BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Takhrij al-Hadis
Secara
etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata “- خروجا خرج – يخرج” yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan dan
menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak
kelihatan dan masih samar[1].
Secara istilah definisi takhrij yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Muhdi
adalah
ذ كر الأحا د يث بأسانيد ها
“MenyeAbutkan beberapa hadis dengan sanadnya”
Berikut ini pengertian takhrij setelah
dibukukan,
عزو الأحاديث الي الكتب المو جودة فيها مع بيان الحكم
عليها
“ menunjukkan asal beberapa hadis pada
kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan menerangkan hukum atau kualitasnya.”[2]
Menurut ulama hadis, kata takhrij memiliki
beberapa arti sebagai berikut:
a) Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan
menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis dengan
metode periwayatan yang mereka tempuh.
b) Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang
telah dikemukakan oleh para guru hadis, kitab yang susunannya berdasarkan
riwayat sendiri dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun atau
karya tulis dijadikan sumber pengambilan.
c) Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan
sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para
mukharrij langsung.
d) Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya yakni
kitab-kitab hadis yang didalamnya disertai metode periwayatan dan sanadnya
masing - masing.
e) Menunjukkan letak asal hadis pada sumbernya
yang asli, kemudian untuk kepentingan peneliti dijelaskan kualitas hadis yang
bersangkutan.[3]
Namun seiringnya waktu berjalan Pengertian
Takhrij al-Hadis mengalami tahap perkembangan sebagai berikut:
1. Tahap pertama takhrij berarti penyebutan hadis
dengan sanadnya masing-masing. Terkadang pengarang menitik beratkan masalah
sanad atau matan.
2. Tahap kedua takhrij menjadi penyebutan hadis
dengan sanadnya yang berbeda dengan sanad yang ada pada kitab hadis sebelumnya.
Umumnya penyebutan sanad dalam kitab kedua ini ditujukan untuk meratifikasi
sanad yang ada pada kitab pertama.
3. Tahap ketiga dimana hadis telah dikoleksi
dalam kitab hadis dengan istilah takhrij bermakna perujukan riwayat-riwayat
hadis kepada kitab yang ada.[4]
Berbicara tentang takhrij menurut definisi
diatas sangat erat kaitannya dengan penelitian hadis. Penelitian pada masa awal
yang dilakukan ulama salaf dan hasilnya dikodifikasikan menjadi buku hadis.
Sekian banyak hadis yang disertai sanadnya dan keterangan kualitas yang
diteliti ulama’ salaf. Kemudian ulama’ salaf mencari hadis yang belum
dikodifikasikan untuk diteliti kembali oleh mereka. [5]
B. Tujuan Takhrij
Tujuan pokok dari takhrij tentunya ada tujuan
yang dicapai seorang peneliti adalah:
a. Mengetahui eksistensi hadis apakah benar suatu
hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku hadis atau tidak.
b. Mengetahui sumber otentik hadis dari buku
hadis apa saja didapatkan.
c. Mengetahui ada berapa tempat hadis dengan
sanad yang berbeda dalam sebuah buku hadis.
d. Mengetahui kualitas hadis maqbul atau mardud.[6]
C. Manfaat Takhrij
Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan
takhrijul hadis sangat penting. Tanpa takhrijul hadis, maka akan sulit
diketahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan demikian saya akan
menjelaskan begitu pentingnya kegiatan takhrijul hadis :
Ø Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang
akan diteliti
Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis
yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya.
Ø Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang
akan diteliti
Hadis yang akan diteliti mungkin lebih dari
satu sanad. Mungkin saja, salah satu sanad hadis itu berkualitas dha’if, sedang
yang lainnya berkualitas shahih.
Ø Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan
mutabi’ pada sanad yang diteliti
Ketika hadis diteliti salah satu sanadnya, mungkin ada
periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang diteliti. Dukungan itu
terletak pada bagian pertama, yakni tingkat sahabat Nabi disebut sebagai syahid.
Sedangkan dibagian bukan riiwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’.
Untuk mengetahui, apakah sanad memiliki syahid atau mutabi’. Maka seluruh sanad
hadis harus dikemukakan. Itu tandanya kegiatan takhrij harus dilakukan terlebih
dahulu.
Ø Menghimpun sejumlah sanad hadis. Misalnya,
beberapa tempat didalam kitab Al-Bukhari saja atau dari kitab lainnya.
Ø Mengetahui keadaan sanad yang bersambung
(muttasil) dan terputus(munqathi’), mengetahui kadar kemampuan perawi dalam
mengingat serta kejujuran dalam periwayatan.
Ø Meningkatkan suatu hadis yang dha’if menjadi
hasan lighayrihi karena ada dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi
kualitasnya. Begitu juga dengan hasan menjadi shahih lighayrihi.
Ø Mengetahui bagaimana Imam hadis menilai
kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.[7]
D. Faktor Pendorong dan Sejarah Munculnya Takhrij
Hadis
Pada abad awal
perkembangan ilmu dalam Islam, termasuk Ilmu Hadis. Yang sekarang disebut ‘ilm
ushul at-takhrijbelum diperlukan. Dikatakan oleh Mahmud at-Thahan para
peminat hadis saat itu dengan mudah merujuk kitab-kitab aslinya, karena kontak
mereka dengan kitab sangat kuat[8].
Keadaan ini berubah pada abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya
kajian terhadap kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan
mengetahui letak hadis pada kitab sumbernya. Dalam kitab-kitab itu hadis Nabi
dikutib tanpa menyebutkan sumber pengambilnya.oleh karena itu bangkitlah para
ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab tersebut.
Mengenai para
sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pengembangan hadis
terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin.
Para ulama mutaqaddiminmenghimpun hadis dengan menemui sendiri para penghafalnya
sedangkan, ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan
mutaqaddimin. Masa inilah ulama menggunakan sistem istidrak dan istikhraj.
Sampai pada abad kelima dan ketujuh paara ulama hanya berusaha untuk
memperbaikibsusunan kitab, mengumpulkan hadis Bukhari dan Muslim dalam satu
kitab, mempermudah pengambilannya.
Ilmu Hadis baru
berdiri sendiri sebagai sebuah Ilmu pada masa Al-Qadhi Ibnu Muhammad
Al-Ramahurmudzi. Selanjutnya diikuti oleh Al-Hakim al-Naisaburi dan Abu Bakr
Al-Baghdadi. Para ulama mutaqaddimindanmutaakhirinmenyebutnya
ilmu musthalahul hadis. Jadi kalau menganalisa kedua uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadis sebagian
dari ilmu hadis.[9]
E. Metode Takhrij
Sebelum
seseorang melakukan takhrij suatu hadis, terlebih dahulu ia harus mengetahui
metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga mendapatkan
kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Pertama yang perlu dimaklumi adalah
bahwa teknikpembukuan buku-buku hadis yang telah dilakukan para ulama dahulu
memang beragam dan banyak sekali macam-macamnya. [10]Semua
itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat islam untuk
mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Berbagai metode
penelitian ilmiah telah diterapkan dalam penelitian hadis, yakni :
ü Metode deskriptif, untuk menjelaskan makna
matan dan lambang perawi dalam sanad sehingga dapat diketahui mana yang
diterima dan ditolak.
ü Metode perbandingan, untuk membandingkan
antara satu sanad dan sanad lain dalam satu tema untuk memeriksa adanya
keganjilan (syadz) cacat dan (ilat)
ü Metode normatif, untuk memecahkan suatu
masalah. Tolak ukur mantan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis yang
lebih kuat, akal sehat, sejarah dan susunan bahasa.
ü Metode kesejarahan, untuk mengetahui
ketersambungan sanad dan periwayatannya. Para ahli hadis berpendapat bahwa
studi matan dan kitab riwayah menjadi tidak berarti jika tidak disertai dengan
‘ilm hadis dirayah. Yang dimaksud ilm hadis dirayahyakni analisis
kesejarahan mengenai perkataan dan perbuatan Rasulullah, sifat dan keadaan para
periwayat, serta matan hadis.[11]
Sementara itu, metode takhrij sebenarnya sama
dengan metode penelitian yang meliputi tiga proses, yakni :
1) Pengumpulan
data hadis, langkah awal
yang dilakukan seorang mukharrij yakni mengumpulkan sanad dan matan yang
lengkap melalui berbagai jalan sanad dari berbagai buku induk. Dalam takhrij,
usaha menelusuri sanad untuk suatu hadis tertentu yang disebut I’tibar. I’tibar
ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya riwayat lain.
Sebelum masa pengkodifikasian, para mukharrij
mengumpulkan hadis langsung dari penghafal disertai sanad. Setelah masa
pengkodifikasian, mukharrij mengumpukan data dari buku induk hadis dengan
menggunakan menggunakan metode takhrij. [12]Karena
banyaknya teknik dalam pengkodifikasian buku hadis yang telah ditelusuri dari
buku induk, Metode takhrij ada lima yang dapat digunakan dalam arti penelusuran
hadis dari sumber hadis yaitu takhrij dengan kata(bi al-lafzhi), takhrij
dengan tema(bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan Matan (bi awwal
al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi a’la), dan
Takhrij dengan sifat (bi ash-shifah). Berikut uraiannya:
a) Takhrij dengan
kata (bi al-lafzhi)
Metode takhrij ini melakukan penelusuran hadis
melalui kata atau lafal matan hadis baik dari permulaan, pertengahan dan
akhiran. Kamus yang diperlukan metode ini salah satunya adalah Kamus
Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadis An-Nabawi yang disusun sebanyak 8
jilid. Maksud takhrij dengan kata benda atau kata kerja bukan kata sambung.
Misal jika kata dalam teks hadis yang dicari مسلمmaka
harus dicari asal akar katanya yaitu سلمsetelah
itu baru membuka kamus babس bukan babم dan begitu untuk kata lainnya.
Metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Diantara kelebihannya adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang di
ingat tanpa harus hafal seluruhnya. Sedangkan kesulitannya adalah seseorang
peneliti harus menguasai ilmu Shorof tentang asal-usul suatu kata.
b) Takhrij dengan
tema (bi al-mawdhu’)
Metode ini menelusuri hadis bedasarkan topik
(mawdhu’), misalnya bab Al-Khatam, Al-Khadim, Al-Ghusl dan lainnya. Seorang
peneliti hendaknya sudah mengetahui topik kemudian ditelusuri menggunakan kamus
hadis tematik adalahMiftah min Kunuz As-Sunnah. Dalam kamus ini
berkenaan dengan petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Misalnya
mentakhrij hadis : صلاة اليل مثني مثني ,hadis tersebut temanya shalat malam. Maka
dalam kamus dicari bab Al-Layl tentang salat malam.
Kelebihan metode ini, peneliti mengetahui
makna hadis tanpa mengingat permulaan matan teks hadis, tidak perlu menguasai asal-usul
akar kata dan tidak harus mengetahui siapa yang meriwayatkan. Sedangkan
kelemahannya yakni terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadis.
c) Takhrij dengan
permulaan Matan (bi awwal al-matan)
Menggunakan permulaan matan dari segi
hurufnya, misalnya suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab
mim. Metode ini menggunakan kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir. Berikut contoh hadis طلب العلم فريضة علي كل مسلم . dari hadis tersebut menyebutkan sampai مسلمtidak ada yang menyebutkanومسلمت, akan
tetapi yang beredar selalu menyebutkan seperti itu dan mungkin ada rujukannya
dalam kitab yang dipedomanimerupakan sebuah bukti matan.
Kelebihan metode ini adalah dapat menemukan
hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara utuh atau
keseluruhan tidak sepenggal saja. Sedangkan kesulitannya bagi seorang yang
tidak ingat permulaan hadis dan hanya mengingat penggalannya saja.
d) Takhrij melalui
sanad pertama (bi ar-rawi a’la)
Takhrij ini menelusuri hadis melalui sanad
yang pertama atau yang paling atas yakni para sahabat tabi’in. Berarti peneliti
harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya kemudian dicari dalam kitab
hadis Musnad atau Al-Athraf.Kitab Musnad adalah pengkodifikasian
hadis yang menghimpun beberapa hadis yang didasarkan pada nama-nama sahabat
tabi’in sesuai dengan sifat tertentu. Al-Athraf adalah kitab yang menghimpun
beberapa hadis sahabat tabi’in sesuai nama alpabhet Arab.
Contoh sebuah hadis dalam kitab Musnad Ahmad :
عن أنس بن مالك قال أمر بلال أن يشفع الأذان
ويوير الإقامة
Sahabat perawi sudah diketahui yaitu Anas bin
Malik, terlebih dahulu nama Anas dilihat pada daftar isi kemudian didapati
halaman tersebut.
e) Takhrij dengan
sifat (bi ash-shifah.
Metode ini melakukan penelusuran hadis dari
buku induk hadis yang merupakan langkah awal dalam takhrij. Langkah ini akan
mentakhrij dari segi sanad dan matan yang menjelaskan kualitasnya suatu hadis
dengan memberikan kritik baik internal maupun eksternal. Bagi para peneliti
hendaknya melanjutkan kegiatan takhrij-nya sampai menemukan informasi yang
ingin dicapai.[13]
2) Pengolahan Data
Hadis, setelah data
dari buku induk hadis sudah terhimpun, dapat diketahui informasi mengenai hadis
yang dimaksud, baik nama, kitab, bab, nomor hadis,juz maupun halamannya.
Selanjutnya, validitas data di telaah ulang untuk direntangkan sanadnya dalam
bentuk skema. Seperti ini untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis sanad.
Bentuk ini lebih efisien dan efektif karena matan hadis yang berulang
dibeberapa tempat hanya disebutkan sekali begitu juga dengan nama perawi.
Berikut ini contoh skema sanadnya.[14]
Rasulullah bersabda,
الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتي تروه ولا
تفطروا حتي تروه فإن غم عيكم فاقدروا له ثلاثين
![]() |














Al-Bukhari Al-Nasa’i Muslim Al-Syafi’i
Ibnu Khuzaimah
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam skema sanad,
yaitu:
a). Jalur seluruh sanad
b). Nama-nama perawi dalam seluruh sanad
c). Metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing perawi.
3) Analisis Data Hadis, data hadis yang dianalisis mencakup matan dan sanad.
Hasil analisisnya disebut kritik hadis. Kritik hadis dibedakan menjadi
dua, yakni :
1. Kritik Internal
Ialah kritik pada matan dengan meneliti
apakah matan tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis yang lebih kuat atau
logika.
2. Kritik Eksternal
Ialah kritik pada sanad dengan meneliti
apakah sanad tersebut tersambung dengan periwayat (Syekh) diatasnya dari awal
sampai akhir.[15]
F. Syarat dari Takhrijul Hadis
Berdasarkan
hasil penelitian M. Syuhudi Ismail, Jumhur al-ulama’ berpendapat bahwa
syarat kesahihan sanad hadis ialah sebagai berikut :
NO.
|
SYARAT
|
KETENTUAN
|
1.
|
Sanadnya bersambung
|
1.
Muttasil (mausul)
2.
Marfu’
|
2.
|
Rawinya bersifat adil
|
1.
Beragama Islam
2.
Mukallaf
3.
Melaksanakan ketentuan Agma Islam
4.
Memelihara Muru’ah
|
3.
|
Rawinya Dabit
|
1.
Hafal dengan baik rawi yang diriwayatkan
2.
Mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan pada orang
lain tanpa kesalahan.
|
4.
|
Terhindar dari Shudhud
|
Riwayat seorang rawi tidak bertentangan
dengan para rawi lainnya.
|
5.
|
Terhindar dari Illat
|
Tidak terjadi :
Sanad terputus dinilai bersambung.
|
Dalam rangka
menentukan ketersambungan sanad dapat digunakan biografi perawi, baik terkait
tempat dan tahun kelahiran wafat, domisili perjalanan, guru maupun murid
perawi. Untuk menentukan martabat hafalan dan keadilan perawi dapat digunakan
data pendapat kritikus terhadap perawi yang sering disebut al-jarh wa
al-ta’dil.[16]
G. Kitab-Kitab hasil Takhrij
Melalui takhrij ini Ulama dapat menemukan
sanad dan perawinya dengan mudah. Bahkan hadis yang salah tulis, salah redaksi
dan tidak sempurna bisa dilihat langsung dengan detektif. Setelah itu, mereka
dapat menilai hadis secara kualitas dan kuatintas. Berikut kitab-kitab takhrij
hasil penelitian ulama’ :
v Takhrij Ahadis
Al-Kasysyaf karya Jamaluddin Muhammad bin Abdillah Al-Hanafi (w. 762 H). Al-Kasysyaf
merupakan kitab tafsir yang ditulis oleh Al-Zumakhsyari.
v Al-Fath Al
Samawi bi Takhrij Ahadist Al-Baidlawi karya Abdurrahman Al-Manawi. (w. 1031 H)
v Al-Thuruq wa
Al-Wasa’il fi Ma’rifah Khulashah Al-Dala’il karya Ahmad bin Utsman Al-Turkumani (w.747 H). Khulashah
merupakan syarah dari Mukhtasar Al-Qaduri, kitab penting dalam Madzhab Hanafi.
v Takhrij Ahadist
Al-Hidayah karya Muhammad
bin Abdillah (w. 774 H). Kitab Al-Hidayah yang paling terkenal di madzhab Hanafi.
v Khulasah
Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Ahadist Al-Syarh Al-Kabir li Al-Wajiz karya Sirajuddin bin Umar bin Ali Al-Anshari
(w. 808 H).
v
Takhrij Ahadist Al-Minhaj karya Sirajuddin bin Ali Anshari. Ia adalah
ulama besar yang bermadzhab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadis, fiqh dan tarikh
ar-rijal
v Talkish
Al-Habir karya Al-Hafidz bin Hajar Al-Asqalani. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Al-Badr
Al-Munir
v Al-Mughni’an
Haml Al-Asfar fi Takhrij ma fi Al-Ihya’ nun Al-Akhbar karya Al-Hafizh Abdurrahman bin Husain
Al-Iraqi (w.806 H)[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1. Definisi takhrij secara istilah yakni
Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya
dalam sanad yang telah menyampaikan hadis dengan metode periwayatan yang mereka
tempuh.
2. Berbicara tentang takhrij sangat erat
kaitannya dengan penelitian hadis. Penelitian pada masa awal yang dilakukan
ulama salaf dan hasilnya dikodifikasikan menjadi buku hadis. Sekian banyak
hadis yang disertai sanadnya dan keterangan kualitas yang diteliti ulama’
salaf. Kemudian ulama’ salaf mencari hadis yang belum dikodifikasikan untuk
diteliti kembali oleh mereka
3. Mengenai para sejarawan Islam secara
berjama’ah menyepakati bahwa usaha pengembangan hadis terbagi dalam dua periode
besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Para
ulama mutaqaddiminmenghimpun hadis dengan menemui sendiri para
penghafalnya sedangkan, ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab
susunan mutaqaddimin.
4. Metode takhrij ada lima yang dapat digunakan
dalam penelusuran hadis dari sumber hadis yaitu takhrij dengan kata (bi
al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan
permulaan Matan (bi awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi
ar-rawi a’la), dan Takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah,
2008.
Imam Masbikin,Miftahul Asror, Membedah Hadis Nabi,
Madiun: Jaya Star Nine,2013.
Abdul Majid Khon,Takhrij dan Metode Memahami Hadis,Jakarta:
Amzah, 2014.
Anwar,Ali,TAKHRIJ AL-HADITH,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2011.
Ismail, M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadis,Jakarta:
Bulan Bintang,1991.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah,2012.
At-Thahah, Mahmud, Ushul at-Takhrij wa Dirasah,Riyad:
Maktabah al-Ma’arif,1991.
Sunanto,Musyrifah,Sejarah
Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,Jakarta: Prenada
Media,2003.
Ismail, M.
Syuhudi,Metodologi Penelitian Hadis Nabi,Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Abd. Djaliel,Maman,Ulumul Hadis,Bandung: Pustaka
Setia,2000.
|
[1]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah,
2008),151.
[2]Miftahul Asror, Imam Masbikin, Membedah Hadis Nabi
(Madiun: Jaya Star Nine,2013),89.
[3]Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis
(Jakarta: Amzah, 2014),5.
[4] Ali Anwar, TAKHRIJ AL-HADITH (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2011),121.
[5]M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis
(Jakarta: Bulan Bintang,1991),11.
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta:
Amzah, 2008),117.
[8]Mahmud At-Thahan, Ushul at-Takhrij wa Dirasah
(Riyad: Maktabah al-Ma’arif,1991),58.
[9]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Prenada Media,2003),153.
[10]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),45.
[12]Maman Abd. Djaliel, Ulumul Hadis (Bandung:
Pustaka Setia,2000),132.
[13]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta:
Amzah, 2012),140.
[15]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta:
Amzah, 2012),142.
[16]Ali Anwar, TAKHRIJ AL-HADITH (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2011),123-124.
[17]Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami
Hadis (Jakarta: Amzah, 2014),18-19.
No comments:
Post a Comment