UNTUK MENUNJANG HASIL AKHIR STUDI, KOMENTAR YANG DIAJUKAN PADA BLOG INI AKAN MENYUMBANG 10% DARI 100% TOTAL PENILAIAN.
blog ini ditujukan untuk memperkaya dunia keilmuan dan khususnya untuk mempermudah para tholib ilm d tempat saya mengajar dalam mengakses makalah yang pernah ditulis oleh sesama tholib ilm
Thursday, October 27, 2016
PENGUMUMAN
IAT3 HADIS MARFU’, MAUQUF, MAQTHU’ DAN MURSAL : Ahmad HanifuddinIshaq NIM : 933802115
HADIS MARFU’, MAUQUF, MAQTHU’ DAN MURSAL
MAKALAH
Makalahinidisusununtukmemenuhitugas
matakuliahUlumul Hadis 3
Dosen pengampu Qoidatul Marhumah
Dosen pengampu Qoidatul Marhumah
Disusunoleh:
NAMA :
Ahmad HanifuddinIshaq
NIM : 933802115
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA NEGERI(STAIN)KEDIRI
2016
SEKOLAH TINGGI AGAMA NEGERI(STAIN)KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Pujisyukur kami panjatkankehadiratTuhan Yang
MahaEsakarenadenganrahmat, karunia, sertataufikdanhidayah-Nya kami
dapatmenyelesaikanmakalahtentangHadis Marfu’, Mauquf, Maqthu’ dan Mursalinidenganbaikmeskipunbanyakkekurangandidalamnya.
Dan juga kami berterimakasihpadaIbu Qoidatul MarhumahSelakuDosenmatakuliahUlumul
Hadis 3 yang telahmemberikantugasinikepada kami.
Kamisangatberharapmakalahinidapatbergunadalamrangkamenambahwawasansertapengetahuankitamengenaiapaitupenelitian
agama, danjugabagaimanakedudukanpenelitian agama itu. Kami
jugamenyadarisepenuhnya bahwa didalammakalahiniterdapatkekurangandanjauhdari
kata sempurna.Olehsebabitu, kami berharapadanyakritik, saran danusulan demi
perbaikanmakalah yang telah kami buat di masa yang akandatang,
mengingattidakadasesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semogamakalahsederhanainidapatdipahamibagisiapapun
yang membacanya.Sekiranyalaporan yang telahdisusuninidapatbergunabagi kami
sendirimaupun orang yang membacanya.Sebelumnya kami
mohonmaafapabilaterdapatkesalahan kata-kata yang kurangberkenandan kami
memohonkritikdan saran yang membangun demi perbaikan dimasadepan.
Kediri,5Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………………..
ii
DAFTAR
ISI………………………....……….…………………………….......iii
BAB
I PENDAHULUAN……………………............………………………...... 1
A.
Latar Belakang……………………..…………………….........................1
B. Batasan dan Rumusan................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................
2
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………..……............. 3
A.
Hadis
Berdasarkan Penyandarannya (Ujung Sanad)................................. 3
1. Hadis
Marfu’......................................................................…………. 3
2. Hadis
Mauquf............................................................……..........…… 5
3. Hadis
Maqthu’……………….........................................................… 8
B. Hadis
Mursal............................…………………………….…………… 10
1. Macam-macam
hadis mursal……………..….…………...................11
2. Sebab-sebab terjadi Irsal....................................………….….……..
12
BAB
IIIKESIMPULAN………………….........………………….…..………...
15
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................... 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hadis merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. Seperti
yang kita ketahui, hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. baik dari perkatan,
perbuatan, dan ketetapannya. Pengklasifikasian
hadits
bisa dilihat dari beberapa aspek. Diantaranya mengi’tibar (klasifikasi)
hadis dari segi kuantitasnya,[1] kualitasnya,[2]
dan mengi’tibar (klasifikasi) hadis dari segi musytarak
baina al-maqbul wa al-mardud.[3]
Pengklasifikasian
hadis diatas sangat diperlukan, dari sisi kuantitas pembagian hadis bertujuan
untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan sehingga muncul klasifikasi hadis
mutawattir dan hadis ahad. Kemudian dari sisi kualitas bertujuan untuk
mengetahui keontetikan hadis dilihat dari shahih, hasan, dhaif dan
sebagainya. Sedangkan dari sisi musytarak baina al-maqbul wa al-mardud
bertujuan untuk mengetahui penyandaran hadis itu berakhir pada Nabi Saw.
atau tidak (ujung sanad).
Disini pemakalah akan berusaha memaparkan hadis yang ditinjau
dari musytarak baina
al-maqbul wa al-mardud khususnya meng’itibar
kepada siapa berita itu disandarkan, apakah disandarkan kepada Nabi Saw, Sahabat,
ataukah disandarkan kepada yang lainnya. Dan juga memasukan hadis mursal (klasifikasi
dari segi kualitas yakni hadis yang tertolak) karena materi ini menjadi
prasyaratan tugas pembuatan makalah.
B. PEMBATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, pemakalah membatasi pada
pembahasan hadis yang ditinjau dari musytarak
baina al-maqbul wa al-mardud dengan tanpa membahas hadis
qudsi dan menggantinya dengan hadis mursal.
Sedangkan rumusan masalahnya
adalah:
1. Bagaimana penjelasan dan pembagian hadis ditinjau dari
penyandaranya?
2. Apa pengertian hadis mursal?
C. TUJUAN
Adapun tujuan makalah
ini adalah:
1. Untuk mengetahui penjelasan dan pembagian hadis ditinjau dari
penyandaranya.
2. Untuk mengetahui pengertian hadis mursal.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. HADIS BERDASARKAN PENYANDARANNYA
(UJUNG SANAD)
1. Hadis Marfu’
a) Pengertian Hadis Marfu’
Al-marfu’ menurut bahasa : isim maf’ul
dari kata rofa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”.
Dinamakan demikian kerena didasarkan kepada yang memiliki kedudukan tinggi,
yaitu Rosulullah Saw.[4]
Hadis marfu’ menurut istilah adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw. (baik yang menyandarkan itu
shahabat, atau tabi’in atau orang-orang sesudahnya) yang berupa ucapan,
perbuatan, taqrir atau sifatnya, baik secara sharih (jelas) atau secara
hukumnya saja.[5]
Dalam kitab Taqrib an-Nawawi
dikatakan sebagai berikut ;[6]


”Hadis Marfu’ adalah hadis yang di sandarkan pada Nabi
Saw. secara khusus, tidak pada selain Nabi, baik tersambung ataupun terputus.
Pendapat lain mengatakan hadis yang di kabarkan para sahabat atas pekerjaan
Nabi Saw. ataupun ucapan beliau.”
b) Macam-macam Hadis Marfu’
1) Marfû Sharih (Marfu’ Haqiqy)
Hadits yang
disandarkan kepada Nabi saw secara tegas, Adapun hadits Marfû’ Sharih
(marfu’ haqiqy) dibagi menjadi tiga bagian:[7]
(a) Marfu’ Qauly ( perkataan
)
Contoh :
عن ابن عمر رضى الله عنه قال: إنّ رسول الله صلى الله
عليه وسلّم قال: صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع و عشرين درجة ( رواه البخاري و مسلم)
"Warta
dari Ibn Umar ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: Shalat jama'ah itu
lebih afdhal dua puluh tujuh lantai dari pada shalat sendirian ." (HR
Bukhari dan Muslim)
(b)
Marfû
' Fi'ly ( perbuatan )
Contoh :
عن عائشة رضى
الله عنها انّ رسولالله صلّى الله عليه وسلّم كان يدعوا فى الصلاة, ويقول:
(اللّهمّ إنّى أعوذبك من المأثم و المغرم) (رواه البخارى)
“Warta dari
‘Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendo’a di waktu sembahyang, ujarnya: Ya
Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan hutang.” (HR Bukhari)
(c)
Marfû '
Taqriry ( ketetapan )
Contoh :
كنّا نصلّ ركعتين بعد غروب الشمس و كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يرانا ولم يأمرنا ولم ينهنا
“Konon kami
bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah saw mengetahui
perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah.”
2) Marfû’ Ghairu Sharih (Marfu' Hukmy)[8]
(a)
Marfû' Qauly
Hukmy
Contoh :
أمرنا بكذا ……. نهينا عن كذا
“Aku
diperintah begini…., aku dicegah begitu……”
أمر بلال ان ينتفع الأذن و يوتر
الإقامة ( متفق عليه )
“Bilal r.a. diperintah menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” (HR
Muttafaqun ‘Alaih).
(b)
Marfû' Fi'li
Hukmy
Contoh :
قال جابر:
كنّا نأكل لحوم الخيل على عهدى رسول الله (رواه النسائى)
“Jabir r.a.
berkata : Konon kami makan daging Kuda diwaktu Rasulullah Saw masih hidup” [9] (HR Nasai)
(c)
Marfû'
Taqriry Hukmy
Contoh : Percakapan Amru Ibnu 'Ash ra dengan Ummul Walad:
لا تلبسوا علين سنّة نبيّنا (رواه ابو داود)
2. Hadis Mauquf
a) Pengertian Hadis Muquf
Hadis Mauquf secara bahasa :[11]
اسم
مفعول من " الوَقف " كأن الراوي وقف بالحديث عند الصحابي، ولم يتابع سرد
باقي سلسلة الإسناد
“Mauquf merupakan isim
maf’ul dari kata al-waqfu (berhenti), seolah-olah seorang perawi menghentikan
hadits pada shahabat, dan tidak mengikutkan sisa silsilah (rantai) sanad secara
berturut-turut.”
Hadis mauquf menurut istilah:[12]
ما
أُضِيف إلى الصحابي من قول أو فعل أو تقرير
“Apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dari perkataan,
perbuatan, atau taqrir.”[13]
Istilah
mauquf kadangkala juga dipergunakan pada riwayat yang datang dari selain
shahabat, akan tetapi hal itu terbatas saja. Seperti halnya dikatakan :
هذا حديث وقفه فلان على الزهري أو على
عطاء ونحو ذلك
“Hadits
ini di-mauquf-kan oleh Fulan pada Az-Zuhri atau pada ‘Atha’[14],
dan yang semisalnya.”
Istilah yang dipakai oleh Fuqahaa’ Khurasan (ahli fiqh)
dari daerah Khurasan menyebut hadits marfu’ sebagai khabar, dan hadits mauquf
sebagai atsar. Adapun Ahli Hadits menamakan semuanya sebagai atsar,
karena diambil dari kata {أَثَرْتُ
الشَّيْءَ} ”Aku
meriwayatkan sesuatu”.
Terdapat gambaran mengenai hadits
mauquf, baik pada lafadh maupun bentuknya. Akan tetapi penelitian cermat yang
dilakukan terhadap hakikatnya (oleh para ulama hadits) menunjukkan bahwa hadits
mauquf tersebut mempunyai makna hadits marfu’. Oleh karena itu, para ulama
memutlakkan hadits semacam itu dengan nama marfu’ hukman (marfu’ secara hukum);
yaitu bahwasannya hadits tersebut secara lafadh memang mauquf, namun secara
hukum adalah marfu’.
b) Macam-macam Hadis Muquf[15]
1)
Mauquf
pada perkataan
Contoh : perkataan
rawi : Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu :
حدثوا الناس بما يعرفون
، أتريدون أن يُكَذَّبَ الله ورسولُهُ
“Sampaikanlah kepada manusia menurut apa yang mereka
ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan ?” (HR.
Al-Bukhari no. 127)
2)
Mauquf
pada perbuatan
Contoh
: perkataan Al-Bukhari :
وأَمَّ ابنُ عباس وهو
متيمم
“Ibnu
‘Abbas mengimami (shalat), sedangkan ia dalam keadaan bertayamum.” (HR. Al-Bukhari, kitab
At-Tayammum juz 1 hal. 82.)
3)
Mauquf
pada taqrir
Contoh
: perkataan sebagian tabi’in :
فعلت كذا أمام أحد
الصحابة ولم يُنْكِر عَلَيَّ
”Aku
telah melakukan demikian di depan salah seorang shahabat, dan beliau tidak
mengingkariku sedikitpun”.
c) Beberapa gambaran jenis hadits ini :
1)
Seorang
shahabat yang berkata - yang tidak
diketahui bahwa hal tersebut diambil dari ahli kitab – sebuah perkataan yang
tidak terdapat ruang ijtihad di dalamnya, tidak terkait dengan penjelasan
bahasa atau penjelasan mengenai keterasingannya.
2)
Seorang shahabat yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang
ijtihad di dalamnya seperti shalat kusuf yang dilakukan oleh para shahabat yang
setiap raka’atnya lebih dari dua ruku’.
3)
Seorang
shahabat yang mengkhabarkan bahwasannya mereka (para shahabat) telah mengatakan
atau melakukan satu perbuatan atau memandang tentang satu hal bahwa hal itu
tidak mengapa. Maka ini harus dirinci.
4)
Seorang shahabat berkata : Umirnaa bikadzaa (kami diperintahkan begini),
nuhiina bikadzaa (kami dilarang untuk begini), atau minas-sunnati kadzaa
(termasuk sunnah adalah begini).
5)
Seorang rawi mengatakan dalam haditsnya ketika menyebutkan seorang shahabat
dengan salah satu dari empat kata berikut : yarfa’uhu, yanmiihi, yablughu bihi,
atau riwaayatan.
6)
Seorang
shahabat menafsirkan sebuah ayat yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat
(sababun-nuzul).
Hadis
mauquf – sebagaimana yang telah diketahui – bisa shahih, hasan, atau dla’if.
Akan tetapi, meskipun telah tetap keshahihannya, apakah dapat berhujjah
dengannya ? Jawaban atas hal tersebut adalah bahwasannya asal dari hadits
mauquf adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena
hadis mauquf hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja.
Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian
hadits dla’if – sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal – karena yang
dilakukan oleh shahabat adalah amalan sunnah. Ini jika tidak termasuk hadis
mauquf yang dihukumi marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika hadis mauquf tersebut
dihukumi marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadis
marfu’.[16]
3. Hadis Maqthu’
a)
Pengertian Hadis Maqthu'
Lafadz al-Maqthu’ merupakan isim maf’ul dari madhi قطع antonim dari
madhi وصل dan secara terminology hadis maqthu' adalah :
وهو الموقوف التابعي قولا له أوفعلا متصلا كان أو
منقطعا
”Yaitu sesuatau yang terhenti (sampai) pada Tabii baik perkataan maupun perbuatan tabi'i
tersebut, baik bersambung maupun terputus”[17]
ماأضيف الى التابعي أو من دونه من قول أوفعل .
“Hadis yang disandarkan kepada tabi'i
atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.”[18]
Hadis Maqthu
tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa
perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar munqathi adalah sifat dari
sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.[19]
1)
Hadis
maqthu’ qauli
Contoh Hadis Maqthu'
قول
الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat
di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas
perbuatan bid'ahnya"
2)
Hadis
maqthu’ fi’li
Contohnya adalah perkataan Haram bin
Jubair yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
الْمُؤْمِنُ اِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ اَحَبَّهُ,
وَاِذَا اَحَبَّهُ اُقْبِل اِلَيْهِ.
"Orang mukmin itu apabila telah
mengenal Tuhannya , niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya,
niscaya Allah menerimanya.[21]
3)
Hadis
maqthu’ taqriri (yang
berupa persetujuan)
Contoh : seperti
perkataan Hakam bin ‘Utaibah, ia berkata: “Adalah
seorang hamba mengimami kami dalam masjid itu, sedang syuraih (juga) shalat
disitu.”
Syuraih
adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan
bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
c) Status Hukum Hadis Maqthu'
Para ulama
berselisih pendapat terhadap kehujjahan hadis maqthu’. Ada yang berpendapat
bahwa hadis maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk
menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan
perkataan Ulama lainnya. Sebaliknya yang membolehkan mengarahkan hadis ini
sebagai suatu ijma’ bil tidak ada dalil atau bantahan dari orang lain. Bila
sudah seperti itu sebagian ulama syafi’iyah menamai yang demikian sebagai
marfu’ mursal.[22]
B. HADIS MURSAL
Hadis mursal adalah isim maf’ul dan kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, melepaskan,
maka seakan-akan hadis mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi
yang terkenal.[23]
Sedangkan menurut istilah adalah hadis
yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in.[24]
Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang
disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.[25]
Definisi tentang Hadits Mursal yang
paling masyur adalah:
للمُرْسَلُ
هُوَ مَارَفَعَهُ التَّابِعِى بِأَنْ يَقُوْلَ : قَا لَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ...سَوَاءَكَانَ التَّا بِعِى كَبِيْرًا اَوْ صَغِيْرًا.
“Hadits mursal adalah
hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi’in dengan mengatakan,
“Rasulullah saw. Berkata...” baik ia tabi’in besar maupun tabi’in kecil.”[26]
Adapun
contoh Hadis Mursal adalah sebagai berikut;
حدثنا
محمد بن المصفى حدثنا بقية عن الوضين بن عطاء عن يزيد بن مرثد المدعي قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم اَلْعَنْكَبُوْتُ شَيْطَانٌ فَاقْتُلُوْهُ.
Hadis
Mursal di atas, ada di dalam kitab Al-Marâsil karya Abu Daud. Hadis
Mursal ini dhaif karena ibn Al-Mushaffa dan Baqiyyah adalah Rawi Mudallis.
Adapun Al-Wadhin adalah rawi yang shadûq sayyi’ al-hifzh.[27]
Sedangkan, Yazid ibn Martsad sendiri adalah Tabi’in yang tsiqah, ia
memiliki banyak Hadis Mursal. Ini adalah salah satu Hadis Mursal darinya.
1. Macam-Macam Hadis Mursal[28]
a) Mursal Jaly
Mursal al-Jali, yaitu tidak
disebutkanya nama sahabat dan dilakukan oleh tabi’in besar atau bisa dikatakan
pengguguran yang dilakukan oleh tabi’in.
b) Mursal Shahaby
Secara definitif Mursal
Shahabi adalah
مَا يَرْويْهِ الصَّحَا بِى عَنِ شيء فعله
النَّبِى صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ او نحوه بما يعلم انه لم يحضره
لِصِغَرِ سِنِّهِ اَوْ تَأَخُّرِ اِسْلَامِهِ.
“Uraian dari seorang
sahabat tentang sesuatu yang
dikerjakan Nabi Saw. dan sebagainya dengan pengetahuan bahwa ia sendiri
tidak menyaksikan karena ia masih sangat kecil, atau karena
masuk Islamnya belakangan.”
c) Mursal Khafy
Mursal al-khafi yaitu pengguguran nama
sahabat yang dilakukan oleh tabi’in. Hal ini terjadi karena hadits yang
diriwayatkan oleh tabi’in tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun
dari sahaby walaupun ia hidup sezaman dengan sahaby tersebut. Dan hukum hadis ini adalah Dha’if.[29]
2.
Sebab-sebab
Terjadi Irsâl
Mengetahui
sebab-sebab munculnya Hadis Mursal ini juga penting. Dengan mengetahui
sebab-sebab terjadinya irsâl, kita bisa menjadi lebih arif dan bijaksana
dalam menyikapi suatu hadis berikut rawinya. Bukan
dalam arti menerima atau menolaknya. Hanya saja, pengetahuan kita pada sosok
rawi menjadi lebih komprehensif dan mendalam. Kita menjadi aware atau mudrik
terhadap sisi kemanusiaan mereka, baik yang disadari maupun yang tidak
disadari. Dan, hal semacam ini tidak bisa kita dapatkan dari ulama-ulama hadis
kontemporer. Kalaupun ada ulama hadis kontemporer (apalagi pelajar hadis) yang
menyampaikan sebab-sebab baru adanya irsâl, paling itu hanya sebatas
mengira-ngira saja. Adapun sebab-sebab tersebut adalah:
a)
Karena rawi Tabi’in yang meriwayatkan Hadis Mursal ini pernah mendengar
suatu hadis yang diriwayatkan dari seklompok rawi-rawi yang tsiqah dan
menurut dia hadis itu memang sahih. Maka, kemudian
dia dengan sengaja meriwayatkan hadis itu—karena tahu hadisnya sahih—secara mursal
dari gurunya.[30]
b)
Karena
rawi Tabi’in yang meriwayatkan Hadis Mursal ini, lupa siapa yang menyampaikan
hadis yang pernah ia dengar. Maka, ia terpaksa meriwayatkannya sendiri secara mursal.[31]
Namun, rawi ini memiliki pendirian bahwa ia tidak meriwayatkan suatu hadis
kecuali dari orang yang tsiqah. Seperti, Ibnu Al-Musayyab[32]
dan Ibrahim An-Nukha’i. Mereka tidak akan meriwayatkan Hadis Mursal kecuali
dari rawi yang tsiqah.[33]
c)
Jika
seorang rawi Tabi’in tidak sedang meriwayatkan hadis, ia hanya menyampaikan
hadis itu dalam rangka mengingat-ingat atau untuk kepentingan fatwa—yang dalam
kondisi ini memang rawi tidak dituntut menyampaikan sanadnya—karena memang yang
dibutuhkan dan yang penting saat itu adalah matannya.[34]
d)
Jika
seorang rawi Tabi’in yakin bahwa ia pernah mendengar suatu hadis yang sahih
dari salah satu guru dua guru yang sama-sama tsiqah, tapi sang rawi
Tabi’in ini lupa tepatnya dari guru yang mana. Maka, kemudian ia meriwayatkan
secara mursal karena tidak tahu pasti dari guru tsiqah yang mana.[35]
e)
Masalahnya,
apakah meriwayatkan Hadis Mursal dengan sengaja itu diperbolehkan? Jawabannya,
boleh. Dengan syarat, sang rawi yang meriwayatkan Hadis Mursal itu tahu bahwa
gurunya adalah ‘adil, baik menurut dirinya atau menurut rawi-rawi lain.[36]
BAB III
KESIMPULAN
Hadis marfu’
menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw.
(baik yang menyandarkan itu shahabat, atau tabi’in atau orang-orang sesudahnya)
yang berupa ucapan, perbuatan, taqrir atau sifatnya, baik secara sharih (jelas)
atau secara hukumnya saja.
Hadis mauquf menurut istilah ialah
Apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dari perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Hadis mauquf tidak bisa dipakai sebagai hujjah sebab hadits mauquf hanyalah
merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja, namun jika hadits
tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian hadits dla’if .
Hadis maqthu’ menurut
istilah ialah hadis yang disandarkan kepada tabi'i atau
generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan. Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu
adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in,
sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
Hadis mursal
menurut istilah adalah hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur
sesudah tabi’in.
Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang
disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu
Hajar.
An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh.
Saudi Arabia: Al-Jami’ah Al-Islamiyah, 1984.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Nukat Ala Nuzhah an-Nadzor fi taudhikhi
Nukhbatil Fikri. Dar Ibnu Jauzi, 1992.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Nukhbatul Fikri Fi Mushtholah Ahli Atsar.
Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2006.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu
al-Fikr fi Mushtalahi Ahli al-Atsar. Riyadh: Mathba’ah Safir, 1422
H.
Al-Qaththan, Manna Khalil. Pengantar
Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2005.
Al-Qaththan,
Muhammad. Ilmu
Mushthalah Hadis. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.
Al-Khodd, Musthafa. Al-Manhal ar-Rawi min Taqrib an-Nawawi,
Mansyurat dar al-Malaha.
Al-Kibiyi, Sa’d ad-Din bin Muhammad. Muqadimah an-Nawawi fi Ulumil
Hadis. Bairut : al-Maktab al-Islami, 1996.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2012.
Ath-Thahhan, Mahmud. Taisiru Musthalahil-Hadits.
Sangkapura: Al-Haromain, 1985.
Fathurrahman. Ikhtisar
Musthalah Hadist. Bandung: Al Ma’afir,1974.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Prenada Media Group,2010.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.
Mudasir.
Ilmu Hadis.
Bandung: Pustaka Setia,1999.
Nuruddin. ‘Ulum Al-Hadits 2. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994.
Salamah, Muhammad Khalaf. Lisân Al-Muhadditsîn. Saudi Arabia:
Multaqa Ahli Hadits, 2007.
Ibnu
Abi Hatim, Abu Muhammad.
Al-Marâsîl. Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, 1397H.
[1] Kuantitas (Jumlah penutur) yang
dimaksud adalah kuantitas dalam tiap tingkatan dari sanad, atau
ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits
ahad (Mashur, ‘Aziz, dan Ghoib). (Taisir Mustholah Hadis oleh Dr. Mahmud ath-Thahan, hal 19-28)
[2] Bila ditinjau dari Kualitas hadis maka terbagi menjadi 2
yaitu Maqbul dan Mardud. Maqbul meliputi Shahih dan Hasan.
Mardud meliputi terputus sebab sanadnya (Mu’allaq, Mursal’ Mu’dhal,
Munqathi’, Mudallas dan Mu’an’an), terputus sebab rawinya yang
dicela (Maudhu’, Matruk, Munkar, Ma’ruf, Mu’alil, Mukholafah li tsiqati,
Mudarrij dan Maqlub), dan terputus sebab bertambahnya sanad yang
muttasil (Mudhthorib, Mushahif, Syad wa Mahfudz, Jahalah bir rawi dan Mubda’ah).
(Taisir Mustholah Hadis oleh Dr. Mahmud ath- Thahan, hal 33-125)
[3] Mengi’tibar Musytarak
bainal Maqbul wal Mardu maka terbagi menjadi 2 yaitu ditinjau dari
sandaranya (Hadis Qudsi, Marfu’, Mauquf dan Maqthu’) dan
jenis-jenis lain selain itu (Musnad, Muttasil, Ziyadaat as-tsiqati dan al-I’tibar
wa al-Mutaabi’ wa as-Syahid). (Taisir Mustholah Hadis oleh Dr. Mahmud ath-
Thahan, hal 126-141)
[7] Teungku Muhammad Habsi ash-shiddieqy, Sejarah dan pengantar ilmu hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), 173.
[13] أي هو ما
نُسِبَ أو أُسْنِدَ إلى صحابي أو جَمْع من الصحابة سواء كان هذا المنسوب إليهم
قولا أو فعلا
أو تقريراً ، وسواء كان السند إليهم متصلا أو
منقطعاً
"Yaitu sesuatu
yang dinisbatkan atau disandarkan kepada shahabat atau sejumlah shahabat, sama
saja apakah hal itu berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir; dan juga sama saja
apakah sanad yang sampai kepada mereka itu muttashil (bersambung) atau
munqathi’ (terputus).” (Taisir Mustholah Hadis
oleh Dr. Mahmud ath- Thahan, hal 130)
[14]
Az-Zuhri dan ‘Atha’ merupakan tokoh dari kalangan tabi’in.
[17] Sa’d ad-Din bin Muhammad al-Kibiyi, Muqadimah an-Nawawi fi Ulumil Hadis,
(Bairut : al-Maktab al-Islami, 1996), 28.
[18] Ibnu Hajar al-Asqalani, Nukat Ala Nuzhah an-Nadzor fi taudhikhi
Nukhbatil Fikri, (Dar Ibnu Jauzi, 1992), 154.
[19] Ibnu Hajar al-Asqalani, Nukhbatul Fikri Fi Mushtholah
Ahli Atsar, (Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2006), 325.
[24] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka
Setia,1999), hlm. 157.
[25] Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media
Group,2010), 193.
[26] Nuruddin Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2,
(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), 153.
[27] Shadûq sendiri menurut ulama mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn adalah
istilah yang disematkan pada rawi yang derajat ke-tsiqah-annya berada di
paling bawah. Ia
sekelas dengan rawi yang ‘adl dan dhabith, tapi ke-dhabith-annya
lemah. Atau, tsiqah tapi ghairu mutqin artinya tidak menutup
kemungkinan ada cacat. Rawi yang shadûq ini, selama riwayatnya tidak
bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqah, hadisnya masih bisa
dijadikan hujah. Ulama muta’akhkhirîn secara mutlak mengakui periwayatan
rawi yang shadûq ini. Tapi, ulama mutaqaddimîn masih
pilih-pilih, tergantung pada hasil seleksi dan koreksi (amârât naqdiyah) mereka
yang sangat jeli dan teliti dan itu tidak mungkin mampu dikerjakan oleh ulama muta’akhkhirîn.
(Muhammad Khalaf Salamah, Lisân Al-Muhadditsîn, Juz III,
Hal. 337-338)
[30] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi
Nukhbatu al-Fikr fi Mushtalahi Ahli al-Atsar, (Riyadh: Mathba’ah
Safir, 1422 H), 555-556.
[32]
Dalam kitab Al-Marâsil karya Ibnu Abi Hatim disebutkan,
حَدّثَنِيْ أَبِيْ قَالَ
سَمِعْتُ يُوْنُسَ بْنِ عَبْدِ الأَعْلَى اَلصَّدَفِي يَقُوْلُ قَالَ لِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيْسِ الشَّافِعِي نَقُوْلُ اَلْأَصْلُ قُرْآنٌ أَوْ سُنَّةٌ
فَإِنْ لَمْ يِكُنْ فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا وَإِذَا اتَّصَلَ الْحَدِيْثُ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَّ الإِسْنَادُ بِهِ فَهُوَ
سُنَّةٌ وَلَيْسَ الْمُنْقَطِعُ بِشَيْءٍ مَا عَدَا مُنْقَطِعُ سَعِيْدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ قَالَ أَبُوْ مُحَمَّد ابْنِ أَبِي حَاتِم رَحِمَهُ اللهُ يَعْنِي
مَا عَدَا مُنْقَطِعُ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبَ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ
“Bapakku (Abu Hatim
Ar-Razi) pernah mengabariku (Abu Muhammad ibn Abi Hatim), ia berkata, “Aku
pernah mendengar Yunus ibn Abdul A’la Ash-Shadafi berkata, ‘Muhammad ibn Idris
Asy-Syafi’i pernah berpendapat begini, ‘Menurut saya, sumber utama segala
sesuatu itu (ayat) Al-Qur’an atau Sunnah, jika tidak ada (dalil di keduanya)
maka dikiaskan pada (dalil yang ada di) keduanya. Dan, jika hadis itu
(sanadnya) bersambung hingga Rasulullah saw. dengan sanad yang sahih maka itu
dinamakan Sunnah. Jika (sanad di thabaqah Sahabatnya) terputus maka itu tidak
masalah, kecuali keterputusan (sanad di thabaqah Sahabat) yang dibuat oleh
(Tabi’in) selain Sa’id ibn Al-Musayyab. Abu Muhammad ibn Abi Hatim berkata, ‘Maksudnya,
keterputusan (sanad Sahabat) yang dibuat (Tabi’in) selain Sa’id ibn Al-Musayyab
mesti dipertimbangkan.’” (Abu Muhammad ibn Abi Hatim, Al-Marâsîl, (Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, 1397 H), 6.)
[33] Tapi,
ada catatan untuk Ibrahim An-Nukha’i. Untuk Hadis Mursal yang ia riwayatkan
dari Ibnu Mas’ud dianggap ulama dhaif. Begitu juga, riwayat Hadis Mursal yang
ia riwayatkan dari Ali ra., Syu’bah menganggapnya dhaif. Sedangkan, Yahya ibnu
Ma’in menganggap semua Hadis Mursal riwayat Ibrahim An-Nukha’i sahih kecuali
hadis tâjir al-bahrain dan al-qahqahah. (Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, Juz
II, 556.)
[34] Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, 555-556.
[36] Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, 557.
Subscribe to:
Posts (Atom)