Blog Archive

Monday, October 2, 2017

khiyar



Khiyar
I.                    Matan Hadits Tentang Al-Khiyar
عَنِ ابن عُمَر رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىّ اللهُ عَليْه وَسَلَّمَ أَنَّه قَالَ إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيْعًا أَو يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْع وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْد أَنْ يَتَبَايَعَ اوَلَمْ يَتْرُك وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
رواه البخاري
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Apabila ada dua orang mengadakan akad jual beli, maka masing-masing boleh khiyar selagi belum berpisah, sedangkan mereka berkumpul; atau salah seorang dari mereka mempersilahkan yang lain untuk khiyar, kalau salah seorang sudah mempersilahkan yang lain untuk khiyar kemudian mereka mengadakan akad sesuai dengan khiyar tersebut, maka jual beli jadi; dan apabila mereka berpisah sementara tidak ada seorangpun yang meninggalkan jual beli (tetap memilih(. Khiyar, maka harus jadi.” (HR. Bukhori)[1]
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَاضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْل الله صلى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لمْ يَتفَرَّقَا أَو قَالَ
حَتّى يَتَفَرّقَا فَاِنْ صَدَقَ وَبَيّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا و كَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُبيْعِهِمَا
(رواهالبخاري)

“Dari Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasullullah Shalllalahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Dua orang yang jual beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah’, atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya diberkahi dalam jual-beli itu, namun jika keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual-beli itu akan dihapuskan’. (HR.. Bukhori)[2]
II. Analisa Sanad
a.      Hadits I
Dari Syu‘bah, dari Qatadah, dari Abu al-Khalil, dari ‘Abdullah bin al-Harith, dan Hakim bin Hizam dari Rasullah SAW. Menengenai hadits I, Imam al-Bukhari meriwayatkannya melalui tariq Shu‘bah dari Qatadah, Menurut al-Bayhaqi, Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dari Shu‘bah bin al-Hajjaj menerusi berbagai tariq. (Lihat Abu Bakr Ahmad Bin al-Husayn Bin ‘Ali al-Bayhaqi (1344 H), al-Sunan al-Kubra Wa Fi Dhaylihi al-Jawhar al-Naqi, Kitab al-Buyu‘, Bab al-Mutabayi‘an Bi al-Khiyar Ma Lam Yatafarraqa Illa Bay‘ al-Khiyar, no. hadith 10741). [3]
Adapun perawinya sebagai berikut: Syu’bah bin al Hajjaj, Ia menerima hadits dari Ibnu Sirin, Amr bin Dinar, Qatadah bin Di’amah, asy Sya’by, dan dari sejumlah tabi’in lainnya. [4] Kemudian Qatadah bin Di’amah, hadits-hadits beliau di riwayatkan oleh Sulaiman at Tamimiy, Jarir ibn Hazim, Syu’bah, Abu Hilal, Ar Rasiby, Humam ibn Yahya, Ammr ibn Al Harits Al Misry, Sa’id ibn Al Arubah, Al Laits ibn Sa’ad, Awanah dan lain-lain. Beliau lahir pada tahun 61 H. dan wafat pada tahun 118 H. dalam usia 56 tahun.[5] Kemudian Shalih abu al-Khalil, kemudian ‘Abdullah bin al-Harits Beliau wafat pada tahun 86 H, atau sekitar tahun 85 atau 87 H. dan telah mengambil beberapa hadist langsung dari Nabi saw. Oleh karena beliau lama tinggal di Mesir, maka yang terbanyak mengambil hadist dari beliau ialah para ulama tabi’ien dari Mesir dan terakhir ialah Yazied bin Abi Hubaib. Demikian disebutkan dalam Al-Ishaabah dan Al-Isti’aab, jilid II, halaman 291 dan 281.Ibnu Illaan dalam syarahnya “Dalilul-Falihien”, jilid IV halaman 582 menerangkan bahwa Abdullah bin Al-Harits bin As-Shimmah, menurut Usdul ghaabah adalah anak kakak wanita dari Ubai bin Ka’ab Al-Anshari. Beliau hanya meriwayatkan dua hadist saja dari Nabi saw. Kedua-duanya tersebut dalam Bukhori dan Muslim di mana satu diantaranya disebutkan dalam Riadhus-shalihien.[6] Dan terakhir Hakim bin Hizam, nama lengkapnya adalah Hakim bin Hizam bin Asad bin Abdul Ghazi, ponakan Khadijah istri Rasulullah . Sebelum dan setelah kenabian, beliau ini adalah teman akrab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sewaktu kaum Quraisy memboikot Rasulullah, beliau tidak termasuk, karena menghormati Nabi.[7]
b.      Hadits II
Hadist kedua dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad: dari Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdullah, dari Laits bin Sa'ad bin 'Abdur Rahman , dari Nafi' maula Ibnu 'Umar , dari Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab . [8]
Adapun perawinya sebagai berikut: Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab adalah putra khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab saudarah kandung Sayiyidah Hafshah Ummul Mukminin. Sanad paling shahih yang bersumber dari ibnu Umar adalah yang disebut Silsilah adz- Dzahab (silsilah emas), yaitu Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar. Sedang yang paling Dlaif : Muhammad bin Abdullah bin al-Qasim dari bapaknya, dari kakeknya, dari ibnu Umar. Ia wafat pada tahun 73 H.[9]kemudian Nafi', maula Ibnu 'Umar Nafi Maulana Abdullah bin Umar adalah salah seorang ahli hadits yang berada di Madinah, Nafi’ benar benar ikhlas dalam berkhidmat kepada Ibnu Umar majikannya selama 30 tahun. Nafi’ tidak hanya meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar tetapi juga mempunyai riwayat-riwayat yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri, Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshah secara Mursal. Ia wafat pada tahun 117 H.
Kemudian  Laits bin Sa'ad bin 'Abdur Rahman, Nama sebenarnya adalah Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurahman al-Fahmi yang mendapat julukan Abu al_Harits adalah guru besar di negeri Mesir, ia dilahirkan di Qarqasyand pada tahun 94 H, ia orang kaya dan dermawan. Imam Bukhari dan Mulim banyak meriwayatkan hadist darinya. Para Ulama telah menetapkan bahwa sanad paling shahih di Mesir adalah yang diriwayatkan oleh Al-Laits bin Sa’ad, dari Yazid bin Abi Habib. Dan yang meriwayatkan darinya antara lain: Abdullah bin al-Mubarak dan Abdullah bin Wahab. Ia wafat pada tahun 175 H. [10]Kemudian Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdullah . Qutaibah bin Sa’id,  Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil binTharif bin Abdullah Ats-Tsaqafy. Ibnu Adi mengatakan: nama beliau adalah Yahya,sedangkan Qutaibah adalah gelar. Guru-guru beliau adalah : Malik, Al-Laits, Rasyidin bin Sa’ad. Beliau wafat tahun 240 H.[11]
III. Analisa Matan
a.      Hadits I
الْبَيِّعَانِ بِالخِيَار ِمَا لمْ يَتفَرَّقَا أَو ْقَالَ حَتتّى يَتَفَرّقَا فَاِن ْصَدَقَ وَبَيّنَا بُورِك َلَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ  كَتَمَاوَكَذَبَا
مُحِقَتْبَرَكَةُبَيْعِهِمَا
Ø  Makna mufradat
1.      الْبَيِّعَانِ, artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan kepada keduanya, yang termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing masing dari dua lafazh inni dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
2.      بِالخِيَارِ  merupakan mashdar dari ikhtara, dari al-ikhtiar, berarti meminta yang terbaik dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
3.      وإنكتما : Penjual menyembunyikan kecatatan barang dan pembeli menyembunyikan kecatatan harga, yang dimaksud dengan menyembunyikan yaitu menyamarkan kecatatannya dan menampakan yang tidak ada.
4.      مُحِقَتْبَرَكَةُبَيْعِهِمَا : Barokah dalam harga dan barangnya akan hilang diakibatkan karena sikap dusta dan saling menyembunyikan. Artinya: Allah menghilangkan kebaikannya dan kaidahnya.
Ø  Makna Umum Hadits
Jika kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jual-beli, maka masing masing mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan jual beli. Jika keduannya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal manusia, atau jual-beli disepakati tanpa ketetapan terpilih dari kedua belah pihak, maka akad jual-beli dianggap sah, sehingga salah seorang di antara keduanya tidak boleh membatalkannya secara sepihak, kecuali dengan cara pembatalan perjanjianyang disepakati.
Kemudian Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan sebagian dari sebab sebab keberkahan dan pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab kerugian dan kerusakan. Sebab sebab barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam muamalah, menjelaskan aib, cacat dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang djual. Adapun sebab sebab kerugian dan ketiadaan barakah ialah menyembunyikan cacat, dusta dan memalsukan barang dagangan.[12]
Yang demikian itu merupakan sebab sebab yang hakiki tentang keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan ketenaran bagi dirinya, karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan di akhirat dia mendapatkan pahala dan balasan yang baik. Sementara sifat kedua , merupakan hakikat hilangnya mata pencaharian , karena pelakunya bermuamalah dengan cara yang buruk, sehingga orang lain menghindar darinya  dan mencari orang yang lebih dapat dipercaya, sedangkan di akhirat dia mendapatkan  kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu manusia.
b.      Hadits II
إِذَاتَبَايَعَالرَّجُلاَنِفَكُلُمِنْهُمَابِالْخِيَارِمَالَمْيَتَفَرَّقَاوَكَانَاجَمِيْعًاأَوْيُخَيِّرُأَحَدُهُمَاالآخَرَفَتَبَايَعَاعَلَىذَلِكَفَقَدْوَجَبَالْبَيْعُوَإِنْتَفَرَّقَابَعْدَأَنْيَتَبَايَعَاوَلَمْيَتْرُكْوَاحِدٌمِنْهُمَاالْبَيْعَفَقَدْوَجَبَالْبَيْعُ
Ø  Makna mufradat
1.      بِالْخِيَارِ : Adalah meminta yang terbaik dan dua hal, adakalanya melanjutkan akad atau membatalkannya.
2.      إِذَاتَبَايَعَ: Dengan arti saling melakukan jual beli.
3.      مَالَمْيَتَفَرَّقَا : Sebagian ahli bahasa membedakan di antara keduanya, yaitu keduanya berpisah dengan pembicaraan dan berpisah secara fisik. Yang dimaksud hadits ini adalah berpisah secara fisik.
4.      أَوْيُخَيِّرُأَحَدُهُمَاالآخَرَ : Hak  khiyar dari salah seorang diantara dua belah pihak An-Nawawi berkata, “Artinya hendaklah seseorang berkata: Pilihlah untuk melanjutkan akad jual beli, apabila ia melakukan khiyar, maka jual beli wajib baginya.”[13]
Ø  Makna Umum Hadits
Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, dan keduanya telah menyepakati atas harga barang yang akan dijual belikan. Maka masing-masing dari keduanya  memiliki hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli) selama mereka belum berpisah atau masih bersama di tempat jual beli tersebut. Adapun makna يتفرّق  yakni berpisah badan antara si penjual dan si pembeli, meskipun Ulama’ banyak berpendapat lain tentang memaknai kalimat ini.
 Jika salah seorang diantara penjual ataupun pembeli memberikan hak khiyar mereka, dan mereka melakukan transaksi atas dasar itu maka terjadilah jual beli tersebut. (setelah mereka berpisah badan) Dan jika mereka berpisah (Berpisah Badan), setelah melakukan akad jual beli, dan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengurungkan jual beli, maka jual beli tersebut juga akan tetap terjadi (sah).[14]
Matan serupa juga diriwayatkan oleh Al-Khamzah yang dapat memperkuat kedua matan di atas bahwa hak khiyar dilakukan pada saat penjual dan pembeli belum berpisah badan atau masih berada di tempat akad. Matan tersebut yaitu:
* وعنعمروبنشعيبعنأبيهعنجدهأنالنبيصعلمقال : البائعوالمبتاعبالخيارمالميفترقا،إلاأنتكونصفقةخيار،ولايحللهأنيفارقهخشيةأنيستقيله. رواهالخمسة – إلاابنماجه – والدارقطعيوابنخزيمةوابنالجارود. وفيرواية : حتىيتفرقامنمكانهما.  
Artinya:”Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” (H.R Al-Khamsah kecuali ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud. Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.”)[15]
Penjelasan Kalimat
“Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” Riwayat Al-Khamsah kecuali ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud. Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.” (Dan hadis Abu Dawud dari Ibnu Amr dengan lafadz: “Kedua pelaku jual beli (penjual dan pembeli) mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan,” Mereka mengatakan: sabda beliau: “takut jual beli dibatalkan” menunjukkan sah terjadinya jual beli.[16]
Hadis ini menunjukkan adanya khiyar majlis. Juga karena sabdanya: “mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah”. Adapun ‘An-Yastaqillahu’ (membatalkannya) maksudnya membatalkan jual beli, karena kalau maksud sebenarnya adalah membebaskan niscaya makna berpisah tidak mempunyai arti sehingga perlu diartikan membatalkan. Itulah yang diartikan oleh At-Tirmidzi dan ulama lainnya dengan mengatakan, tidak boleh meninggalkannya setelah jual beli khawatir memilih untuk membatalkannya. Adapun maksud Istiqalah disini berupa pembatalan jual beli orang yang menyesal. Dan mereka mengartikan makna tidak halal dengan suatu kebencian, karena tidak sesuai dengan akhlak baik dan perilaku seorang muslim dalam bersosialisasi bukan karena khawatir memilih yang dibatalkan diharamkan.[17]
IV. penjelasan dan fiqh alhadis
A.      Pengertian al-Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi.[18]
   Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْيَكُوْنَلِلْمُتَعَاقِدِالْخِيَارُبَيْنَإِمْضَاءِالْعَقْدِوَعَدَمِإِمْضَائِهِبِفَسْخِهِرفقالِلْمُتَعَاقِدَيْنِ.
   Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[19]
Hak khiyar ditetapkan syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknnya. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.[20]
Jadi, hak khiyar itu ditetapkan untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Meskipun dari satu segi memang khiyar  ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar menjadi jalan yang terbaik.
B.       Macam-macam al-Khiyar
a.    Khiyar Majlis
Khiyar Majlis merupakanhak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis (tempat) akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.[21]
b.      Khiyar Syarat
   Yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggangan waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu.” [22]
c.       Khiyar Aib
Khiyar aib merupakan suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecatatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad, atau sesuatu yang mengurangi nilai yang dijual.[23]
C.   Fiqih Hadits
1.      Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahan jual-beli atau pembatalannya.
2.      Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akad disepakatai dan sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu mennjadi milik merka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
3.       (Keutamaan dan anjuran bersikap jujur) Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan di akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah. Hal ini dapat dirasakan secara nyata di dunia. Orang orang yang sukses dalam bisnisnya dan yang laku barang dagangannya ialah mereka yang jujur dalam muamalah yang baik.
4.      Jual beli dapat terjadi (sah) selama salah satu dari keduanya (baik pembeli maupun penjual) memberikan hak khiyarnya dan melakukan transaksi atas dasar pemberian hak khiyar tersebut.
5.       Jual beli juga dapat terjadi (sah) meskipun penjual dan pembeli berpisah asalkan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengurungkan jual beli. Khiyar di anggap telah terjadi.
 Para ulama saling berbeda pendapat tentang penetapan hak pilih di tempat.  Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak pilih di tempat.  Dia antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abas, Abu Hurairah, Abu Barzah, thawus, Sa’id bin Al-Musayyab, Atha’, Al-Hasan Al Bashry, Asy-Sya’by, Az-Zuhry, Al-Auza’y, Al-Laits, sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’y, Ahmad bin hambal, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Bukhary dan para muhaqqiq lainnya.  Dalil mereka adalah hadist-hadist shahih dan jelas maknanya.  Menurut Ibnu Abdil-Barr, hadist Abdullah bin Umar merupakan hadist yang paling kuat dari hadist-hadist ahad.
   Sedangkan Abu Hanifah, Malik dan mayoritas rekan mereka berdua tidak menetapkan hak pilih di tempat. Mereka beralasan dengan beberapa hujjah yang bertentangan dengan pengalaman hadist-hadist ini, namun hujjah-hujjah itu lemah, yang kemudian di sanggah jumhur.  Di antara hujjah-hujjah yang lemah itu sebagai berikut:
1.      Hadist ini bertentangan dengan pengalaman penduduk Madinah, dan amal mereka dapat di jadikan hujjah.
2.      Yang dimaksudkan al-mutabayi’any dalam hadist di atas ialah dua orang (penjual dan pembeli) yang saling tawar-menawar.
3.      Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan perkataan antara penjual dan pembeli ketika dilakukan serah terima.[24]
V. PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian hadits-hadits tentang khiyar yang telah dibahas pada bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa di dalam transaksi jual beli yang sah penetapan hak pilih dilakukan di tempat sebelum keduanya berpisah, penjual dan pembeli sama-sama memiliki hak khiyar dan salah satu dari keduanya dapat memberikan hak khiyarnya untuk melakukan transaksi atas dasar pemberian hak khiyar tersebut, serta transaksi jual beli yang jujur (tidak menyembunyikan aib barang bagi penjual dan menyembunyikan harga bagi pembeli) mengandung keberkahan bagi keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana. 2010.
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Syarah Bulughul Maram, Vol. 4.Jakarta:
Pustaka Azzam. 2006.
Ahmad Mujahidin. Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Faishal bin Abdul Aziz al Mubarak. Terjemah Nailul Authar.  Surabaya: Bina
Ilmu. 1993.
Kathur Suhardi. Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim Edisi Indonesia. Jakarta:
Darul Falah. 2002.
Moh. Mursyidi. “Analisis Hadits Al-Khiyar Menurut Perspektif Fiqh Al-Syafi’i
dan Fiqh Al-Bhukari”. Tesis Doktor Falsafah. Universiti Malaya Kuala Lumpur. 2012.
Muhammad bin Islmail Al-Amir Ash-Shan’ani. Subul As-Salam Syarah Bulughul
Maram. Jakarta: Darus Sunnah Press. 2009.
Muhammad bin Ismail al Ami. Subulu Salam Syarhu Bulughul Maram. Al-Azhar:
Darul Bayan al  Arabi. 2006.
Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.
Syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam.  Taudhihul Ahkam. Jakarta :
Pustaka Azzam. 2006.

Sumber lain:
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/05/al-laits-bin-sa%E2%80%99ad-wafat-175-h/, diakses pada tanggal 20 maret 2014.
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/10/syubah-bin-al-hajjaj-wafat-160-h/diakses tanggal 19 maret 2014.
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/01/ibnu-umar-abdullah-bin-umar-wafat-72-h/, diakses pada tanggal 20 maret 2014.
http://faqihregas.blogspot.com/2010/05/blog-post_7015.html, diakses pada tanggal 20 maret 2014.
http://gazahilmi.blogspot.com/2011/03/biografi-para-mufasir-kalanagn-tabiin.html, diakses pada tanggal 19 maret 2014.
http://jalanparasahabat.blogspot.com/2011/03/abdullah-bin-al-harits.html, diakses pada tanggal 19 maret 2014.
http://www.scribd.com/doc/47882970/Contoh-kritik-sanad, diakses pada tanggal 20 maret 2014


[1] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), hlm. 580.
[2] Ibid, hlm. 580.

[3] Moh. Mursyidi, “Analisis Hadits Al-Khiyar Menurut Perspektif Fiqh Al-Syafi’i dan Fiqh Al-Bhukari”, (Tesis Doktor Falsafah, Universiti Malaya Kuala Lumpur, 2012), hlm. 199.

[4] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/10/syubah-bin-al-hajjaj-wafat-160-h/diakses tanggal 19 maret 2014.

[5] http://gazahilmi.blogspot.com/2011/03/biografi-para-mufasir-kalanagn-tabiin.html, diakses pada tanggal 19 maret 2014
[6] http://jalanparasahabat.blogspot.com/2011/03/abdullah-bin-al-harits.html, diakses pada tanggal 19 maret 2014
[7] http://faqihregas.blogspot.com/2010/05/blog-post_7015.html, diakses pada tanggal 20 maret 2014.
[8] Faishal bin Abdul Aziz al Mubarak, Terjemah Nailul Authar, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hlm. 1718.
[9] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/01/ibnu-umar-abdullah-bin-umar-wafat-72-h/, diakses pada tanggal 20 maret 2014
[10] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/05/al-laits-bin-sa%E2%80%99ad-wafat-175-h/, diakses pada tanggal 20 maret 2014
[11] http://www.scribd.com/doc/47882970/Contoh-kritik-sanad, diakses pada tanggal 20 maret 2014.

[12] Ibid, hlm. 582.
[13] ] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, Vol. 4 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 378.

[14] Muhammad bin Ismail al Amir, Subulu Salam Syarhu Bulughul Maram,( Al-Azhar:Darul Bayan al  Arabi, 2006),Hlm. 807
[15] Muhammad bin Islmail Al-Amir Ash-Shan’ani, “Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram” Alih Bahasa oleh Muhammad Isnan, dkk (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009), hlm. 388
[16] Ibid, hlm. 391.
[17] Ibid.
[18] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 129
[19] Ibid.
[20] Abdul Rahman, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 98.
[21] Haroen, Fiqh, hlm. 130.
[22] Ibid. 132
[23] Abd. Rahman, Fiqh, hlm. 100
[24] Syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam,  Taudhihul Ahkam (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006) hlm. 584.