HADITS
TENTANG JIHAD
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
HADITS 4
Dosen
Pengampu:
Qoidatul
Marhumah, M.Th.I
Disusun
Oleh:
Zainul Muhajir Romli Tamim
933200414
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semua umat Islam telah sepakat
bahwa Hadits aadalah sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an, dan umat
Islamdiwajibkan mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan
mengikuti dan mengamalkan al-Qur’an.
Dalam hal ini kami ingin
menggunakan hadits sebagai pedoman dan acuan umat Muslim dengan menjawab
beberapa permasalahan ataupun pertanyaan, yang nantinya akan di jelaskan dalam
hadits-hadits yang telah dikodifikasi oleh Ulama Muhaditsin. Dalam hadits sangat
banyak Bab-bab ataupun bahasan-bahasan mengenai kehidupan sosial, politik,
ibadah, dan masih banyak yang lainnya. Dalam hal ini kami pemakalah ingin
mengupas hadits-hadits Nabi yang berkenaan dengan Jihad Fi Sabilillah atau
jihad di jalan Allah.
Dalam dimensi semantik, kata jihad
diartikan beban yang sangat berat. Dalam terminologi syariat jihad adalah
mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi orang kafir dan pemberontak. Jihad
dalam Islam sangat dianjurka bahkan jihad merupaka kewajiban bagi setiap kaumMuslim
untuk mempertahankan agama. Oleh karena itulah pemakalah ingin membahas hadits
yang berkenaan denga jihad.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Jihad dalam Hadits Nabi
Saw.?
2.
Bagaimana orang yang berjihad di
jalan Allah?
3.
Bagaimana Jihad nya seorang
perempuan dalam Hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keutamaan
Jihad
Rasulullah Saw. Bersabda :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ مِغْوَلٍ قَالَ سَمِعْتُ
الْوَلِيدَ بْنَ الْعَيْزَارِ ذَكَرَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ قَالَ
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ
قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ
الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ
اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Telah bercerita kepada kami Al Hasan
bin Shobbah telah bercerita kepada kami Muhammad bin Sabiq telah bercerita
kepada kami Malik bin Mighwal berkata; aku mendengar Al Walid bin Al 'Ayzar
menyebutkan dari Abu 'Amru Asy Syaibaniy berkata 'Abdullah bin Mas'ud
radliallahu 'anhu berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, aku katakan: "Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling
utama?" Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya". Kemudian aku
tanyakan lagi: " Kemudian apa?" Beliau menjawab: "Kemudian
berbakti kepada kedua orang tua". Lalu aku tanyakan lagi: "Kemudian apa
lagi?" Beliau menjawab: "Jihad di jalan Allah". Maka aku
berhenti menyakannya lagi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Seandainya aku tambah terus pertanyaan, Beliau pasti akan menambah jawabannya
kepadaku".
Ad-Dawudi mengemukakan pandangan
terkesan ganjil. Menurutnya, “ jika seseorang melaksanakan shalat pada awal
waktunya maka jihad lebih didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua,
tapi bila diakhirkan maka berbakti kepada kedua orang tua lebih didahulukan
daripada jihad”.
Adapun yang tampak dari hadits
diatas yaitu shalat lebih dahulu daripada jihad dan berbakti kepada kedua orang
tua, karena shalat adalah kewajiban bagi mukallaf dalam setiap komdisi.
Sedangkan berbakti kepada orang tua disebutkan lebih dahulu daripada jihad, karena
jihad itu tergantung izin orang tua.
Ath-Thabari berkata, “Nabi Saw
menyebutkan tiga perkara ini secara khusus, karena ketiganya merupakan tanda
dan ciri bagi ketaatan yang lain. Barangsiapa melalaikan shalat fardhu hingga
keluar waktunya tanpa ada udzur, padahal shalat itu sangat ringan dan
keutamaannya sangat besar, maka dapat dipastikan dia lebih melalaikan kewajiban
yang lain. Barangsiapa yang tidak berbakti kepada kedua orang tua, padahal hak
keduanya demikian besar maka tentu dia lebih tidak berbakti kepada orang lain.
Barangsiapa meninggalkan jihad memerangi orang kafir, padahal permusuhan mereka
sangat keras terhadap agama islam, tentu dia akan lebih meninggalkan jihad
melawan orang-orang fasik. Maka jelas barangsiapa memelihara ketiga perkara ini,
dia akan memelihara pada ketaatan-ketaatan yang lain, dan demikian sebaliknya. [1]
Rasululah Saw. juga bersabda sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا
عَفَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي
أَبُو حَصِينٍ أَنَّ ذَكْوَانَ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ
يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ تَسْتَطِيعُ إِذَا خَرَجَ
الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُومَ وَلَا تَفْتُرَ وَتَصُومَ وَلَا
تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنَّ
فَرَسَ الْمُجَاهِدِ لَيَسْتَنُّ فِي طِوَلِهِ فَيُكْتَبُ لَهُ حَسَنَاتٍ
Telah
bercerita kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami 'Affan
telah bercerita kepada kami Hammam telah bercerita kepada kami Muhamad bin
Juhadah berkata telah bercerita kepadaku Abu Hashin bahwa Dzakwan bercerita
kepadanya bahwa Abu Hurairah radliallahu 'anhu bercerita kepadanya, katanya:
"Datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu
bertanya: "Tunjukkan kepadaku suatu amal yang dapat menyamai jihad?"
Beliau menjawab: "Aku tidak menemukannya ". Beliau melanjutkan:
"Apakah kamu sanggup jika seorang mujahid keluar berjihad sedangkan kamu
masuk ke dalam masjidmu lalu kamu tegakkan ibadah tanpa henti dan kamu berpuasa
tanpa berbuka?" Orang itu berkata: "Mana ada orang yang sanggup
berbuat begitu". Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata: "Sesunguhnya
kuda seorang mujahid yang dikekang talinya untuk berperang akan ditulis sebagai
kebaikan".
Ini merupakan keutamaan orang yang
berjihad di jalan Allah. Konsekuensinya tidak ada amalan yang menyamai jihad di
jalan Allah.[2]
Iyadh berkata, “Hadits diatas menerangkan tentang keutamaan jihad, karena puasa
dan perbuatan lainnya yang disebutkan bersamanya disamai oleh jihad, hingga
semua keadaan dan tindak-tanduk mujahid yang bersifat mubah dapat menyamai
pahala orang yang terus shalat dan lainnya. Oleh karena itu, Nabi Saw bersabda,
“Engkau tidak akan mampu (melakukannya)”.
Hadits ini mengandung faidah bahwa
keutamaan dapat diketahui berdasarkan logika, bahkan ia adalah karunia dari
Allah kepada siapa yang dikehendakinya. Hadits ini dijadika dalil bahwa jihad
merupakan perbuatan paling utama secara mutlak berdasarkan keterangan
terdahulu.[3]
Ibnu Daqiq Al-Id berkata, “Secara
logika dapat diterima bahwa jihad merupakan perbuatan paling utama di antara
perbuatan-perbuatan yang bersifat sebagai sarana. Karena jihad merupakan sarana
untuk meninggikan agama, menyebarkannya dan memadamkan kekufuran serta
menghancurkannya. Al-jauhari berkata,”Makna kata layatannu adalah
mengangkat kakinya lalu menjatuhkannya secara bersamaan”. Sementara pakar bahasa
selainnya mengatakan, “Maknanya adalah kuda itu masuk ke tengah musuh dan
bergerak ke sana kemari”.
Adapun makna kalimat fii thiwalihi adalah tali yang
digunakan mengikat hewan, dan di pegang ujungnya serta dilepaskan di tempatnya
merumput. Sedangkan kalimat فَيُكْتَبُ
لَهُ حَسَنَاتٍ maksudnya,
yakni setiap gerakan kuda itu ditulis sebagai kebaikan bagi mujahid.[4]
B.
Orang Yang Jihad Di Jalan Allah
Rasulullah
Saw. bersabda sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ
الْقَائِمِ وَتَوَكَّلَ اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِهِ بِأَنْ يَتَوَفَّاهُ
أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرْجِعَهُ سَالِمًا مَعَ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ
Telah
bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari
Az Zuhriy berkata telah bercerita kepadaku Sa'id bin Al-Musayyab bahwa Abu
Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan hanya
Allah yang paling tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya, seperti seorang yang
melaksanakan shoum (puasa) dan berdiri (shalat) terus menerus. Dan Allah
berjanji kepada mujahid di jalan-Nya, dimana bila Dia mewafatkannya maka akan
dimasukkannya ke surga atau bila Dia mengembalikannya dalam keadaan selamat dia
akan pulang dengan membawa pahala atau ghonimah (harta rampasan perang) ".
Keadaan orang yang berpuasa dan
shalat disamakan dengan keadan orang yang berjihad di jalan Allah dalam
mendapatkan pahala di setiap gerak dan diamnya. Karena yang dimaksud dengan
orang yang berpuasa dan shalat adalah orang yang tidak pernah berhenti ibadah
sehingga pahalanya terus-menerus. Demikian pula orang yang berjihad, tidak
sesaat pun waktunya yang tersia-siakan tanpa ada pahala.[5]
Orang yang gugur dalam berjihad akan
masuk surga tanpa hisab dan adzab, atau Allah memasukkannya ke dalam surga saat
kematiannya. Sedangakan orang yang tidak gugur dalam jihad atau kembali dengan
selamat mendapatkan harta rampasa atau Ghanimah.
Al Karmani berkata,”Bahwa seorang
mujahid memiliki dua kemungkinan, mati syahid atau kembali dengan selamat. Jika
kembali dengan selamat, maka dia akan mendapatkan rampasa perang, atau pahala,
atau mungkin mendapatkan rampasan perang dan pahala sekaligus”.[6]
Rasulullah Saw. Juga bersabda
sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ
أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا عَبَايَةُ بْنُ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ
قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو عَبْسٍ هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جَبْرٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اغْبَرَّتْ قَدَمَا
عَبْدٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَمَسَّهُ النَّارُ
Telah bercerita kepada kami Ishaq
telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mubarak telah bercerita kepada
kami Yahya bin Hamzah berkata telah bercerita kepadaku Yazid bin Abi Maryam
telah mengabarkan kepada kami 'Abayah bin Rifa'ah bin Rofi' bin Khodij berkata
telah bercerita kepadaku Abu 'Isa, dia adalah 'Abdur Rahman bin Jabr bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kedua kaki seorang
hamba yang berdebu fi sabilillah tidak akan disentuh oleh api neraka".
Ibnu Al-Manayyar berkata, “Bahwa Allah memberi
pahala dengan sebab langkah-langkah merekameskipun belum terjun langsung ke
medan perang. Demikian juga hadits yang di sebutkan menujukkan bahwa orang yang
kedua kakinya berdebu di jalan allah, niscaya Allah mengharamkannya untuk Masuk
ke dalam neraka, baik dia terjun langsung ke medan perang atau tidak”.
Kaki seorang yang jihad di jalan
Allah tidak disentuh oleh api neraka karena adanya debu. Hal ini merupakan
isyarat keagungan nilai suatu perbuatan dalam berjuang di jalan Allah. Jika
sekadar sentuhan debu pada kaki menyebabkan diiharamkannya dari api neraka.[7]
C.
Jihad bagi Kaum Wanita
Rasulullah
Saw. Bersabda sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا
سُفْيَانُ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اسْتَأْذَنْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ
جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُعَاوِيَةَ بِهَذَا
Telah
bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan
dari Mu'awiyah bin Ishaq dari 'Aisyah binti Thalhah dari 'Aisyah, ummul
mu'minin radliallahu 'anha berkata: "Aku meminta izin kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam untuk berjihad, maka Beliau bersabda: "Jihad kalian
adalah haji". Dan 'Abdullah bin Al Walid berkata telah bercerita kepada
kami Sufyan dari Mu'awiyah dengan hadits seperti ini.
Ibnu Baththal berkata,”Hadits
Aisyahmemebri petunjuk bahwa jihad tidak wajib atas wanita. Ketidak wajiban itu
dikarenakan menyelisihi apa yang diminta dari mereka, yaitu menutup diri dan
menghindari kaum laki-laki. Oeleh karena itu, maka haji lebih utama bagi mereka
daripada jihad”.
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan
bahwa apa yang dikatan Ibnu Baththal telah disinyalir oleh Imam Bukhari dengan
sikapnya yang membuta judul bab ini secara mutlak, lalu mengiringinya dengan
bab yang menegaskan keluarnya wanita untuk berjihad.[8]
D.
Antara Jihad dan Berbakti Kepada Orang Tua
Rasulullah
Saw. Bersabda sebagai berikut :
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا
حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْعَبَّاسِ الشَّاعِرَ وَكَانَ
لَا يُتَّهَمُ فِي حَدِيثِهِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ
أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِد
Telah
bercerita kepada kami Adam telah bercerita kepada kami Syu'bah telah bercerita
kepada kami Habib bin Abi Tsabit berkata aku mendengar Abu Al 'Abbas
Asy-Sya'ir, dia adalah orang yang tidak buruk dalam hadits-hadits yang
diriwayatkannya, berkata aku mendengar 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma
berkata: "Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam lalu meminta izin untuk ikut berjihad. Maka Beliau bertanya:
"Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab:
"Iya". Maka Beliau berkata: "Kepada keduanyalah kamu berjihad
(berbakti) ".
Hadits di atas menerangkan tentang
bahwa anak tidak wajib ikut perang fardhu kifayah, jika kedua atau salah satu
orang masih hidup dan mereka tertimpa masalah jika anak ikut berperang,
terkecuali jika mereka (kedua orang tua) mengizinkan anak mereka agar ikut
perang. Berhukum haram jika kedua orang tua atau salah satu orang tuanya
melarang dengan syarat mereka Muslim. Sebab berbakti kepada orang tua hukumnya
fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah. Jika jihad hukumnya
fardhu ‘ain, maka tidak perlu izin mereka maupun ridha mereka, demikian
pendapat jumhur ulama.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
Hadits-hadits diatas telah diketahui bahwa jihad hukumnya fardhu kifayah, namun
juga akan menjadi fardhu ‘ain jika dalam keadaan tertentu.jihad bagi kalaki-laki
wajib hukumnya, namun bagi perempuan tidak wajib, bahkan haji lebih utamadari
berjihad bagi perempuan. Bahkan perumpaman nya orang yang berjihad derajatnya
masih lebih tinggi daripada mukmin yang berada di satu lembah pegunungan,
kemudia dia bertakwa kepada allah dan menghindar dar kejahatan.
Dari
hadits diatas juga paparkan bahwa kaki orang yang berjihad jika terkena debu,
tidak akan tersentuh oleh api neraka. Sungguh sangat mulia orang yang berjuang
untuk pembelaan agama, mempertahankan agama Allah. Bahkan orang yang telah
gugur dalam jihad di jalan Allah, matinya tanpa hisab dan siksa, artinya
langsung di masukkan ke dalam surga. Dari hadits diatas juga terdapat, bahwa
orang yang berjihad harus atas seizin kedua orang tuanya. Jika kedua orang
tuanya ataupun salah satunya tidak mengizinkan maka berbakti kepada orang tua
sudah dihitung jihad. Kecuali jihad ataupun perang nya berhukum fardhu ‘ain,
maka tanpa seizin pun boleh mengikuti perang, hal ini pendapat jumhur ulama’.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu
Hajar al-Asqalani. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari 16. Penerjemah
Aminuddin. Jakarta. Pustaka Azzam. 2009
Ahmad
Muhammad Yusuf. Ensiklopedi Tematis Ayat
al-Qur’an & Hadits. Jilid 7. Jakarta . Widya Cahaya. 2009.
No comments:
Post a Comment