrasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Tetapi ternyata di dunia modern ini manusia tak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada hasil ciptaan dirinya sendiri.[15] al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110 menyatakan.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران: 110)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS Ali Imran [3]: 110)

Dengan ilmu sosial, maka umat Islam akan dapat meluruskan gerak langkah perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini dan juga dapat meredam berbagai kerusuhan sosial dan tindakan kriminal lainnya yang saat ini banyak mewarnai kehidupan. Fenomena kerusuhan, tindakan anargis, tindakan kekerasan, tindakan kriminal, pemerkosaan, bencana alam dan kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas yang menelan ribuan nyawa manusia, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, penyimpangan sosial, tindakan nekat, perampasan hak-hak asasi manusia dan masalah sosial lainnya yang terus berkembang. Secara sosiologis, seluruh gejala dan peristiwa tersebut bukanlah masalah yang berdiri sendiri, melainkan semua itu merupakan produk sistem dan pola pikir, pandangan yang menyimpang dan sebagainya. Pemecahan terhadap masalah tersebut salah satu alternatifnya adalah dengan memberikan nuansa keagamaan pada ilmu sosial.[16]
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Islam Alternatif telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.
Pertama, dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khumaini dalam bukunya yang dikutib Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjama’ah dinila lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusan)-nya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya adalah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan maka tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, misalnya kita dapat membaca hadis yang artinya sebagai berikut.
”Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus shalat malam dan terus menerus berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)[17]
Melalui pendekatan sosiologi agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu akan dapat dijelaskan secara datail apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama Islam itu diturunkan.[18].
Apabila masyarakat diharapkan setabil, dan tingkah laku sosial masyarakat bisa tertib dan baik, maka tingkah laku yang baik harus ditata dan dipolakan sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu yang relatif diterima dan disepakati bersama. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan tujuan-tujuan atau merupakan sasaran utama tingkah laku sosial manusia.
Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah, misalnya andaikan khalifah Harun Al-Rasyid tidak meminta Imam Malik menulis Al-Muwaththa’, kitab hadis semacam itu mungkin tidak ada. Karena itu , Al-Muwaththa’ sebagai kumpulan hadis juga merupakan produk sejarah. Sejarah politik, ekonomi dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, di Asia Tenggara, di Indonesia, di Brunai Darussalam dan di mana pun juga adalah bagian dari Islam produk sejarah. Demikian juga filsafat Islam, kalam, fiqih, usul fiqih juga produk sejarah. Tasawuf dan akhlaq sebagai ilmu adalah produk sejarah. Akhlaq sebagai tata nilai bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir, ilmu akhlaq yang dimaksud adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam yang klasik, tengah moderen, arsitektur Islam, seni lukis, seni musik, bentuk-bentuk masjid di Timur Tengah, di Jawa, bentuk Pagoda di Jawa dan di Cina serta kesamaannya dengan bentuk beberapa masjid di Jawa merupakan bagian kebudayan Islam yang dapat dijadikan sebagai obyek studi dan penelitian. Demikian juga seni baca al-Qur’an yang berkembang di Indonesia adalah produk sejarah. Naska-naskah Islam, seperti Undang-undang Malaka, surat-surat keagamaan di berbagai tempat, seperti di Jawa dan di luar Jawa, Maroko, Kairo dan dimana-mana adalah produk sejarah.[19]

F.SIMPULAN

Islam sebagai hasil hubungan sosial bukan berarti menjauhkan manusia dari ajaran dasarnya. Realitas ini dalam tinjauan sosiologis, justru memberikan isyarat bahwa Islam telah menjadi milik manusia yang direfleksikan dalam kehidupan bermasayarakat, sehingga sangat wajar bila perilaku keagamaannya terjadi perbedaan bentuk dari setiap individu yang satu dengan lainnya, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektifitas dengan berbagai sudut pandang yang sangat kompleks dan beragam. Wujud keragaman dan keberagamaan mereka merupakan wujud kongkrit dari integrasi, interaksi dan internalisasi antara nilai-nilai normatif doktrinal dan historis metodologis. Kedua sisi tersebut saling memberikan inspirasi timbal balik, bahkan saling berpengaruh pada setiap insan dalam merealisasikan wujud kongkrit Islam yang diikutinya. Bangunan keutuhan dan kebersamaan dari berbagai keragaman dan perbedaan tersebut benar-benar sangat dibutuhkan dan dirindukan oleh masyarakat dalam sebuah kehidupan yang berimbang, universal dan konprehensip menuju sebab utama dan yang pertama. Dengan kata lain bahwa Islam bersumber dari Tuhan untuk manusia dan dari manusia dengan berbagai aktivitasnya akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Wallahu bima ta’maluna khabir.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibn Hanbal. Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad . Mesir: tth.
Abdullah. M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas ? , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
al-Bukhari. Muhammad ibn Isma`il Abu Abdillah, al-Jami` al-Shahih al-Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1979/1980.
Ibn `Asyur al-Tunisi (w.1393), Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibnu Muhammad al-Thahir, al-Tahrir wa al-Tanwir al-Ma`ruf bi Tafsir ibn `Asyur (Beirut: al-Madinah al-Ruqmiyah, 1420 H./ 2000 M.), Juz 21, h.48
Mudzhar. M Atho, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Muslim. Abu al-Hasan Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami` al-Shahih , Beirut: Dar al-jabal, tth.
Nata. Abuddin, Metodologi Studi Islam , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Shofan. Moh., Jalan ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

Footnotes:

[1] Dosen tetap pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[2]Lihat Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibnu Muhammad al-Thahir ibn `Asyur al-Tunisi (w.1393), al-Tahrir wa al-Tanwir al-Ma`ruf bi Tafsir ibn `Asyur (Beirut: al-Madinah al-Ruqmiyah, 1420 H./ 2000 M.), Juz 21, h.48
[3]Lihat Muhammad ibn Isma`il Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami` al-Shahih al-Mukhtashar (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), Juz 15, h. 465. Lihat Pula Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad (Mesir:, tth), Jus 15, h. 411.
[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.18.
[5] Lihat Abuddin Nata, h. 15.
[6] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas ? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.23-24
[7] Moh. Shofan, Jalan ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h.18-19
[8] Moh. Shofan, h. 19
[9] Lihat M Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 16 .
[10] Atho Mudhar, h.13-14.
[11] Atho Mudhar, h 15.
[12] Abuddin Nata, h 89.
[13] Lihat Abu al-hasan Muslim Ibn al-hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami` al-Shahih (Beirut: Dar al-jabal, tth.), Jus 2, h. 122
[14] Lihat Abuddin Nata, h. 90.
[15] Abuddin Nata, h. 55
[16]Lihat Abuddin Nata, h. 57

[17] Teks hadits yang dimaksudkan antara lain: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ، أَوِ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ Lihat Shahih al-Bukhari, Jus 5, h.2047.
[18] Abuddin Nata, h. 40-41.
[19] Lihat Atho Mudhar, h 23.




[1] Peter salim dan yeni salim, Kamus bahasa indonesia kontemporer, jakarta, modern english press, 1991. H. 764
[2] Zainuddin dkk., seluk beluk pendidikan dari al-ghazali, Jkarta, Bumi Aksara, 1991
[3]
[4] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Ia bertanya, ya Rasulallah, apa yang dikatakan dengan ihsan. Rasul menjawab: Ibadah kepada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, akan tetapi jika tidak bisa demikian maka percayalah bahwa Tuhan benar-benar menyaksikan anda (HR.Bukhari).