Blog Archive

Thursday, November 10, 2016

IAT3 Adab Thalabul Hadist Syauqi Kafabih (933804115)



Adab Thalabul Hadist
Makalah ini Disusun Guna untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadist 3
Dosen Pengampu: Qaidatul Marhumah.M.Th.I




Disusun oleh  :

                                   Syauqi Kafabih        (933804115)


Program Studi Ilmu Al-qur’an dan Tafsir
Jurusan Ushuludin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
2016
           
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Adalah kewajiban  bagi orang islam mempelajari syariat islam, yang sumber ajarannya berasal dari Alquran dan Hadits Nabi. Maka mempelajari dan menyampaikan ajaran dari sumber tersebut termasuk kewajiban.
Setelah zaman Rasulullah SAW, bagi  seorang ahli Hadits dibutuhkan himmah untuk meneliti hadits-hadits Rasulullah, sungguh-sungguh untuk mencarinya dan mendengarnya, dan semangat untuk mengumpulkannya. Akan tetapi pada zaman sekarang banyak sekali orang-orang yang mengaku Ahli Hadits tapi mereka sangat jauh dari akhlak pencari Hadits, diantara mereka ada yang hanya karena menelaah beberapa Hadits lantas mengaku  bahwa dia adalah ahli hadist secara mutlak, dan mereka dengan ilmu mereka yang sedikit mereka berlaku sombong, tidak menghormati para guru, mencela para rawi dan menghina orang yang menuntut ilmu.[1]
Seharusnya seorang yang mencari hadits adalah orang yang memiliki adab yang sempurna, tawadlu’, bersikap ramah dan tidak mudah marah, dan selalu mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabat yang berakhlaq baik. Begitu juga dengan seorang yang mengajarka hadits sendiri, mereka juga harus adil, tidak memilih-milih yang sesuai dengan nafsunya, dan hatinya terbebas dari sifat-sifat yang bersifat keduniawian seperti mencari untung dan popularitas.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Adab Thalabul Hadits
Yang dimaksud dengan adab pencari hadits adalah beberapa sifat yang seharusnya ada pada diri seorang pencari hadits, berupa adab-adab yang tinggi dan akhlaq mulia yang sesuai dengan kemuliaan ilmu yang akan ia tuntut, yaitu hadits Rasululullah SAW. Dari adab-adab ini, ada yang merupakan adab yang berhubungan dengan muhaddits, dan ada pula adab yang khusus bagi pencari hadits itu sendiri.
1.      Adab-adab pencari Hadits (Thalabul Hadits) yang sama dengan muhaddits sendiri antara lain:

تصحيح النية والاخلاص لله تعالي في طلبه

Meluruskan Niat dan berusaha Ikhlas karena Allah SWT dalam mencari Hadits.”[2]
Seorang yang belajar hadits harus mengikhlaskan niatnya dan bertujuan untuk mencai ridha Allah, dan tidak menjadikan ilmu ini sebagai cara untuk mendapatkan kedudukan dan pangkat, dan juga kemuliaan.
الدنيادنتااغراضالى به لتوصلمن الحذر
Senantiasa berhati-hati dari tujuan yang membawa pada keinginan duniawi.[3]
Seorang yang belajar atau mencari Hadits hendaklah hatinya terbebas dari sifat-sifat yang bersifat keduniawiaan, seperti kemuliaan dan popularitas yang berakibat adanya kesombongan dalam diri.
2.      Adapun adab-adab yang khusus atau hanya ada pada diri Thalibul Hadits adalah:

 يسأل الله تعالى التوفيق والتسديد والتيسيروالإعانة على ضبطه الحديث وفهمه

Hendaknya ia meminta kepada Allah ta’ala taufiq, kebenaran, kemudahan, dan pertolongan untuk menghafal dan memahami hadits.[4]

 أن ينصرف إليه بكليته ، ويفرغ جهد ، في تحصيله
Memperhatikan Hadits secara keseluruhan dan bersungguh-sungguh dalam meraihnya.[5]

 يبدأ بالسماع من أرجح شيوخ بلده إسناداً وعلماً وديِنا
Hendaknyadimulai dengan mendengar dari guru-guru yang paling utama di negerinya, dalam hal sanad, ilmu, dan pengetahuan agama secara umum.

  أن يعظم شيخه، ومَنْ يسمع منه ويوقِّره، فذلك من إجلال العلم وأسباب الانتفاع
Hendaknya ia mengagungkan dan menghormati gurunya serta orang-orang yang mendengarkan hadits/ilmu darinya. Hal itu merupakan kemuliaan ilmu, dan sebab-sebab tercapainya manfaa.

 أن يرشد زملاءه وإخوانه في الطلب إلى ما ظفر به من فوائد ، ولا يكتمها عنهم ، فان كتمان الفوائد العلمية على الطلبة لُؤْم يقع فيه جهلة الطلبة الوُضَعاء ، لأن الغاية من طلب العلم نشره
Hendaknya ia memberikan petunjuk/arahan kepada shahabat-shahabat dan saudara-saudaranya dalam rangka memperoleh beberapa faedah, tanpa menyembunyikan apa yang diketahui kepada mereka sedikitpun. Menyembunyikan faedah-faedah ilmiyyah dalam mencari hadits termasuk kehinaan yang bisa menjatuhkannya ke dalam kebodohan, sebab tujuan mencari ilmu adalah untuk menyebarkannya.

ألا يمنعه الحياء و الكِبْر من السعى في السماع والتحصيل وأخذ العلم ممن دونه في النسب او السن او غبره
Janganlah rasa malu dan sombong menghalangi dirinya untuk senantiasa mendengar, memperoleh, dan mengambil ilmu meskipun dari orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya darinya.

 عدم الاقتصار على سماع الحديث وكتابته دون معرفته وفهمه ، فيكون قد أتعب نفسه دون أن يظفر بطائل
Tidak cepat merasa puas dalam mendengar hadits dan menulis hadits tanpa disertai pengetahuan dan pemahaman yang baik atas hadits itu sendiri. Sudah semestinya ia meletihkan dirinya tanpa kenal waktu

 أن يقدم في السماع والضبط والتفهم الصحيحين ثم سنن أبي داود والترمذي والنسائي ثم السنن الكبرى للبيهقي ثم ما تمس الحاجة إليه من المسانيد والجوامع كمسند أحمد وموطأ مالك، ومن كتب العلل، علل الدارقطني، ومن الأسماء التاريخ الكبير للبخاري والجرح والتعديل لابن أبي حاتم، ومن ضبط الأسماء كتاب ابن ماكولا ومن غريب الحديث النهاية لابن الأثير.
Dalam hal mendengar, menghapal, dan memahami, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abi Daawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasaa’iy, dan As-Sunan Al-Kubraa karangan Al-Baihaqiy. Kemudian setelah itu mulai menjamah kitab-kitab Masaanid dan Jawaami’, seperti Musnad Ahmad dan Muwaththa’ Malik. Juga beberapa kitab ‘ilal seperti ‘Ilal Ad-Daaruquthniy; kitab-kitab nama para perawi seperti At-Taarikh Al-Kabiir karya Al-Bukhaariy, Al-Jarh wat-Ta’diil karya Ibnu Abi Haatim, ditambah dengan Kitaab Ibni Makuulaa. Adapun kitab ghariibul hadiits, maka ia adalah An-Nihaayah karya Ibnul-Atsiir.[6]

B.     Adab Muhaddist
Muhaddits adalah prang yang mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rawy, memahami kutubu as-sittah, mempunyai kemampuan tentang ilmu hadits riwayah dan dirayah, bisa membedakan hadits shahih dan yang tidak, mengetahui ilmu musthalah hadits, mengetahui hadits yang diperselisihkan periwayatannya, dan menghafal Hadits sekurang-kurangnya 1000 buah.[7]
Adapun adab yang ada pada seorang Muhaddits adalah:
1.    Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitasi.
2.    Tidak menghalangi seorang pemuda yang mau mendengarkan Hadits.
3.    Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya
4.    Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits.
5.     Sebelum berangkat ke majelis, Muhaddits hendaknya membersihkan diri terlebih dahulu dan memakai wewangian sebagai ungkapan penghormatan terhadap Rasulullah SAW, agar tidak menimbulkan bau tidak sedap pada saat menghadiri majlisnya.
6.     Bersiwak dahulu sebelum menyampaikan Hadits kepada majlisnya, memotong kukunya, kemudian merapikan kumisnya dan mengatur tatanan rambutnya agar tampak sopan, dan lebih mengutamakan pakaian yang serba putih, dan memakai sorban.[8]
7.     Ketika keluar rumah menuju majelisnya, Muhaddits berdoa untuk mendapatkan kebaikan.
8.     Seorang Muhaddits tidak akan memungut biaya ketika menyampaikan Hadits, karena seorang Muhaddits sejati sudah membersihkan hatinya dari hal-hal yang bersifat keduaniawian.

 Semua itu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW,banyak Hadits yang membahas tentang itu. Seperti halnya Sahabat Qotadah sangat menyukai untuk tidak membaca Hadits-Hadits Nabi SAW kecuali sesudah berwudlu dan tidak mengajarkan Hadits kecuali dalam keadaan suci.
Dan juga Imam Malik, apabila ada orang yang datang ke tempat beliau, mala keluarlah seorang pembantu perempuan untuk menyampaikan pesan beliau dengan mengatakan, “Syekh bertanya kepada kalian, apakah kalian menginginkan Hadits atau masalah-masalah fiqih? Jika mereka menginginkan masalah-masalah fiqih, maka Imam Malik langsung menemui mereka, tetapi jika mereka menginginkan sebuah Hadits, maka pembantu tersebut segera memberitahu Imam Malik,lalu beliau pergi ke kamar mandi untuk mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian rapi, mengenakan jubahnya, dan memakai sorban, kemudian keluar menemui mereka, mengambil tempat duduk di antara mereka dengan penuh kekhusuan, terus belia bersikap tenang sampai selesai menyampaikan Hadits Rasulullah SAW.[9]
Seorang Muhaddits biasanya ketika berada di majlisnya duduk di sebuah tiang, maksudnya adalah agar tempatnya diketahui oleh semua orang, sehingga mereka mudah menjumpainya apabila membutuhkan sesuatu darinya. Dan ketika majlisnya di hadiri oleh banyak orang, Muhaddits sendiri duduk di tempat yang lebih tinggi, agar dapat dilihat oleh semua orang yang hadir.
Di antara etika duduk seorang Muhaddits adalah menghadapke arah kiblat, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau berkata: “Segala sesuatu mempunyai keutamaan, dan keutamaan majlis-majlis adalah menghadap kiblat.”[10]
Penghormatan para Muhaddits terhadap Hadits Rasulullah SAW sangat menakjubkan. Terkadang, mereka telihat bersenda gurau dan tertawa, tetapi jika disebutkan atau dibacakan suatu Hadits, maka mereka serentak mendengarkan. Seperti diriwayatkan dari Imam Malik: “ Telah datang seorang lelaki kepada Ibny al-Musayyab untuk bertanya tentang suatu Hadit. Ketika itu, ia sedang berbaring, kemudian ia duduk, membenarkan letak bajunya dan menyampaikan Hadits. Lelaki tersebut berkata “Sebaiknya engkau tidak usah bersusah payah “. Ibnu al-Musayyab berkata “ Sesungguhnya saya tidak suka menyampaikan Hadits Rasulullah kepadamu dalam keaadaan berbaring.”[11]
Secara umum, para Muhaddits terkadang membatasi periwayatan Hadits, khususnya pada abad-abad pertama Hijriyyah. Al-Amasy, jika telah meriwayatkan tiga buah Hadits, mengatakan,” telah datang air bah kepada kalian (sudah cukup berat bagi kalian Hadis yang kusampaikan). Qalabah juga mengatakan, “Sudah cukup banyal (yang kusampaikan,” setelah meriwayatkan tiga buah Hadits.
Alasan kenapa para Muhaddits sedikit meriwayatkan Hadits, Az-Zuhri mengatakan “ Barangsiapa menuntut ilmu banyak, akan banyak pula yang dilupakannya. Sebenarnya, ilmu itu akan dikuasai hanya dengan satu atau dua Hadits saja.”[12]
Disamping dibatasinya pemberian Hadits dalam satu kali pengajaran, tekadang pula Muhaddits mengulangi satu Hadits sampai tiga kali. Ini pun mengikuti Rasulullah SAW, dari seorang lelaki pembantu Nabi berkata: “ Sesungguhnya Nabi SAW, jika menyampaikan suatu Hadits, beliau mengulanginya sampai tiga kali”. Dengan demikian dapat dipahami maksud ucapannya itu. Dan setelah Muhaddits meriwayatkan dan membahas Hadits, dia berhenti sejenak menunggu, barangkali ada yang belum memahami keterangannya sehingga ia melontarkan pertanyaan.
Bagi seorang Muhaddits atau bahkan orang alim yang bukan Muhaddits, apabila di tanyakan sesuatu kepadanya, jika tahu jawaban suatu pertanyaan, maka ia harus menjawabnya. Jika tidak mau menjawab, maka berarti telah menantang ancaman Rasulullah SAW sebagaimana Hadits Nabi:
ان من كتم علما مما ينفع الناس الجمه الله يوم القيامة بلجام من نار
“Sesungguhnya orang yang yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat bagi manusia, maka pada Hari Kiamat nanti ia akan diikat Allah dengan kekangan (ikatan) dari api neraka.”
Tetapi, jika ia tidak mengetahui jawabannya, maka seharusnya ia mengatakan, “Saya tidak tahu tanpa ragu-ragu. As-Syabi mengatakan, “Saya tidak tahu, adalah setengah dari ilmu.[13]
Setelah selesai sebagai rangkaian penutup pelajaran , Muhaddits berdoa. Dan setelah selesai berdoa, Muhaddits berpesan tentang waktu pertemuan berikutnya. Misalnya pada pagi hari, atau setelah ashar, atau antara maghrib dan isya, dan menjelaskan pula tentang apa yang nanti akan disampaikannya.

C.    Majlis Periwayatan Hadist
Sejak zaman Rasulullah SAW, Rasul sudah menganjurkan para sahabatnya agar senantiasa mencari Majelis Ta’lim. Karena Majlis-Majlis itu termasuk sarana penyebaran kesadaran beragama yang benar. Dalam anjurannya, beliau menyebutkan pula beberapa keutamaannya, di antaranya adalah, bahwa Malaikat akan menyebut-nyebut mereka di antara hamba-hambaNya, serta menjadikan kedudukan penuntut ilmu seperti kedudukan seorang mujahid fi sabilillah. Setiap usaha yang dilakukan untuk menggapai ilmu agama, akan dibukakan bagi penuntutnya jalan menuju ke surga.

Adapun macam Majlis Ta’lim periwayatan Hadits menurut para Muhaddits ada dua, yaitu:
1.      Majlis Tahdits, yaitu majlis yang di dalamnya disampaikan dan diterangkan Hadits  Hadits Rasulullah oleh seorang Muhaddits secara langsung lewat ucapan kepada yang hadir, dan para Thalibul Hadits atau yang mengaji Hadits kepada Muhaddits rata-rata langsung menghafalkan Hadits tersebut dan mengingat-ingat apa yang diterangkan dan dijelaskan Muhaddits.
2.      Majlis Imla’, yaitu penyampaian Hadits untuk langsung ditulis. Majelis ini dianggap sebagai yang paling baik dalam periwayatan hadits. Sebab dengan cara ini, lebih terjamin ketepatan huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya dalam penulisan. Metode ini sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah, yaitu beliau membacakan Hadits-Haditsnya kepada para penulisnya. Dalam hal inim Abdullah bin Amr bin al Ash telah menuliskannya dengan tulisan yang benar.
Dalam mendiktekannya, Muhaddits tidak membutuhkan orang yang membantunya dalam pengajaran, kecuali jika jumlah yang hadir cukup banyak, sehingga suaranya tidak lagi terdengar oleh orang yang berada dibarisan peling belakang. Dalam kondisi semacam ini, Muhaddits akan membutuhkan seorang yang membantu penyampaian pengajarannya, yang biasa disebut  mustamli.[14]

Sedangkan tata cara diriwayatkannya Hadits dalam Majlis Hadits sendiri dan yang mesti dilakukan, diantaranya adalah:[15]
1.        Ketika ada seorang muhaddits atau rowi yang meriwayatkan hadis dari catatannya tapi dia tidak hafal. Dalam kasus ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya:
a.       Kelompok yang bersikap keras. Mereka mengatakan: “Tidak bisa dijadikan hujjah kecuali rowi yang meriwayatkan dari hafalannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Malik, Abu Hanifah, dan Abu Bakar as-Shaidalani as-Syafi’i.
b.        Kelompok yang bersikap longgar. Diantaranya adalah Ibnu Lahi’ah.
c.       Kelompok yang bersikap pertengahan, dan ini merupakan jumhur. Mereka berkata: “ Jika si rowi dalam menerima hadis mencocokkannya dengan berbagai persyaratan maka boleh baginya meriwayatkannya dari catatannya, meskipun catatannya tidak ada atau hilang.Yang penting, prinsipnya adalah selamat dari adanya perubahan dan penggantian.
2.      Ketika ada seorang rowi yang buta yang tidak hafal apa yang didengarnya, tetapi dibantu oleh rowi yang tsiqoh dalam penulisan hadis yang didengarnya, memelihara dan menjaga catatannya, berhati-hati tatkala membacanya, dan umumnya selamat dari adanya perubahan, maka menurut jumhur ulama riwayatnya sah, sama seperti riwayat rowi yang bisa melihat tapi buta huruf dan tidak hafal.
3.      Ketika ada periwayatan hadis dengan makna, para ulama berbeda pendapat. Diantarannya:
a.       Ahli hadis, ahli fikih dan ushul fiqih, seperti Ibnu Sirin dan Abu Bakar ar-Razi melarangnya.
b.      Jumhur ulama salaf maupun kontemporer dari kalangan ahli hadis, ahli fikih dan ushul, seperti imam empat memperbolehkannya dengan dua syarat, yaitu rowi harus mengetahui lafad-lafad dan maksud-maksud hadis. Dan rowi harus berhati-hati terhadap penyimpngan makna.
Kebolehan diatas hanya untuk hadis-hadis yang tidak terdapat dan dibaca dari kitab mushannaf.
4.      Ketika ada kesalahan dalam i’rob tatkala membaca hadis. Penyebab utamanya adalah tidak pernah mempelajari ilmu nahwu dan bahasa arab dan mengambil hadis dari berbagai kitab dan catatan tanpa bertemu dangan gurunya. Dalam hal ini seorang rowi tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis karena ditakutkan memunculkan banyak kekeliruan.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

































DAFTAR PUSTAKA

Muh. Zuhri, Hadits Nabi Sejarah dan Metodologinya (PT Tiara Wacana, Yogya:1997)
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (PT Alma’arif, Bandung: 1974)
Al Makki Aqlayanah, An Nuzhumut Ta’limiyyah ‘Indal Muhadditsin terjemahMetode Pengajaran Hadits, penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin (Granada Nadia, Jakarta: 1994)
Abu fuad, Terjemah Taisir Mustholah al-Hadis (Pustaka Thariqul Izzah Bogor:2004)





[1] Muh. Zuhri, Hadits Nabi Sejarah dan Metodologinya(PT Tiara Wacana, Yogya:1997)hal.106
[2] As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.416
[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.417
[6] As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.424
[7] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (PT Alma’arif, Bandung: 1974) hal.39
[8] Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta: 1994) hal 73
[9] Al-Qodhi Iyadl, Asy-Syifa, Juz II hal.99. Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta: 1994) hal 75
[10] Ibnu Abdil Barr, Bahjatul Majalis, Juz I hal 41
[11] Al-Qodli Iyadl, Asy-Syifa, Juz II/99
[12] Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta: 1994) hal 87
[13] Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta: 1994) hal 178
[14] Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta: 1994) hal. 94
[15] Abu fuad, Terjemah Taisir Mustholah al-Hadis(Pustaka Thariqul Izzah Bogor:2004). Hal. 219-222.

No comments:

Post a Comment