TADWIN HADIS
Disusun untuk
memenuhi tugas matakuliah :
ULUMUL HADIS
III
Dosen Pengampu
:
Marhumah,
M. Th. I
Disusun Oleh:
Eva Kholifah
(9338036125)
PROGRAM STUDI
ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
JURUSAN
USHULUDHIN
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
JAWA TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum
muslimin meyakini bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah
al-Qur’an. Keberadaannya merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas rasul adalah sebagai pembawa
risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni
al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan
praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Secara historis perjalanan hadis tidak sama
dengan perjalanan al-Qur`an. Jika Al-Qur`an sejak awalnya sudah
diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi,
dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka
tidak demikian halnya dengan hadits. Jika al-Qur`an secara normatif telah ada
garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak
demikian dengan hadits. Menurut pendapat yang massyhur hadis baru dibukukan
pada abad ke-dua hijriyah yaitu pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Namun benarkah berita tersebut? Apakah sama pembukuan hadis dan syiah?
Maka dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai kodifikasi hadis dan hal-hal
yang terkait dengannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kodifikasi hadis?
2. Kapan hadis mulai dibukukan?
3. Siapa yang pertama mengkodifikasikan hadis?
4. Apa penyebab tertundanya pengkodifikasian hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kodifikasi Hadis
Kata tadwin merupakan bentuk masdar dari kata kerja dawwana
menulisatau mendaftar. Secara literal kata tadwin mengandung arti penghimpunan.
Az-zahraniy, dengan mengutip kamus bahasa arab, mengartikan kata tadwin dengan kumpulan shuhuf.[1]
Sedangkan secara istilah berarti
penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi berdasar perintah kholifah
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam bidang ini.
Hadis sebagaimana didefinisikan oleh
para ulama mempunyai pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw. , baik itu berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, atau
semisalnya[2]
adalah merupakan sumber kedua dalam pengambilan hukum Islam.
Sementara perkataan, pernyataan
serta perbuatan Nabi yang sudah tertuliskan bahkan terbukukan adalah produk
budaya yang
kelahirannya tidak lepas dari sejarah. Produk budaya ini
lahir dari pergesekan ruang dan waktu serta
“kepentingan” yang nantinya berdampak pada pengkajian ulang dan penelitian
terhadap keberadaan dari produk sejarah ini. Maka sangatlah wajar ketika suatu
masa mempertanyakan ulang terhadap paket sudah tersedu dan terhidangkan
dikalangan umat islam.
Oleh karena itu, perlu untuk melihat
dan meneliti terhadap proses periwayatan yang ada pada masa Nabi Muhammad
ataupun pada masa Nabi telah meninggal. Dengan melihat kondisi periwayatan
dalam dua masa ini, akan dapat memberikan gambaran kepada kita
tentang model
periwayatan, apakah periwayatan itu berlangsung secara hafalan ataupun sudah
dalam bentuk tulisan.
Sebenarnya bila dicermati lebih
seksama, tradisi tulis-menulis telah berlangsung dalam kehidupan orang arab
pada masa lampau jauh sebelum Nabi diturunkan sebagai
utusan Allah. Hal ini didasarkan dengan adanya bukti bahwa para kabilah arab
seringkali menuliskan syair-syair yang berasal dari tokoh mereka,transaksi
perdagangan, delegasi kerajaan ataupun dalam bentuk yang lainnya. Sangat wajar
bila dalam perkembangan selanjutnya, sistem pengajaran yang diberikan Nabi
kepada Sahabat variatif.
Ada seorang nama yang sangat
berperan, ketika khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz’ memerintahkan kepada ahli hadis
untuk menuliskan dan membukukan hadis, yaitu Ibn Syihab az-Zuhri. Ada data
sejarah yang mengatakan bahwa Ibn Syihab berani melakukan hal ini karena adanya
pemaksaan dari Amir yang berkuasa pada saat itu. Hal ini memberikan indikasi
bahwa munculnya nama Ibnu Syihab dalam belatikan khazanah hadis tidak dapat
dilepaskan dari adanya campur tangan dari penguasa yang ada pada saat itu dan
ini juga membawa dampak pada pertanyaan mengapa hadis baru dapat dibukukan pada
masa pemerintahan ‘Umar Bin Abdul Aziz’.
B.
Sejarah Kodifikasi Hadis
Dalam mencermati persoalan hadis
ini, perlu adanya pemetaan atau penjabaran tentang periodisasi yang tentunya
tiap-tiap periode akan ditemukan perbedaan yang signifikan dari segi
karakteristiknya. Ada empat periode menurut penulis sebagai “tulang punggung”
bagi penulisan hadis. Yaitu:
1.
Zaman Nabi dan Sahabat
Pada permulaan dakwah Nabi menurut pandangan umum ditemukan
larangan penulisan hadis. Ibnu Hajar al-Asqalany (w. 852 H)menyatakan bahwa
hadis belum disusun dan dibukukan selama periode sahabat dan tabi’in senior
karena didasarkan pada dua alasan sebagai berikut: (1) pada mulanya mereka
memang dilarang untuk menuliskaan hadis seperti yang telah disebutkan dalam
sahih muslim karena akan dikhawatirkan akan mendistrosi al-Quran, (2) mereka mempunyai
hafalan yang kuat dan otak yang cerdas. Argumen Ibnu Hajar ini diperkokoh oleh
al-Suyuthiy (w. 911 H), yang juga mengakui bahwa hadis belum disusun dan
dibukukan sepanjang periode tabi’in dan sahabat senior karena dua alasan ini.[3]Pendapat
ini juga didukung dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
disebutkan,”janganlah kamu menulis apa-apa dariku selain al-Qur’an. Barang
siapa menulis apa-apa dariku selain al-Qur’an, hendaklah hal itu dihapus. Hanya
saja kalian tidak apa-apa menyampaikan hadis-hadisku”[4].
Akan tetapi ketika melihat riwayat yang lain, disana ditemukan bahwa riwayat
tentang pelarangan Nabi tersebut bersifat temporal dan berlaku sementara pada
saat itu. Diantara riwayat yang menyatakan diperbolehkan penulisan hadis antara
lain: riwayat tentang pemberian izin kepada Abi Syah untuk menuliskan apa yang
dilakukan oleh Rasulullah pada saat kaum Quraisy yang menghianati perjanjian
Qudaibiyyah[5]
dan riwayat yang memberikan izin kepada Abdullah bin Amr bin As.[6]
Bila melihat dua riwayat diatas, yaitu pelarangan penulisan dan
pemberian izin penulisan, maka disinilah nampak
jelas bahwa pelarangan penulisan itu berlaku dikalangan umum. Sedangkan
dikalangan tertentu diperbolehkan menulis hadis. Jadi ada pengecualian dan
penentuan penulisan hadis dikalangan sahabat dan tidak seluruh sahabat dapat
menulis hadis Nabi.
Alasan mengapa hal ini muncul adalah pertama, supaya tidak terjadi pencampuran al-Qur’an dengan yang
bukan al-Qur’an. Hal ini mengandung maksud bahwa sahabat-sahabat yang asing
dengan gaya bahasa al-Qur’an nantinya sulit untuk membedakan mana yang
merupakan gaya bahasa al-Qur’an dengan yang bukan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua,
kemungkinan yang terbesar, diantara sahabat belum banyak yang pandai dan piawai
dalam tradisi tulis-menulis. Selain itu, yang mahir hanya diperuntukkan untuk
menulis al-Qur’an saja.[7]
Selain itu ada indikasi yang kuat tentang tradisi tulis-menulis
sudah ada pada masa Nabi dan sahabat dengan adanya suhuf-suhuf, antara lain: 1)
Shahifah Sa’ad Ibnu Ubaidah Al-Ansari, 2) Nukhsas yang memuat hadis-hadis milik
Samurah bin Jundab (w. 60H), 3) Shahifah milik Jabiribn Abdullah (w. 78H), 4) Shahifah as-Shadiqah milik Amr bin
Ash.[8]
Dengan bulti-bukti diatas maka jelaslah bahwa penulisan hadis pada masa nabi
dan sahabat telah dimulai dan sudah ada tradisi penulisan. Hal ini sudah cukup
untuk meyakinkan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa pada masa nabi
belum ada tradisi penulisan hadist.[9]
2.
Zaman Khulafaur Rasyidin (abad pertama hijriyah termasuk didalamnya
penulisan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz)
Pada masa yang kedua ini, terlebih pada masa pra penulisan resmi
masa Khulafaur Rasyidin sikap hati-hati menjadi prioritas utama. Belum ada
indikasi yang jelas terhadap perintah penulisan secara resmi. Abu Bakar
misalnya, meskipun ia memiliki beberapa Hadis yang dihimpun, ia malah
membakarnya. Demikian juga Umar bin Khattab, yang semula bermaksud untuk
mencatat hadis, kemudian secara terus-menerus ia mempertimbangkannya.[10]
Hanya saja pada masa Umar baru menerima riwayat hadis, setelah sahabat lain
menyatakan pula pernah mendengarnya.[11]
Pada masa dua khalifah terakhir, sikap kehati-hatian tetap menjadi
prioritas utama, walaupun tidak sekeras yang dilakukan Umar bin Khattab. Secara
keseluruhan, mereka hanya menerima melalui riwayat-riwayat sahabat yang
lainnya. Sekiranya mereka tidak mengetahui hadis yang disampaikan oleh sahabat,
sahabat tersebut disuruh bersumpah atau mendatangkan saksi guna memastikan
bahwa hadis itu benar.[12]
Pada pemerintahan Ali masa pertikaian antar Ali dan Muawiyah
membawa dampak yang sangat signifikan seputar periwayatan hadis. Pada masa
inilah kegiatan pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang. Pada mulanya,
faktor yang mendorong seorang memalsukan hadis adalah kepentingan
politik-pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah ibn Abi Sofyan. Para
pendukung mereka berusaha untuk memenangkan perjuangan mereka, salah satunya
dengan membuat hadis palsu.[13]
Selanjutnya adalah kepentingan ekonomi, keinginan untuk
menyenangkan hati pejabat dan lain-lain. Telah ikut juga menyemarakkan
pembuatan hadis-hadis palsu. Bahkan, sejumlah mubaliq pada masa itu baranggapan
bahwa untuk kepentingan dakwah dapat juga dilakukan dengan pembuatan hadis
palsu.[14]
Bersamaan dengan keadaan tersebut, kegiatan periwayatan
hadis pada masa sesudah khulafaur rasyidin terus berlangsung. Kehati-hatian
dalam meriwayatkan hadis tidak lagi menjadi ciri yang menonjol. Walaupun
begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa periwayatan hadis dalam meriwayatkan
hadis secara hati-hati tidak sedikit jumlahnya.
Kebebasan yang masih dalam garis periwayatan, terus berlangsung
sampai pada masa penulisan hadis yang resmi dan masal di masa Umar Bin Abdul
Aziz (99H-101H).[15]
Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan hadis merupakan kebijaksanaan dari
kepala negara. Dan dikatakan massal karena perintah kepala negara itu ditujukan
kepada para gubernur dan ulama hadis pada masa itu. Dalam kapasitasnya sebagai
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengeluarkan surat perintah secara resmi
yang ditujukan kepada seluruh pejabat dan ulama diberbagai daerah untuk
menghimpun hadis-hadis yang tersebar diberbagai wilayah kekuasaanya. Surat ini
antara lain dikirim kepada Gubernur Madinah Ibnu Hazm Abu Bakar bin Amr (w. 117
H) isi
dari itu adalah (1) kekhawatiran khalifah akan punahnya hadis
disebabkan banyaknya ulama’ ahli hadis
yang telah meninggal, (2) Khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan
‘Amrah binti Abdul Ar-Rahman untuk
segera dihimpun. Namun, sebelum Ibnu
Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya Khalifah telah meninggal dunia. Surat
serupa juga dikirim kepada Ibnu Syihab Az-Zuhry (w. 124 H ) seorang ulama besar
di negeri Hijaz dan Syam
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib dalam
disertasi maupun tesisnya bahwa penulisan hadis secara resmi berlangsung pada
masa Abdul Aziz ibn Marwan.[16]
Asumsi ini didasarkan pada saat ia menjadi gubernur, melalui sebuah surat ia
meminta kepada Kasir ibn Murrah, seorang tabi;in di Hims, untuk mencatat
berbagai hadis yang diriwayatkan oleh sahabat selain Abu Hurairah, karena ia
telah memiliki catatannya. Namun apa yang diungkapkan oleh ‘Ajjaj Al-Qur’an
Khatib tidak seluruhnya benar, bahkan dari sisi lain, pendapat ini memiliki
kelemahan dalam beberapa hal.[17]
Walaupun demikian bukan berarti bahwa antara surat perintah yang
diberikan oleh Abdul Aziz ibn Marwan dan Umar Bin Abdul Aziz ini tidak ada
hubungan sama sekali. Sangat mungkin, surat Abdul Aziz itu memberikan inspirasi
atau setidaknya menambah dorongan kepada Umar bin Abdul Aziz selaku kepala
negara untuk membuat surat perintah dalam penulisan hadis.
Ada
hal yang juga menjadikan pertimbangan, yaitu keinginannya untuk menghimpun
hadis telah ada ketika Umar Bin Abdul Aziz menjadi gubernur di Madinah pada
saat pemerintahan Al-Walid ibn Abd Al-Walid (86-96H/705-715M). Pada saat itu,
ia menyadari bahwa hanya berbekal kedudukan sebagai gubernur, ia belum mampu
mengatasi perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan penulisan hadis. Selain
dari pada itu, daerah jangkauan perintahnya tidak akan meluas jika hanya berbekal
kedudukan sebagai gubernur.[18]
Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz memerintah sebagai khalifah
(99-101H), secara resmi memerintahkan para ulama diseluruh penjuru dunia islam
untuk menuliskan dan membukukan hadis Nabi. Semua pegawai dan qadi dibebani
tugas ini guna menjaga hadis-hadis Nabi
supaya tidak hilang sesudah wafatnya para ulama yang ahli dalam bidang ilmu
hadis.
Ada beberapa sebab yang melatar belakangi penulisan hadis, salah
satu sebab diantara beberapa sebab adalah kekhawatiran akan punahnya pengetahuan
hadis dan wafatnya para ahli hadis. Itu terlihat dari perkataan beliau kepada
penduduk kota Madinah yang berbunyi, “Unzhuru ma kana min hadis Rasulullah
Faktubuhu fa ‘inni Khiftu durus al-‘ilm wa dhihab Al-‘ahlih”[19].
Maka sejak diedarkannya perintah ini, secara resmi penulisan hadis dimulai.
Sebelum khalifah Umar Bin Abdul Aziz wafat (w. 101H), orang yang
pertama kali memenuhi dan mewujudkan keinginannya adalah seorang ahli hadis di
Hijaz yang bernama Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab az-Zuhri Al-Qur’an Madani (w.
124H).[20]
Ia menghimpun hadis dalam sebuah kitab, dan oleh khalifah dikirimkan catatannya
itu ke setiap penjuru wilayah. Dalam perkataannya, ia menyatakan bahwa tiada
seorang pun yang membukukan ini sebelum aku.[21]
Dari sini muncul persoalan apakah ada muatan politik dibalik
penulisan yang dilakukan oleh Ibn Syihab terhadap pemegang kekuasaan yang ada
pada saat itu?. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlulah untuk mengacu terhadap
apa yang dikatakan Ibn Syihab seperti apa yang telah dikutip oleh Ibn Sa’ad
menyatakan,”Kami benci ilmu (ilmu hadis), sampai para ‘Amir memaksa kami
menulisnya. Selanjutnya kami sadar, tak ada seorang pun dikalangan kaum
muslimin yang menentangnya.[22]
Meskipun dalam perkataan diatas secara khusus tertuju pada Ibn
Syihab, tetapi secara umum berlaku pada seluruh sahabat dan tabi’in yang ada
pada saat itu untuk menuliskan hadis. Selain dari faktor pemaksaan penguasa
untuk pelaksanaan penulisan hadis, ada
faktor yang lain, yaitu untuk membedakan hadis-hadis Nabi dari ucapan palsu yang
diatas namakan padanya. Dalam hal ini, Ibn Shihab mengatakan,”Seandainya
hadis-hadis tidak datang kepada kami dari arah timur yang tidak kami ketahui,
maka aku tidak akan menulis hadis dan tidak pula mengizinkan penulisannya.[23]
Pendapat Az-Zuhri ini mencerminkan pendapat sebagian besar ulama
pada saat itu. Keinginan agar sabda Nabi tidak terlantar sama besarnya dengan
kekhawatiran terhadap hadis Nabi yang tersampaikan secara tidak benar. Apa yang
dilakukan oleh Az-Zuhri dan sahabat-sahabatnya pada saat itu, menjadi dasar
pijakan terhadap penulisan hadis pada generasi berikutnya.
3.
Penulisan hadis pada abad kedua hijriyah
Setelah meninggalnya khalifah ‘Umar bin
Abdul Aziz kegiatan penulisan hadist tetap
berlangsung. Dengan berdasarkan landasan pada hasil yang dicapai pada akhir
abad yang pertama, para alim dalam bidang hadis meneruskan kerja penulisan dan
pembukuan hadis yang dirintis sebelumnya.
Diantara para alim yang muncul pada abad kedua dengan disertai
kitab susunannya, antara lain:
a)
Di
Makkah: Ibn Juraij Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz (w. 150H).
b)
Di
Madinah: Muhammad ibn Ishaq (w. 151H).
c)
Di
Basrah: Ar-Rabih bin Sabih (w. 160H).
d)
Di
Kufah: Sufyan As-Saury (w. 167H).
e)
Di
Syam: Al-Qur’an Awza’i Abd Rahman ibn ‘Amr (w. 153H).
f)
Di
Khurasan: ‘Abdullah ibn Mubarak (w. 175H).
4.
Penulisan hadis pada abad ketiga hijriyah
Pada
masa penulisan hadis mengalami banyak kemajuan atau dapat dibilang sebagai
zaman gemilang dan keemasan. Banyak alim yang menekuni pada bidang hadis yang
bermunculan, bukan saja bidang kajian matan, akan tetapi sudah muncul suatu
disiplin ilmu tertentu, rijal Al-Hadis (penelitian perawi hadis) misalnya.
Kritik terhadap perawi berkembang dengan subur, disertai dengan
munculnya ilmu jarh wa ta’dil. Diantara para alim yang pertama kali menyusun
ilmu yang berkaitan dengan perawi hadis ialah: Yahya ibn Ma’in (w. 233H), Ahmad
ibn Hanbal (w. 241H), Abu Dawud as-Sijistani, An-Nasa’i dan sebagainya.
Diantara ulama yang termasyhur pada masa ini adalah Imam Bukhari dengan
kitabnya Shahih Bukhari, Imam Muslim dengan kitabnya Shahih Muslim, Imam
at-Tirmidzi dengan kitabnya Sunan Tirmidzi, Abu Dawud as-Sijistani dengan
kitabnya Sunan Abi Dawud, Imam Nasa’i dengan kitabnya Sunan Nasa’i dan Ibn
Majah dengan kitabnya Sunan Ibn Majah yang kemudia hari dikenal dengan Kutubus
Sittah.
Kemunculan Kutubus Sittah tercapai setelah kritisme hadis (Dirayat
Hadis) dikembangkan pakar hadis awal. Perlunya kritisme semakin terasa ketika
hadis menyebar ke berbagai wilayah islam. Sehingga kian besar kemungkinan
terjadinya kekeliruan dalam periwayatannya.
C.
Persoalan Tentang Kodifikasi Hadis
Bila melihat dari periodisasi dari
penulisan hadis, maka akan dapat diketahui bahwa kodifikasi hadis secara resmi
pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz (w. 101H) dengan hasil monomental
prestasi az-Zuhri. Menurut sebagian pendapat bahwa hadis yang dihimpun oleh
Az-Zuhri adalah hadis-hadis yang berkisar tentang perang (Maghazi). Kaum
orientalis mengatakan bahwa hadis-hadis yang berkisar tentang perang, adalah
suatu legitimasi terhadap kekuasaan yang ada.[24]
Bahkan mereka menyoroti az-Zuhri sebagai pengumpul hadis Maghazi, berusaha
untuk melegitimasi kekuasaan bani
Umayyah yang bertengger pada masa itu. Terlepas dari benar salahnya analisa
orientalis, yang jelas kebijaksanaan penguasa terhadap suatu keputusan, membawa
unsur politik kekuasaan yang ada pada saat itu.
Perlu diingat bahwa kodifikasi hadis
yang ada pada masa Umar Ibn Abdul Aziz tidak berupa sebuah kumpulan kitab yang
utuh, akan tetapi masih berupa catatan-catatan yang terpisah dan masih
mengalami proses yang lama. Usaha-usaha ini berlangsung terus-menerus sampai
pada masa pemerintahan Abbasiyyah.[25]
Pada masa pemerintahan Abbasiyyah
pergolakan politik serta usaha-usaha untuk memalsukan hadis kian marak dan
sebagai puncaknya banyak muncul kitab-kitab yang menerangkan tentang adanya
hadis maudhu’. Selain dari itu, hadis-hadis yang terkumpul pada masa itu, belum
terpisah secara baik. Masih banyak diantara karya-karya hadis, kitab Muwatta’ karya
Imam Malik misalnya, masih memuat hadis-hadis yang bercampur. Dalam kitab ini,
masih banyak ditemukan hadis-hadis yang bercampur, baik itu hadis shahih,
mauquf, maqthu’ ataupun fatwa sahabat. Berdasarkan pada kenyataan ini, Imam
Syafi’i berusaha untuk memisahkan dan membedakan antara hadis-hadis yang
shahih, mauquf, maqthu’ maupun fatwa sahabat. Ia berusaha untuk menjadikan
hadis ahad sebagai hujjah dan menempatkannya sebagai sumber hukum kedua setelah
al-Qur’an. Upaya ini berlaku sebagai jembatan antara ahli ra’yu dan ahli hadis.[26]
D.
Analisa Terhadap Tertundanya Penulisan Hadis
Ada dua hal yang penting yang perlu
dicermati, yaitu: menurut pendapat yang umum bahwa tradisi periwayatan hadis
secara lisan berlangsung selama kurang lebih seratus tahun. Demikian juga
perintah Umar Bin Abdul Aziz terhadap az-Zuhri untuk mencatatkan hadis-hadis.
Pada bagian yang pertama, bahwa
tradisi periwayatan secara lisan dalam masa kurang lebih seratus tahun kurang
beralasan. Hal ini disebabkan tradisi tulis-menulis sudah terjadi pada masa
Nabi atau bahkan sebelum itu. Demikian pula ketika Nabi memerintahkan untuk
tidak menulis selain al-Qur’an, bukankah itu merupakan indikasi bahwa banyak
diantara sahabat yang sudah pandai menulis.
Demikian juga anggapan umum tentang
terlambatnya pencatatan hadis yang juga bersumber dari hadis-hadis yang
melarang kitabah (penulisan hadis). Memang terhadap hadis yang melarang kitabah
segala sesuatu yang selain al-Qur’an pada umumnya dan hadis-hadis pada
khususnya. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat, yaitu: Abu
Sa’id Al-Khudry, Abu Hurairah, Zayd Ibn Tsabit tentang larangan penulisan
hadist masih dipertentangkan derajat validitasnya. Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Za’id Bin Tsabit mempunyai cacat, sedangkan hadis
yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudry digugat oleh pakar setingkat al-Qur’an
Bukhari.[27]
Selain dari itu, ada faktor intern
yang berasal dari kalangan muhaddisin yang salah memberi informasi tentang nama pengumpul pertama hadis, yang
sebenarnya hidup pada pertengahan paruh
abad kedua atau akhir abad kedua hijriyah.[28]
Disamping itu adanya miskonsepsi dan
misinterpretasi atas istilah-istilah semacam tadwin (pengumpulan), tasnif
(klasifikasi), dan kitabah (penulisan). Juga terjadi misinterpretasi
tentang kata haddasana (ia meriwayatkan kepada kami), akhbarana
(ia mengabarkan kepada kami), dan ‘an (diriwayatkan dari kami), yang
pada umumnya dipahami dalam pengertian secara lisan. Padahal menurut M.M Azami
ketiganya digunakan dalam metode dokumentasi, yang mengambil beberapa bentuk,
seperti penyalinan dari bentuk tertulis, penulisan dari guru ke murid,
periwayatan dokumen secara lisan dan diterima atau direkamnya secara lisan oleh
murid-muridnya.[29]
Sedangkan pada bagian yang kedua,
yaitu perintah Umar Ibn Abdul Aziz kepada az-Zuhri, buka berarti bahwa ia tidak
mempunyai catatan hadis atau sebagaimana dituduhkan beberapa ahli tentang
hilangnya catatannya. Yang perlu menjadi catatan adalah sebelum az-Zuhri
diperintah oleh pihak penguasa, ia telah mempunyai catatan-catatan hadis. Hanya
saja, catatan hadis koleksi pribadi itu tidak berminat untuk dikonsumsi umum.
Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain ketika ia memiliki beberapa catatan
yang lain.
Ringkasnya, tidak ada bukti bahwa
larangan penulisan hadis didasarkan atas perintah Nabi. Hal ini hanya
didasarkan pada presepsi pribadi. Meskipun begitu, para sahabat atau tabi’in
yang semula menolak penulisan, justru terlibat langsung dalam penulisan hadis.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah
membahas tentang semua hal yang berkaitan dengan tadwin hadis dimulai dari
zaman nabi, sahabat hingga tabi’in serta mengetahui alasan dibalik dari
keterlambatan pembukuan hadis dapat disimpulkan bahwa :
1. Alasan Nabi melarang hadis untuk ditulis karena agar tidak terjadi
pencampuran antara al-quran dengan yang bukan al-quran.
2.
Tadwin hadis atau pembukuan hadis Nabi secara resmi berdasar perintah kholifah dengan
melibatkan beberapa personil yang ahli dalam bidang dimulai oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.
3.
Ada
dua alasan mengapa Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk membukukan hadis
yaitu ditakutkan hadis akan hilang disebabkan meninggalnya para ahli hadis dan
banyak bermunculan hadis-hadis palsu yang dibuat oleh golongan-golongan
tertentu untuk mendukung tujuan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baqdadi.
Al-Khatib, Taqyi Al-‘ilm. Tahqiq Yusuf Al-Isy. Damaskus:[t.tp],
1949
Al-Qusairy.
Muslim ibn Al-Hajjaj, Shahih Muslim (Mesir: Isa Al-Halabi, [t.th]), juz.
I, Kitab Al-‘ilm,
1..
As-Salih Abu Umar Usman ibn Abdir Rahman, Ulum Al-Hadis. Madinah:
Al-Maktabah Al-‘Ilmiyah, 1966
Ismail. M.
Syuhudi, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam.
Jakarta: Pustaka Pelajar,
Salam. Muhyiddin Abdus, Pola Pikir Imam Syafi’i. Jakarta:
Fikahati Aneska, 1995
Syakir, Syarah Al-Fiyah as-Syuyuti fi ‘ilm al-hadis. Beirut:
Dar Al-Ma’rifah,[t.th
Yusof.
Ismail, Kodifikasi Hadis dan Sunnah Nabi: Sebuah Tinjauan Historis Singkat,
“Jurnal Studi Islam Al-Hikmah” XV. Vol. VI/1996, 37.
[1] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan
Historiografi Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 35-36
[4] Muslim ibn
Al-Hajjaj Al-Qusairy, Shahih Muslim (Mesir: Isa Al-Halabi, [t.th]), juz.
I, Kitab Al-‘ilm, 1.
[8] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan
Historiografi Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 139
[10] Abu Umar Usman
ibn Abdir Rahman as-Salih, Ulum Al-Hadis (Madinah: Al-Maktabah
Al-‘Ilmiyah, 1966), 4-5.
[11] M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 41.
[13] Syakir, Syarah
Al-Fiyah as-Syuyuti fi ‘ilm al-hadis (Beirut: Dar Al-Ma’rifah,[t.th]),
85-92.
[23] Al-Khatib
Al-Baqdadi, Taqyi Al-‘ilm. Tahqiq Yusuf Al-Isy (Damaskus:[t.tp],
1949), 108.
[24] M.M Azami, Studies
in Early Hadith Literature (Indiana Polis Indiana. 1978), 345.
[26] Muhyiddin
Abdus Salam, Pola Pikir Imam Syafi’i (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995),
95.
[28] M.M Azami, Studies
in Early Hadith Literature (Indiana Polis Indiana: 1978), 18.
No comments:
Post a Comment