INKARUS SUNNAH
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas matakuliah
ULUMUL HADIS 3
Dosen pengampu:
Qoidatul Marhumah, M.Th.I
Disusun oleh:
M. Misbahul Huda (933801015)
JURUSAN USULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
KEDIRI 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “INKARUS SUNNAH’’
Dalam pembuatan makalah ini mulai dari perancangan, pencarian bahan,
sampai penulisan, penulis mendapat bantuan, saran, petunjuk, dan bimbingan dari
banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
penulis mengucapakan terimakasih kepada Ibu Qoidatul Marhumah, M.Th.I selaku
dosen mata kuliah Ulumul Hadis 3 dan kepada teman-teman yang ikut
berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang, dan penulis juga
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kediri,
5 Oktober 2016
Penulis
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Seluruh umat Islam, baik yang ahli naql
maupun yang ahli aql telah sepakat bahwa haits atau sunah merupakan
dasar hukum Islam, yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat
tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan untuk
mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena
hadits merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa memahami dan
menguasai hadits, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Quran. Sebaliknya,
siapapun tidak bisa memahami hadis tanpa memahami A-Quran karena Al-Quran
merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan
hadis merupakan dasar hukum ke dua, yang didalamnya berisi penjabaran dan
penjelasan Al-Quran. Dengan demikian, antara hadis dan Al-Quran memiliki
kaitanyang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri.[1]
Dalam kaitannya dalam masalah ini,
Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan:
Al-Quran dan As-Sunnah (Al-Hadits)
merupakan dua sumber hukum Syariat Islam yang tepat, sehingga umat Islam tidak
mungkin mampu memahami syariat Islam, tampa kembali kepada kedua sumber Islam
tersebut, mujtahid dan orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan
diri dengan salah ssatu dari keduanya.[2]
Untuk mengetahui sejauh mana
kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam, dapat di lihat pada bab
selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
INGKAR AS-SUNNAH
A.
PENGERTIAN
INGKAR AS-SUNNAH
Ingkar as-sunnah adalah
sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal
ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.[3]
Penyebutan ingkar as-sunnah
tidak semata-mata berarti penolakan total terhadap sunnah. Penolakan terhadap
sebagian sunnah pun termasuk dalam kategori ingkar sunnah, termasuk
didalamnya penolakan yang berawal dari sebuah konsep berfikiryang dalamnya
penolakan dari sebuah konsep berfikir yang janggal atau metodologi khusus yang
diciptakan sendiri oleh segolongan orang- baik masa lalu maupun sekarang-
sedangkan konsep tersebut tidak dikenal dan diakui oleh ulama hadis dan fiqih.[4]
Ada tiga jenis kelompok ingkar
As-sunnah.
Pertama, kelompok
yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan.
Kedua, kelompok
yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara tersurat atau
tersirat.
Ketiga, kelompok
yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang
setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak
hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat metawatir) walaupun sahih.
Mereka beralasan dengan ayat: QS. An-Najm : 28
وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Artinya: “.... sesungguhnya
persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm ayat
28)
Mereka berhujjah dengan ayat itu,
tentu saja menurut penefsiran model mereka sendiri.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN INGKAR AS-SUNNAH
1.
Ingkar As-Sunnah
Klasik
Pada masa sahabat, seperti
dituturkan oleh Al-Hasan Al-Basri (w. 110 H), ada sahabat yang kurang begitu
memperhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW., yaitu ketika sahabat Nabi SAW ‘Imran bin Husain (w. 52 H) sedang mengajarkan
hadis. Tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia tidak usah mengajarkan hadis,
tetapi cukup mengajarkan Al-Quran saja. Jawab ‘Imran,”tahukah anda, seandainya
anda dan kawan-kawan anda hanya memakai Al-Quran, apakah anda dapat menemukan
dalam Al-Quran bahwa salat dhuhur itu empat rakaat, salat ashar empat rakaat,
dan salat magrib tiga rakaat?”
Apabila anda hanya memakai Al-Quran,
dari mana anda tahu tawaf (mengelilingi kabah) dan sa’i antara safa
dan marwa itu tujuh kali?
jawaban itu, orang tersebut berkata, anda
telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan, Allah selalu menyadarkan anda. Akhirnya
sebelum wafat, orang itu menjadi ahli Fiqh.[5]
Gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti
diatas, masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok
atau mahzab, meskipun jumlah mereka dikemudian hari semakin bertambah. Suatu
hal yang patut dicatat, bahwa gejala-gejala itu tidak terdapat di negeri Islam secara keseluruhan, melainkan secara
umum terdapat di Irak. Karena ‘Imran bin Hushain dan Ayyub As-Sakhtiyani,
tinggal di Basrah Irak. Demikian pula, orang-orang yang disebutkan oleh imam
Syafi’i sebagai pengingkar sunnah juga tinggal di Basrah. Karena itu, pada masa
itu di Irak terdapat faktor-faktor yang menunjang timbulnya faham ingkar
as-sunnah.[6]
Dan itulah gejala-gejala ingkar
as-sunnah yang timbul dikalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir
abat kedua hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber syariat Islam, disamping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir
saja.[7]
a.
Khawarij dan
Sunnah
Dari sudut kebahasaan, kata khawarij
merupakan bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti ‘sesuatu yang
keluar’. Sementara menurut pengertian terminologis, khawarij adalah
kelompok atau golongan yang tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang
dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri
dari kepemimpinan Ali bin Abu Thalib r.a.
Apakah khawarij menolak sunnah ? ada
sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para
sahabat sebelum kejadian fitnah (perang sudara antara Ali bin Abu Thalib r.a.
dan Mu’awiyah r.a.) diterima oleh kelompok khawarij. Degan alasan bahwa sebelum
kejadian itu para sahabat dinilai sebagian orang-orang yang adil (muslIm yang
sudah akil-balig, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya).
Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawaarij menilai mayoritas
sahabat Nabi SAW sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan
para sahabat sesudah kejadian itu ditolak kelompok khawarij.[8]
b.
Syi’ah dan
Sunnah
Kata syi’ah berarti ‘para
pengikut’ atau ‘para pendukung’. Sementara menurut pengertian terminologis, syi’ah
adalah golongan yang menganggap bahwa ‘Ali bin Abu thalib r.a. lebih utama
daripada khalifah sebelumnya (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman), dan beroendapat
bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi SAW) lebih berhak menjadi khalifah
daripada yang lain.
Golongan Syi’ah ini terdiri
dari berbagai kelompok dan tiap-tiap kelompok menilai kelompok lain sudah
keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah
kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadis Nabawi
sebagai salah satu sumber syariat Islam. Hanya saja, ada perbedaan mendasar
antara kelompok syi’ah ini dengan golongan Ahl-AlSunnah (golongan
mayoritas umat Islam), yaitu dalam hal penetapan hadis.
Golongan syi’ah menganggap bahwa
sepeninggal Nabi SAW., mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari
Islam),kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim.
Karena itu golongan syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas
para sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
Ahl Al-Bait saja.[9]
c.
Mu’tazilah
dan Sunnah
Arti kebahasaan dari mu’tazilah
adalah “sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksudkan disini
adalah golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka
berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak
dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun golongan Ahl As-Sunnah
berpendapat bahwa orang Muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin,
meskipun ia berdosa. Pendapat mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan
Al-Basri, dan dipelopori oleh Washil bin ‘Ata (w. 131 H).
Apakah mu’tazilah menolak sunnah?
Syekh MuhammadAl-Khudari Beik berpendapat bahwa mu’tazilah menolak sunnah.
pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) dan
kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran pada waktu itu
di Bashrah Irak adalah Mu’tazilah. Prof. Dr. Al- Siba’i tampaknya sependapat
dengan pendapat Al-Khudari ini.[10]
Imam As-Syafi’i memang menuturkan
perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan
siapa orang yang menolak sunnah itu. Sementara sumber-sumber yang menerangkan
sikap mu’tazilah terhadap Sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mu’tazilah
menerima Sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima
sebagian Sunnah saja.
Ada sebagian Ulama Mu’tazilah yang
tampaknya menolak Sunnah, yaitu Abu Ishak Ibrahimbin Sajyar, yang populer
dengan sebutan Al-Nadhdham (w. 221-223 H). Ia mengingkari kemukjizatan
Al-Quran dari segi susunan bahasanya, mengingkari mu’jizat Nabi Muhammad
SAW., dan mengingkari hadis-hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang
pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.
d.
Pembela
Sunnah
Pada masa klasik, Imam
As-Safi’i telah memainkan perannya dalam
menundukkan kelompok pengingkar sunnah. Seperti telah disebutkan, dalam
kitabnya Al-Umm, beliau menuturkan pendapatnya dengan orang yang menolak hadis.
Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional, dan ilmiah, pengingkar
sunnah akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Oleh karena itu Imam
As-Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir As-Sunnah (pembela
Sunnah).
2.
Ingkar
As-Sunnah Masa Kini
Sejak abat ketiga sampai abat keempat
belas Hijriah, tidak ada kalangan yang menunjukkan bahwa di kalangan orang
Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu
sumber syariat Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk
menolak Sunnah yang muncul pada abad 1 Hijriah (ingkar As-Sunnah Klasik) sudah
lenyap ditelan masa pada abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah,
pemikiran seperti itu muncul kembali kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk
dan penampilan yang berbeda dari Ingkar As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar
As-Sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang
terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar As-Sunnah modern muncul di
Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin
melumpuhkan dunia Islam.
Apabila ingkar As-Sunnah klasik
masih banyak yang bersifat perorangan dan tidak menamakannya mujtahid
atau pembaharu, ingkar As-Sunnah modern banyak yang bersifat kelompok
yang terorgnisasi, dan tokoh-tokohnya banyak yang meng klaim dirinya sebagai
mujtahid dan pembaharu.
Apabila para pengingkar Sunnah pada
masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruannya, para
pengingkar sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya,
meskipun pada meraka yang telah yang diterangkan urgesi Sunnah dalam Islam.
Bahkan, diantara mereka, ada yang tetap menyebarkan pemikiran secara diam-diam,
meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran
tersebut.
Kapan aliran Ingkar As-Sunnah modern
itu lahir? Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa ingkar As-Sunnah modern
lahir di Kairo Mesir pada masa Syekh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M).
Dengan kata lain, Syekh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali
melontarkan gagasan ingkar As-Sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih
diberi catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitab nya Adhwa ‘ala
As-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.
Abu Rayyah menuturkan bahwa Syekh
Muhammad Abduh berkata, “Umat Islam pada masa sekarang ini tidak mempunyai imam
(pimpinan) selain Al-Quran, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal
sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, ”umat Islam
sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab
yang diajarkan di Al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam
tidak mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama,
yaitu Al-Quran. Semua hal selain Al-Quran akan menjadi kendala yang menghalangi
antara Al-Quran dan Ilmu serta amal."
Abu Rayyah dalam menolak Sunnah
banyak merujuk pada pendapat Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha,
sehingga kedua tokoh ini –khususnya Syeh Muhammad Abduh- disebut sebut sebagai
pengingkar sunnah. Namun, benarkah Syekh Muhammad Abduh mengingkari Sunnah?
Seperti dituturkan diatas, Azami masih belum memastikan hal itu karena ia hanya
menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dapat pastikan kebenarannya.
C.
ARGUMENTASI
INGKAR AS-SUNNAH
1.
Agama
Bersifat Kongkret dan Pasti
Mereka
berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti. Apabila
kita memanggil dan memakai Sunnah,
berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-Quran yang kita jadikan landasan
agama itu bersifat pasti, seperti dituturkan dalam ayat-ayat berikut :
(QS.Al-Baqarah ayat 1-2)
الم
(1) ذَالِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًي لِلْمُتَّقِيْنَ
Artinya:
Alif laam miin, Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa. (QS.Al-Baqarah ayat 1-2)
(QS. Al-Fatir
ayat 31)
وَالَّذِي
اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ إِنَّ اللهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيْرٌ بَصِيْرٌ
Artinya: Dan apa yang Telah kami wahyukan
kepadamu yaitu Al Kitab (Al Quran) Itulah yang benar, dengan membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha mengetahui
lagi Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Fatir ayat 31):
Sementara
apabila agama Islam itu bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian
sebab keberadaan hadis –khususnya hadis ahad- bersifat dhanni (dugaan
yang kuat), dan tidak sampai pada paringkat pasti. Karena itu, apabila agama
Islam berlandaskan hadis –dismping Al-Quran- Islam akan bersifat ketidak
pastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam Firman-nya, QS. An-Najm (pakistan)
2.
Al-Quran
Sudah Lengkap
Dalam syarit
Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT berfirman:QS. Al-An’aam
ayat 38:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ
Artinya: Tidaklah Kami Alfakan
sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Quran)
Jika kita
berpendapat Al-Quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas
mendustakan Al-Quran dan kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara
tutas. Padahal, ayat diatas membantah Al-Quran masih mengandung kekurangan.
Oleh karena itu, dalam syari’at Allah di ambil pegangan lain, kecuali Al-Quran.
Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.[11]
3.
Al-Quran
Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Quran tidak memerlukan
penjelasan, justru sebaliknya Al-Quran merupakan penjelasan terhadap segala
hal. Allah berfirman, QS. An-Nahl 89:
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا
بِكَ شَهِيْدًا عَليَ هؤلاء وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَئْ وَهُدًي وَّرَحْمَةً وَّبُشْرَي لِلْمُسْلِمِيْنَ
Artinya:
(dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad)
menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab
(Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
(QS. Al-An’am 114):
اَفَغَيْرَ اللهِ اَبْتَغِيْ
حَكَمًا وَهُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ اِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً وَالَّذِيْنَ
اَتَيْنَهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ
فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Artinya:
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal dialah yang
Telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang
Telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu
diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu.
Ayat-ayat
ini dipakai dalil oleh para pengingkar Sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka
menganggap Al-Quran sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala
masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadis secara keseluruhan,
seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
D.
BANTAHAN
TERHADAP INGKAR SUNNAH
1. Bantahan
terhadap Argumen pertama
Alasan
mereka bahwa sunnah itu dhanni ( dugaan kuat ) sedang kita di haruskan
mengikuti yang pasti ( yakin ), masaklahnya tidak demikain. Sebab , Al-qur’an
sendiri meskipun kebenarannya sudah di yakini sebagai Kalamullah- tidak semua
ayat memberikan petunjuk hukumyang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya
masih Dzanni ( Ad-dalalah ). Bahkan, orang yang memakai pengertian ayat seperti
ini juga tidak dapat menyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti ( yakin ).
Dengan demikian, berarti Ia jga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih
bersifat dugaan kuat( dzanni Ad-dalala).
Adapun
firman Allah swt ;
وَمَا
يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ بِّمَا يَفْعَلُوْنَ
36. Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. ( Q.S.Yunus:
36)
Yang di maksud dengan kebenaran (
Al-haq) di sini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi,maksud ayat ini
selengkapnya adalah,bahwa dzanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap
denagn pasti, sedangkan dalam halmenerima hadis, masalahnya tidak demikian.
Untukmembantah orang-orang yang
menolak hadis ahad, abu Al- husain al- basri Al mu’tazili mengatakan,”dalam
menerima hadis- hadis ahad, sebenarnya kita memakai dali-dali pasti yang
mengharuskan untunmenerima hadis itu” jadi, sebenarnya kita tidakmemakai dzanni
yang bertentangan dengan haq,tetapi kita mengikuti atau memakai dzann yang
memegang perintah Allah.
2. Bantahan
terhadap Argumen kedua dan ketiga
kelompok pengingkar sunnah,baik pada masa lalu maupun belakangan, umumnya ‘
kekurangan waktu ‘ dalam mempelajari Al- Qur’an. Hla itu di karena merka
kebanyakan hanya memakai dalil Ayat 89surat An- nahl:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَئْ وَهُدًي وَّرَحْمَةً وَّبُشْرَي
لِلْمُسْلِمِيْنَ
dan Kami
turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(
Q.S. An-nahl: 89 )
Berdasarkan teks Al-qur’an,
rasulullah saw. Sajalah yang di beri tugas untuk menjelaskan kandungan
Al-qur’an, sedangkan kita di wajibkan untuk menerima dan mematuhi
penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa perintah maupun larangan. Semua ini
bersumber dari Al-qur’an. Kita tidak memasukkan unsur lain ke dalamAl-qur’an
sehingga masih di Anggap memiliki kekurangan. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang di beri istana yang megah
yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia tidakmau memakai lampu
sehingga pada malam hari, istana itu gelap.sebab, menurut dia, istana itu sudah
paling lengkap dan tidak perlu hal-hal lain. Apabila istana itu di pasang
lampu-lampu dan lain-lain,berrarti iamasih memelurkan masalah lain, sebab
kabel-kabel lampu mesti di sambung dengan pembangkit tenaga listrik di luar.
Akhirnya ia menganggap bahwa gelap yang terdapat dalamistana itu sebenarnya
sudah merupakan cahaya.
E.
INGKAR
SUNNAH DI INDONESIA
Paham Ingkar Sunah muncul di Indonesia secara terang-terangan kira-kira
terjadi pada tahun 1980-an. Persisnya menurut Zufran Rahman (seorang peneliti
pemikiran Ingkar Sunah dan Dosen IAIN Jambi) pada tahun 1982-1983. Tetapi bukti
menunjukkan, bahwa pada 1981 paham ini sudah ada seperti yang terjadi di
Bogor pimpinan oleh H. Endi Suradi dan
1982 aliran sesat yang diajarkan H. Sanwani asal kelahiran Pasar Rumput
itu sudah berlangsung sejak November 1982.
Tokoh-tokoh Ingkar Sunah dan Pemikirannya
1. Ir. M Ircham Sutarto
Ir. M. Ircham Sutarto adalah Ketua Serikat Buruh Perusahaan
Unilever Indonesia di Cibubur Jawa
Barat. Menurut Hartono Ahmad Jaiz
(Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang
menulis diktat dengan tulisan tangan.
Di antara ajarannya yang dimuat dalam Diktat dan dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai
berikut :
a. Taat kepada Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada Rasul, Rasulpun telah
wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti
yang sebenarnya (M Ircham Sutarto : 85).
b. Allah telah mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan
al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada. Allah dan
Rasul-Nya menunggal dalam ajaran agama ( H Ircham Sutarto : 82 & 85).
c. Al- Qur’anadalahomonganAllah dan omonganRasul. ItulahartitaatkepadaAllah
dan kepadaRasul (M IrchamSutarto : 52
& 85)
d.
Keterangan al-Qur’an itu ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak
perlu dengan keterangan yang
disebut al-sunah atau hadis (M Ircham
Sutarto : 58)
e. Semua keterangan yang datang dari luar al-Qur’an adalah hawa. Jadi hadis
Nabipun termasuk hawa. Karena itu tidak dapat diterima sebagai hujah dalam agama (M Ircham Sutarto :
22)
f. Apa yang disebut Hadis-hadis Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng
tentang Nabi yangdidapat dari mulut ke
mulut. Timbulnya dari gagasan orang-orang yang hidup antara tahun180 sampai
dengan 200 setelah wafatnya Rasul ( M Ircham Sutarto : 68 & 70)
g.
Rasul tidak ada hak mengenai urusan perintah agama. Olehnya dibawakan ayat
QS Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah ada (haq) wewenang bagi kamu
tentang urusan (perintah) sedikitpun”. (terjemahan M Ircham Sutarto)
h.
Perbedaan Muhammad sebagai Rasul dan Muhammad sebagai manusia ; Apabila
Muhammad menyampaikan, membacakan mengajarkan al-Qur’an dan hikmah, di saat itu
Muhammad sebagai Rasul. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad
sedang melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala fi’il
dan qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa. (M Ircham Sutarto : 94)
i.Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat wahyu, termasuk Muhammad saw.
DalilnyaQS. Al-Baqarah/2 : 198
Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami
tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar
orang tersesat. (terjemahan
M Ircham Sutarto: 15 & 16)
j.Di dalam agama, perbuatan lahiriah merupakan pelengkap batiniah atau iman (M Ircham Sutarto: 51)
2. Abdurrahman
Diantara
ajarannya:
a. Tidak ada
adzan dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib
b. Seluruh
salat masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c.Puasa Ramadhan hanya dilaksanakan
bagi yang melihat bulan saja berdasarkan
QS. Al-Baqarah/2
: 185:
“
Karena itu barang siapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Mereka memahami ayat ini bahwa yang wajib
berpuasa adalah yang melihat bulan saja,
bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa, akhirnyua mereka
tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya
3. Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
Dalimi Lubis salah seorang oknum karyawan Kantor
Departemen Agama Padang Panjang, lulusan IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M
Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar Sunah Indonesia) dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra
Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah
dilakukan melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang
direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia. Di antara tulisan artikel Dalimi Lubis
tentang penghujatan terhadap perawi Hadis Abu Hurairah dimuat di Suara Muhammadiyah No. 05/80/1995. Judul
buku-buku karyanya antara lain ; Alam Barzah dan Adapun Hukum dalam
Islam Hanya al-Qur’an Saja.
4. As’ad bin Ali Baisa
Di antara ajarannya ialah sebagai berikut :
a. Shalat Jum’at harus dikerjakan 4 rakaat
b. Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan
karena sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita
yang haid harus melakukan shalat.
c. Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul
mujtahid (mujtahid pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan
al-Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d. Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing
dan buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat
saja
e. Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ingkar as-sunnah adalah
sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah.
Ada tiga jenis kelompok ingkar
As-sunnah.
Pertama, kelompok
yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan. Kedua, kelompok
yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara tersurat atau
tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir
(diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin
mereka berdusta) dan menolak hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat
metawatir) walaupun sahih.
Sejak abat ketiga sampai abat
keempat belas Hijriah, tidak ada kalangan yang menunjukkan bahwa di kalangan
orang Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah
satu sumber syariat Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran
untuk menolak Sunnah yang muncul pada abad 1 Hijriah (ingkar As-Sunnah Klasik)
sudah lenyap ditelan masa pada abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah,
pemikiran seperti itu muncul kembali kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk
dan penampilan yang berbeda dari Ingkar As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar
As-Sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang
terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar As-Sunnah modern muncul di
Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin
melumpuhkan dunia Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Al-Quran
terjemahan.
2. Agus
Solahudin,muhammad, Agus suyadi. Ulumul Hadis. Pustaka Setia, Bandung,
2008
3. Mudasir, ilmu
hadis. Pustaka Setia, Bandung, 2010
4. Daud Rasyid.
Sunnah di Bawah Ancaman: Dari snouck Hugronje Hingga Harun Nasution. Bandung:
syaamil. 2006
5. Al-Hakim. Al-Mustadrak
‘ala Ash-Shahihain. Beirut: Dar Al-Ma’rifat. T.t. Juz I
6. Muhammad
Azami Musthafa. Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin. Pustaka
Hidayah. Jakarta. 1992
7. Musthafa
As-Siba’i. As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab
Al-Islami. 1980. Jilid I
[1]
Agus Solahudin,muhammad, Agus suyadi. Ulumul Hadis(. Pustaka Setia,
Bandung, 2008), hlm,73
[2]Mudasir,
ilmu hadis.( Pustaka Setia, Bandung, 2010), hlm 65.
[3]Daud
Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari snouck Hugronje Hingga Harun Nasution.
)Bandung: syaamil. 2006(.
Hlm.6.
[4]Ibid.
Hlm. 5
[6]Muhammad
Azami Musthafa. Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin. )Pustaka Hidayah. Jakarta. 1992(.
Hlm. 42
[7]Ibid.
Hlm. 42
[8]Musthafa
As-Siba’i. As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami.)
Beirut: Al-Maktab Al-Islami. 1980(. Jilid I.hlm.
22.
[9]Azami.
Op.cit. hlm. 43-44.
[10]As-Siba’i.
Op.cit. hlm 148
[11]Solahudin.
Op.cit. hlm. 51-52
No comments:
Post a Comment