KEKHALIFAHAN MANUSIA
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ
إِنِّى جَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ
يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُكَ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“30.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan di muka bumi itu seorang khalifah.” Mereka berkata:
“Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30)
Terjemahan makna ayat 30 tersebut seringkali terlihat terdapat penambahan kata ingatlah ,
seperti terlihat di atas. Ada penjelasan untuk itu terkait dengan ilmu
dalam bahasa Arab. Hal itu terkait erat dengan kata idz yang oleh sebagian
orang dianggap sebagai huruf tambahan (zâ’idah). Jumhur Mufassir
menyatakan bahwa huruf idz sesudah huruf wawu bukanlah tambahan.
Huruf idz di ayat tersebut sesungguhnya digantungkan (mu’allaqah)
dengan kata kerja (fi’l) yang muqaddar yang taqdirnya adalah wadzkur
idz qâla.[1] Itulah mengapa sebabnya dalam
terjemahan maknanya mendapat tambahan kata ingatlah meskipun di teks al-Qur’an-nya
tidak terdapat kata udzkur dalam bentuk fi’l amr.
Ayat
tersebut di atas memerintahkan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
untuk mengingat apa yang pernah disampaikan Allâh Azza wa Jalla kepada
para Malaikat-Nya.[2] Hal ini sekaligus sebuah
isyarat bagi Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk
menyampaikan dan mengingatkan kembali umatnya tentang tugas yang pernah
dibebankan kepada manusia pada awal penciptaannya. Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam dan umatnya disuruh untuk mengingat suatu peristiwa
ketika Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para Malaikat terkait
rencananya menciptakan dan mengangkat seorang khalifah di muka bumi. Khalifah
itu, dalam rencana Allâh Azza wa Jalla, dimaksudkan untuk menggantikan
peran Allâh Azza wa Jalla dalam melaksanakan hukum-hukum-Nya. Khalifah
itu adalah Adam‘alaihi al-salâm dan juga kaum-kaum sesudahnya yang sebagian
menggantikan sebagian lainnya di kurun waktu dan generasi yang berbeda.
Demikian penjelasan dari Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsirnya, Shafwah
al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim.[3]
Terkait rencana besar Allâh Azza wa Jalla itu para Malaikat
mempertanyakannya kepada Allâh karena keheranan (al-ta’ajjub),
keingintahuan (al-isti’lâm), dan keinginan membuka tabir kebijaksanaan
Allâh (istiksyâf ‘an al-hikmah), bukan karena meragukan dan
memprotes kebijakan Allâh Azza wa Jalla. Penulis tidak setuju dengan
penafsiran sebagian orang yang menafsirkan bahwa para Malaikat memprotes Allâh
atas kebijakan-Nya akan menciptakan khalifah di muka bumi. Sebagian yang
lain bahkan menggunakan kata yang lebih ekstrim bahwa para Malaikat mendemo
Allâh . Tidak! Sama sekali tidak seperti itu. Para Malaikat tidak sedang
protes. Bagaimana mungkin mereka memprotes padahal mereka, seperti dinyatakan
Allâh Azza wa Jalla sendiri dalam al-Qur’an sebagai makhluq yang tidak
pernah membangkang perintah Allâh dan bahkan senantiasa taat melaksanakan
apa pun yang diperintahkan Allâh bagi mereka.[4] Selain itu dapat diketahui
dari penggunaan huruf alif sebelum fi’l mudhâri’ yang merupakan harf
al-istifhâm yang berarti apakah, bukan mengapa. Para Malaikat
bertanya apakah Allâh Azza wa Jalla perlu menciptakan khalifah
jika dia dan keturunannya nanti menurut pemberitahuan Allâh kepada para
Malaikat-Nya adalah akan berpotensi melakukan kerusakan di muka bumi.[5] Kalaulah yang Allâh
inginkan adalah agar mereka beribadah kepada-Nya, bukankah selama ini
para Malaikat senantiasa bertasbih dan mentaqdiskan (mensucikan) Allâh Azza
wa Jalla ?
Mufassir
lain menganggap bahwa para Malaikat bertanya berdasarkan ketidaktahuan mereka
sehingga mereka menduga-duga jangan-jangan makhluk itu tidak seperti mereka.
Jangan-jangan mereka adalah makhluk yang durhaka (ma’shiyah) kepada
Allâh Azza wa Jalla dan pada akhirnya hanya akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah di muka bumi Allâh Azza wa Jalla dengan berperang dan
saling berbunuhan. Hal itu didasarkan kepada dugaan yang mereka anggap sebagai
pengetahuan spesifik (‘ilm khâssh) mereka bahwa jenis makhluq yang akan
diciptakan Allâh itu memiliki kecenderungan melakukan kerusakan dan
pertumpahan darah.[6] Sebagian Mufassir mendasarkan
dugaan para Malaikat terhadap makhluq Allâh bernama Jinn yang pernah
menghuni bumi terlebih dahulu dan mereka melakukan kerusakan di muka bumi.
Keterangan seperti ini didasarkan kepada keterangan al-Dhahak yang bersumber
kepada Ibn ‘Abbas dan keterangan Mujahid yang bersumber kepada Abdullah ibn
‘Amr.[7]
Pertanyaan dan anggapan (bukan keraguan dan perasaan dengki) para Malaikat
dijawab oleh Allâh Azza wa Jalla bahwa semua itu sudah diperhitungkan
secara matang atas dasar Kemahatahuan-Nya yang melampaui pengetahuan semua
makhluq-Nya, termasuk para Malaikat. Semua yang akan Allâh Azza wa Jalla
lakukan atas makhluq-Nya sudah Allâh Azza wa Jalla skenariokan
dengan penuh detil yang tidak ada cacatnya. “Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kalian ketahui.” Allâh Azza wa Jalla bermaksud
menyadarkan para Malaikat-Nya bahwa sesungguhnya Dia mengetahui kemaslahatan
dan hikmah sesuatu yang tidak mereka ketahui. Termasuk dalam penciptaan seorang
khalifah, tentu ada suatu hikmah yang boleh jadi tidak mereka ketahui.
عَلَّمَ
ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُوْنِى بِأَسْمَآءِ هَــؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“31.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kalian mamang orang-orang yang benar!” (QS al-Baqarah [2]: 31)
Selanjutnya Allâh mengajarkan kepada Adam nama-nama. Dan adalah hak Allâh
Azza wa Jalla sepenuhnya untuk mengajarkan sesuatu kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya. Oleh Allâh Azza wa Jalla, Adam as diajari
oleh Allâh nama-nama ciptaan-ciptaan Allâh Azza wa Jalla (al-makhluqât).
Setelah nama-nama itu dapat Adam ketahui dan ingat dengan baik, selanjutnya Allâh
Azza wa Jalla perlu membuktikan apa yang pernah disampaikan-Nya
kepada para Malaikat terkait kemahatahuan-Nya. Oleh Allâh Azza wa Jalla,
nama-nama itu diajukan kepada Malaikat untuk mereka sebutkan satu persatu jika
mereka benar-benar mengetahuinya. Hal ini penting karena akan berkait erat
dengan pernyataan Allâh di ayat terdahulu, “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß™ Ÿw zNù=Ïæ
!$uZs9 wÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
قَالُوْا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ
لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
“32. Mereka menjawab: “Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS al-Baqarah [2]: 32)
Malaikat mengakui keterbatasan pengetahuan mereka. Mereka tidak mampu
menyebutkan nama-nama yang ditunjuk oleh Allâh Azza wa Jalla. Mereka
juga menyadari bahwa pengajar mereka adalah Allâh Yang Maha ‘Alim lagi
Maha Hakim. “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang Telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Semua makhluq Allâh diberi pengetahuan yang terbatas sifatnya, termasuk
para Malaikat yang lebih banyak mengetahui hal-hal yang ghaib menurut pandangan
manusia. Hanya Allâh sendirilah yang paling mengetahui apa saja yang ada
di alam Allâh Azza wa Jalla, langit maupun bumi, dunia maupun akhirat.
Karena Dia Yang Maha Tahu, maka banyak sekali kebijaksanaan-Nya (hikmah)
yang tidak akan mampu ditembus oleh makhluq-Nya, kecuali jika Allâh
sendiri yang berkenan memberitahukannya. Karena itu Allâh Azza wa
Jalla disebut sebagai hakîm, Yang Maha Bijaksana, yang memiliki
kebijaksanaan yang paling tinggi. Meskipun terkadang para Malaikat kurang
mengerti. Meskipun terkadang akal manusia menemui kebuntuan dalam membaca
kebijaksanaan-Nya.
قَالَ يَـــــــئَادَمُ أَنْبِئْهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قاَلَ أَلَمْ أَقُلْ
لَكُمْ إِنِّى أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَ أَعْلَمُ مَا
تُبْدُوْنَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ
33.
”Allâh berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allâh berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang
kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?”
Untuk membuktikan kebenaran Allâh Azza wa Jalla dan kesalahan mereka
yang terkesan mengesampingkan kemahatahuan dan kebijakan-Nya, Allâh Azza wa
Jalla memerintahkan Adam menyebutkan nama-nama itu. Adam pun dengan patuh
menyebutkan nama-nama itu dengan sebaik-baiknya sehingga Allâh Azza wa Jalla
perlu menyatakan kepada para Malaikat-Nya, “Bukankah sudah Aku katakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
Bukan hanya sekedar mengajarkan nama-nama yang tidak mereka ketahui kepada
Adam. Apa saja yang ada di langit dan di bumi Allâh Azza wa Jalla
mengetahuinya dengan baik. Pengetahuan Allâh Azza wa Jalla bahkan
meliputi apa yang disampaikan para Malaikat dan apa yang disembunyikan di dalam
diri mereka berupa persangkaan mereka terhadap bakal khalifah Allâh Azza wa
Jalla di muka bumi.
وَإِذْقَالَ لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ
مِنَ الْكَافِرِيْنَ
“34.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kalian
kepada Adam!” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan membesarkan
diri dan adalah ia termasuk golongan yang Kafir.” (QS al-Baqarah [2]: 34)
Setelah para Malaikat menyadari keagungan Allâh Azza wa Jalla dan
mengetahui sebagian hikmah dari penciptaan seorang khalifah di muka bumi,
selanjutnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para Malaikat untuk
sujud kepada Adam ‘alaihi al-salâm. Sujud yang dimaksud di sini bukanlah
sujud sebagaimana layaknya sujudnya seorang hamba kepada Sang Pencipta (al-Khâliq).[8] Sujud yang diperintahkan Allâh
Azza wa Jalla adalah sujud penghormatan (tahiyyah) dan
pemuliaan (ta’zhîm) terhadap Adam sebagai makhluq ciptaan Allâh Azza
wa Jalla yang memiliki kelebihan atas makhluq yang lain karena adanya
karunia Allâh Azza wa Jalla,[9] bukan sujud memperhambakan
diri (sujûd ’ibâdah). Kita semua telah sama-sama mafhum bahwa sujud
memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata untuk Allâh Azza wa Jalla,
Tuhan Yang Maha Esa. Bukan untuk yang selain Allâh Azza wa Jalla.
Menghadapi perintah Allâh Azza wa Jalla itu para Malaikat Allâh Azza
wa Jalla sujud kepada Adam karena taat dan patuh melaksanakan perintah
Allâh Azza wa Jalla. Namun ternyata ada yang tidak mau turut bersujud,
yaitu Iblis. Penyebutan nama Iblis setelah penyebutan nama Malaikat dalam
bentuk kalimat seperti dalam ayat tersebut di atas membawa kesan bahwa Iblis
termasuk golongan dari Malaikat. Sebagian Mufassir menyatakan bahwa Iblis
adalah termasuk golongan Malaikat. Sebagai bukti bahwa Iblis merupakan bagian
dari Malaikat adalah karena perintah itu sejak awal adalah ditujukan kepada
para Malaikat-Nya. Selanjutnya ada pernyataan tentang sujudnya para
Malaikat-Nya dalam bentuk kata kerja lampau (f’il mâdhi). Setelah adanya
penjelasan adanya perbuatan sujud ternyata ada pengecualian yang ditunjukkan
dengan huruf istitsnâ’ (exception, pengecualian).[10] Dan yang dikecualikan itu
bernama Iblis. Dari sinilah muncul pemahaman jika Iblis itu termasuk dari
golongan Malaikat.
Apakah benar Iblis termasuk dari kalangan Malaikat? Para Mufassir berbeda
pendapat. Setidaknya perbedaan pendapat mereka terbagi menjadi dua bagian.
Pendapat pertama beranggapan bahwa Iblis termasuk dari golongan Malaikat dengan
berdalil istitsnâ’ seperti telah diuraikan di atas. Pendapat kedua,
bahwa istitsnâ’ di ayat itu adalah istitsnâ’ munqathi’
(pengecualian yang terputus, tidak berhubungan secara langsung dengan ism
yang disebut sebelumnya), karena Iblis itu termasuk bangsa Jin, bukan Malaikat.[11] Madzhab yang mengatakan bahwa
Iblis bukan golongan dari Malaikat ini adalah madzhab al-Hasan dan Qatadah.
Demikian juga al-Zamakhsyari, ia lebih memilih pendapat yang kedua. Demikian
pula Hasan al-Bashri, ia mengungkapkan argumentasinya untuk memperkuat pendapat
kedua, sebagai berikut: pertama, Malaikat itu disucikan dari perbuatan
maksiat (pembangkangan), sedangkan Iblis telah maksiat terhadap perintah
Tuhan-Nya. Kedua, Malaikat itu tercipta dari cahaya (nûr),
sedangkan Iblis tercipta dari api (nâr) sehingga tabiat keduanya
berbeda. Ketiga, Malaikat itu tidak memiliki keturunan (dzurriyyah),
sedangkan Iblis memiliki keturunan. Keempat, nash yang tegas (sharîh)
dan jelas (wâdhih) dalam surat al-Kahfi menunjukkan bahwa Iblis
termasuk golongan Jin maka cukuplah itu sebagai bukti (hujjah)
dan petunjuk yang kuat (burhân).[12] Khawatir terjadi kerancuan
dengan memasukkan Iblis menjadi kelompok Malaikat, pakar tafsir Indonesia M.
Quraish Shihab mengartikan huruf illâ di ayat tersebut dengan ”tetapi”,
bukan ”kecuali” karena merupakan huruf istitsnâ’ munqathi’.[13]
Apa
yang menyebabkan Iblis membangkang, tidak mau menjalankan perintah Allâh Azza
wa Jalla sebagaimana Malaikat yang bersujud kepada Adam? Tidak lain dan
tidak bukan karena adanya perasaan merasa lebih besar dan lebih hebat (takabbur)
yang tertanam di dalam diri Iblis. Iblis merasa lebih besar dan lebih mulia
dari Adam. Iblis merasa lebih mulia dari Adam karena ia tercipta dari api.
Adapun Adam, dia tercipta dari tanah.[14] Di ayat lain dijelaskan bahwa
bahan penciptaan Iblis yang termasuk bangsa Jinn adalah dari api yang sangat
panas (nâr al-samûm).[15]
Al-Qur’an
dengan jelas telah menyatakan dasar-dasar keengganan Iblis yaitu kesombongan.
Hal ini sekaligus menolak anggapan sebagian orang yang tidak mendasarkan diri
kepada teks ayat al-Qur’an, bahwa Iblis menolak sujud karena ia hanya mau sujud
kepada Allâh Azza wa Jalla, bukan kepada yang lainnya. Itu berarti, kata
mereka, kita perlu berguru dan meniru Iblis dalam masalah kemurnian
ketauhidannya. Sekali lagi, ini adalah pandangan yang tidak mendasarkan diri
pada al-Qur’an dan penafsiran para Mufassir yang jelas-jelas menyebutkan bahwa
sujud itu bukan sujud ibadah, melainkan sujud penghormatan. Sebagaimana halnya
Ka’bah karena ia dimuliakan Allâh Azza wa Jalla, maka kita diperintahkan
menghadap Allâh Azza wa Jalla dengan menghadapkan wajah kita ke arahnya
ketika shalat. Hal sama juga terjadi pada sujudnya Nabi Ya’qub ‘alaihi
al-salâm dan anak-anaknya terhadap Nabi Yusuf ‘alaihi al-salâm.
Apalagi jika kita baca penjelasan dari Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi dalam
kitab tafsirnya, bahwa sujud untuk memuliakan Adam ‘alaihi al-salâm
tersebut adalah tanpa meletakkan dahi di atas bumi.[16] Jadi, apakah Iblis tetap
khawatir melakukan perbuatan sujud kepada selain Allâh Azza wa Jalla
jika demikian adanya?
Karena keingkarannya menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla
menyebabkan Iblis dicap Allâh Azza wa Jalla sebagai mereka yang ingkar
kepada Allâh Azza wa Jalla dan karenanya berhak menyandang predikat
Kafir yang lebih berhak menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya.
وَقُلْنَا يَا أَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ
وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَ
هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظَّالِمِيْنَ
“35.
Dan kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini,
dan makanlah oleh kalian berdua makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana
saja yang kalian berdua sukai, dan janganlah kalian berdua dekati pohon ini,
yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (QS
al-Baqarah [2]: 35)
Selanjutnya Adam mendapat izin dari Allâh Azza wa Jalla untuk tinggal di
dalam syurga bersama isterinya, Hawa. Dan yang tinggal di syurga hanya Adam dan
isterinya, bukan yang lainnya. Hal itu dapat diketahui dari pengulangan kata anta
setelah fi’l amr (kalimat perintah) uskun yang di dalamnya ada dhamîr
mustatir (kata ganti yang tersembunyi) yaitu anta (engkau). Tidak
sekedar izin tinggal, mereka berdua juga mendapat kesempatan menikmati makanan
yang mereka yang sangat banyak dan bermutu yang bisa mereka dapatkan di mana saja
di dalam dalam syurga.
Namun
dalam suatu kebebasan selalu ada batasannya. Dan seringkali batasan itu
dimaksudkan sebagai ujian bagi manusia, meskipun suatu kebebasan juga bisa
menjadi sebuah ujian. Sebagai ujian, Adam dan Hawa tidak diperkenankan mendekati
sebuah pohon. Apalagi menikmati buahnya. Mendekati saja tidak diperbolehkan.
Pohon yang dilarang Allâh Azza wa Jalla mendekatinya tidak dapat
dipastikan, sebab al-Quran dan al-Hadist tidak menerangkannya. Ada yang
menamakan pohon khuldi (yang kekal) sebagaimana tersebut dalam surat
Thaha ayat 120,[17] tapi itu adalah nama yang
diberikan Syaitan. Pohon itu dinamakan syajarah al-khuldi (pohon
kekekalan), karena menurut Syaitan, orang yang memakan buahnya akan kekal,
tidak akan mati.[18]
Allâh
Azza wa Jalla sudah mewanti-wanti Adam dan Hawa untuk mematuhi aturan
yang ditetapkan-Nya. Jika tidak, maka siapa saja yang tidak patuh (ma’shiyah)
kepada aturan Allâh Azza wa Jalla dia termasuk orang-orang yang aniaya (zhâlim).
Seluruh aturan Allâh Azza wa Jalla pada prinsipnya adalah untuk kebaikan
manusia itu sendiri. Jika dia tabrak aturan itu maka manusia itu sendiri yang
akan menerima akibatnya.
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا
فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَ فِيْهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ
عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِى اْلأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِيْنٍ
“36.
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari
keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kalian! Sebagian kalian menjadi
musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan
kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS al-Baqarah [2]: 36)
Demikianlah adanya. Adam dan Hawa ternyata tidak mampu mematuhi aturan Allâh
berupa satu larangan. Hanya satu larangan. Dengan tipu dayanya, Syaithan[19] mampu mempengaruhi keduanya
untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan Allâh Azza wa Jalla.
Adam dan hawa tidak sekedar mendekati pohon terlarang itu, bahkan telah
memakannya yang menjadikan mereka termasuk orang-orang yang berbuat aniaya.
Akibat dari perbuatan aniaya itu adalah turunnya murka Allâh Azza wa Jalla
dan selanjutnya mengakibatkan keduanya dikeluarkan dari surga dan segala
kenikmatannya. Sebagai gantinya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan
mereka turun ke dunia.[20]
Khithâb dalam fi’l amr (kata perintah) ihbithu dalam ayat
tersebut di atas ada tiga sebagaimana dimaksudkan dengan huruf wâwu
jamâ’ah di dalamnya. Tiga yang mendapat khithab itu adalah Adam, Hawa’ dan
Iblis. Ketiga-tiganya diusir dari syurga karena pelangaran yang mereka lakukan.
Adam dan Hawa karena mendekati dan bahkan memakan buah terlarang. Sedangkan
Iblis, telah membangkang perintah Allâh Azza wa Jalla bersujud kepada
Adam dan bahkan selanjutnya merayu Adam dan Hawa melakukan kemaksiatan kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan memakan buah terlarang agar mereka berdua
dapat kekal di dalam syurga dan bahkan selanjutnya menjadi Malaikat Allâh
Azza wa Jalla.
Ketiganya terusir dari tempat yang penuh kenyamanan, syurga. Tidak hanya sampai
di situ. Setelah ketiganya terusir ke dunia maka permusuhan di antara mereka
pun berlangsung. Iblis dendam terhadap Adam dan anak keturunannya sebagai sebab
adanya murka Allâh padanya. Maka Iblis meminta izin kepada Allâh
untuk menggoda Adam dan keturunannya kelak agar mereka menjadi teman bagi
Iblis dan keturunannya di neraka. Peristiwa itu terjadi sesaat setelah Allâh
mengusir Iblis dengan perintah, “Turunlah kamu dari surga itu; karena
kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah! Sesungguhnya
kamu termasuk orang-orang yang hina”.[21] Di ayat yang lain dengan
redaksi, “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk! Dan
sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”.[22] Iblis menjawab: “Beri
tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”.[23] Iblis meminta ia dan
keturunannya untuk tidak dimatikan dahulu sampai hari kiamat sehingga ia dan
keturunannya berkesempatan menggoda Adam dan anak cucunya. Allâh
berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh”.[24] Iblis menjawab: “Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,[25] kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).[26] Allâh berfirman: “Keluarlah
kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya siapa saja
di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam
dengan kamu semuanya”.[27]
Demikian
pula Adam dan Hawa, mereka merasa dijebak oleh Iblis yang menyebabkan mereka terusir
dari syurga dan segala kenikmatannya. Inilah makna dari ayat Allâh ”sebagian
menjadi musuh untuk sebagian yang lain”.[28] Adam dan Hawa terus mengingat
apa yang pernah dilakukan Iblis. Kisah itu dilukiskan dalam al-Qur’an, ”Maka
syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada
keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya. Dan syaitan berkata:
“Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu
berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam
surga)”.[29] ”Dan dia (syaitan)
bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang
memberi nasehat kepada kamu berdua”.[30] Maka syaitan membujuk
keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah
merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru
mereka: “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon kayu itu dan Aku
katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua?”[31]
Sebagai ganti dari kenikmatan tinggal di syurga, Adam dan Hawa mendapat tempat
tinggal yang sementara di bumi dan dengan segala kesenangannya yang terbatas
sifatnya. Kehidupan syurga memang sedemikian menggairahkan kenikmatannya. Bagi
Adam dan keturunannya, bukan berarti tertutup kesempatan mereka untuk
mendapatkannya kembali. Untuk menggapai syurga kembali maka mereka perlu
mencari ampunan Allâh dan tunduk taat mengikuti petunjuk dan aturan Allâh
Azza wa Jalla.
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ
كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“37.
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allâh
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allâh Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.
Adam menerima kalimat dari Allâh Azza wa Jalla. Mengapa hanya Adam yang
menerima kalimat itu sedangkan Hawa tidak? Bisa jadi karena Adam adalah Nabi
sedangkan Hawa bukan. Atau karena Adam adalah suami yang bertanggung untuk
menyampaikan ajaran Allâh Azza wa Jalla kepada isterinya. Hal itu
sebagai sebuah petunjuk bahwa kewajiban suamilah mendidik isterinya dalam
masalah menjalankan agama.
Tentang
beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebahagian
ahli tafsir mengartikannya dengan kata-kata untuk bertaubat yaitu, “Ya Tuhan
kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi.”. Dan itu terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raf.[32]
Sesungguhnya
Allâh Azza wa Jalla adalah Tauwwâb dan Rahîm. Allâh Azza
wa Jalla adalah Tauwwab dalam artian memberikan curahan ampunan dan
berkah-Nya kepada seseorang yang diberinya karunia dapat bertaubat, yaitu
kembali ke jalan Allâh Azza wa Jalla.[33] Kata tâba-yatûbu-taubatan
sendiri artinya adalah kembali (raja’a). Maka tauwwab adalah yang
menerima kembali orang-orang yang hendak kembali. Seperti Adam dan Hawa yang
menyesal dan berusaha kembali taat kepada Allâh Azza wa Jalla setelah
melakukan kesalahan dan perbuatan dosa, dan selanjutnya Allâh Azza wa Jalla
menerima keinginan mereka itu maka Dia adalah Tauwwâb. Allâh tidak
hanya sekedar menerima taubat namun Dia juga adalah Maha Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya yang pernah bersalah dan berdosa namun selanjutnya menyadari
kesalahannya dan dosanya dan mati dalam keadaan bertaubat kepada Allâh Azza
wa Jalla.
قُلْنَا اهْبِطُوْا مِنْهَا جَمِيْعًا
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنَّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“38.
Kami berfirman: “Turunlah kalian semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepada kalian, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku maka
tidak akan ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.” (QS al-Baqarah [2]: 38)
Perintah untuk turun ke bumi diulang kembali oleh Allâh Azza wa Jalla.
Pengulangan itu perlu adalah dengan maksud untuk menguatkan (li al-ta’kîd)
dan sebagai sebuah penjelasan bahwa kedudukan Adam dan keturunannya adalah di
bumi, bukan di syurga. Demikian penjelasan Imam Jalaluddin al-Suyuthy dan
Jalaluddin al-Mahally dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-’Azhim atau yang
lebih dikenal kaum Muslim dengan Tafsir al-Jalalain. Hal itu juga sesuai
dengan skenario awal Allâh Azza wa Jalla terkait tugas kekhalifahan Adam
adalah di muka bumi, bukan di syurga.[34] Pendapat lain dikemukakan
oleh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, bahwa Allâh Azza wa Jalla
mengulangi perintahnya dua kali adalah untuk memberitahukan kepada keduanya
bahwa perintah Allâh azza wa Jalla turun ke muka bumi itu tetap berlaku
dan tidak dibatalkan karena adanya taubat mereka karena perintah itu adalah
pengukuhan untuk janji yang terdahulu (tahqîq li al-wa’di
al-mutaqaddim).[35]
Di bumi nanti segalanya menjadi tidak pasti. Di antara ketidakpastian itu
cenderung membuat siapa pun terdorong melakukan sesuatu dengan memperturutkan keinginan
diri. Dan itu adalah awal dari kesesatan seseorang. Kesesatan itu pada akhirnya
akan menjadi sebab kekhawatiran dan kesedihan hati, di dunia dan di akhirat.
Agar kesesatan yang berakhir dengan Kekhawatiran dan kesedihan itu tidak
terjadi, Adam dan keturunannya diberi tuntunan Allâh Azza wa Jalla
berupa petunjuk Allâh Azza wa jalla berikut perintah mengikutinya.
Demikianlah makna dari firman Allâh , ”Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepada kalian, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku maka tidak akan ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Keturunan Adam harus pula mengingat bahwa Iblis dan keturunannya tidak akan
pernah membiarkan mereka mengikuti petunjuk Allâh. Karena itu Allâh
senantiasa mengingatkan anak keturunan Adam, ”Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali engkau dapat ditipu oleh Syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan
kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan Syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.[36]
Anak
keturunan Adam harus selalu mengingat bahwa Syaithan akan selalu menggoda
mereka dengan cara-cara yang licik untuk menyesatkan mereka. Seperti dinyatakan
Allâh Azza wa Jalla saat mereka berkata, “Ya Tuhanku, oleh
sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya,[37] kecuali hamba-hamba
Engkau yang mukhlis di antara mereka”.[38] Allâh berfirman:
“Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya
hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang
yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.[39]
Jelas,
bahwa siapa saja yang mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla, yang
petunjuk itu selanjutnya disampaikan melalui al-kitab dan para rasul-Nya,[40] maka dia tidak akan tersesat.
Syaithan pun tidak akan mampu mempengaruhi ataupun menggoda orang-orang yang
berpegang teguh kepada ajaran Allâh dan beriman dengan sungguh-sungguh
kepada-Nya.
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَكَذَّبُوْا
بِئَايَاتِنَا أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“39. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat
kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah
[2]: 39)
Bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla, mereka akan
mendapatkan ketenangan. Sebaliknya, siapa saja—baik dari kalangan manusia
maupun jin—yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla
dengan jalan mengabaikan atau membuang ajaran tersebut maka mereka akan
mendapatkan tempat yang menyedihkan. Mereka akan ditetapkan oleh Allâh Azza
wa Jalla sebagai penghuni neraka oleh sebab kekafiran dan kedustaan mereka.
Di neraka itu, mereka pun tidak tinggal untuk sementara waktu. Mereka tinggal
di dalamnya untuk selama-lamanya. Mereka, kata Abu Thahir Ya’qub al-Fairuzabadi
dalam kitab tafsir Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn ’Abbas, tidak akan
mati dan tidak akan keluar dari dalam neraka untuk selama-lamanya.[41] Bayangkan! Kekekalan dalam
siksa adalah sesuatu yang tidak ada siapapun yang berkenan menerimanya. Namun
bagi mereka yang hanya mementingkan hawa nafsu, sewaktu di dunia dulu mereka
tidak pernah mau menerima adanya kemungkinan buruk tersebut. Dan setelah mereka
mati, barulah mereka merasakan ketakutan yang amat sangat. Namun semua itu
terlambat. Tidak ada waktu lagi untuk memperbaiki perilaku. Akhirnya, cukuplah
neraka itu bagi mereka. Dan mereka tidak akan pernah bisa keluar darinya untuk
selama-lamanya. Na’ûdzu billâhi min dzâlik! [ ]
Marâji’
Al-Baidhawi,
Nashiruddin. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1.
Al-Fairuzabadi
Abu Thahir Ya’qub. 1995. Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas. Dar
al-Fikr: Beirut, Lebanon.
Al-Jawi,
Muhammad ibn Umar Nawawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an
al-Majid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1.
Al-Shabuni,
Muhammad Ali. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim.
Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia. Jilid 1.
Al-Suyuthy
Jalaluddin & Jalaluddin al-Mahally. 2003. Tafsir al-Jalalain. Dar
al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon.
Al-Tsa’alabi,
Abdurrahman. 1996. Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an. Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon. Jilid 1.
Muhammad
Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar
al-Kutub al-Islamiyyah:Jakarta, Indonesia. Jilid 1
Sabiq,
Al-Sayyid. 1992. Al-‘Aqa’id al-Islamiyyah. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon.
Shihab,
M. Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Lentera: Jakarta. Vol. 1.
Katsir,
Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar
al-Fikr: Beirut, Lebanon. Jilid 1.
[1] Abdurrahman al-Tsa’alabi. 1996. Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 58
[2] Malaikat (malâikah, b.
Arab) adalah bentuk plural (jama’) dari kata tunggal (mufrad) malak.
Adalah makhluq Allâh yang tercipta dari cahaya (nûr). Ia adalah
sesuatu yang ghaib yang tidak tersentuh oleh indera manusia karena tidak
berwujud jasmani, hanya Allâh Azza wa Jalla yang mengetahui
hakikat sebenarnya Malaikat. Tidak seperti manusia, mereka tidak makan dan
tidak pula minum karena mereka disucikan dari syahwat binatang (syahawât hayawâniyyah)
dan juga terbebas dari kecenderungan nafsu (al-muyûl al-nafsiyyah),
serta bersih dari dosa dan kesalahan. Mereka juga tidak disifatkan dengan sifat
lelaki maupun perempuan. Lihat al-Sayyid Sabiq. 1992. Al-‘Aqa’id
al-Islamiyyah. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, hlm. 111-129
[3] Lihat Muhammad Ali
al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar
al-Kutub al-Islamiyyah:Jakarta, Indonesia, Jilid 1, hlm. 48
[4] Lihat Q.S. al-Tahrim
[66]: 6
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا
يَعْصُوْنَ اللهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
[5] Qatadah termasuk diantara
tokoh yang menjelaskan bahwa Allâh sudah memberitahu para Malaikat
terkait kemungkinan-kemungkinan khalifah bebuat kerusakan dan berperang
menumpahkan darah. Lihat Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 83
[6] Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn
Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon,
Jilid 1, hlm. 83
[7] Lihat Abu al-Fida’ al-Hafizh
ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut,
Lebanon, Jilid 1, hlm. 85
[8] السجود
في الشرع وضع الجبهة على قصد العبادة
, dalam pandangan syara’, sujud adalah meletakkan dahi (di bumi) dengan tujuan
ibadah. Lihat Nashiruddin al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 52
[9] Terutama karena Adam
dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi
[10]Dalam kaedah bahasa Arab, istitsnâ’
ada dua macam, muttashil dan munqathi’. Dalam istitsnâ’
muttashil, yang dikecualikan adalah bagian dari kelompok atau jenis yang
sama dengan sebelumnya. Sedangkan istitsnâ’ munqathi’, yang dikecualikan
tidak termasuk bagian dari kelompok atau jenis yang disebut sebelumnya.
[11] Q.S. al-Kahfi [18]: 50
وَإِذْقُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ
عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِى
وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلًا
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada
Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan Jin, maka ia
mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kalian mengambil dia dan
turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah
musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allâh ) bagi
orang-orang yang zalim.”
[12] Lihat dalam Muhammad Ali
al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar
al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, Jilid 1, hlm. 52
[13] M. Quraish Shihab. 2000.
Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Lentera:
Jakarta, Vol. 1, hlm. 150-151
[14] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 12
قَالَ مَامَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ
إِذْأَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِى مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ
مِنْ طِيْنٍ“Allâh berfirman: “Apakah yang
menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” menjawab Iblis “Saya lebih baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan
dari tanah.”
[15] Lihat Q.S. al-Hijr [15]: 27
[16] Muhammad ibn Umar Nawawi
al-Jawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 16
[17] Lihat Q.S. Thaha [20]: 120
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ
قَالَ يَا أَدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَايَبْلَى
“Kemudian
syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?”
[18] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 20
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ
لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُرِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْءَا تِهِمَا وَقَالَ مَا
نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ
أَوْتَكُوْنَا مِنَ الْخَالِدِيْنَ
“Maka
syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada
keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata:
“Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu
berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam
surga).”
[19] Yang dimaksud dengan syaitan
di sini ialah Iblis yang disebut dalam surat al-Baqarah ayat 34 di atas. Iblis,
karena kejahatannya maka disebut Syaithan. Demikian halnya manusia, jika ia
jahat maka juga disebut sebagai syaithan.
[20] Dunia adalah sesuatu yang
identik dengan kerendahan karena makna awalnya adalah sesuatu yang rendah.
Salah satu kerendahan itu adalah perasaan bermusuhan dan peperangan.
[21] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 13
[22] Lihat Q.S. al-A’raf [7]:
34-35
[23] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 14
[24] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 15
[25] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 16
[26] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 17
[27] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 18
[28] Lihat Q.S. al-An’am [6]: 112
وَكَذَا لِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ
نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِى بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا وَلَوْشَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ
وَمَا يَفْتُرُوْنَ
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
(dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
[29] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 20
[30] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 21
[31] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 22
[32] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 23
قَالَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا
وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Keduanya
berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi.”
[33] Muhammad ibn Umar Nawawi
al-Jawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 17
[34] Jalaluddin al-Suyuthy &
Jalaluddin al-Mahally. 2003. Tafsir al-Jalalain. Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, hlm. 7
[35] Muhammad ibn Umar Nawawi
al-Jawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 17
[36] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 27
[37] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 39
[38] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 40
[39] Lihat Q.S. al-A’raf [7]:
41-42
[40] Abu Thahir Ya’qub
al-Fairuzabadi. 1995. Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas. Dar
al-Fikr: Beirut, Lebanon, hlm. 7
[41] Abu Thahir Ya’qub
al-Fairuzabadi. 1995. Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas. Dar
al-Fikr: Beirut, Lebanon, hlm. 7
No comments:
Post a Comment