Makalah ini disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ULUMUL HADIST 3”
Dosen Pengampu:
Qoidatul
Marhumah.M.Thi
Disusun oleh:
Ahmad
Fajar Rofiq (933800315)
PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN dan TAFSIR
JURUSAN USHULUDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis haturkan atas kehadirat Allah swt. yang mana atas karunia dan ridhaNya
kami dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan tentang STUDI TAKHRIJ HADIS.
Kemudian shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi
Muhammad saw, Nabi SAW. pembawa cahaya yang menerangi alam semesta.
Kemudian
penulis ucapkan terima kasih kepada beliau ibu Qoidatul marhumah, M.Thi, Selaku
dosen pembimbing mata kuliah ilmu hadis III semoga Allah tetap memberikan
perlindungan dan kesehatan kepada beliau selalu, tak lupa penulis juga
sampaikan kepada siapun atas terselesaikannya makalah ini yang tidak bisa kami
sebutkan namanya satu persatu.
Dalam makalah
ini kami mengangkat tema terkait dengan kajian Takhrij hadis dimana didalamnya
mencakup banyak pembahsan termasuk metode-metode yang telah diformulasikan oleh
para ulama’. Tentunya dalam makalah ini masih banyak celah yang perlu untuk
dikembangkan, dengan demikian maka kami selaku penulis dalam makalah ini,
mengharab kewibawabwaan pembaca untuk memberikan kritik dan saran guna
memperkaya khazanah keilmuan yang lebih baik lagi. Demikian kata pengantar ini
kami sampaikan.
Kediri,
04 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………i
DAFTAR ISI ……………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ………………………………………………………1
B.
Rumusan
Masalah ………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian ..................................................................................................... 2
B.
Sejarah ilmu Takhrij Hadis ............................................................................ 4
C.
Metode-metode Takhrij Hadis....................................................................... 6
D.
Faidah dan Tujuan Takhrij Hadis................................................................... 10
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA .............................................................................................. 14
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dilihat dari kuantitas rawi, tidak
semua hadis diterima oleh para rawi secara kolektif (mutawatir), justru banyak
hadis yang periwayatannya tergolong sebagai dzanniyal wurud atau dapat disebut
sebagai hadis ahad. Hal itu berkonsekuensi dengan kkajian-kajian hadis,
khususnya penelitian hadis. Dilihat dari sejerahnya hadis pun juga tidak
seperti al Qur’an yang ketika turun langsung ditulis dan dihafal oleh sahabat,
sedangkan hadis ditulis jauh sesudah Rasulullah wafat dan mayoritas hadis hanya
dihafal.
Dari situlah Ilmu takhrij harus
mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah
untuk mengetahui sumber hadist itu berasal. Di samping itu, di
dalamnya di temukan banyak kegunaan dan hasil yang di peroleh, khususnya dalam
menentukan kualitas sanad hadist. Dan sasaran yang dituju dalam ilmu ini ialah
sasaran internal dan eksternal hadis, dimana dengan mengetahui keduanya,
dapatlah diketahui terkait derajat hadis itu sendiri.
Takhrij hadist bertujuan mengetahui
sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak
atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui
hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadist yang
berlaku sehingga hadist tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun
kualitasnya. Disamping memiliki tujuan, dalam ilmu takhrij ini juga memilki
metode-metode khusus untuk meneliti hadis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tahkrij Hadis dan Bagaimana sejarah ilmu takhrih
hadis ?
2.
Bagaimana metode takhrij hadis ?
3. Apa tujuan ilmu takhrij hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takhrij Hadits
1. Secara
Etimologi
Kata takhrij
berasal dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak) dan al-buruz
(jelas) (Munawir, 1984:
356). Takhrij juga bisa berarti al-istinbat (mengeluarkan), al-tadrib
(meneliti) dan al- taujih (menerangkan) (Abadi, 1313 H: 192) Takhrij
juga bisa berarti Ijtima’ al-amra’aini al-muttadla diin fi syai’in wahid (berkumpulnya
dua persoalan yang bertentangan dalam suatu hal), al-istimbath (mengeluarkan
dari sumbernya), at-tadrib (latihan), al-taujih (menjelaskan
duduk persoalan, pengarahan) (Ali, 2008: 2).
Sedang menurut
Syeh Manna’ Al- Qaththan, takhrij berasal dari kata kharaja yang artinya nampak
dari tempatnya, atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al-kharaja artinya
menampakan dan memperlihatkannya, dan al-makhraja artinya tempat keluar, dan akhraja
al-khadits wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits
kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.(Al- Qaththan, 2006: 189).
Dari pengertian
secara bahasa tersebut, didapati bahwa” takhrih” secara bahasa memiliki makna
yang luas dan banyak padanannya. Namun demikian dari pengertian kebahasaan
tersebut dapatlah dijadikan sebagai dasar dan acuan untuk melihat pengertiannya
secara istilah, karena pengertian istilah, tidak akan jauh dari pengertian
kebahasaaannya.
2.
Secara terminologi
Adapun secara
terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber
aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Al- Tahhan, 1978: 9).
Ada juga pendapat ahli hadits, mengenai
pengertian takhrij, di antaranya:
a.
Menunjukan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadits yang disusun Mukhorrijnya langsung, kegiatan takhrij
seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun hadits dari
kitab-kitab hadits, misalnya Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang menyusun kitab Bulug
al-Maram.(Ali, 2008: 43)
b.
Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru
hadits atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat
sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerangkan
siapa periwayatannya dari para penyusun kitab ataupun karya yang dijadikan
sumber acuan, kegiatan ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhori yang
banyak mengambil hadits dari kitab al-Sunan karya Abu al-Hasan al-Basri
al-Safar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri. (Ali, 2008: 43)
c.
Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan
peristiwanya dengan sanad lengkap serta dengan menyebutkan metode yang mereka
tempuh, inilah yang dilakukan para penghimpun dan penyusun kitab hadits,
seperti al-Bukhari yang menghimpun kitab hadits Sakhih al-Bukhari (Ismail,
1992:42).
d.
Mengemukakan hadits berdasarkan kitab tertentu dengan disertakan
metode periwayatannya dan sanadnya serta penjelasan keadaan para periwayatnya
serta kualitas haditsnya, pengertian al-takhrij seperti ini dilakukan oleh Zain
al-Din ‘Abd al-Rahman ibn al-Husai al-‘Iraqi yang melakukan takhrij terhadap
hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Gazali dengan
judul bukunya Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ikhya’(Ismail, 1992:43)
e.
Menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, didalamnya
dikemukakkan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian
menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Ismail, 2005:71).
B.
Sejarah Ilmu Takhrij
Ulama-ulama
dahulu tidak mementingkan pada kaidah ilmu takhrij karena pengetahuan mereka
pada hadis sangat luas dan hubungan mereka dengan sumber asli sangat akrab dan
kuat. Apabila mereka mau membuktikan kesahihan suatu hadis dengan spontan
mereka bisa mencari dalam Kutub as-sittah bahkan di jilid beberapa terdapat
hadis tersebut sehingga mudahlah bagi mereka mengetahui hadis yang didengar sumber
aslinya.[1]
Era di mana
para ulama-ulama menguasai sumber asli hanya beberapa abad. Para ulama
selanjutnya mulai menemui kesulitan untuk mengetahui sumber suatu hadis yang
terdapat dalam Kitab Fiqih Tafsir dan Tarikh maka muncullah segolongan ulama yang
mulai melakukan Takhrij hadis terhadap karya-karya ilmu tersebut dan
menjelaskan kedudukan hadis itu apakah statusnya shohih, Hasan atau dhaif.
Di antara
kitab-kitab takhrij yang pertama muncul adalah: Takhrij al-Fawaid
al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Al-Ghoroib, Takhrij al-Fawaid
al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Qosim al-Mahrowam dan kitab
Takhrij Ahadits al-Muhazzab oleh Abu Ishak As Syairozi. Kemudian pada masa
selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrij hadis semakin meluas hingga
mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri sangat
signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu keIslaman lainnya.[2]
Mahmud
at-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat
penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut dibidang ilmu syariah khususnya
bagi yang bergelut dibidang ilmu hadis dengan ilmu ini seseorang bisa memeriksa
hadis ke sumber asalnya. Ismail Abd Wahid Makhluf dan Taufiq Ahmad Saliman
menyebutkan tujuan ilmu takhrij sangatlah banyak, namun yang terpenting di
antaranya:
1.
Mengetahui sumber hadis dimana hadis tersebut didapati.
2.
Untuk mengetahui status kualitas, apakah hadis itu shohih, Hasan
atau dhaif.[3]
M. Syuhudi
Ismail menyebutkan sebab-sebab perlunya kegiatan takhrij hadis sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui asal usul riwayat hadis yang diteliti
2.
Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan di teliti.
3.
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Shahid dan Mutabi Pada sanad
yang diteliti.
Abd. Muhdi
Abdul Qodir menyebutkan tujuan takhrij adalah mengetahui sumber asal hadits dan
kualitas hadits tersebut apakah bisa diterima atau tidak. Sedangkan manfaat
takhrij hadits banyak sekali diantaranya :
1.
Memperkenalkan Sumber-sumber hadis
2.
Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang
ditunjukkan.
3.
Memperjelas keadaan-keadaan sanad sehingga dapat diketahui apakah
hadis tersebut manqothi, mudhol atau lainnya.
C.
Metode Takhrij
Takhrij suatu
metode untuk menentukan kehujjahan hadits serta unsur-unsurnya. Yang terbagi
menjadi tiga, yaitu :
1.
Takhrij Naql.
Takhrij dalam
bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran, penukilan dan pengambilan hadits
dari beberapa kitab/ diwan hadits ( mashadir al-asliyah ), sehingga dapat
diidentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan
sanadnya masing-masing. Pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan
oleh para ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan
yang menyebutkan lima teknik dalam menggunakan metode takhrij Naql diantaranya
:
a.
Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits.
b.
Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits.
c.
Takhrij dengan mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal.
d.
Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits.
e.
Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits.[4]
Dalam hal ini
kami meringkas metode tersebut menjadi empat, karena metode yang dikemukakan
oleh Dr. Mahmud al-Thahhan, dari lima metode tersebut salah satu metodenya
telah dibahas oleh metode sebelumnya.
a.
Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
Metode ini
hanya digunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada hadits yang akan
ditakhrij apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan
tidak dapatdiusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini
tidak dapat dipakai. Apabila nama sahabat itu tercantum dalam hadits tersebut
atau tidak tercantum. Masih dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat
digunakan tiga macam kitab, yaitu : kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
b.
Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
Metode ini
hanya menggunakan satu kitab penunjuk saja, yaitu : “ Al-Mu’jam al-Mufarhas li
alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat
yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘ Abd al-Baqi. Kitab-kiatb yang
jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’I, Sunan
ibn Majah , Muwattha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana masing-masing
mempunyai kode tersendiri.[5]
c.
Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
Metode ini akan
mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Orang
yang awam akan hadits akan sulit menggunakan metode ini, karena yang dituntut
dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits yang akan
ditakhrijkan. Baru kita membuka kitab yang mengandung tema tersebut. Adapun
kitab-kitab yang akan digunakann dalam metode ini adalah kitab-kitab yang
disusun secara tematis.
d.
Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits
Yang dimaksud
dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan dan sifat hadits baik
yang ada pada matan maupun sanadnya. Pertama yang harus diperhatikan adalah
keadaan sifat yang ada pada matan kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian
yang ada pada keduanya.
1)
Dari segi matan : apabila pada hadits itu tampak ada tanda-tanda
kemaudhuan, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah
mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits maudhu. Dalam kitab ini ada
yang disususn dalam alfabetis antara lain kitab al-mashnu’ al-hadits
al-maudhu’li al syaikh’ al qori al syari’ah. Dan ada yang secara matematis
antara lain kitab tanzih al-syari’ah al- marfu’ah al-ahadits al-syafiah
al-maudhu li al kanani.
2)
Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada ciri
tertentu, misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalm
kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal atau ada seorang perawi yang
lemah sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab mizan al-I’tidal li al- dzahahi.
Dari segi matan
dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada
matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu dapat
di cari dalam kitab : ‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi dan Al- Mustafad
min Mubhamat al- matn wa al- isnad li abi Zar’ah Ahmad Ibn al- Rahim al- Iraqi.[6]
Data Hadits
yang dianalisis mencakup matan dan sanad. Hasil analisisnya disebut Kritik
Hadits. Selanjutnya Kritik Hadits dibedakan menjadi dua, yaitu kritik matan
yang disebut dengan kritik internal (al-dakhili) dan kritik sanad yang disebut
dengan kritik eksternal (al-khoriji).
a)
Kritik Internal
Kritik Internal ialah kritik pada matan dengan meneliti apakah
matan tersebut bertentangan dengan Al-qur’an, Hadits yang lebih kuat, atau
logika. Ulama telah membuet kaidah yang dijadikan standar penilaian apakah
hadits itu shahih atau dha’if seperti matan
tidak memiliki cacat yang tersembunyi (‘illah) dan keganjilan (syadz). ‘Illah
dan syadz ini juga terjadi pada sanad. Untuk mengetahui cacat dan keganjilan
pada matan, ulama menyebutkan kriteria hadits maudlu’ sebagai berikut.
1)
Bertentangan dengan akal dan tidak menerima takwil (interpretasi).
2)
Menyalahi indra dan persaksian.
3)
Menyalahi dalil-dalil qath’i, sunnah mutawattirah, atau ijma’ ulama
sehingga tidak mungkin dikompromikan.
4)
Memberikan balasan yang berlebihan untuk kebaikan atau keburukan
kecil.
b)
Kritik Eksternal
Kritik Eksternal yaitu kritik pada sanad dengan meniliti apakah
sanad tersebut tersambung (ittishal) dengan periwayat (syeikh) diatasnya dari
awal sampai akhir. Untuk menelusuri ketersambungan sanad ini, digunakan ilmu
rijal al-hadits atau tarikh al-ruwah. Ulama juga mensyaratkan para perawi harus
adil, kuat hafalannya, serta ada keganjilan (syadz) dan cacat(‘illah).[7]
2. Takhrij Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama diatas. Tashhih dalam arti menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji
rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah. Kegiatan tashhih dengan menggunakan
kitab ‘ Ulum al-Hadits yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, ma’an
al-Hadits Gharib al- Hadits. Kegiatan ini dilakukan oleh Mudawin ( kolektor )
sejak Nabi Muhammad saw. Sampai abad 3 H. Dan dilakukan oleh para Syarih (
komentator ) sejak abad 4 H. sampai sekarang.[8]
3.
Takhrij I’tibar
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas. I’tibar berarti
mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab
syarah dan kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam studi
dan penelitian hadits sebagai berikut :
a.
Dilihat, apakah hadits tersebut benar-benar sebagai hadits.
b.
Memperhatikan unsur hadits seperti : sanad, matan dan perawi.
c.
Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawi, matan
dan sanadnya.
d.
Bagaimana kualitas hadits tersebut.
e.
Bila hadits itu maqbul, bagaimana ta’amulnya , apakah ma’mul bih
(dapat diamalkan) atau ghoir ma’mul bih.
f.
Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
g.
Memahami asbab wurud hadits.
h.
Apa isi kandungan hadits tersebut.
i.
Menganalisis problematika.
D.
Tujuan dan Faidah Takhrij Hadits
Ilmu takhrij
merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di
dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk
mengetahui sumber hadist itu
berasal. Di samping itu, di dalamnya di temukan banyak kegunaan dan hasil yang
di peroleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadist.
Takhrij hadist
bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah
mengetahui di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini,
kita akan mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan
kaidah-kaidah ulumul hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut menjadi
jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.[9]
Adapun faidah takhrij hadis antara lain :
1. Dapat di ketahui banyak – sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang
sedang menjadi topic kajian.
2. Dapat di ketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat.
Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak
bertambah.
3. Dapat di temukan status hadist shahih li dzatih atau shahih li ghairih,
hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui
istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.
4.
Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak
mengamalkan setelah mengetahui bahwa
hadist tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa
hadist tersebut tidak dapat diterima (mardud).
5.
Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar – benar
berasal dari Rasulullah SAW. Yang harus di ikuti karena adanya bukti – bukti
yang kuat tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.[10]
BAB III
PENUTUP
Kata takhrij
berasal dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak) dan al-buruz (jelas)
(Munawir, 1984: 356). Takhrij juga bisa berarti al-istimbat (mengeluarkan),
al-tadrib (meneliti) dan al- taujih (menerangkan). Adapun secara terminologi,
takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana
hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian
menjelaskan derajatnya jika diperlukan.
Metode takhrij terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Takhrij Naql.
b. Takhrij Tashhih.
c. Takhrij I’tibar.
Takhrij hadist
bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah
mengetahui di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini,
kita akan mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan
kaidah-kaidah ulumul hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut menjadi
jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul majid. Ulumul hadits. Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2009.
Mahmud,
Thahhan. Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid. Terj.Riyadh: Maktabah
al-Maa’rif, 1991.
Muslim,
Akib Moh. Ilmu Musthalahul Hadits Kajian Historis Metodologi Hadits.
Kediri: Stain Kediri Press, 2010.
Khon,
Abdul Majid. Takhrij Dan Metode Memahami Hadits. Jakarta: Amzah, 2014.
At
tahhan, Mahmud. Metode Takhrij Al Hadits Dan Penelitian Sanad Hadits.
Surabaya: Imtiyaz, 2015.
[3]Ibid,21
[4]Ibid, 26.
[5]Moh Akib Muslim. Ilmu
Musthalahul Hadits Kajian Historis Metodologi Hadits.( Kediri: Stain Kediri
Press, 2010)56-57.
[6] Mahmud At-thahan. Metode Takhrij Al Hadits Dan Penelitian Sanad Hadits.( Surabaya: Imtiyaz, 2015) 59-61.
[7] Mahmud Al-Tahhan, Metode Takhrij Al-Hadits Penelitian Sanad
Hadits, terj. Ridlwan Nasir dan Hamim (Surabaya: Imtiyaz, 2015),11-12.
[8]Ibid,21.
[9] Mahmud Thahhan. Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid. Terj.( Riyadh: Maktabah
al-Maa’rif, 1991)121-122.
[10]Ibid,54.
No comments:
Post a Comment