فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ( الروم: 30)
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS al-Rum [30]:30)
Tafsir
Fitrah berarti sifat asal, kesucian , bakat dan pembawaan[1]sedang menurut
al-Ghazali, fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), seperti kata “khalaqa”.
Jadi fitrah ( isim masdar ) berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada saat
diciptakan.[2]
Menurut al-Ghazali ayat diatas menunjukkan bahwa fitrah
adalah beriman kepada Allah Swt. Dengan mengakui keesaan-Nya. Fitrah ini
sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan
tabiat dasarnya yang memang condong kepada tauhid ( Islam).[3]
Menunjuk pada fitrah yang dikemukakan di
atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa manusia sejak asal kejadiannya
membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh ulama sebagai tauhid. Persoalan
berikutnya adalah: apakah fitrah manusia hanya terbatas pada tauhid maupun
keagamaan?. Jelas tidak, karena bukan saja redaksi ayat tersebut tidak dalam
bentuk pembatasan, akan tetapi karena masih banyak ayat-ayat lain yang
membicarakan tentang penciptaan potensi manusia walaupun tidak menggunakan kata fitrah
misalnya dalam QS Ali Imran[3]: 14.
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (ال عمران: 14)
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS Ali Imran[3]:
14).
Batasan makna
dan uraian yang terkait dengan fitrah manusia tersebut dapat dipertegas bahwa:
setiap manusia yang menghuni alam raya ini mempunyai fitrah yaitu fitrah
beragama. Fitrah beragama ini sebenarnya telah tampak semenjak zaman azali.
Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa manusia selamanya tidak akan mencapai
tahap kemajuan yang tinggi dan kehidupan yang sejahtera jika tidak berpegang
pada agama. Potensi teologis doktrinal dan keagamaan inilah yang menjadi sebab
pengembangan manusia dalam kehidupan sosial keagamaan.
Hakikat
fitrah manusia, apabila mereka taat dan patuh pada perintah Allah, mereka akan
selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya ia akan selalu
merasakan kehadiran Tuhan setiap saat, ia akan merasa bahwa setiap perilaku dan
gerakanya berada dalam pengawasan Allah. Seumpama seorang bintang film yang
sedang berada di depan kamera, segala gaya dan mimiknya akan direkam dan
hasilnya akan dipertontonkan nanti. Maka si bintang film akan berusaha
semaksimal mungkin menjalankan peranya dengan penuh penghayatan dan berupaya
untuk tidak menyalahi skenario yang telah digariskan.
Jika fitrah
manusia telah kembali dan terjaga maka akan timbulah sifat Ihsan[4]
dalam dirinya, ia akan terasa berada dalam perhatian Allah, sehingga
menjadikanya tertib dan berhati-hati dalam setip sikap dan perbuatan. Karena ia
sadar bahwa setiap perilakunya sedang direkam dan bakal dipertontonkan di
mahkamah tertinggi maupun di mahkamah mahsyar nanti. Inilah kesan dekatnya
hamba kepada tuhanya ketika telah kembali kepada fitrahnya.
قَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ
تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري)
Sahabat bertanya, ya Rasulallah, apa yang dikatakan dengan
ihsan. Rasul menjawab: Yaitu takut kepada Allah (maupun ancaman dan
siksaan-Nya) seakan-akan anda melihat-Nya, akan tetapi jika tidak bisa demikian
maka percayalah bahwa Tuhan benar-benar menyaksikan anda (HR.Bukhari).
قَالَ فَمَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ
تَعْمَلَ لِلَّهِ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(رواه أحمد)
Sahabat bertanya, ya Rasulallah, apa yang dikatakan dengan
ihsan. Rasul menjawab: Beramal benar-benar karena Allah seakan-akan anda
melihat-Nya, akan tetapi jika tidak bisa demikian maka percayalah bahwa Tuhan
benar-benar menyaksikan anda (HR.Bukhari).
Kontekstualisasi ihsan dan kedekatan manusia dengan Allah Swt sebagaimana
dibentangkan pada tiga hadis di atas adalah menggunakan redaksi yang agak
berbeda antara yang satu dengan lainnya. Hadis pertama menggunakan redaksi yang
terkait dengan ibadah maupun ritual (أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ), sedangkan hadis kedua menggunakan
redaksi yang terkait dengan aspek teologis maupun psikologis (قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ) dan hadis
ketiga menggunakan redaksi yang terkait dengan muamalah maupun aktifitas
lainnya (أَنْ
تَعْمَلَ لِلَّهِ). Tiga bentuk ihsan sebagai pewujudan kreativitas manusia
sesungguhnya adalah bersumber pada nilai-nilai dasar keagamaan maupun fitrah
manusia.
Sayyid
Qutub membagi fitrah ada dua macam: Pertama fitrah manusia yaitu
bahwa potensi dasar yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan
selalu condong kepada kebenaran. Kedua fitrah Agama yaitu wahyu
Allah yang disampaikan lewat para Rasul-Nya untuk menguatkan dan menjaga fitrah
manusia itu. Kedua macam fitrah ini adalah diciptakan dan bersumber dari Allah
Swt. Oleh karenanya antara fitrah manusia dan fitrah agama tidaklah akan pernah
terjadi pertentangan. Karena keduanya mengarah kepada tujuan yang satu,
kebenaran dan kesunyian jiwa yang menjadikan manusia kembali dan dekat kepada
Sang Pencipta-nya.
Sejarah
telah membuktikan bahwa manusia sejak dahulu telah mencari sesuatu yang
memiliki kuasa tertinggi yang telah menciptakan mereka dan kehidupan alam ini,
walaupun manusia pada hakekatnya asyik dengan kemewahan dan pesona duniawi yang
mewarnai kehidupan ini. Manusia di dalam kejahuan sudut hatinya masih ada ruang
untuk beriman kepada Allah. Perkara ini diperkuat lagi dengan keadaan apabila
manusia itu ditimpa kesusahan dan kesulitan dalam suatu masa tertentu niscaya
mereka akan memohon pertolongan kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam QS al-Ankabut [29]: 65.
فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا
نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ
يُشْرِكُونَ (العنكبوت: 65)
Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo`a kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka
sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS
al-Ankabut [29]: 65)
Maksud
ayat suci di atas mengisyaratkan betapa fitrah beragama di dalam diri manusia
ini tidak dapat dipisahkan sama sekali dalam kehidupannya. Walau sedalam
manapun manusia terbuai dalam kemewahan duniawi, manusia akan tetap kembali
kepada Tuhan mereka. Tegasnya, fitrah beragama ini amat penting dalam setiap
detik kehidupan manusia sejagat. Pendek kata dengan adanya Agama melandasi
kehidupan manusia niscaya manusia dapat menelusuri pentas kehidupan ini dengan
sempurna berasaskan kepada peraturan-peraturan dan nilai-nilai hidup yang telah
digariskan oleh agama tersebut.
Di
dalam Islam, fitrah merupakan satu kejadian yang diciptakan Allah kepada setiap
yang dilahirkan sejak dari dalam rahim ibunya. Istilah fitrah ditakrifkan
sebagai satu sifat semula atau bakat pembawaan dan juga sebagai perasaan
keagamaan. Ringkasnya, fitrah ialah satu sifat semula yang berupa dorongan dan
pembawaan yang ada pada setiap manusia sejak dilahirkan ke dunia ini. Sifat ini
bagaimanapun boleh berubah dan diubah melalui corak asuhan, tahap pendidikan
dan pengalaman hidup. Dalam hal ini Rasullulah Saw bersabda.
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً هَلْ
تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ[3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah
saw bersabda: Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua
orang tuanya dapat menjadikannya sebagai yahudi, nasrani atau majusi, bagaikan
binatang yang dilahirkan dari induknya juga dalam bentuk yang sempurna. Aapakah
anda menemukannya suatu kekurangan?. (HR Bukhari dan Ahmad Ibn Hanbal).
Berdasarkan
hadis di atas, maka anak pada saat kelahirannya yang pertama kali di
perdengarkan kepada manusia adalah nama Allah dengan cara memperdengarkan suara
adzan pada telinga sebelah kanannya dan iqomat pada telinga sebelah kirinya.
Keadaan demikian dipupuk dengan cara memberikan nama yang baik, karena nama
yang baik mendoakan kepada orang yang di namainya. Selanjutnya diberikan
makanan yang bersih dan suci yang dilambangkan dengan memberi madu pada saat
kelahiran anak, di cukur rambutnya dengan tujuan agar menyukai kebersihan,
keindahan dan ketampanan yang semuanya itu di sukai Allah. Selanjutnya di
potongkan hewan aqiqah yang dihidangkan kepada tetangga dan karib kerabat
dengan maksud untuk mengakui eksistensi anak tersebut di tengah-tengah
lingkungan keluarganya yang selanjutnya dapat menumbuhkan rasa harga dirinya.
Selanjutnya anak tersebut dididik mengerjakan shalat, membaca al-Qur’an dan
lain sebagainya. Demikian seterusnya hingga kepercayaan kepada Tuhan yang
merupakan unsur terpenting dalam beragama tetap terpelihara dengan baik.[4]
Manusia
yang difitrahkan berhajat kepada Agama, mengantarkan pada sebuah pemahaman
bahwa agama dan manusia tidak boleh dipisahkan. Sifat fitrah manusia kepada
agama memangnya ada pada setiap manusia, bangsa dan umat yang menghuni alam
semesta ini. Sifat fitrah yang wujud bagi manusia amat banyak seperti makan, minum,
tidur dan sebagainya. Maka beragama juga dikatakan sebagai sifat fitrah bagi
manusia yang hidup di alam ini. Manusia menginginkan agama sebagai tempat
berlindung dan bergantung harapan serta tempat mencari ketenangan jiwa dari
beberapa masalah dan kemelut yang menghantui kehidupan.
C.Agama Sebagai Fenomena Manusiawi
Agama
adalah ajaran yang berasal daru Tuhan atau hasil renungan manusia yang
terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi
ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia
agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalmnya mencakup unsur
kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional
dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan
yang baik dengan kekuatan yang gaib tersebut.
Pemikiran
di atas dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama
aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari agama samawi, dan ada yang
berasal dari pemikiran manusia atau agama kebudayaan. Kedua aspek
tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan
akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan
adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan
hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib,
respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci. Keempan aspek
pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari
generasi ke genarasi lain. Kelima aspek sumbernya , yaitu Kitab
Suci.[5]
Gambaran
dan fenomena manusia beragama, sebensrnya tidaklah semudah dan sesederhana
seperti yang biasa dibayangkan oleh banyak orang. Ada manfaatnya memang untuk
sesekali melihat agama dalam bentuknya yang tidak sederhana, lantaran berbagai
persoalan yang terkait dengan fenomena itu sendiri. Amin Abdullah dalam bukunya
Studi Agama: Normativitas atau Historisitas ? menyatakan:
Menunjukkan agama dengan sebutan proper noun seperti Islam,
Katolik, Protestan, Hindudan Budha adalah sangat mudah, tetapi pertanyaan yang
lebih mendasar apakah tidak ada bentuk abstrak noun dari segala
macam tersebut. Jika tidak ada bentuk abstrak noun sebagai
landasan ontologi suatu percakapan, mustahil agaknya manusia dapat menyebutkan
dengan sebutan proper noun terhadap apapun, lantaran abstrak
noun sebenarnya adalah dasar logika penyebutan proper noun.[6]
Pendekatan
dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman manusia lewat pintu masuk
antropologi, adalah seperti halnya seseorang mendekati dan memahami ”objeck”
agama dari berbagai sudut pengamatan yang berbeda-beda. Dari situ akan muncul
pemahaman sosiologis, pemahaman historis, pemahaman psikologis terhadap
fenomena keberagaman manusia. Namun diakui bahwa berbagai pendekatan tersebut
dapat saja terasa dangkal dan amat periferial sifatnya, lantaran sering kali
pendekatan tersebut tidak menyentuh esensi religiositas manusia itu sendiri.
Amin
Abdullah bahkan berkeyakinan bahwa fenomena keberagaman manusia secara umum
memang tidak lagi cukup untuk tidak mengatakan tidak lagi tepat hanya didekati
lewat pendekatan teologis semata-mata. Fenomena keberagaman manusia perlu
didekati, diteliti, dipahami, dikritik, bahkan dinikmati lewat cara pendekatan
sosiologis dan antropologis. Menurutnya, jika seseorang ingin memperoleh
pemahaman yang kokoh terhadap agama yang dipeluk oleh masing-masing (having
a religion) sekaligus dapat pula menghargai, berkomunikasi, berdialog,
bertemu dalam perjumpaan yang hangat dan saling menghormati dengan penganut
agama-agama lain lewat dasar berpijak religiositas yang mendalam, yang melekat
pada hati sanubari masing-masing para pemeluk agama.
Sejalan
dengan pemikiran dio atas, Moh. Shofan dalam bukunya Jalan ketiga Pemikiran
Islam, mengatakan Bahwa agama adalah kebebasan pribadi yang bersangkutan
dan Islam melarang pemaksaan satu pendapat, satu keyakinan kepada orang lain. [7]
Lebih lanjut, Moh. Shofan menjelaskan: Barangkali cerita klasik dari Imam
Malik, sangat menarik. Imam Malik adalah salah satu pendiri madzhab empat yang
tinggal di Madinah. Suatu ketika Imam Malik sedang menyelesaikan buku al-Muwaththa’
yang berisi kumpulan-kumpulan hadis disertai komentar dari beliau, juga
membahas tentang tradisi penduduk Madinah. Setelah selesai, orang mengatakan
kitab ini bagus sekali. Kemudian diusulkanlah kepada Imam Malik, apakah anda
tidak ingin kitab yang bagus ini dijadikan pedoman untuk umat Islam dan kita
minta kepada Amirul Mukminin meresmikannya sebagai undang-undang yang berlaku
untuk mengikat seluruh umat Islam. Imam Malik mengatakan: ”Saya tidak mau,
sebab ini adalah pendapat saya, belum tentu orang yang tidak setuju terhadap
saya menyepakati apa yang saya tulis dalam kitab al- Muwaththa’ ini.
Biarlah kitab ini menjadi bacaan semua orang dengan tidak diresmikan”. Sejalan
dengan cerita tentang Imam Malik di atas, Imam Syafii muridnya Imam Malik,
mengatakan bahwa, ”pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya,
pendapat orang lain salah , tapi bisa saja benar”. [8]
Beberapa
realitas dan fenomena di atas menunjukkan bahwa pernyataan para pemikir yang
diwariskan untuk generasi sekarang ini dapat dijadikan sebagai cermin bahwa
setiap produk pemikiran masih sangat memungkinkan adanya keterbukaan untuk
dicermati dalam berbagai perspektif sehingga dapat melahirkan sejumlah temuan
baru, dan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan perkembangan, tuntutan jaman
dan karakteristik manusia pada jamannya masing-masing..
D.Islam dalam Aspek Sosial
Islam
sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiolagi agama. Pada
zaman dahulu sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan
masyarakat Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat.
Belakangan sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik,
melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat:
bagaimana Agama sebagai sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat.
Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan.
Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah wal
Jamaah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu,
tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan
pandangan politik. Jadi pergeseran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran
teologi atau keagamaan..[9]
Oleh karena itu dapat juga diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri
mempengaruhi pemikiran keagamaan. Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah
rumah kita ada Masjid. Kalau kita tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di situ,
kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal di
kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat jum’ah di Masjid kota
itu, kita tidak dianggap kurang saleh dalam beragama. Mengapa? karena indikasi
kesalehan telah bergeser dan berbeda bagi orang Desa dan Kota. Kehidupan kota
telah menyebabkan pergeseran itu; perkembangan masyarakat telah mempengaruhi
cara perpikir orang mengenai penilaian kesalehan.
Atho
Mudzhar mencatat adanya lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau
seseorang hendak mempelajari suatu agama. Pertama scripture
atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua,
para penganut atau para pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus,
lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, puasa, haji, perkawinan dan
waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereja, lonceng, dan
semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para
penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah,
Persis, Gereja Katholik, Gereja Protestan dan lain-lain.[10]
Lebih jauh ia menegaskan bahwa penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran
salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala tersebut di atas. Orang boleh
mengambil tokohnya, boleh alatnya, terserah dari sudut mana kita menelitinya.
Alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian, namun perlu diperhatikan
bahwa ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap sebagai
alat agama. Di dalam Islam juga terjadi hal yang sama. Di dunia ini sebenarnya
tidak ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya
tidak ada. Mengenai hubungan seorang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar
bin Khattab mengatakan: Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak
akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu, sama dengan batu-batu yang lain. Maka
nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak dalam kepercayaan orang
Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu mensakralkan wahyu
Allah, tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan yang dibacakan ataukah
isinya[11].
Karakteristik
ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di
bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran
Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam
bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi nilai tolong-menolong, nasehat
menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan
derajat) tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam
pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna
kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas
dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaan-nya yang ditunjukkan
oleh potensi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini maka
dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama.. Mobilitas vertikal dalam arti yang
sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas
sosisl tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi
sungguhpun dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya
serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.[12]
Menurut
penelitihan yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang
menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah. Islam ternyata
banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual.
Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi Masjid tempat mengabdi kepada
Allah. Muamalah jauh lebih luas dari pada
ibadah (dalam arti
khusus). Hal demikian dapat dilihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan
waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka boleh ibadah diperpendek atau
ditangguhkan (diqosor atau dijamak dan bukan ditinggalkan). Bahkan Islam
menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama–sama dengan
orang lain nilainya lebih tinggi dari pada shalat yang dilakukan secara
perorangan, dengan perbandingan 27 derajat sebagaimana hadis Nabi Saw sebagai
berikut.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم، قَالَ : صَلاَةُ
الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (رواه
مسلم) . [13]
Diriwayatkan dari Ibn `Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Shalat berjamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat sendirian dengan selisih
duapuluh derajat (HR. Muslim)
Dalam
pada itu, Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu
dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh
diganti dengan fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makanan bagi orang miskin.
Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalat, urusan ibadahnya tidak
dapat menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya
dengan shalat tahajud. Orang yang berbuat dhalim atau aniaya terhadap sesamanya
tidak akan hilang dosanya dengan tebusan membaca dzikir seribu kali dan
seterusnya. Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa
ibadah ritual tidak diterima oleh Allah, bila pelakunya melanggar norma-noma
muamalah.[14].
E.Wujud Islam Sebagai Produk Sosial
Sejak
kelahiran belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang
memperhatikan dan peduli pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat,
antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antara manusia dengan manusia,
dan hubungan antara urusan ibadah dengan urusan muamalah. Jika diadakan suatu
perbandingan antara perhatian Islam terhadap urusan ibadah dengan urusan
muamalah ternyata Islam menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan
ibadah dalam arti yang khusus. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan
sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan
seluruh bumi sebagai masjid tempat mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas.
Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah dalam arti yang khusus.
Keterkaitan
agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut di atas menjadi penting
jika dikaitkan dengan situasi kemanusiaan di zaman modern. Kita mengetahui
bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar
membutuhkan pemecahan segera, serba cepat, instan dan otomatis. Kadang-kadang
kita merasa bahwa situasi yang penuh dengan problematika di dunia modern justru
disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi
yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil
mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban
yang maju untuk dirinya sendiri, tetapi pada saat yang sama kita juga melihat
bahwa umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil cipta dan karsanya sendiri.
Sejak manusia memasuki zaman modern, mereka mampu mengembangkan potensi-potensi
rasionalnya, mereka memang telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mistis
yang irrasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat
kebebasan manusia. Tetapi ternyata di dunia modern ini manusia tak dapat
melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada hasil
ciptaan dirinya sendiri.[15]
al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110 menyatakan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران: 110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik (QS Ali Imran [3]: 110)
Dengan
ilmu sosial, maka umat Islam akan dapat meluruskan gerak langkah perkembangan
ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini dan juga dapat meredam berbagai
kerusuhan sosial dan tindakan kriminal lainnya yang saat ini banyak mewarnai
kehidupan. Fenomena kerusuhan, tindakan anargis, tindakan kekerasan, tindakan
kriminal, pemerkosaan, bencana alam dan kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas
yang menelan ribuan nyawa manusia, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang, penyimpangan sosial, tindakan nekat, perampasan hak-hak asasi
manusia dan masalah sosial lainnya yang terus berkembang. Secara sosiologis,
seluruh gejala dan peristiwa tersebut bukanlah masalah yang berdiri sendiri,
melainkan semua itu merupakan produk sistem dan pola pikir, pandangan yang menyimpang
dan sebagainya. Pemecahan terhadap masalah tersebut salah satu alternatifnya
adalah dengan memberikan nuansa keagamaan pada ilmu sosial.[16]
Sosiologi
dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal
demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat
dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari
ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang
dahulu budak lalu akhirnya jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan
tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh
lainnya. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Islam Alternatif telah menunjukkan
betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah
sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.
Pertama, dalam
al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber Islam itu berkenaan
dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khumaini dalam bukunya yang dikutib
Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat
yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu
ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua, bahwa
ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek (tentu bukan ditinggalkan), melainkan
dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa
ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada
ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara
berjama’ah dinila lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan
sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.
Keempat, dalam
Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusan)-nya ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya adalah dalam bentuk memberi
makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan
maka tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin.
Kelima, dalam
Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat
ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, misalnya kita
dapat membaca hadis yang artinya sebagai berikut.
”Orang
yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang
terus menerus shalat malam dan terus menerus berpuasa.” (HR. Bukhari dan
Muslim)[17]
Melalui
pendekatan sosiologi agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu
sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita
jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu akan dapat dijelaskan
secara datail apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat
ajaran agama Islam itu diturunkan.[18].
Apabila
masyarakat diharapkan setabil, dan tingkah laku sosial masyarakat bisa tertib
dan baik, maka tingkah laku yang baik harus ditata dan dipolakan sesuai dengan
prinsip-prinsip tertentu yang relatif diterima dan disepakati bersama.
Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan tujuan-tujuan atau merupakan sasaran utama
tingkah laku sosial manusia.
Perlu
ditegaskan, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah,
misalnya andaikan khalifah Harun Al-Rasyid tidak meminta Imam Malik menulis Al-Muwaththa’,
kitab hadis semacam itu mungkin tidak ada. Karena itu , Al-Muwaththa’
sebagai kumpulan hadis juga merupakan produk sejarah. Sejarah politik, ekonomi
dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, di Asia Tenggara, di
Indonesia, di Brunai Darussalam dan di mana pun juga adalah bagian dari Islam
produk sejarah. Demikian juga filsafat Islam, kalam, fiqih, usul fiqih juga
produk sejarah. Tasawuf dan akhlaq sebagai ilmu adalah produk sejarah. Akhlaq
sebagai tata nilai bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir,
ilmu akhlaq yang dimaksud adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam yang klasik,
tengah moderen, arsitektur Islam, seni lukis, seni musik, bentuk-bentuk masjid
di Timur Tengah, di Jawa, bentuk Pagoda di Jawa dan di Cina serta kesamaannya
dengan bentuk beberapa masjid di Jawa merupakan bagian kebudayan Islam yang
dapat dijadikan sebagai obyek studi dan penelitian. Demikian juga seni baca
al-Qur’an yang berkembang di Indonesia adalah produk sejarah. Naska-naskah
Islam, seperti Undang-undang Malaka, surat-surat keagamaan di berbagai tempat,
seperti di Jawa dan di luar Jawa, Maroko, Kairo dan dimana-mana adalah produk
sejarah.[19]
F.SIMPULAN
Islam
sebagai hasil hubungan sosial bukan berarti menjauhkan manusia dari ajaran
dasarnya. Realitas ini dalam tinjauan sosiologis, justru memberikan isyarat
bahwa Islam telah menjadi milik manusia yang direfleksikan dalam kehidupan
bermasayarakat, sehingga sangat wajar bila perilaku keagamaannya terjadi
perbedaan bentuk dari setiap individu yang satu dengan lainnya, karena hal ini
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektifitas dengan berbagai sudut pandang
yang sangat kompleks dan beragam. Wujud keragaman dan keberagamaan mereka
merupakan wujud kongkrit dari integrasi, interaksi dan internalisasi antara
nilai-nilai normatif doktrinal dan historis metodologis. Kedua sisi tersebut
saling memberikan inspirasi timbal balik, bahkan saling berpengaruh pada setiap
insan dalam merealisasikan wujud kongkrit Islam yang diikutinya. Bangunan
keutuhan dan kebersamaan dari berbagai keragaman dan perbedaan tersebut
benar-benar sangat dibutuhkan dan dirindukan oleh masyarakat dalam sebuah
kehidupan yang berimbang, universal dan konprehensip menuju sebab utama dan
yang pertama. Dengan kata lain bahwa Islam bersumber dari Tuhan untuk manusia
dan dari manusia dengan berbagai aktivitasnya akan dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Wallahu bima ta’maluna khabir.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Ibn Hanbal. Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal
Ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad . Mesir: tth.
Abdullah. M. Amin, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas ? , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
al-Bukhari. Muhammad ibn Isma`il Abu Abdillah, al-Jami`
al-Shahih al-Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1979/1980.
Ibn `Asyur al-Tunisi (w.1393), Muhammad al-Thahir ibn
Muhammad ibnu Muhammad al-Thahir, al-Tahrir wa al-Tanwir al-Ma`ruf bi Tafsir
ibn `Asyur (Beirut: al-Madinah al-Ruqmiyah, 1420 H./ 2000 M.), Juz 21, h.48
Mudzhar. M Atho, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Muslim.
Abu al-Hasan Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami`
al-Shahih , Beirut: Dar al-jabal, tth.
Nata. Abuddin, Metodologi Studi
Islam , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Shofan. Moh., Jalan ketiga Pemikiran Islam: Mencari
Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme Yogyakarta: IRCiSoD,
2006.
Footnotes:
[2]Lihat
Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibnu Muhammad al-Thahir ibn `Asyur al-Tunisi
(w.1393), al-Tahrir wa al-Tanwir al-Ma`ruf bi Tafsir ibn `Asyur (Beirut:
al-Madinah al-Ruqmiyah, 1420 H./ 2000 M.), Juz 21, h.48
[3]Lihat
Muhammad ibn Isma`il Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami` al-Shahih
al-Mukhtashar (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), Juz 15, h. 465. Lihat Pula
Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Musnad
Ahmad (Mesir:, tth), Jus 15, h. 411.
[6] M. Amin
Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas ? (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h.23-24
[7] Moh.
Shofan, Jalan ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan
Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h.18-19
[13] Lihat Abu
al-hasan Muslim Ibn al-hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami`
al-Shahih (Beirut: Dar al-jabal, tth.), Jus 2, h. 122
[17] Teks
hadits yang dimaksudkan antara lain: قَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ
كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ، أَوِ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ
النَّهَارَ Lihat Shahih al-Bukhari, Jus 5, h.2047.
[1] Peter salim dan yeni salim, Kamus bahasa
indonesia kontemporer, jakarta, modern english press, 1991. H. 764
[2] Zainuddin dkk., seluk beluk pendidikan
dari al-ghazali, Jkarta, Bumi Aksara, 1991
[4]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
الْإِحْسَانُ قَالَ الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Ia
bertanya, ya Rasulallah, apa yang dikatakan dengan ihsan. Rasul menjawab:
Ibadah kepada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, akan tetapi jika tidak bisa
demikian maka percayalah bahwa Tuhan benar-benar menyaksikan anda (HR.Bukhari).