Blog Archive

Tuesday, November 1, 2016

IH1



\MAKALAH HADITS PADA KODIFIKASI PERTAMA PADA MASA RASULULLAH SAW
Makalahinidisusununtukmemenuhitugas study hadits
DosenPengampu:
QoidatulMarhumah, M.TH.I
 
Oleh:
MUHAMMAD ADE MAHFUDZIN                       933202016
ROCHMAT ARDIANTO                             933200116
MUHAMMAD WAFA                                  933202816
FIRDAUS  ZAINUL AFIF                           933201116
ISNAINI KHOIRUNNISA’                                     933200516
CHYNTIA YOWANDA                               933201816
ELITA PUJI ASTUTIK                                 933202316
JURUSAN
USHULUDDIN
PRODI
ILMU HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI  2016



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang perkembangan hadits di masa Rosulullah.
Makalah hadite ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.


                                                                                      Kediri, 24  Oktober 2016
   
                                                                                                Penyusun
                                           Daftar Isi                                     

Halaman sampul.................................................................................................................... i
Kata pengantar .................................................................................................................... ii
Daftar isi ............................................................................................................................ iii
Bab I pendahuluan............................................................................................................... 1
a)      LatarBelakang.............................................................................................................. 1
b)      RumusanMasalah....................................................................................................... 2
c)      Tujuan......................................................................................................................... 2
Bab II Pembahasan................................................................................................................ 3
A.    Pengertian Kodifikasi.............................................................................................. 3
B.     Masa Pertumbuhan Hadits dan Jalan-jalan para sahabat memperolehnya............... 3
C.     Para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul.............................. 6
D.    Para sahabat yang banyak menerima pelajaran dari Nabi SAW.............................. 6
E.     Sebab-sebab hadits ditulis setiap-tiap Nabi menyampaikannya.............................. 7
F.      Kedudukan usaha menulis hadits di masa Nabi SAW............................................ 9
G.    Pembatalan larangan menulis hadits........................................................................ 9

Bab III Penutup................................................................................................................. 10
1.      Kesimpulan............................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits mempunyai beberapa sinonim/muradif menurut para pakar ilmu hadits , yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Sunnah adalah السيرة المتبعة(suatu perjalanan yang diikut), baik perjalanan baik atau perjlanan buruk. Khabar di artikan an-naba(النبا)=berita. Dari segi istilah khabar yaitu segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbutan persetujuan atau sifat.Atsar diartikaالبيةاوبقيةالشيء)) peninggalan atau bekas sesuatu. Atsar adalah suatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, baik itu perkataan atau  perbuatan.Periode-periode perkembangan hadits, apabila kita pelajari dengan seksama suasana dan keadaaan bahwasana hadits Rosul sebagai dasar yang kedua setelah al-Qur’an sudah melalui enam masa dan seekarang sedang penempuh periode ketujuh.
Periode-periode perkembangan hadits di bagi menejadi tujuhmasa yakni,masa pertama: masa wahyu dan pembentukan hukuun serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi sampai beliau wafat pada tahun 11 H. masa kedua: masa pebatasan riwayat, masa Khulafah Rasyidin(12 H-40 H). masa ketiga: masa perkembanya riwayat dan perlawatan dari kota-kota untuk mencari hadits, yaitu masa sahabat dan tabi’in besar(41 H-akhir abat pertama). Masa keempat: masa pembukuan hadits(dari permulaan abad kedua H hingga akhir). Masa kelima: masa mentashihkan hadits dan menyaringya(awal abad ketiga, hingga akhir). Masa keenam: masa penapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab jami’ yang khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdal tahun 656 H). masa ketujuh: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrijj, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits zawa-id(656 H hingga sekarang ini).


B.     RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian kodifikasi?
B.     Bagaimana pertumbuhan hadits pada periode Rasul dan jalan-jalan para sahabatnya memperoleh?
C.     Bagaimana sejarah sebab munculnya hadits ditulis setiap nabi menyampaikannya?
D.    Bagaimana kedudukan dan larangan menulis hadits pada masa rasul?

C.    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat kita simpulkan tujuan dari pembahasan kali ini yaitu:
a.       Untuk mengetahui pengertian kodifikasi
b.      Untuk mengetahui pertumbuhan hadits pada periode Rosul dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya.
c.       Untuk mengetahui Sejarah sebab munculnya hadits ditulis setiap Nabi menyampaikannya.
d.      Untuk Sejarah sebab munculnya hadits ditulis setiap Nabi menyampaikannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kodifikasi
kodifikasi/ko·di·fi·ka·si/ 1 himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal penyusunan kitab perundang-undangan; 2 Huk penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku; 3 Ling pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, seperti pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman pembentukan istilah, atau kamus; 4 Ek pemberian nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu dengan lainnya yang termasuk satu golongan;
mengodifikasikan,1 menyusun (membukukan) peraturan sehingga menjadi kitab perundang-undangan: para pemuka adat sedang bermusyawarah untuk ~ hukum adat; 2 mencatat dan membukukan hasil strandardisasi yang dapat berupa buku tata bahasa atau kamus.
B.     Masa pertumbuhan hadits pada periode Rasul dan jalan-jalan para sahabatnya memperoleh
Rasul hidup di tengah-tengah masyrakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul denagan beliau secara bebas. Tak ada ketentuan protocol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau.Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung kerumah Nabi, dikala beliau tidak ada dirumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi  tumpuan perhatian para sahabat.Segala gerak-gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Berdasarkan kepada kesungguhan meniru dan meneladani beliau, berganti-gantilah para sahabat yang  jauh rumah nyadari masjid, mendatang imajlis-majlis Nabi.Umar ibnul khatab, menurut riwayat Al-Bukhari menerangkan:
كنت أناوجارلي من الأنصارفى أمّيّةبن يزيدوهي منعوالى المدينة وكنّانتناوب النّزول على عهدرسول الله ص م ينزل يوماوأنزل يومافأذاأنزلت جئته بخبرذلك اليوم من الوحي وغيره،وإذانزل فعل مثل ذلك.فنزل صاحبى الأنصاريّ يوم نوبته فضرب بابي شديدافقال:أثمّ هو؟ففزعت فخرجت أليه فقال:لقدحدث  أمرعظيم:طلّق رسول الله نسائه.قلت : لقدحدث أمرعظنّ أن ذلك كائن حتّى أذاصليت الصّبح’شددت على ثيابيثمّ نزلت فدخلت على حفصة.ىعنى أم المونىن بنه. فإذاهيتبكى فقلت:أطلقكنّرسول الله ص م؟قالت:لاأدرى.ثمّ دخلت علىالنّبى ص م’فقلت وأناقائم:أطلقت نساءك؟قال:لا’فقلت:الله أكبر.
Artinya: “ Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari gologan Anshor bertempat di kampong Umayyah ibn Yazid, sebuah kampong jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa saja yang kudapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari, pada hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinya, dia mengetuk pintu rumahku dengan keras serta berkata : “ Adakah ‘Umar di dalam?” Aku terkejut lalu keluar mendapatinya.Ia menerangkan bahwa telah terjadi satu keadaan penting. Rasul telah mentalak istri-istrinya. Aku berkata : “Memang  sudah kuduga terjadi peristiwa ini.” Sesudah saya bersembahyang shubuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai di kota, saya masuk kerumah Hafsah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya : “ Apakah engkau telah ditalak oleh Rasul?” Hafsah menjawab : “ Saya tidak tahu”. Sejurus kemudian saya masuk kebilik Nabi, sambil berdiri saya berkata: “ Apakah anda telah mentalak istri-istr ianda?” Nabi menjawab : “Tidak”. Di kala itu saya mengucapkan “ Allahu Akbar”.[1]
Riwayat ini menerangkan, bahwa para sahabat sangat benar memperhatikan gerak-gerik Nabi dan sangat benar memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka menyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan mentaati Nabi.
Diberitakan Al-Bukhari dalam shahihnya dari ‘Uqbah ibn Al Harits, bahwa seorang wanita menerangkan kepadanya (‘Uqbah), bahwa dia telah menyusui ‘Uqbah dan istrinya.Mendengar itu ‘Uqbah yang di kala itu berada di Mekkah terus berangkat menuju Madinah.
Sesampainya kepada Nabi, “Uqbah pun bertanya tentang hukum  Allah mengenai seseorang yang memperistrikan saudara sesusunya, tanpa mengetahuinya., kemudian baru diterangkan oleh yang menyusui mereka. Maka Nabi menjawab kaifa wa qad qila= betapa, padahal,telah diterangkan orang.[2]
Mendengar  itu ‘Uqbah dengan serta merta menceraikan istrinya, kemudian istrinya itu menikah kembali dengan orang lain.Diriwayatkan oleh Malik dari Atha ibn Yassar bahwa seorang lelaki dari sahabat mengirimkan istrinya untuk bertanya kepada Rasul tentang hukum mencium istri dikala puasa. Maka Ummu Salamah memberitahukan kepada wanita yang bertanya itu, bahwa Nabi telah menciumnya di kala beliau sedang berpuasa. Wanita tersebut menerangkan hal itu kepada  suaminya. Maka  lelaki itu berkata: “ Aku bukan seperti Rasulullah. Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya apa yang dikehendaki”.Perkataan ini sampai kepada Nabi. Karena itu Nabi marah mendengarnya seraya berkata :
انّي أتقاكم لله وأعلمكم بحدوده
Bahwasannya aku lebih taqwa kepada Allah dari pada kamu dan lebih mengetahui hukum-hukumnya.” (hadits ini diriwayatkan juga oleh AsySyafii dalam ar Risalah)[3]
Rasul pernah marah ketika Beliau menyuruh para sahabat untuk mencukur rambut di Hudaibiyah. Mula-mulanya mereka tidak mau menuruti Nabi. Sesudah Nabi sendiri mengerjakannya, barulah mereka menurutinya. Apabila Nabi tak dapat berterusterang dalam memberikan sesuatu penjawaban, Nabi meminta istrinya menerangkan soal itu dengan sejelas-jelasnya. Pernah seorang wanita datang kepada Nabi bertanya tentang mandi haid. Nabi menjawab:
خذي فرصةممسّكةفتوضّئ بها
Ambillah sepotong kain percaya yang sudah dikasturikan, lalu berwudhulah dengan dia”.
Mendengar jawaban Nabi demikian, wanita itu mengulangi pertanyaannya, “ Betapa saya berwudhu dengan itu?” Nabi menjawab seperti sebelumnya.Oleh karena wanita penanya tersebut tidak dapat memahami perkataan Nabi, Nabi meminta ‘Aisyah supaya menerangkannya. Maka ‘Aisyah berkata:
خذي قطعةقطن نظيفة فضعيهافى مكان الدّم،فأن خرجت بيضاءكان ذلك علامةطهرك.
Ambilah sepotong kapas yang bersih, lalu letakkan di tempat darah, jika kapas itu tetap putih, tanda haid sudah berhenti.” (H.R. AlBukhary/Muslim dan AnNasa’ydari ‘Aisyah)
Para sahabat menerima hadits ( syari’at ) dari Rasul SAW. Adakalanya langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada suatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakalanya tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu bertanya.

C.    Para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul.
Semua sahabat, menerima hadits dari Nabi SAW. Pada waktu itu, para  sahabat tida k sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul SAW. Ada yang tinggal di kota, di dusun, berniaga, bertukang. Ada yang sering berada di kota, ada pula yang sering berpergian, ada yang terus-menerus beribadah, tinggal di masjid, tidak memperoleh kerja. Dan Nabi pun tidak selalu mengadakan “ceramah terbuka”. Tempo-tempo saja beliau melakukan demikian.
Ceramah terbuka diberikan beliau hanya pada tiap-tiap hari jum’at, hari-hari  raya dan waktu yang ditentukan, jika keadaan menghendaki.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Mas’ud, ujarnya :
كان النّبيّ ص م يتخولنابالموعظةتلوالوعظةفى الايّام’كرالسّأمةعلينا
Artinya:”Nabi selalu mencari waktu-waktu yang baik buat memberikan pelajaran supaya kami tidak bosen kepadanya.”
Lantaran inilah Masruq[4]berkata : “ Saya banyak berada semajlis dengan para sahabtat. Maka ada di antara yang saya dapati ibarat kolam kecil hanya mencukupi buat minum orang seorang, ada yang mencukupi buat dua orang dan ada yang tidak kering-kering airnya, walaupun terus-menerus diminum oleh penduduk bumi ini”.
D.    Para sahabat yang banyak menerima pelajaran dari Nabi SAW.
1.      Yang pertama kali masuk islam disebut dengan as sabiqunal awwalun, seperti khulafau rasyidin dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
2.      Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh- sungguh menghafalnya, seperti Abu Hurairah. Dan yang mencatat seperti Abdullah Ibn Amer Ibn ‘Ash.
3.      Yang lama hidupnya sesudah Nabi, dapat menerima hadits dari sesama sahabat, seperti Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
4.      Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu: Ummahatul Mu’minin, seperti : Aisyah dan Ummu Salamah.
Menurut catatan Adz Dzahaby, 31 orang shahaby yang meriwayatkan hadits. Diantaranya: ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Khulafaur Rasyidin.
Pegangan sahabat dalam mengahafal hadits adalah :
Para sahabat menerima hadits dari Nabi, berpegang kepada kekuatan hafalannya, yakni menerimanya dengan jalan hafalan bukan dengan jalan menulis. Sahabat-sahabat Rasul yang dapat menulis sedikit sekali. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan. Lalu tergambarlah lafal atau makna itu dalam dzihin mereka. Mereka melihat apa yang Nabi kerjakan. Dan mereka mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Rasul. Karena tidaklah semua mereka pada setiap waktu dapat menghadiri majlis Nabi. Para sahabat menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain secara hafalan pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi.

E.     Sebab-sebab hadits ditulis setiap-tiap Nabi menyampaikannya
Ulama’ hadits dan islam sependapat menetapkan bahwa Al-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan dari para sahabat. Rasul memerintahkan para sahabat untuk menghafal Al Quran dan menulisnya di keping-keping tulang, di pelepah kurma, di batu-batu dan lain-lain. Dan ketika Rasulullah wafat, Al Quran telah dihafal dengan semourna dan telah lengkap ditulis, hanya saja belum dikumpulkan dalam sebuah mushaf saja.
Hadits dan sunnah, walaupun merupakan sumber yang penting pula dari sumber-sumber tasyri’, tidak memperoleh perhatian yang demikian. Dia tidak ditulis secara resmi, tida diperintahkan orang menulisnya, seperti perintah menuliskan Al-Qur’an.
Perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak membukukan hadits disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.      Mentadwikan ucapan-ucapannya, amalan-amalannya, mu’amalah-mu’amalahnya adalah satu keadaan yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut diatas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu, masih dapat dihitung. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan sumber asasi dari tasyri’, maka beberapa orang penulis itu, dikerahkan tenaganya untuk menulis Al-Qur’an dan Nabi memanggil mereka untuk menuliskan wahyu itu setiap turunnya.
2.      Karena orang Arab disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca tulisan kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya. Mempergunakan waktu untuk menghafal Al-Qur’an yang diturunkan dengan beragsur-angsur itu adalah suatu hal yang mudah bagi mereka, tidaklah demikian terhadap Al-Hadits.
3.      Karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak sengaja. Karena itu Nabi SAW, melarang mereka menulis hadits, beliau khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Illahi.
Muslim memberitakan dari Ab Sa’id Al Khudry, bahwa Nabi SAW, bersabda:
لاتكتبواعنّى ومن كتب عنّى غيرالقران فليمحه وحدثواعنّى ولاحرج ومن كذبعليّ قال همام احسبه قال متعمّدافليتبوّاءمقعده من النّار.
Artinya :  “Janganlah kalian tulisapa yang datang dariku. Barang siapa menulis dariku selain al-qur’an hendaklah ia menghapusnya. Ceritakan apa yang kala ia ndengar dariku, itu tidak mengapa. Tetapi barang siapa membuat kedustaan atasku secara sengaja, maka hendaklah Ia mempersiapkan, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim).
Dan Nabi bersabda lagi:
وحدّثواعنّي ولاحرج’ومن كذعليّ متعمّدافليتبوّأمقعده من النّار
Artinya: “Dan ceritakanlah daripadaku. Tak ada keberatan anda ceritaka apa yang anda dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta terhadap diriku (membuat sesuatu kedustaan, padahal aku tidak mengatakannya ), hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di dalam neraka.”
Hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan caa tidak resmi. Memang ada beberapa atsar yang shahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadits di masa Nabi.[5]

F.     Kedudukan usaha menulis hadits di masa Nabi SAW
Riwayat-riwayat yang benar ada menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan didalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasul SA, seperti Shahifah Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash, yang dinamai “ Ash Shadiqah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqy5 dari Abu Hurairah:
مامن أحدمن أصحاب النّبيّ ص م أكثرحديثاعنه منّي إلاماكان عندالله بن عمروبن العاص فإنّه كان يكتب ولاأناأكتب.
Artinya :”tak ada seorag wanita dari sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadits Rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amer bin ‘As. Dia menuliskan apa didengar, sedangkan aku tidak menulisnya.”
Adapula riwayat yang menerangkan bahwa ‘Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lainnya.[6]
G.    Pembatalan larangan menulis hadits
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang dinashkan oleh hadits Abu Sa’id, dimasukkkan dengan izin yang datang sesudahnya.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al Qur’an. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan Al Qur’an itu.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita fahamkan,bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al Qur’an, dan keizinan itu diberikan keppada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.
Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan kepada umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang tertentu. Riwayat Abdullah ibn ‘Amer menguatkan pendapat ini. Dan dikuatka pula kebolehan menukis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al Bukhary yang meriwayatkan bahwadi ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena dikala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar  menghalanginya karena ditakuti akan tambah sakit Nabi.Dan dapat pula difahamkan, bahwa sesudah Al Qur’an dibukukan, ditulis dengan sempurna dan telah pula turunnya, barulah dikeluarkan izin menulis sunnah.


BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita disimpulkan bahwa pada masa  perkembangan hadits  masih awal-awal munculnya hadits. Dan pada saat itu Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang dinashkan oleh hadits Abu Sa’id, dimasukkkan dengan izin yang datang sesudahnya.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al Qur’an. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan Al Qur’an itu.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita fahamkan,bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al Qur’an, dan keizinan itu diberikan keppada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.
Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan kepada umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang tertentu. Riwayat Abdullah ibn ‘Amer menguatkan pendapat ini.
Dan dikuatkan pula kebolehan menukis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al Bukhary yang meriwayatkan bahwadi ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena dikala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar  menghalanginya karena ditakuti akan tambah sakit Nabi. Dan dapat pula difahamkan, bahwa sesudah Al Qur’an dibukukan, ditulis dengan sempurna dan telah pula turunnya, barulah dikeluarkan izin menulis sunnah.



DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddiqieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, Semarang: 1999.
Dr. Indri, M. Ag,studi hadis,KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag,,ulumul hadis,AMZAH



[1]FathulbariI : 150.
[2]Pengertian kaifa wa qad qila adalah“ bagaimana anda memubasyarahkannya lagi padahal orang telah mengatakan bahwa anda saudaranya.  Ahmad, dengan hadits ini berpendapat, bahwasannya penyusuan dapat diisbatkan dengan pensaksian wanita penyusun sendiri dengan sumpah. Kata At-Taimy :arti hadits ialah : menganjurkan kita mengambi yang lebih terpelihara dalam soal pernikahan.  Bukan maknanya, menerima perkataan seorang wanita sebagai saksi, lalu boleh kita memutuskan hukum dengannya (Al KirmanyII : 74-75).
[3]Risalah AsySyafiihalaman 40.
[4]Dia seorang tabi’y besar. Nama lengkapnya : Masruq ibn Al-Ajda’ Al Hamdany Al kufy. “ Umar menukar nama
tAjda’ dengan “ Abdur Rahman”. Beliau terkenal keahliannya dalam mengendarai unta, wafat tahun 63 H.
[5]Dalam kitabnya Al Madkhal.
[6]Fathul Bari I : 165
 


2 comments:

  1. Assalamu'alaikum...
    Sahabatku, bagaimana cara mengatasi keresahan dalam melakukan kodifikasi di masa itu?
    Terima kasih

    ReplyDelete
  2. Asslmualaikum..
    Kawan, Bagaimana keshoshihan hadist dimasa itu?
    Terima kasi...

    ReplyDelete