Nama : Abu kasim Patiran
NIM : 933803715
Hadits Tentang Marah
حَدَّثَنا
عَبّاسُ بْنُ محمد الدوري وغير واحد قالوا حدثنا عبد الله بن يزيد المقرىء حدثنا
سعيدلابن ابي ايوب حدثني ابو مرحوم حبد الر حيم بن ميمون عن سهل بن معاز نب انس
الجهني عن ابية عن اليوب صلى اللة عليه وسلم قال مَنْ كَظَمَ
غَيْظًا وَهُوَ يستطيع ان ينفذه دعاه الله يوم القيامة على رءوس الخلائق حتى يخيره
في اي الحور شاء قال هذا حديث حسن غريب
Artinya: Telah menceritakan Abbas bin Muhammad Ad Duri dan lebih dari satu orang
perawi berkata, Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Al Muqri
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Ayyub Telah menceritakan kepadaku
Abu Marhum Abdurrahim bin Maimun dari Sahl bin Mu'adz bin Anas Al Juhani dari
bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa yang menahan amarahnya, sedangkan ia mampu untuk
menumpahkannya, maka Allah akan memanggilnya kelak pada hari kiamat di atas
kepada seluruh makhluk, sehingga Allah memberikannya pilihan yang ia
inginkan." (H.R Abu Dawud)[1]
Penjelasan:
Sifat marah adalah kekuatan yang timbul dari batinnya, Allah menciptakan
didalam batin manusia. Tidak ada manusia yang tak memiliki sifat amarah
berapapun kadarnya. Hanya saja, seberapa jauh, setiap orang memiliki
kemampuan menahan dan mengendalikan sifat amarah dalam dirinya. Sebagian
orang mengatakan marah adalah manusiawi, karena marah adalah bagian dari
kehidupan kita. Tapi alangkah baiknya bila kita bisa menjadi pribadi yang bisa
menahan marah dan kalaupun kita marah, maka marahnya kita tidak berlebihan.
Tiga hal termasuk
akhlak keimanan yaitu, orang yang jika marah, kemarahannya tidak memasukkanya
kedalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak
mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak
semestinya.
Maka wajib bagi setiap
muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah Swt[2], tidak
melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu amarahnya tidak
mengarah kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.
Kita harus melatih diri kita agar tidak menjadi orang yang mudah marah dan
menahan marah kita agar kemarahan kita tidak berlebihan.
Syeikh Imam al-Ghazali,
dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin nya mengatakan, “Barangsiapa tidak marah, maka ia
lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah namun bisa menahan
dirinya.”
عنْ أَبِي هريْرة
رضي اللهُ عنْه أنّ رجلا قَالَ للنّبِيّ صلّى اللهُ عليْه وسلّم: أَوْصِنِي، َالَ:
لا تغْضبْ فردّد مِرارا، قال: لا تغْضبْ ) رواه البخاري(
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada
seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah
wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau
marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah
engkau marah”.(HR. al-Bukhari)[3]
PENJELASAN HADITS
Seorang laki-laki datang kepada Nabi
dan meminta diberi wasiat. Nabi mewasiatkan kepadanya untuk jangan marah.
Hal itu diulangi beberapa kali, menunjukkan pentingnya wasiat tersebut. Hal
tersebut menunjukkan bahwa menahan amarah memiliki kedudukan, manfaat, dan
keutamaan yang tinggi. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa wasiat Nabi disesuaikan
dengan keadaan orang yang meminta wasiat. Orang yang meminta wasiat tersebut
adalah seorang pemarah, maka Nabi memberikan wasiat kepadanya agar jangan marah.
“Janganlah engkau marah”, kata sebagian para
Ulama’ mengandung 2 makna:
- Latihlah dirimu untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf, jangan jadi orang yang mudah marah.
- Jika timbul perasaan marah dalam dirimu, kendalikan diri, tahan ucapan dan perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang engkau sesali nantinya. menahan diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai Allah.
(disarikan dari penjelasan Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di)
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits
ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu ‘anhu. Ia meminta wasiat kepada
Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai
perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi
berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya
itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini
menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri
darinya adalah pokok segala kebaikan. Marah adalah bara yang dilemparkan setan
ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya
menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk
akal.
Pemahaman Mengenai Marah
Marah adalah suatu
sifat yang dimiliki setiap orang. Namun demikian, Setiap orang memiliki
tingkatan marah yang berbeda-beda. Marah adalah suatu bentuk emosi yang
bersifat fitrah atau bawaan yang memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Banyak para tokoh maupun para ahli yang berusaha mendefinisikan
mengenai hakikat marah. Marah termasuk potensi manusia untuk pembelaan diri
ketika wilayah kebenaran religi diusik. Dari definisi tersebut sangat
jelas bahwa sifat marah akan muncul manakala seseorang mendapatkan semacam
gangguan. Definisi lain menyatakan bahwa marah timbul karena adanya kekangan
yang muncul dalam usaha pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Definisi kedua
ini tidak jauh berbeda dengan definisi sebelumnya hanya saja disini lebih
menekankan pada terhalangnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia sebagai sebab
munculnya kemarahan.
Tentang kemarahan ini
juga dijelaskan didalam Al quran, bahwa Allah telah mengizinkan Rasulullah dan
kaum muslimin untuk mempergunakan kekuatannya demi melawan kaum kafir yang
menghalangi penegakan agama Allah. Kekuatan ini bersumber dari dari adanya
kemarahan yang berawal dari adanya kekangan dalam menyebarkan agama islam dan
menyerukan keimanan kepada Allah, sebagai mana firman-Nya, QS Al Fath 29
Artinya: Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (QS
Al Fath 29)
Dalam pandangan islam
marah merupakan refleksi dari sifat syitan yang keji. Ia berusaha untuk
menjerumuskan manusia melalui kemarahannya. Karena dalam keadaan marah orang
akan sangat mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan keji yang lain. Namun
demikian bisa disimpulkan bahwa marah merupakan sifat hati yang harus dikelola,
agar setiap kemarahan tidak bersifat destruktif.
2. Tingkat-tingkat Marah
Seperti sudah
dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa setiap orang memiliki potensi atau
sifat pemarah akan tetapi berbeda-beda tingkatannya. Dalam makalah ini akan
dijelaskan tiga tingkatan marah yaitu;
Golongan Tafrith
Yaitu mereka yang tidak memiliki sifat marah. Apa saja yang berlaku
disekelilingnya maka dia tidak menunjukkan perasaan marah. Manusia jenis ini
sama sekali tidak memiliki sikap pembelaan terhadap kebenaran. Dia tidak terasa
tersinggung apabila agamanya diinjak-injak oleh musuh-musuh Islam. Sedangkan
Rasulullah SAW. yang terkenal dengan sikap tawaduk tetap marah
mempertahankan agama dengan menentang musuh-musuhnya sekiranya perlu. Golongan
jenis ini juga apabila terjadi perlanggaran terhadap kehormatan diri maupun
ahli keluarganya maka dia akan menghadapinya dengan sikap yang
lemah dan terlalu merendah diri. Jelas di sini sifat tafrith atau
langsung kehilangan sifat marah adalah tercela di sisi syara’.
Golongan Ifrath
Yaitu mereka yang tidak dapat mengawal perasaan marah lalu bersikap
berlebih-lebihan sehingga hilang pengawalan akal yang waras terhadap dirinya.
Golongan seperti ini akan berteriak dengan suara yang kuat serta mengeluarkan kata-kata kasar lagi kesat. Ada kalanya sehingga menyebabkan terjadinya pukul-memukul ataupun amukan yang dahsyat sehingga terjadi pertumpahan darah.
Marah yang tidak dapat dikawal juga dapat membentuk perasaan dendam, benci dan dengki sehingga mendorongnya untuk melakukan pembalasan terhadap orang yang dimarahinya. Allah juga memuji mereka yang dapat mengendalikan perasaan marah melalui firman-Nya dalam surah Ali-Imran: 133-134)
Golongan seperti ini akan berteriak dengan suara yang kuat serta mengeluarkan kata-kata kasar lagi kesat. Ada kalanya sehingga menyebabkan terjadinya pukul-memukul ataupun amukan yang dahsyat sehingga terjadi pertumpahan darah.
Marah yang tidak dapat dikawal juga dapat membentuk perasaan dendam, benci dan dengki sehingga mendorongnya untuk melakukan pembalasan terhadap orang yang dimarahinya. Allah juga memuji mereka yang dapat mengendalikan perasaan marah melalui firman-Nya dalam surah Ali-Imran: 133-134)
Artinya: Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Golongan I’tidal
Yaitu golongan yang bersikap sederhana di antara tafrith dan ifrath. Mereka
tidak menghilangkan sikap marah secara total tetapi hanya akan marah dalam
situasi yang bersesuaian. Akal juga masih menguasai dirinya dan mereka
sentiasa mengikuti batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh
syara’. Kemarahan yang tergolong dalam kategori terpuji adalah kemarahan
yang timbul hanya kerana menurut perintah Allah dan untuk membela agama Islam
serta umatnya. Oleh itu hendaklah kemarahan yang ada dalam jiwa
seorang muslim itu bertindak untuk menolak gangguan orang lain terhadap
kehormatan dirinya, keluarganya serta umat Islam keseluruhannya dan menghukum
mereka yang ingkar kepada perintah Allah. Di antara sifat Rasulullah SAW. ialah Baginda tidak menunjukkan kemarahan dan melakukan pembalasan hanya
kerana kepentingan peribadinya. Segala kemarahannya adalah kerana
mempertahankan hukum-hukum Allah[4].
Keutamaan Menahan Marah
Tidak semua kemarahan
itu adalah jelek akan tetapi ada kemarahan yang memang diharuskan seperti telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diantara kemarahan yang diperbolehkan yaitu
manakala sudah menyangkut terusiknya kebenaran keyakinan kita. Terlepas dari
berbagai definisi maupun pendapat yang ada, penulis berpendapat bahwa walaupun
kemarahan itu ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak, akan tetapi secara
umum sesungguhnya marah itu mempunyai konotasi yang negatif. Oleh karena itu
tentu ada keutamaan tersendiri bagi orang yang bisa menahan marahnya terutama
marah yang memang tidak dianjurkan dalam agama.
Memang sulit menahan
marah, marah termasuk bagian dari sifat kemakhlukan seseorang yang punya
bisikan dan hawa nafsu duniawiyah. Banyak orang yang hebat bisa menaklukkan
musuhnya, atau mungkin menaklukkan laki-laki dengan kecantikannya atau
sebaliknya, menaklukkan orang lain dengan hartanya akan tetapi menaklukkan
amarahnya tidak berhasil. Karena seidentik dengan keinginan yang manusiawi,
semacam power dari dalam, sehingga menahan amarah adalah sesuatu yang sulit[5].
Dalam sebuah sabdanya
Rasulullah SAW mengatakan “Sesungguhnya barang siapa yang dikaruniai untuknya
dari watak lemah lembut (tidak pemarah), maka ia sama dengan telah dikaruniai
bagian dari kebajikan dunia dan akhirat. Dan barang siapa diharamkan baginya
watak lemah lembut (ahli pemarah), maka iapun diharamkan bagiannya dari
kebaikan dunia dan akhirat”. Dalam berbagi tulisan lain juga menyebutkan bahwa
marah bisa menyebabkan timbulnya berbagai penyakit, oleh karenanya dengan menahan
marah berarti kita telah menjaga diri dari potensi terkenanya penyakit-penyakit
tersebut.
No comments:
Post a Comment