Adab
Thalabul Hadist
Makalah
ini Disusun Guna untuk Memenuhi Tugas
Dosen
Pengampu: Qaidatul
Marhumah.M.Th.I
Disusun
oleh :
Syauqi Kafabih (933804115)
Program Studi Ilmu Al-qur’an dan Tafsir
Jurusan Ushuludin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adalah
kewajiban bagi orang islam mempelajari
syariat islam, yang sumber ajarannya berasal dari Alquran dan Hadits Nabi. Maka
mempelajari dan menyampaikan ajaran dari sumber tersebut termasuk kewajiban.
Setelah
zaman Rasulullah SAW, bagi seorang ahli Hadits dibutuhkan himmah untuk
meneliti hadits-hadits Rasulullah, sungguh-sungguh untuk mencarinya dan
mendengarnya, dan semangat untuk mengumpulkannya. Akan tetapi pada zaman
sekarang banyak sekali orang-orang yang mengaku Ahli Hadits tapi mereka sangat
jauh dari akhlak pencari Hadits, diantara mereka ada yang hanya karena menelaah
beberapa Hadits lantas mengaku bahwa dia
adalah ahli hadist secara mutlak, dan mereka dengan ilmu mereka yang sedikit
mereka berlaku sombong, tidak menghormati para guru, mencela para rawi dan menghina
orang yang menuntut ilmu.[1]
Seharusnya
seorang yang mencari hadits adalah orang yang memiliki adab yang sempurna,
tawadlu’, bersikap ramah dan tidak mudah marah, dan selalu mengikuti Rasulullah
SAW dan para sahabat yang berakhlaq baik. Begitu juga dengan seorang yang
mengajarka hadits sendiri, mereka juga harus adil, tidak memilih-milih yang
sesuai dengan nafsunya, dan hatinya terbebas dari sifat-sifat yang bersifat
keduniawian seperti mencari untung dan popularitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Adab Thalabul Hadits
Yang
dimaksud dengan adab pencari hadits adalah beberapa sifat yang seharusnya ada
pada diri seorang pencari hadits, berupa adab-adab yang tinggi dan akhlaq mulia
yang sesuai dengan kemuliaan ilmu yang akan ia tuntut, yaitu hadits
Rasululullah SAW. Dari adab-adab ini, ada yang merupakan adab yang berhubungan
dengan muhaddits, dan ada pula adab yang khusus bagi pencari hadits itu
sendiri.
1. Adab-adab
pencari Hadits (Thalabul Hadits) yang sama dengan muhaddits sendiri
antara lain:
تصحيح النية والاخلاص لله تعالي في
طلبه
Meluruskan
Niat dan berusaha Ikhlas karena Allah SWT dalam mencari Hadits.”[2]
Seorang yang
belajar hadits harus mengikhlaskan niatnya dan bertujuan untuk mencai ridha
Allah, dan tidak menjadikan ilmu ini sebagai cara untuk mendapatkan kedudukan
dan pangkat, dan juga kemuliaan.
الدنيادنتااغراضالى به لتوصلمن الحذر
Seorang yang
belajar atau mencari Hadits hendaklah hatinya terbebas dari sifat-sifat yang
bersifat keduniawiaan, seperti kemuliaan dan popularitas yang berakibat adanya
kesombongan dalam diri.
2. Adapun
adab-adab yang khusus atau hanya ada pada diri Thalibul Hadits adalah:
يسأل الله تعالى التوفيق
والتسديد والتيسيروالإعانة على ضبطه الحديث وفهمه
Hendaknya ia
meminta kepada Allah ta’ala taufiq, kebenaran, kemudahan, dan
pertolongan untuk menghafal dan memahami hadits.[4]
أن ينصرف إليه بكليته ، ويفرغ
جهد ، في تحصيله
Memperhatikan
Hadits secara keseluruhan dan bersungguh-sungguh dalam meraihnya.[5]
يبدأ بالسماع
من أرجح شيوخ بلده إسناداً وعلماً وديِنا
Hendaknyadimulai
dengan mendengar dari guru-guru yang paling utama di negerinya, dalam hal
sanad, ilmu, dan pengetahuan agama secara umum.
أن يعظم شيخه، ومَنْ يسمع منه ويوقِّره، فذلك من إجلال العلم وأسباب
الانتفاع
Hendaknya ia mengagungkan dan menghormati gurunya
serta orang-orang yang mendengarkan hadits/ilmu darinya. Hal itu merupakan
kemuliaan ilmu, dan sebab-sebab tercapainya manfaa.
أن يرشد زملاءه وإخوانه في
الطلب إلى ما ظفر به من فوائد ، ولا يكتمها عنهم ، فان كتمان الفوائد العلمية على
الطلبة لُؤْم يقع فيه جهلة الطلبة الوُضَعاء ، لأن الغاية من طلب العلم نشره
Hendaknya ia memberikan petunjuk/arahan kepada
shahabat-shahabat dan saudara-saudaranya dalam rangka memperoleh beberapa
faedah, tanpa menyembunyikan apa yang diketahui kepada mereka sedikitpun.
Menyembunyikan faedah-faedah ilmiyyah dalam mencari hadits termasuk kehinaan
yang bisa menjatuhkannya ke dalam kebodohan, sebab tujuan mencari ilmu adalah
untuk menyebarkannya.
ألا يمنعه الحياء و الكِبْر من السعى في السماع
والتحصيل وأخذ العلم ممن دونه في النسب او السن او غبره
Janganlah rasa malu dan sombong menghalangi dirinya
untuk senantiasa mendengar, memperoleh, dan mengambil ilmu meskipun dari orang
yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya darinya.
عدم الاقتصار على سماع الحديث
وكتابته دون معرفته وفهمه ، فيكون قد أتعب نفسه دون أن يظفر بطائل
Tidak cepat merasa puas dalam mendengar hadits dan menulis
hadits tanpa disertai pengetahuan dan pemahaman yang baik atas hadits itu
sendiri. Sudah semestinya ia meletihkan dirinya tanpa kenal waktu
أن يقدم في
السماع والضبط والتفهم الصحيحين ثم سنن أبي داود والترمذي والنسائي ثم السنن
الكبرى للبيهقي ثم ما تمس الحاجة إليه من المسانيد والجوامع كمسند أحمد وموطأ
مالك، ومن كتب العلل، علل الدارقطني، ومن الأسماء التاريخ الكبير للبخاري والجرح
والتعديل لابن أبي حاتم، ومن ضبط الأسماء كتاب ابن ماكولا ومن غريب الحديث النهاية
لابن الأثير.
Dalam hal mendengar, menghapal, dan memahami,
hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abi Daawud,
Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasaa’iy, dan As-Sunan Al-Kubraa karangan
Al-Baihaqiy. Kemudian setelah itu mulai menjamah kitab-kitab Masaanid dan
Jawaami’, seperti Musnad Ahmad dan Muwaththa’ Malik. Juga
beberapa kitab ‘ilal seperti ‘Ilal Ad-Daaruquthniy; kitab-kitab
nama para perawi seperti At-Taarikh Al-Kabiir karya Al-Bukhaariy, Al-Jarh
wat-Ta’diil karya Ibnu Abi Haatim, ditambah dengan Kitaab Ibni Makuulaa.
Adapun kitab ghariibul hadiits, maka ia adalah An-Nihaayah karya
Ibnul-Atsiir.[6]
B. Adab Muhaddist
Muhaddits adalah prang yang mengetahui sanad-sanad,
illat-illat, nama-nama rawy, memahami kutubu as-sittah, mempunyai kemampuan
tentang ilmu hadits riwayah dan dirayah, bisa membedakan hadits shahih dan yang
tidak, mengetahui ilmu musthalah hadits, mengetahui hadits yang diperselisihkan
periwayatannya, dan menghafal Hadits sekurang-kurangnya 1000 buah.[7]
Adapun adab
yang ada pada seorang Muhaddits adalah:
1.
Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu
dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan
dan popularitasi.
2.
Tidak menghalangi seorang pemuda
yang mau mendengarkan Hadits.
3.
Tidak berbicara hadits di depan
orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya
4.
Hendaknya
seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan
untuk mengajarkan hadits.
5.
Sebelum
berangkat ke majelis, Muhaddits hendaknya membersihkan diri terlebih dahulu dan
memakai wewangian sebagai ungkapan penghormatan terhadap Rasulullah SAW, agar
tidak menimbulkan bau tidak sedap pada saat menghadiri majlisnya.
6.
Bersiwak
dahulu sebelum menyampaikan Hadits kepada majlisnya, memotong kukunya, kemudian
merapikan kumisnya dan mengatur tatanan rambutnya agar tampak sopan, dan lebih
mengutamakan pakaian yang serba putih, dan memakai sorban.[8]
7.
Ketika
keluar rumah menuju majelisnya, Muhaddits berdoa untuk mendapatkan kebaikan.
8.
Seorang
Muhaddits tidak akan memungut biaya ketika menyampaikan Hadits, karena seorang
Muhaddits sejati sudah membersihkan hatinya dari hal-hal yang bersifat
keduaniawian.
Semua itu sesuai dengan petunjuk Rasulullah
SAW,banyak Hadits yang membahas tentang itu. Seperti halnya Sahabat Qotadah
sangat menyukai untuk tidak membaca Hadits-Hadits Nabi SAW kecuali sesudah
berwudlu dan tidak mengajarkan Hadits kecuali dalam keadaan suci.
Dan juga Imam Malik, apabila ada orang yang datang ke
tempat beliau, mala keluarlah seorang pembantu perempuan untuk menyampaikan
pesan beliau dengan mengatakan, “Syekh bertanya kepada kalian, apakah kalian
menginginkan Hadits atau masalah-masalah fiqih? Jika mereka menginginkan
masalah-masalah fiqih, maka Imam Malik langsung menemui mereka, tetapi jika
mereka menginginkan sebuah Hadits, maka pembantu tersebut segera memberitahu
Imam Malik,lalu beliau pergi ke kamar mandi untuk mandi, memakai wangi-wangian,
mengenakan pakaian rapi, mengenakan jubahnya, dan memakai sorban, kemudian
keluar menemui mereka, mengambil tempat duduk di antara mereka dengan penuh
kekhusuan, terus belia bersikap tenang sampai selesai menyampaikan Hadits
Rasulullah SAW.[9]
Seorang Muhaddits biasanya ketika berada di majlisnya
duduk di sebuah tiang, maksudnya adalah agar tempatnya diketahui oleh semua
orang, sehingga mereka mudah menjumpainya apabila membutuhkan sesuatu darinya.
Dan ketika majlisnya di hadiri oleh banyak orang, Muhaddits sendiri duduk di
tempat yang lebih tinggi, agar dapat dilihat oleh semua orang yang hadir.
Di antara etika duduk seorang Muhaddits adalah
menghadapke arah kiblat, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau berkata:
“Segala sesuatu mempunyai keutamaan, dan keutamaan majlis-majlis adalah
menghadap kiblat.”[10]
Penghormatan para Muhaddits terhadap Hadits Rasulullah
SAW sangat menakjubkan. Terkadang, mereka telihat bersenda gurau dan tertawa,
tetapi jika disebutkan atau dibacakan suatu Hadits, maka mereka serentak
mendengarkan. Seperti diriwayatkan dari Imam Malik: “ Telah datang seorang
lelaki kepada Ibny al-Musayyab untuk bertanya tentang suatu Hadit. Ketika itu,
ia sedang berbaring, kemudian ia duduk, membenarkan letak bajunya dan
menyampaikan Hadits. Lelaki tersebut berkata “Sebaiknya engkau tidak usah
bersusah payah “. Ibnu al-Musayyab berkata “ Sesungguhnya saya tidak suka
menyampaikan Hadits Rasulullah kepadamu dalam keaadaan berbaring.”[11]
Secara umum, para Muhaddits terkadang membatasi
periwayatan Hadits, khususnya pada abad-abad pertama Hijriyyah. Al-Amasy, jika
telah meriwayatkan tiga buah Hadits, mengatakan,” telah datang air bah kepada
kalian (sudah cukup berat bagi kalian Hadis yang kusampaikan). Qalabah juga
mengatakan, “Sudah cukup banyal (yang kusampaikan,” setelah meriwayatkan tiga
buah Hadits.
Alasan kenapa para Muhaddits sedikit meriwayatkan
Hadits, Az-Zuhri mengatakan “ Barangsiapa menuntut ilmu banyak, akan banyak
pula yang dilupakannya. Sebenarnya, ilmu itu akan dikuasai hanya dengan satu
atau dua Hadits saja.”[12]
Disamping dibatasinya pemberian Hadits dalam satu kali
pengajaran, tekadang pula Muhaddits mengulangi satu Hadits sampai tiga kali.
Ini pun mengikuti Rasulullah SAW, dari seorang lelaki pembantu Nabi berkata: “
Sesungguhnya Nabi SAW, jika menyampaikan suatu Hadits, beliau mengulanginya
sampai tiga kali”. Dengan demikian dapat dipahami maksud ucapannya itu. Dan
setelah Muhaddits meriwayatkan dan membahas Hadits, dia berhenti sejenak
menunggu, barangkali ada yang belum memahami keterangannya sehingga ia
melontarkan pertanyaan.
Bagi seorang Muhaddits atau bahkan orang alim yang
bukan Muhaddits, apabila di tanyakan sesuatu kepadanya, jika tahu jawaban suatu
pertanyaan, maka ia harus menjawabnya. Jika tidak mau menjawab, maka berarti
telah menantang ancaman Rasulullah SAW sebagaimana Hadits Nabi:
ان من كتم علما مما ينفع الناس الجمه الله يوم القيامة بلجام من نار
“Sesungguhnya orang yang yang menyembunyikan ilmu yang
bermanfaat bagi manusia, maka pada Hari Kiamat nanti ia akan diikat Allah
dengan kekangan (ikatan) dari api neraka.”
Tetapi, jika ia tidak mengetahui jawabannya, maka
seharusnya ia mengatakan, “Saya tidak tahu tanpa ragu-ragu. As-Syabi
mengatakan, “Saya tidak tahu, adalah setengah dari ilmu.[13]
Setelah selesai sebagai rangkaian penutup pelajaran ,
Muhaddits berdoa. Dan setelah selesai berdoa, Muhaddits berpesan tentang waktu
pertemuan berikutnya. Misalnya pada pagi hari, atau setelah ashar, atau antara
maghrib dan isya, dan menjelaskan pula tentang apa yang nanti akan
disampaikannya.
C. Majlis Periwayatan Hadist
Sejak zaman Rasulullah SAW, Rasul sudah menganjurkan
para sahabatnya agar senantiasa mencari Majelis Ta’lim. Karena Majlis-Majlis
itu termasuk sarana penyebaran kesadaran beragama yang benar. Dalam anjurannya,
beliau menyebutkan pula beberapa keutamaannya, di antaranya adalah, bahwa
Malaikat akan menyebut-nyebut mereka di antara hamba-hambaNya, serta menjadikan
kedudukan penuntut ilmu seperti kedudukan seorang mujahid fi sabilillah. Setiap
usaha yang dilakukan untuk menggapai ilmu agama, akan dibukakan bagi
penuntutnya jalan menuju ke surga.
Adapun macam Majlis Ta’lim periwayatan Hadits menurut
para Muhaddits ada dua, yaitu:
1.
Majlis Tahdits, yaitu majlis yang di
dalamnya disampaikan dan diterangkan Hadits Hadits Rasulullah oleh
seorang Muhaddits secara langsung lewat ucapan kepada yang hadir, dan para
Thalibul Hadits atau yang mengaji Hadits kepada Muhaddits rata-rata langsung
menghafalkan Hadits tersebut dan mengingat-ingat apa yang diterangkan dan
dijelaskan Muhaddits.
2.
Majlis Imla’, yaitu penyampaian
Hadits untuk langsung ditulis. Majelis ini dianggap sebagai yang paling baik
dalam periwayatan hadits. Sebab dengan cara ini, lebih terjamin ketepatan
huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya dalam penulisan. Metode ini sudah
dilaksanakan sejak masa Rasulullah, yaitu beliau membacakan Hadits-Haditsnya
kepada para penulisnya. Dalam hal inim Abdullah bin Amr bin al Ash telah
menuliskannya dengan tulisan yang benar.
Dalam mendiktekannya, Muhaddits tidak membutuhkan
orang yang membantunya dalam pengajaran, kecuali jika jumlah yang hadir cukup
banyak, sehingga suaranya tidak lagi terdengar oleh orang yang berada dibarisan
peling belakang. Dalam kondisi semacam ini, Muhaddits akan membutuhkan seorang
yang membantu penyampaian pengajarannya, yang biasa disebut mustamli.[14]
Sedangkan tata cara diriwayatkannya Hadits dalam
Majlis Hadits sendiri dan yang mesti dilakukan, diantaranya adalah:[15]
1.
Ketika ada seorang muhaddits
atau rowi yang meriwayatkan hadis dari catatannya tapi dia tidak hafal. Dalam
kasus ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya:
a.
Kelompok yang bersikap keras. Mereka
mengatakan: “Tidak bisa dijadikan hujjah kecuali rowi yang meriwayatkan dari
hafalannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Malik, Abu Hanifah, dan Abu Bakar
as-Shaidalani as-Syafi’i.
b.
Kelompok yang bersikap
longgar. Diantaranya adalah Ibnu Lahi’ah.
c.
Kelompok yang bersikap pertengahan,
dan ini merupakan jumhur. Mereka berkata: “ Jika si rowi dalam menerima hadis
mencocokkannya dengan berbagai persyaratan maka boleh baginya meriwayatkannya
dari catatannya, meskipun catatannya tidak ada atau hilang.Yang penting,
prinsipnya adalah selamat dari adanya perubahan dan penggantian.
2. Ketika ada
seorang rowi yang buta yang tidak hafal apa yang didengarnya, tetapi dibantu
oleh rowi yang tsiqoh dalam penulisan hadis yang didengarnya, memelihara dan
menjaga catatannya, berhati-hati tatkala membacanya, dan umumnya selamat dari
adanya perubahan, maka menurut jumhur ulama riwayatnya sah, sama seperti
riwayat rowi yang bisa melihat tapi buta huruf dan tidak hafal.
3. Ketika ada
periwayatan hadis dengan makna, para ulama berbeda pendapat. Diantarannya:
a.
Ahli hadis, ahli fikih dan ushul
fiqih, seperti Ibnu Sirin dan Abu Bakar ar-Razi melarangnya.
b.
Jumhur ulama salaf maupun
kontemporer dari kalangan ahli hadis, ahli fikih dan ushul, seperti imam empat
memperbolehkannya dengan dua syarat, yaitu rowi harus mengetahui lafad-lafad
dan maksud-maksud hadis. Dan rowi harus berhati-hati terhadap penyimpngan
makna.
Kebolehan diatas hanya untuk hadis-hadis yang tidak terdapat dan dibaca
dari kitab mushannaf.
4.
Ketika ada kesalahan dalam i’rob
tatkala membaca hadis. Penyebab utamanya adalah tidak pernah mempelajari ilmu
nahwu dan bahasa arab dan mengambil hadis dari berbagai kitab dan catatan tanpa
bertemu dangan gurunya. Dalam hal ini seorang rowi tidak diperbolehkan
meriwayatkan hadis karena ditakutkan memunculkan banyak kekeliruan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Muh. Zuhri, Hadits Nabi Sejarah
dan Metodologinya (PT Tiara Wacana, Yogya:1997)
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar
Al-Hadits, Mesir:2002)
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (PT Alma’arif, Bandung:
1974)
Al Makki
Aqlayanah, An Nuzhumut Ta’limiyyah ‘Indal Muhadditsin terjemahMetode
Pengajaran Hadits, penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin (Granada
Nadia, Jakarta: 1994)
Abu fuad, Terjemah Taisir
Mustholah al-Hadis (Pustaka Thariqul Izzah Bogor:2004)
[1]
Muh. Zuhri, Hadits Nabi Sejarah dan Metodologinya(PT Tiara Wacana,
Yogya:1997)hal.106
[2]
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.416
[3]
Ibid.
[4]
Ibid
[5]
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.417
[6]
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.424
[7]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (PT Alma’arif, Bandung:
1974) hal.39
[8]
Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta:
1994) hal 73
[9]
Al-Qodhi Iyadl, Asy-Syifa, Juz II hal.99. Al Makki
Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta: 1994) hal
75
[10]
Ibnu Abdil Barr, Bahjatul Majalis, Juz I hal 41
[11]
Al-Qodli Iyadl, Asy-Syifa, Juz II/99
[12]
Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta:
1994) hal 87
[13]
Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta:
1994) hal 178
[14]
Al Makki Aqlayanah, Metode Pengajaran Hadits (Granada Nadia, Jakarta:
1994) hal. 94
[15]
Abu fuad, Terjemah Taisir Mustholah al-Hadis(Pustaka Thariqul Izzah
Bogor:2004). Hal. 219-222.
No comments:
Post a Comment