Blog Archive

Friday, October 14, 2016

IAT3 Roikhatul Mufida



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Takhrij al-Hadis
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata “- خروجا خرج – يخرج” yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar[1]. Secara istilah definisi takhrij yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Muhdi adalah
ذ كر الأحا د يث بأسانيد ها
“MenyeAbutkan beberapa hadis dengan sanadnya”
Berikut ini pengertian takhrij setelah dibukukan,
عزو الأحاديث الي الكتب المو جودة فيها مع بيان الحكم عليها 
menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan menerangkan hukum atau kualitasnya.”[2]
Menurut ulama hadis, kata takhrij memiliki beberapa arti sebagai berikut:
a)      Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
b)      Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, kitab yang susunannya berdasarkan riwayat sendiri dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun atau karya tulis dijadikan sumber pengambilan.
c)      Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij langsung.
d)     Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya yakni kitab-kitab hadis yang didalamnya disertai metode periwayatan dan sanadnya masing - masing.
e)      Menunjukkan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, kemudian untuk kepentingan peneliti dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.[3]
Namun seiringnya waktu berjalan Pengertian Takhrij al-Hadis mengalami tahap perkembangan sebagai berikut:
1.      Tahap pertama takhrij berarti penyebutan hadis dengan sanadnya masing-masing. Terkadang pengarang menitik beratkan masalah sanad atau matan.
2.      Tahap kedua takhrij menjadi penyebutan hadis dengan sanadnya yang berbeda dengan sanad yang ada pada kitab hadis sebelumnya. Umumnya penyebutan sanad dalam kitab kedua ini ditujukan untuk meratifikasi sanad yang ada pada kitab pertama.
3.      Tahap ketiga dimana hadis telah dikoleksi dalam kitab hadis dengan istilah takhrij bermakna perujukan riwayat-riwayat hadis kepada kitab yang ada.[4]
Berbicara tentang takhrij menurut definisi diatas sangat erat kaitannya dengan penelitian hadis. Penelitian pada masa awal yang dilakukan ulama salaf dan hasilnya dikodifikasikan menjadi buku hadis. Sekian banyak hadis yang disertai sanadnya dan keterangan kualitas yang diteliti ulama’ salaf. Kemudian ulama’ salaf mencari hadis yang belum dikodifikasikan untuk diteliti kembali oleh mereka. [5]
B.     Tujuan Takhrij
Tujuan pokok dari takhrij tentunya ada tujuan yang dicapai seorang peneliti adalah:
a.       Mengetahui eksistensi hadis apakah benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku hadis atau tidak.
b.      Mengetahui sumber otentik hadis dari buku hadis apa saja didapatkan.
c.       Mengetahui ada berapa tempat hadis dengan sanad yang berbeda dalam sebuah buku hadis.
d.      Mengetahui kualitas hadis maqbul atau mardud.[6]
C.     Manfaat Takhrij
Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul hadis sangat penting. Tanpa takhrijul hadis, maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan demikian saya akan menjelaskan begitu pentingnya kegiatan takhrijul hadis :
Ø  Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti
Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya.
Ø  Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang akan diteliti
Hadis yang akan diteliti mungkin lebih dari satu sanad. Mungkin saja, salah satu sanad hadis itu berkualitas dha’if, sedang yang lainnya berkualitas shahih.
Ø  Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti
Ketika hadis diteliti salah satu sanadnya, mungkin ada periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang diteliti. Dukungan itu terletak pada bagian pertama, yakni tingkat sahabat Nabi disebut sebagai syahid. Sedangkan dibagian bukan riiwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’. Untuk mengetahui, apakah sanad memiliki syahid atau mutabi’. Maka seluruh sanad hadis harus dikemukakan. Itu tandanya kegiatan takhrij harus dilakukan terlebih dahulu.  
Ø  Menghimpun sejumlah sanad hadis. Misalnya, beberapa tempat didalam kitab Al-Bukhari saja atau dari kitab lainnya.
Ø  Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttasil) dan terputus(munqathi’), mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat serta kejujuran dalam periwayatan.
Ø  Meningkatkan suatu hadis yang dha’if menjadi hasan lighayrihi karena ada dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Begitu juga dengan hasan menjadi shahih lighayrihi.
Ø  Mengetahui bagaimana Imam hadis menilai kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.[7]
D.    Faktor Pendorong dan Sejarah Munculnya Takhrij Hadis
Pada abad awal perkembangan ilmu dalam Islam, termasuk Ilmu Hadis. Yang sekarang disebut ‘ilm ushul at-takhrijbelum diperlukan. Dikatakan oleh Mahmud at-Thahan para peminat hadis saat itu dengan mudah merujuk kitab-kitab aslinya, karena kontak mereka dengan kitab sangat kuat[8]. Keadaan ini berubah pada abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya kajian terhadap kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadis pada kitab sumbernya. Dalam kitab-kitab itu hadis Nabi dikutib tanpa menyebutkan sumber pengambilnya.oleh karena itu bangkitlah para ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab tersebut.
Mengenai para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pengembangan hadis terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Para ulama mutaqaddiminmenghimpun hadis dengan menemui sendiri para penghafalnya sedangkan, ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan mutaqaddimin. Masa inilah ulama menggunakan sistem istidrak dan istikhraj. Sampai pada abad kelima dan ketujuh paara ulama hanya berusaha untuk memperbaikibsusunan kitab, mengumpulkan hadis Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah pengambilannya.
Ilmu Hadis baru berdiri sendiri sebagai sebuah Ilmu pada masa Al-Qadhi Ibnu Muhammad Al-Ramahurmudzi. Selanjutnya diikuti oleh Al-Hakim al-Naisaburi dan Abu Bakr Al-Baghdadi. Para ulama mutaqaddimindanmutaakhirinmenyebutnya ilmu musthalahul hadis. Jadi kalau menganalisa kedua uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadis sebagian dari ilmu hadis.[9]
E.     Metode Takhrij
Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadis, terlebih dahulu ia harus mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Pertama yang perlu dimaklumi adalah bahwa teknikpembukuan buku-buku hadis yang telah dilakukan para ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macam-macamnya. [10]Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Berbagai metode penelitian ilmiah telah diterapkan dalam penelitian hadis, yakni :
ü  Metode deskriptif, untuk menjelaskan makna matan dan lambang perawi dalam sanad sehingga dapat diketahui mana yang diterima dan ditolak.
ü  Metode perbandingan, untuk membandingkan antara satu sanad dan sanad lain dalam satu tema untuk memeriksa adanya keganjilan (syadz) cacat dan (ilat)
ü  Metode normatif, untuk memecahkan suatu masalah. Tolak ukur mantan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis yang lebih kuat, akal sehat, sejarah dan susunan bahasa.
ü  Metode kesejarahan, untuk mengetahui ketersambungan sanad dan periwayatannya. Para ahli hadis berpendapat bahwa studi matan dan kitab riwayah menjadi tidak berarti jika tidak disertai dengan ‘ilm hadis dirayah. Yang dimaksud ilm hadis dirayahyakni analisis kesejarahan mengenai perkataan dan perbuatan Rasulullah, sifat dan keadaan para periwayat, serta matan hadis.[11]
Sementara itu, metode takhrij sebenarnya sama dengan metode penelitian yang meliputi tiga proses, yakni :
1)      Pengumpulan data hadis, langkah awal yang dilakukan seorang mukharrij yakni mengumpulkan sanad dan matan yang lengkap melalui berbagai jalan sanad dari berbagai buku induk. Dalam takhrij, usaha menelusuri sanad untuk suatu hadis tertentu yang disebut I’tibar. I’tibar ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya riwayat lain.
Sebelum masa pengkodifikasian, para mukharrij mengumpulkan hadis langsung dari penghafal disertai sanad. Setelah masa pengkodifikasian, mukharrij mengumpukan data dari buku induk hadis dengan menggunakan menggunakan metode takhrij. [12]Karena banyaknya teknik dalam pengkodifikasian buku hadis yang telah ditelusuri dari buku induk, Metode takhrij ada lima yang dapat digunakan dalam arti penelusuran hadis dari sumber hadis yaitu takhrij dengan kata(bi al-lafzhi), takhrij dengan tema(bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan Matan (bi awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi a’la), dan Takhrij dengan sifat (bi ash-shifah). Berikut uraiannya:
a)      Takhrij dengan kata (bi al-lafzhi)
Metode takhrij ini melakukan penelusuran hadis melalui kata atau lafal matan hadis baik dari permulaan, pertengahan dan akhiran. Kamus yang diperlukan metode ini salah satunya adalah Kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadis An-Nabawi yang disusun sebanyak 8 jilid. Maksud takhrij dengan kata benda atau kata kerja bukan kata sambung. Misal jika kata dalam teks hadis yang dicari مسلمmaka harus dicari asal akar katanya yaitu سلمsetelah itu baru membuka kamus babس  bukan babم dan begitu untuk kata lainnya.
Metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihannya adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang di ingat tanpa harus hafal seluruhnya. Sedangkan kesulitannya adalah seseorang peneliti harus menguasai ilmu Shorof tentang asal-usul suatu kata.
b)      Takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’)
Metode ini menelusuri hadis bedasarkan topik (mawdhu’), misalnya bab Al-Khatam, Al-Khadim, Al-Ghusl dan lainnya. Seorang peneliti hendaknya sudah mengetahui topik kemudian ditelusuri menggunakan kamus hadis tematik adalahMiftah min Kunuz As-Sunnah. Dalam kamus ini berkenaan dengan petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Misalnya mentakhrij hadis : صلاة اليل مثني مثني ,hadis tersebut temanya shalat malam. Maka dalam kamus dicari bab Al-Layl tentang salat malam.
Kelebihan metode ini, peneliti mengetahui makna hadis tanpa mengingat permulaan matan teks hadis, tidak perlu menguasai asal-usul akar kata dan tidak harus mengetahui siapa yang meriwayatkan. Sedangkan kelemahannya yakni terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadis.
c)      Takhrij dengan permulaan Matan (bi awwal al-matan)
Menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim. Metode ini menggunakan kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir. Berikut contoh hadis طلب العلم فريضة علي كل مسلم . dari hadis tersebut menyebutkan sampai  مسلمtidak ada yang menyebutkanومسلمت, akan tetapi yang beredar selalu menyebutkan seperti itu dan mungkin ada rujukannya dalam kitab yang dipedomanimerupakan sebuah bukti matan.
Kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara utuh atau keseluruhan tidak sepenggal saja. Sedangkan kesulitannya bagi seorang yang tidak ingat permulaan hadis dan hanya mengingat penggalannya saja.
d)      Takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi a’la)
Takhrij ini menelusuri hadis melalui sanad yang pertama atau yang paling atas yakni para sahabat tabi’in. Berarti peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya kemudian dicari dalam kitab hadis Musnad atau Al-Athraf.Kitab Musnad adalah pengkodifikasian hadis yang menghimpun beberapa hadis yang didasarkan pada nama-nama sahabat tabi’in sesuai dengan sifat tertentu. Al-Athraf adalah kitab yang menghimpun beberapa hadis sahabat tabi’in sesuai nama alpabhet Arab.
Contoh sebuah hadis dalam kitab Musnad Ahmad :
عن أنس بن مالك قال أمر بلال أن يشفع الأذان ويوير الإقامة
Sahabat perawi sudah diketahui yaitu Anas bin Malik, terlebih dahulu nama Anas dilihat pada daftar isi kemudian didapati halaman tersebut.
e)      Takhrij dengan sifat (bi ash-shifah.
Metode ini melakukan penelusuran hadis dari buku induk hadis yang merupakan langkah awal dalam takhrij. Langkah ini akan mentakhrij dari segi sanad dan matan yang menjelaskan kualitasnya suatu hadis dengan memberikan kritik baik internal maupun eksternal. Bagi para peneliti hendaknya melanjutkan kegiatan takhrij-nya sampai menemukan informasi yang ingin dicapai.[13]
2)      Pengolahan Data Hadis, setelah data dari buku induk hadis sudah terhimpun, dapat diketahui informasi mengenai hadis yang dimaksud, baik nama, kitab, bab, nomor hadis,juz maupun halamannya. Selanjutnya, validitas data di telaah ulang untuk direntangkan sanadnya dalam bentuk skema. Seperti ini untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis sanad. Bentuk ini lebih efisien dan efektif karena matan hadis yang berulang dibeberapa tempat hanya disebutkan sekali begitu juga dengan nama perawi. Berikut ini contoh skema sanadnya.[14] Rasulullah bersabda,
الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتي تروه ولا تفطروا حتي تروه فإن غم عيكم فاقدروا له ثلاثين



 






Abu Hurairah                                                                        Ibnu Ummar
 Ibnu Abbas
                                 Muhammad bin Ziyad                                                Nafi’          Ibnu Dinar
Ibnu HunainIbnu Zaid
Syu’bah                                                       Ubaidillah Malik
        Ashim
Al-Bukhari                             Al-Nasa’i           Muslim             Al-Syafi’i
                                                                                                      Ibnu Khuzaimah

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam skema sanad, yaitu:
a). Jalur seluruh sanad
b). Nama-nama perawi dalam seluruh sanad
c). Metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing perawi.
3)      Analisis Data Hadis, data hadis yang dianalisis mencakup matan dan sanad. Hasil analisisnya disebut kritik hadis. Kritik hadis dibedakan menjadi dua, yakni :
1.      Kritik Internal
Ialah kritik pada matan dengan meneliti apakah matan tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis yang lebih kuat atau logika.
2.      Kritik Eksternal
Ialah kritik pada sanad dengan meneliti apakah sanad tersebut tersambung dengan periwayat (Syekh) diatasnya dari awal sampai akhir.[15]
F.      Syarat dari Takhrijul Hadis
Berdasarkan hasil penelitian M. Syuhudi Ismail, Jumhur al-ulama’ berpendapat bahwa syarat kesahihan sanad hadis ialah sebagai berikut :
NO.
SYARAT
KETENTUAN
1.
Sanadnya bersambung
1.      Muttasil (mausul)
2.      Marfu’
2.
Rawinya bersifat adil
1.      Beragama Islam
2.      Mukallaf
3.      Melaksanakan ketentuan Agma Islam
4.      Memelihara Muru’ah
3.
Rawinya Dabit
1.      Hafal dengan baik rawi yang diriwayatkan
2.      Mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan pada orang lain tanpa kesalahan.
4.
Terhindar dari Shudhud
Riwayat seorang rawi tidak bertentangan dengan para rawi lainnya.
5.
Terhindar dari Illat
Tidak terjadi :
Sanad terputus dinilai bersambung.

Dalam rangka menentukan ketersambungan sanad dapat digunakan biografi perawi, baik terkait tempat dan tahun kelahiran wafat, domisili perjalanan, guru maupun murid perawi. Untuk menentukan martabat hafalan dan keadilan perawi dapat digunakan data pendapat kritikus terhadap perawi yang sering disebut al-jarh wa al-ta’dil.[16]


G.    Kitab-Kitab hasil Takhrij
Melalui takhrij ini Ulama dapat menemukan sanad dan perawinya dengan mudah. Bahkan hadis yang salah tulis, salah redaksi dan tidak sempurna bisa dilihat langsung dengan detektif. Setelah itu, mereka dapat menilai hadis secara kualitas dan kuatintas. Berikut kitab-kitab takhrij hasil penelitian ulama’ :
v  Takhrij Ahadis Al-Kasysyaf karya Jamaluddin Muhammad bin Abdillah Al-Hanafi (w. 762 H). Al-Kasysyaf merupakan kitab tafsir yang ditulis oleh Al-Zumakhsyari.
v  Al-Fath Al Samawi bi Takhrij Ahadist Al-Baidlawi karya Abdurrahman Al-Manawi. (w. 1031 H)
v  Al-Thuruq wa Al-Wasa’il fi Ma’rifah Khulashah Al-Dala’il karya Ahmad bin Utsman Al-Turkumani (w.747 H). Khulashah merupakan syarah dari Mukhtasar Al-Qaduri, kitab penting dalam Madzhab Hanafi.
v  Takhrij Ahadist Al-Hidayah karya Muhammad bin Abdillah (w. 774 H). Kitab Al-Hidayah yang paling terkenal di madzhab Hanafi.
v  Khulasah Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Ahadist Al-Syarh Al-Kabir li Al-Wajiz karya Sirajuddin bin Umar bin Ali Al-Anshari (w. 808 H).
v  Takhrij Ahadist Al-Minhaj karya Sirajuddin bin Ali Anshari. Ia adalah ulama besar yang bermadzhab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadis, fiqh dan tarikh ar-rijal
v  Talkish Al-Habir karya Al-Hafidz bin Hajar Al-Asqalani. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Al-Badr Al-Munir
v  Al-Mughni’an Haml Al-Asfar fi Takhrij ma fi Al-Ihya’ nun Al-Akhbar karya Al-Hafizh Abdurrahman bin Husain Al-Iraqi (w.806 H)[17]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1.      Definisi takhrij secara istilah yakni Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.      Berbicara tentang takhrij sangat erat kaitannya dengan penelitian hadis. Penelitian pada masa awal yang dilakukan ulama salaf dan hasilnya dikodifikasikan menjadi buku hadis. Sekian banyak hadis yang disertai sanadnya dan keterangan kualitas yang diteliti ulama’ salaf. Kemudian ulama’ salaf mencari hadis yang belum dikodifikasikan untuk diteliti kembali oleh mereka
3.      Mengenai para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pengembangan hadis terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Para ulama mutaqaddiminmenghimpun hadis dengan menemui sendiri para penghafalnya sedangkan, ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan mutaqaddimin.
4.      Metode takhrij ada lima yang dapat digunakan dalam penelusuran hadis dari sumber hadis yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan Matan (bi awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi a’la), dan Takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).








DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008.
Imam Masbikin,Miftahul Asror, Membedah Hadis Nabi, Madiun: Jaya Star Nine,2013.
Abdul Majid Khon,Takhrij dan Metode Memahami Hadis,Jakarta: Amzah, 2014.
Anwar,Ali,TAKHRIJ AL-HADITH,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011.
Ismail, M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadis,Jakarta: Bulan Bintang,1991.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah,2012.
At-Thahah, Mahmud, Ushul at-Takhrij wa Dirasah,Riyad: Maktabah al-Ma’arif,1991.
Sunanto,Musyrifah,Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,Jakarta: Prenada Media,2003.
Ismail, M. Syuhudi,Metodologi Penelitian Hadis Nabi,Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Abd. Djaliel,Maman,Ulumul Hadis,Bandung: Pustaka Setia,2000.










 
 
                                                                


[1]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008),151.
[2]Miftahul Asror, Imam Masbikin, Membedah Hadis Nabi (Madiun: Jaya Star Nine,2013),89.
[3]Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014),5.
[4] Ali Anwar, TAKHRIJ AL-HADITH (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),121.
[5]M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1991),11.
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008),117.
[7]Ibid., 119.
[8]Mahmud At-Thahan, Ushul at-Takhrij wa Dirasah (Riyad: Maktabah al-Ma’arif,1991),58.
[9]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Prenada Media,2003),153.
[10]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),45.
[11]Ibid.,47.
[12]Maman Abd. Djaliel, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia,2000),132.
[13]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012),140.
[14]Ibid.,134.
[15]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012),142.
[16]Ali Anwar, TAKHRIJ AL-HADITH (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),123-124.
[17]Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014),18-19.

No comments:

Post a Comment