ILMU
HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIROYAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ulumul Hadits III”
Dosen Pengampu:
Qoidatul Marhumah, M.Th.I
Disusun
Oleh :
Abu
kasim Patiran (933803715)
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN
DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
( STAIN KEDIRI)
2016
KATAPENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWA. Yang maha pengasih lagi maha penyayang, kamipanjatkan puji dan
syukur kehadirat nya yang telah melimpahkan rahmat, hidaya, dan hinayahnya
kepad kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tetang“RIWAYAH DAN DIROYAH“.
Makalahinitelahkamisusundengansemaksimalmungkindanmendapatbantuandariberbagaipihaksehinggadapatmemperlancarpembuatanmakalahini.Untukitukamimenyampaikanbanyakterimakasikepadasemuapihakyang..
telahberkontribusidalampembuatanmakalahini.Terlepasdarisemuaitu,kamimenyadarisepenuhnyabahwamasihadakekuranganbaikdarisegisusunankalimatmaupuntatabahasanya.Olehkarenaitudengantanganterbuka
kami menerimasegala saran dankritikdaripembaja
agarkamidapatmemperbaikitulisankamikedepan.Akirkatakamiberharapsemogamakalahinidapatmemberikanmanfaatbagipembacadanbagikitasemua.Aamiinallahummaaamiin.
Wasalamu’alaikumWr.Wb.
Kediri 5 Oktober 2016-
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LatarBelakangMasalah
Sebagai mana di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadis Shahih, Hadis Hasan, dan Hadits Dha`if.
Sebagai mana di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadis Shahih, Hadis Hasan, dan Hadits Dha`if.
Masing-masing
memiliki persyaratan sendiri-sendiri.Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan
persambungan sanad, kualitas para
periwayat yang di lalui hadist, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan
hadis itu sendiri. Maka persoalan
yang ada dalam ilmu hadist ada dua. Pertama
berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan
dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung
sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang di cantumkan di dalam
sanad hadis itu orang-orang yang terpercaya atau tidak. Adapun Ilmu yang
berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui
apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak.
Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
A. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Ilmu hadits Riwayah...?
b. Apa Pengertian Ilmuhadits Dirayah...?
c. Apa Saja Cabang-cabang Ulumul Hadis...?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Ilmu al Hadits Riwayah
Ilmu hadits Riwayah ialah Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits
yang di sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabi’at maupun tingkah lakunya.[1]
Sedangkan Ilmu Hadits sendiri, ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits.Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Sedangkan Ilmu Hadits sendiri, ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits.Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada lokasi atau kepada perkembangan masyarakat.
Periwayahtan hadits
ini sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan mulainya
periwayatan Hadits itu sendiri. Para Sahabat Nabi SAW.
menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadits Nabi SAW. Mereka berupaya untuk
memperoleh Hadits-Hadits Nabi SAW.
dengan cara mendatangi majelis Rasul SAW.
serta mendengar dan menyimak pesan atau nasehat yang disampaikan beliau. Penghimpunan
Hadits secara resmi dilakukan pada masa pemerintah Khalifah ‘Umar Ibnu ‘Abd
al-‘Aziz. Usaha tersebut di antaranya dipelopori oleh Abu Bakar Muhammad Ibnu
Syihab al-Zuhri.[2]
Obyek ilmu
Hadits-riwayah.
Ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadits. Dalam menyampaikan dan mendewankan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber’illat, dan apakah sanadnya itu bertali-temali satu sama lain atau terputus. Lebih jauh dari itu tidak diperkatakan hal-ihwal dan sifat-sifat rawinya, apakah mereka ‘adil, dlabit atau fasiq, hingga dapat memberikan pengaruh terhadap nilai suatu Hadits.[3]
Ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadits. Dalam menyampaikan dan mendewankan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber’illat, dan apakah sanadnya itu bertali-temali satu sama lain atau terputus. Lebih jauh dari itu tidak diperkatakan hal-ihwal dan sifat-sifat rawinya, apakah mereka ‘adil, dlabit atau fasiq, hingga dapat memberikan pengaruh terhadap nilai suatu Hadits.[3]
adapunFaedah-nya:
yakni untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali
yakni untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali
B.Ilmu hadist diroya
“undang-undang
(kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal-ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan
menyampaikan Al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya”. Menurut bahasa,
dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan.Maka
seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut sebagai pengetahuan
tentang ilmu hadits atau pengantar ilmu hadits.Ilmu hadits dirayah adalah ilmu
pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaan-keadaan
rawi dan yang diriwayahkan. Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ramahumuzi (wafat.360 H). [4]
Ulama
lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu kaidah-kaida yang dapat
mengetahui keadaan sanad dan matan.Definisi ini lebih pendek dari definisi
sebelumnya. Sedangkan definisi lain sebagaimana di sebutkan ibnu hajardefinisi
paling baik dari berbagai definisi ilmu hadits dirayah adalah ”pengetahuan
tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaan-keadaan rawi dan yang
diriwayahkan “.
Beberapa definisi tersebut memiliki kemiripan, namun semua definisi itumempunyai tujuan yangsama yakni pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahtan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya.
adapun manfaat dari mempelajari Ilmu Hadits Dirayahyang dapat kita diperoleh di antaranya:
1). Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa Rasul SAW sampai sekarang.
2). Kita dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3). Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan hadits.
4). Dapat mengetahui nilai, istila, dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman beristimbat.
5). Untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan pengamalannya.maka dapat di katakan faedah mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
Beberapa definisi tersebut memiliki kemiripan, namun semua definisi itumempunyai tujuan yangsama yakni pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahtan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya.
adapun manfaat dari mempelajari Ilmu Hadits Dirayahyang dapat kita diperoleh di antaranya:
1). Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa Rasul SAW sampai sekarang.
2). Kita dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3). Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan hadits.
4). Dapat mengetahui nilai, istila, dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman beristimbat.
5). Untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan pengamalannya.maka dapat di katakan faedah mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
Obyek ilmu Hadits-dirayah.
Ialah meneliti
kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya).Menurut sebagian
‘Ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah sendiri dalam kedudukannya
sebagai Rasul Allah.[5]
Ibnu Khaldun, di dalam Muqaddimahnya, pada bagian pembahasa Ulumu’l-Hadits mengatakan sebagai berikut:
وَمن علومالحديث النظر فى الاسانتدومعر فة ما يجب العمل ه من الاحا ديث بوقوعه على السند الكامل الشروط،لأن العمل انماوجب بمايغلب على لظن صد قه من اخباررسول الله، فيجتهد فى الطريق التى تحصل ذلك الظن، وهومعرفةرواة الحديث با لعدالةوالضبط.
“Di antara (faidah) ilmu Hadits ialah penelitian pada sanad-sanad dan mengetahui sesuatu dari Hadits-hadits yang wajib diamalkan yang terdapat pada sanad-sanad yang sempurna syarat-syaratnya.Sebab pengalaman itu hanya diwajibkan, lantaran berdasarkan dhann (dugaan keras) tentang kebenaran dari Hadits-hadits Rasulullah s.a.w. oleh karena itu hendaklah berijtihad mencari jalan yang dapat menghasilkan dhann tersebut.Ya’ni mengetahui rawi-rawi Hadits tentang keadilan dan kuatnya ingatan”.
Ibnu Khaldun, di dalam Muqaddimahnya, pada bagian pembahasa Ulumu’l-Hadits mengatakan sebagai berikut:
وَمن علومالحديث النظر فى الاسانتدومعر فة ما يجب العمل ه من الاحا ديث بوقوعه على السند الكامل الشروط،لأن العمل انماوجب بمايغلب على لظن صد قه من اخباررسول الله، فيجتهد فى الطريق التى تحصل ذلك الظن، وهومعرفةرواة الحديث با لعدالةوالضبط.
“Di antara (faidah) ilmu Hadits ialah penelitian pada sanad-sanad dan mengetahui sesuatu dari Hadits-hadits yang wajib diamalkan yang terdapat pada sanad-sanad yang sempurna syarat-syaratnya.Sebab pengalaman itu hanya diwajibkan, lantaran berdasarkan dhann (dugaan keras) tentang kebenaran dari Hadits-hadits Rasulullah s.a.w. oleh karena itu hendaklah berijtihad mencari jalan yang dapat menghasilkan dhann tersebut.Ya’ni mengetahui rawi-rawi Hadits tentang keadilan dan kuatnya ingatan”.
Menurut
sebagian Muhadditsin, tujuan mempelajari ilmu ini, ialah untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat sesuksessuksesnya.
Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda. Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah;
a. Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda. Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah;
a. Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu yang
membahasa para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukan mereka baik yang
cacat atau pun yang dapat membersikan mereka dengan ucapan atau lafats
tertentu.[6]
b. Ilmu tarikh
Rawi Hadits.
Ilmu untuk
mengettahui para rawi hadits yng brkaitan dengan usaha periwayatan mereka
terhadap hadits.Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi
perawi atau tidak.Orang yang pertama di bidang ini adalah al-bukhari (256
H).dalambukunya thabaqat, ibnsa’ad (230 H)b anyak menjelaskannya.
c. Ilmu
Mukhtalaf Al-Hadits.
Imam Nawawi
berkata dalam kitab al-Taqrib, “ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah
yang terpentinng.” Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah
bertentangan, namun ada kemumkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya,
umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat
diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di utamakan.Misalnya sabda
rasulullah SAW, “tiada penyakit menular ” dan sabdanya dalam hadits lain
berbunyi, “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa”. Kedua
hadits tersebut sama-sama shahih.Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa
sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi
allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab
penularan penyakit.[7]
Di
antara ulama yang menulis tentang ilmu mukhtalaf al-hadits adalah imam syafi’I
(204 H), Ibn Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakariya Bin Yahya al-Saji (307 H) dan
Ibnu al-Jauzi (598 H).
d. Ilmu Ilal
Al-Hadits
Ilmu ini
membahas tetentang sebab-sebab tyang dapat merusak keabsahan suatu hadits.Mialnya
memuttasilkan hadits yang mungkati’, memarfu’kan hadits yang maukuf dan
sebagainya.[8]
e. IlmuGharib Al-Hadits
e. IlmuGharib Al-Hadits
Ilmu ini
membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan
bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah
abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H.[9]
f.IlmuNasakhWa Al-Mansukh Al-Hadits
Ilmu nasakh wa
al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan
yang lain.yang datang dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang
datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus).
Al-hazimi
berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad.
Karena, rukun yang paling penting dalam berijtihad adalah pengetahuan tentang
penulilan hadits, dan sedangkan faidah dari pengetahuan tentangpenikilanadalahpengetahuantentangnasikhdanmansukh.Nasikhadalahyngmenghapus
atau membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri,
seperti, sabdanya, “Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang
berziarahlah, karenaitu akan mengingattkanmu pada akhirat.”
Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ramahumuzi (w.360 H).Pokok pembahasan ilmu dirayah itudua,yaitu:Rijalal-sanaddanJarah-ta’dil.Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dla’if.Kata penilaiansepertiitubiasadisebutMushthalahal-Hadits.
1.Rijalal-Sanad
Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ramahumuzi (w.360 H).Pokok pembahasan ilmu dirayah itudua,yaitu:Rijalal-sanaddanJarah-ta’dil.Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dla’if.Kata penilaiansepertiitubiasadisebutMushthalahal-Hadits.
1.Rijalal-Sanad
Sering
disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu untaian informasi tentang sosok perawi
yang menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai
pada penghimpun hadits. Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan
dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa
murid-murid yang berguru kepadanya, dari daerah mana dia, kedatangan dia ke
seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya
(ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi,
atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.[10]
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (’adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atauwebsite, atau sms dan sebagainya..Tingkatan perawi hadits pertamaadalahshahabatRasulullahSaw.yaituseseorangyangpernahbertemuasulullahSaw.dalamkeadaanhidup,sadardanberiman(Islam)sampaidiawafatdalamkeadaanIslam.Teknikpenulisanmatanhadits,sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (’adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atauwebsite, atau sms dan sebagainya..Tingkatan perawi hadits pertamaadalahshahabatRasulullahSaw.yaituseseorangyangpernahbertemuasulullahSaw.dalamkeadaanhidup,sadardanberiman(Islam)sampaidiawafatdalamkeadaanIslam.Teknikpenulisanmatanhadits,sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin.
2.Jarah-ta’dil
Adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu.[11] Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah ta’dil.
Kitab-kitab yang membahas jarah-ta’dil banyak sekali, dengan metoda dan penyajian materi yang berbeda-beda. Tokoh yang pertama kali memperhatikan jarah ta’dil sebagai ilmu,adalahIbn Sirin (w.110 H), Al-Sya’bi (w.103 H), Syu’bah, (w.160 H), dan al-imam Malik (w. 179 H.). Sedangkan tokoh yang pertama kali menulis kitab jarah-ta’dil adalah Yahya ibn Ma’in (168-223 H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).Kemudian bermunculan kitab-kitab yang menulis jarah ta’dil.
Jarah ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw.Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya.Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di atas.
Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang. Tetapi sesudah karya Ibn Hajar al-Asqallani, kitab yang muncul berikutnya hanya mengutip apa adanya, sehingga tidak ada komentar baru. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk mengolah jarah-ta’dil menjadi sebuah ilmuyangberkembang.Pengembangan jarah ta’dil berangkat dari dua kelompok pembahasan,yaitu:
Adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu.[11] Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah ta’dil.
Kitab-kitab yang membahas jarah-ta’dil banyak sekali, dengan metoda dan penyajian materi yang berbeda-beda. Tokoh yang pertama kali memperhatikan jarah ta’dil sebagai ilmu,adalahIbn Sirin (w.110 H), Al-Sya’bi (w.103 H), Syu’bah, (w.160 H), dan al-imam Malik (w. 179 H.). Sedangkan tokoh yang pertama kali menulis kitab jarah-ta’dil adalah Yahya ibn Ma’in (168-223 H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).Kemudian bermunculan kitab-kitab yang menulis jarah ta’dil.
Jarah ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw.Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya.Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di atas.
Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang. Tetapi sesudah karya Ibn Hajar al-Asqallani, kitab yang muncul berikutnya hanya mengutip apa adanya, sehingga tidak ada komentar baru. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk mengolah jarah-ta’dil menjadi sebuah ilmuyangberkembang.Pengembangan jarah ta’dil berangkat dari dua kelompok pembahasan,yaitu:
Berangkat
dari unsur rawi (pembawa hadits) dan unsur takhrij (metoda pengeluaran predikat
jarah atau ta’dil pada seorang rawi yang ada dalam sanad).Unsur dalil unsur
penilaian.Yaitu unsur alasan ditetapkannya jarah atau ta’dil kepada seorang
rawi, dan unsur norma-norma penilaian jarah atau ta’dil itu sendiri.Dua
kelompok itulah merupakan pilar utama dalam bangunan Ilmu Hadits Dirayah.
Secara rinci, fokus pengembanganjarahta’diltersebarberdasarkanduapemilahan.Pemilahan
matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial,
hadits kepribadian, dansebagainya.Pemilahan rawi dari segi jarah atau ta’dil
berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir
jarah ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau ulama
mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap rawi, sehingga
ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya, dan yang paling
banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian jarah dan ta’dilnya.Atas dasar
itu, jarah-ta’dil dapat diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.[12]
Selain
itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran
beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah. Model-model
pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya disajikan dua
model saja, yaitu matan haditsdankebudayaan,atau mekanisme matan hadits. Matan
hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1) bentuk-bentuk hadits
Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi, jawami’ al-kalim, hadits
dzikir dan do’a, hadits riwayat bi al-makna, dan aqwal al-shahabah.Semua
dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk
kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya
adalah sebagai berikut: Matan Hadits Nabi dan
kebudayaan(Formatdanformatisasiolehmatanhadits)Format hadits dinilai agama,
sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada
masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi
kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsurpenerapanformatisasiadalima,yaitu:
Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits .
1.Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits .
1.Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
Misi
format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau
maksud yang dibawakan oleh format hadits. Alat atau wahana yang digunakan oleh
penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.Halayak
atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep.Gambaran atau
tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi.Unsur
ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.[13]
Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan
bertentangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil hukum.
Teori
ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai dalil
hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah ”Saya melarang kamu sekalian tentang
ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke
akhirat.” Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir
semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh-mansukh.Tokoh yang pertama
kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi
kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits
wa mansukhuh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh
al-Hadits wa Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak
beredar adalah Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar”
karyaAbuBakaral-Hamdzani(w.584H).
2.AsbabWurudal-Hadits.
Teori
ini membahas tentang latarbelakang datangnya sebuah hadits yang diterima oleh
seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab
al-Nuzul dalam Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak
membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan hadits
yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits
adalah Abu Hafsh al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah
Al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah
al-Dimasyqi (w.1120H). Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua
teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam
penerapan makna.Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat
Wurud al-Hadits lebih dahulu.Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan
hadits berikutnya disebut nasikh.Dua teori itu banyak dibahas oleh kitab-kitab
Ulum al-Hadits.Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan
pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu
hadits tidak dapat berkembang.Salah satu model pengembangan masalah ini adalah
menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial
lainnya.Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang
berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan
kasus yang melingkari.Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem
eksternal (maa fi al-hadits dan maa haul al-hadits).
Sistem
internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia
diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu
terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum
fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal
mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap,
yang dikandung oleh matan hadits. Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis
dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya,
al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa ‘iz (Ahli Hadis yang Memisahkan
Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas
masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap.Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi
(w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘U1um
al-Hadis (Makrifat Ilmu Hadis).
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu hadits Riwayah ialah Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits
yang di sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabi’at maupun tingkah lakunya.
Sedangkan Ilmu Hadits sendiri, ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits.Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah.
Sedangkan Ilmu Hadits sendiri, ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits.Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah.
kemudian ilmu diroyah di artikan “undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal-ihwal sanad,
matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain
sebagainya”. Menurut bahasa, dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan
yang berarti pengetahuan.Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah
Disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu hadits atau pengantar ilmu
hadits. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang
dapa t memperkenalkan keadaan-keadaan rawi dan yang diriwayahkan.
Adapun
beberapa cabang ilmu seperti ilmu nasakh
wa al masuhk dan lain-lain adalah
penjabaran dari ilmu riwaya dan diroya. Namun tujuan dari beberapa
cabang ilmu ini adalah untuk menjaga keshohian serta kemutawatiran sebuah
hadits karna pada dasarnya hadits merupakan pedoman kedua setelah al-Qur’an.
Yang harus dijaga sebagai mana kita menjaga al- Qur’an.
DAFTAR RUJUKAN
Dr. Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Jakarta :tim
pustaka firdaus,1993)
Drs. Fatchur Rohman, Ikhtisar Mushthalahu’l-hadits, (Bandung :PT. Al-ma’arif,19910)
Drs. Fatchur Rohman, Ikhtisar Mushthalahu’l-hadits, (Bandung :PT. Al-ma’arif,19910)
Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo
persada. 2003),
Dr. M. Alfatih Suryadilaga, ddk. , ulimul Hadits, (Yokyakarta: Teras. 2010),
[1]DR.Nawir
Yuslem. MA, ulumul Hadits, (Jakarta: PT.Mutiara sumber widya. 2001), hal
3
[2]Dr. Subhi As-Shalih, ilmu-ilmu
hadits, (Jakarta,tim pustaka firdaus. 1993), hal
[3] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo
persada. 2003), hal 24
[4] Dr. M. Alfatih Suryadilaga, ddk. , ulimul Hadits, (Yokyakarta: Teras. 2010), hal 121-129
[5] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu
Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo persada. 2003), hal 26
[6] Dr. M. Alfatih Suryadilaga, ddk. , ulumul Hadits, (Yokyakarta: Teras. 2010), hal 156-157
[7]Dr. M. Alfatih Suryadilaga, ddk. , ulumul Hadits, (Yokyakarta: Teras. 2010), hal 169-160
[8]Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu
Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo persada. 2003), hal 23
[9]Drs. Suparta, MA., Ilmu Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo persada.
2003), hal 24
[10]Dr. Subhi As-Shalih, Membahas ilmu-ilmu hadits,Jakarta,tim pustaka
firdaus,1993
[11]Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo
persada. 2003), hal
[13]Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu
Hadits, (Jakarta : PT.Raja Grafindo persada. 2003), hal 26-27
Apakah tidak disebutkan mulai kapan mungkin pembagian riwayah dirayah itu?
ReplyDelete