Blog Archive

Wednesday, March 22, 2017

jujur Nama : Muhammad Bintoro NIM : 933801915



Nama : Muhammad Bintoro
NIM : 933801915
Mata kuliah : hadits 3
Dsen : qaidatul marhumah  M.Th.I
           Kata “Akhlak” berasal dari bahasa Arab “Khulqun” yang berarti suatu keadaan jiwa yang dapat melakukan tingkah laku tanpa membutuhkan banyak akal dan pikiran.[1] Sedangkan akhlak karimah (mahmudah) adalah segala tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang bisa juga dinamakan “fadilah” (kelebihan)[2]
Al-Ghazali menerangkan bentuk keutamaan Akhlak Mahmudah yang dimiliki seseorang misalnya jujur, bersikap baik terhadap tetangga dan tamu, itu dinyatakan sebagi gerak jiwa dan gambaran batin seseorang yang secara tidak langsung menjadi akhlaknya. Al Gahzali menerangkan adanya pokok keutamaan yang baik, antara lain mencari hikmah, bersikap berani, bersuci diri, berlaku adil[3]
وعن أبي مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من دل على ير فله مثل أجر فاعله .ارجه مسلم.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu Anhu berkata “ Rasulullah SAW bersabda ,” Barang siapa yang menunjukan kepada sebuah kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR.Muslim)
Cnth hadits akhlak terpuji
Hadits  tentang jujur
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً  رواه مسلم .

“Abdullah bin Mas’ud berkata: “Bersabda Rasulullah : Kalian harus jujur karena sesungguhnya jujur itu menunjukan kepada kebaikan dan kebaikan itu menunjukkan kepada jannah. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan dan keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta sehingga ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta” (HR Muslim) Shohih Muslim hadits no : 6586[4]

Ksa kata
الصِّدْقِ: jujur
البِرِّkebaikan:
يَهْدِيmenunjukkan:
الكَذِبَdusta:
Penjelasan
As-shiddiq artinya sesuai antara perkataan dengan hati dan sesuai antara perbuatan dengan perkataan[5]. Para ulama berkata,” hadis di atas bermakna, bahwa jujur mengantarkan kepada amal shalih yang bersih dari setiap cela.
Sedangkan al-birr adalah sebutan untuk semua jenis kebaikan dan ada yang mengatakan bahwa itu adalah surga, sedangkan kedustaan bisa menimbulkan kejahatan.
Jujur termasuk unsur terpenting dalam kehidupan social, disamping sebagai landasan utama struktur masyarakat. Tanpa adanya kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan terurailah ikatan masyarakat dan hubungan antar sesama manusia. Kita tidak dapat membayangkan betapa buruknya gambaran pergaulan masyarakat jika tidak disertai dengan kejujuran. Sesungguhnya, kejujuran telah menjadi fitrah manusia. Sebagai contoh, jika kita menceritakan tentang orang yang jujur dan orang yang dusta kepada anak kecil, maka ia akan lebih menyukai orang yang jujur dan membenci yang pendusta[6].
Makna Secara Umum:
Dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan maka akan menjadi karakternya dan barangsiapa sengaja berdusta  dan berusaha untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan latihan dan upaya untuk memiliki sifat akan berlanjut menjadi sifat-sifat baik dan buruk tergantung individual masing-masing. Hadits diatas menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa orang yang jujur ke syurga serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka



[1] Kahar Mansyur, Bulughul maram (jilid II), (Jakarta: Rineka Cipta,1992), 358.
[2] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), cet.II, 95.
[3] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), cet.I, 40.
[4] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), cet.II, 167-168.
[5] Fathul baari (10/507).
[6] Ahmad Mu’adz Haqqi,

No comments:

Post a Comment