KAJIAN TENTANG HADIS MAUDHU’
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas:
“ULUMUL HADIS 3”
Dosen Pengampu:
QoidatulMarhumah, M. Th.I
Oleh:
Endah Alfiadhotul Nurdiana (933800615)
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan ramat, taufik serta hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Tak lupa
sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad s.a.w. yang kita harap-harapkan syafaatnya kelak di yaumul qiyamah,
amin ya robbal ‘alamin.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Qoidatul Marhumah Selaku dosen Ulumul Hadis 3 yang telah memberikan
kepercayaannya kepada kami untuk menyelesaikan makalah kami yang berjudul “KAJIAN
TENTANG HADIS MAUDHU”. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengerahkan
segala usaha, tenaga, dan fikiran kami agar tercapainya kesempurnaan pada
makalah kami ini.
Kami selaku penyusun makalah, akan selalu
ikhlas dan menerima segala kritik dan saran pada makalah kami dengan tangan
terbuka. Karena kami sadar sebaik-baiknya makalah ini pastilah tetap ada yang
namanya kekurangan.
Kediri, 03 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I : PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................. 1
C.
Tujuan................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
PengertianHadisMaudhu’..................................................................... 3
B.
HukumMeriwayatkanHadisMaudhu’................................................... 4
C.
AwalMulaTimbulnyaHadisMaudhu’.................................................... 5
D.
LatarBelakangTimbulnyaHadisMaudhu’............................................. 6
E.
Tanda-TandaHadisMaudhu’................................................................ 10
F.
Golongan-GolonganPemalsuHadis...................................................... 12
BAB III : PENUTUP
A.
Simpulan............................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis secara
bahasa memiliki beberapa pengertian yaitu jadid atau baru, qarib yang berarti
dekat dan khabar yang berarti berita.Sedangkan secara istilah telah kita
ketahui bahwa hadis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad
Saw baik itu perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Hadis merupakan
sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.Hadis memiliki banyak fungsi
diantaranya adalah sebagai penjelas al-qur’an.Yaitu penjelas sesuatu yang belum
di jelaskan secara rinci di al-Qur’an.Hadis juga berfungsi sebagai penetap
hukum sesuatu yang belum ada pada al-Qur’an.
Macam-macam
hadis sendiri banyak sekali, seperti hadis shahih, hasan, dhaif, dan
sebagainya.Dan tidak semuanya itu bisa dijadikan hujjah atau pedoman.Untuk
mengetahui hadis-hadis tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak, kita harus
mempelajari ilmu tentang hadis terlebih dahulu.
Terlepas dari
itu semua, ternyata hadis juga dapat dipalsukan.Golongan-golongan yang tidak
bertanggung jawab tersebut memalsukan hadis dengan tujuan-tujuan
tertentu.Hadis-hadis palsu itu sering kita kenal dengan sebutan hadis
maudhu’.Agar kita lebih memahami apa itu hadis maudhu’, dimakalah ini telah
dijelaskan hal-hal seputar hadis maudhu’.Mulai dari pengertian, kapan awal muncul,
sampai bagaimana kita mengetahui bahwa itu hadis maudhu’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Hadis Maudhu’?
2.
Kapan awal mula munculnya Hadis Maudhu’?
3.
Bagaimana latar belakang munculnya Hadis Maudhu’?
4.
Apa tanda-tandanya Hadis Maudhu’?
5.
Siapa saja yang termasuk golongan pemalsu hadis?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Hadis Maudhu’.
2.
Untuk mengetahui awal mula munculnya Hadis Maudhu’.
3.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya Hadis Maudhu’.
4.
Untuk mengetahui tanda-tandanya Hadis Maudhu’.
5.
Untuk mengetahui golongan-golongan pemalsu hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis Maudhu’
Kata Maudhu’
adalah isim maf’ul وَضَعَ-يَضَعُ-وَضْعاًdari
yang menurut bahasa berarti (meletakkan atau menyimpan). Dapat juga diartikan
sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk),
dan diada-adakan (al-muftara).[1]Sedangkan
menurut istilah, pengertian hadis maudhu’ menurut para ahli hadis adalah:
ما نسب الى
رسول الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
“Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat
dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan tidak memperbuatnya.”
Dr. Mahmud
Thahan dalam kitabnya menyebutkan,
اذا كان سبب الطعن فى الروى هو
الكذ ب على رسول الله فحد يثه يسمى الموضع
Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap
Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu’.[2]
Beliau juga
menambahkan pengertian hadis maudhu’ secara istilah adalah,
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب
الى رسول الله صلى الله عليه والسلام
Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada
Rasulullah.[3]
Sebagian ulama’
mendefinisikan sebagai berikut:
“Hadis yang diciptakan dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang
dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”
Dari pengertian
diatas, dapat disimpulkan bahwa yang namanya hadis maudhu’ itu bukanlah hadis
yang bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan merupakan hadis
rasul.[4]
B.
Hukum Meriwayatkan Hadis Maudhu’
Umat Islam telah sepakat (ijma’) bahwa hukum membuat dan meriwayatkan
hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram.Ini terkait dengan perkara-perkara
hukum-hukum syarak, cerita-cerita, targhib dan tarhib dan sebagainya.
Para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, sepakat mengharamkan
berbohong dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan perkara-perkara
yang berkaitan dengan targhib dan tarhib. Semuanya termasuk dalam salah satu
dari dosa-dosa besar. Para ulama telah berijma’ bahwa haram berbohong atas nama
seseorang, apalagi berbohong atas seorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
Namun yang pasti para ulama berijma’ bahwa haram
membuat hadits-hadits maudhu’, yang berarti juga haram meriwayatkan atau
menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal ia mengetahui dengan yakin atau zann
kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang tetap meriwayatkan
dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’ dalam keadaan mengetahui dengan yakin
atau zann kedudukan hadits tersebut dan tidak menerangkan kedudukannya, ia
termasuk pendusta atas nama Rasulullah. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits
sahih yang berbunyi: “Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku dan
dia mengira bahwa hadits itu adalah dusta, maka dia termasuk di dalam salah
seorang pendusta”.Oleh sebab itu, ulama mengatakan sudah seharsunya bagi
seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu hadits agar memastikan kedudukan
hadits tersebut.
Tapi jika meriwayatkan hadits-hadits
maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadits tersebut sebagai
maudhu’, tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadits
tersebut membuat orang bisa membedakan antara hadits yang sahih dengan yang
maudhu’ dan sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara yang tidak
benar.[5]
C.
Awal Mula Timbulnya Hadis Maudhu’
Mengenai awal
mula timbulnya hadis maudhu’ ini para ulama memiliki perbedaan pendapat.Seperti
Ahmad Amin, menurutnya hadis maudhu’ terjadi sejak Rasulullah Saw.masih hidup. Dengan
alasan pemahaman terhadap hadis mutawatir yang mengancam orang yang berdusta
pada Nabi dengan neraka. Hadis yang dimaksud adalah:
من كذب علي
متعمدا, فليتبواء مقعده من النار
“Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya di neraka.”
Berdasarkan
pendapat Amin ini, hadis bermasalah telah ada sejak masa Nabi, tidak hanya
hadis dhaif yang berstatus diragukan kebenarannya tetapi hadis palsu yang
jelas-jelas tidak berasal dari Nabi sudah ada saat itu.Hanya saja, pendapat ini
mengandung kelemahan baik dilihat dari segi bukti historis, sikap sahabat
terhadap segala yang berasal dari Nabi, data-data hadis palsu, maupun maksud
hadis yang dijadikan dasar argumentasi.[6]
Pendapat
selanjutnya dikemukakan oleh Shalah Al-Din ibn Ahmad al-Adhabi bahwa pemalsuan
hadis juga sudah ada sejak masa Rasulullah. Henya saja berbeda dengan Amin, ia
menyatakan bahwa pemalsuan hadis pada saat itu berkenaan dengan masalah dunia
bukan agama. Pendapat ini di dasarkan pada hadis yang diriwayatkan al-Thahawi
dan al-Thabari.Dalam kedua hadis tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi, ada
seseorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Nabi.Ia
mengaku telah diberi wewenang oleh Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah yang
terjadi pada suatu kelompok masyarakat disekitar Madinah. Kemudian ia melamar
seorang gadis di daerah tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Utusan dari
masyarakat tersebut memberitahukan berita utusan yang dimaksud kepada
Nabi.Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh orang tersebut dan beliau lalu
menyuruh sahabatnya untuk membunuh orang yang berbohong, seraya berpesan
“Apabila ternyata orang yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka jasadnya
harus dibakar.”Kedua hadis tersebut memiliki sanad yang lemah, karena itu tidak
dapat dijadikan dalil.[7]
Menurut Jumhur
al-Muhadditsin, pemalsuan hadis terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. Menurut
mereka hadis-hadis yang ada sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya
pertentangan antara Ali dan Muawiyah masih terhindar dari
pemalsuan.Pertentangan yang terjadi pada masa Ali mengakibatkan timbulnya
perpecahan.Sehingga dari masing-masing golongan selain berusaha untuk
mengalahkan lawannya juga berupaya memengaruhi orang-orang yang tidak berada
dalam perpecahan. Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan membuat hadis
palsu. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama-tama membuat hadis palsu
adalah golongan syi’ah.[8]
D.
Latar Belakang Timbulnya Hadis Maudhu’
1.
Pertentangan Politik
Telah disebutkan sebelumnya bahwa perpecahan umat dimulai sejak
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan munculnya pemalsuan hadis
guna untuk mendukung faksi masing-masing golongan. Selain itu pemalsuan hadis
tersebut untuk membela diri atau menyerang pihak lawan atau hanya sekedar
ikut-ikutan membuat hadis karena kelompoknya dijelek-jelekkan. Sebuah contoh,
hadis yang dibuat oleh golongan syi’ah berkenaan dengan kekhalifahan Ali untuk
meyakinkan umat islam bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi
adalah Ali bukan yang lainnya sebab khilafah telah diwasiatkan Nabi kepadanya:“Tiap-tiap
nabi mempunyai orang yang mendapat wasiat dan sesungguhnya Ali adalah orang
yang mendapat wasiat dan pewarisku.”
على
خير البشر من شك فيه كفر
"Ali adalah orang terbaik,
barang siapa yang meragukannya maka ia telah kafir"
Tidak hanya membuat hadis untuk mendukung Ali, tetapi mereka juga
membuat hadis untuk menjelek-jelekkan para sahabat khususnya Abu Bakar.
Menghadapi yang demikian, golongan jumhur dan mu’awiyah juga membuat
hadis-hadis yang antara lain dinyatakan berasal dari Anas bahwa ia berkata: “Tangan
Rasulullah Saw. memegang bahu Abu Bakar dan Umar seraya berkata:
“Kalian
berdua adalah wazir (menteri)-ku di dunia dan akhirat.Aku dan kalian akan duduk
di majlis surga.”
2.
Orang-Orang Zindiq
Yaitu mereka yang termasuk musuh-musuh islam yang berpura-pura
menampakkan keislamannya.[9]Mereka
mengikuti aliran-aliran dan pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan dasar-dasarnya
yang umum dan kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam urusan agama.Hammad bin
Zayd mengatakan bahwa kaum zindiq telah memalsukan hadis tidak kurang dari
14.000 hadis. Diantara hadis yang mereka buat adalah:
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدى إلا ان شاء الله
“Aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi sesudahku, Insya Allah (Jika Allah
menghendaki).”
Hadis ini dibuat oleh Muhammad ibn Sa’ad al-Syana’I, seorang
zindiq. Menurut al-Hakim an-Naysaburi pengecualian dalam hadis ini, yaitu lafal
ان شاء الله(jika Allah menghendaki) adalah buatan seorang
zindiq, sedang kalimat sebelumnya memang berasal dari nabi yang terdapat dalam
riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Darimi, dan Ahmad Bin Hambal.[10]
3.
Sikap Fanatik Buta
Golongan yang fanatik terhadap madzhab Abu Hanifah pernah membuat
hadis palsu,
سيكون
رجل في امتي يقال ابو حنيفة النعمان هو نوراامتي
“Di
kemudian hari akan ada seorang umatku yang bernama Abu Hanifah bin Nu’man, ia
adalah nikmat membuat akhir bagi umatku.”
Sedangkan golongan yang fanatik menentang Imam Syafi’i membuat
hadis palsu, “Di kemudian hari akan ada seorang umatku Muhammad bin Idris.
Ia akan lebih menimbulkan mudharat kepada umatku daripada ibis.”
4.
Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh simpati dari
pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.Studi kasus tentang hal
ini dialami oleh Ahmad bin Hanbal dan Yahya ibn Ma’in. mereka didatangi oleh
pembuat cerita. Lalu si pembuat cerita menyampaikan sebuah hadis yang
dinyatakan berasal dari Ahmad bin Hanbal dan Yahya ibn Ma’in dan ia tidak tahu
bahwa orang yang didepannya adalah Ahmad Bin Hanbal dan Yahya ibn Ma’in. Hadis
tersebut berbunyi:
من قال لا إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طير
أنقاره من ذهب و ريشه من مرجان
“Barang
siapa mengucapkan La ilaha illa Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan
itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan
sayapnya terbuat dari marjan.”
5.
Perselisihan dalam Fiqh dan Ilmu Kalam
Perselisihan madzhab tidak jarang menjerumuskan pengikutnya yang
fanatik ke dalam pemalsuan hadis. Dalam bidang fiqh, seorang pengikut madzhab
Abu Hanifah yang fanatik bernama Muhammad ibn ‘Akasyah, ketika mengetahui
pengikut madzhab lain mengangkat tangan sebelum dan sesudah rukuk dalam shalat,
ia menyampaikan hadis palsu yang di buat oleh Ma’mun ibn Ahmad: “Telah
bercerita kepada kami al-Musyyib ibn Wadih… dari Anas bahwa Nabi bersabda:
من
رفع يديه في الصلاة قلا صلاة له
“Barang
siapa mengangkat kedua tangannya di waktu ruku’, maka tidak sah shalatnya.”
Sedang dalam bidang Ilmu Kalam terjadi perbedaan tentang qadim
tidaknya al-Qur’an. Contoh hadis yang dipalsukan adalah:
“Barang
siapa mengatakan al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir.”
6.
Membangkitkan Gairah
Maksudnya adalah hadis palsu yang dibuat adalah bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan pada Allah. Tetapi ilmu agama mereka sangat dangkal,
sehingga melakukan sesuatu yang berguna untuk meningkatkan ketakwaannya
tersebut tanpa didasari dan tanpa mengerti apa yang dilakukannya. Contohnya:
“Dunia
ini haram bagi ahli akhirat dan akhirat haram bagi ahli dunia, sedang dunia dan
akhirat haram bagi ahli Allah.”
Menurut al-Albani, hadis palsu ini berasal dari kalangan sufi yang
berkeinginan menabur benih akidah sufiyah yang batil. Dengan dalih mendidik
jiwa, hadis ini mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT.
7.
Menjilat Penguasa
Maksudnya adalah pemalsuan hadis ini bertujuan untuk mendekati
penguasa.Sebuah contoh kasus yang dialami Ghiyats ibn Ibrahim al-Nakha’I ketika
berhadapan dengan khalifah al-Mahdi. Ketika diminta untuk meriwayatkan hadis,
Ghiyats tahu bahea al-Mahdi senang mengadu merpati sehingga ia menyampaikan
hadis palsu yang berbunyi:
“Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada perlombaan kecuali permainan
panah, anggar, pacuan kuda, atau menerbangkan burung.”
Kata (atau mmenerbangkan burung) merupakan buatan Ghiyats untuk
menyenangkan al-Mahdi.Dengan hal tersebut al-Mahdi memberinya uang sepuluh ribu
dirham yang diambil dari khas Negara walaupun sebenarnya al-Mahdi tahu bahwa ia
berdusta tapi al-Mahdi membiarkannya dan bahkan menyuruh agar merpatinya
disembelih.
E.
Tanda-Tanda Hadis Maudhu’
1.
Tanda-tanda pada sanad[11]
a)
Perawi itu terkenal berdusta (pendusta) dan hadisnya tidak
diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya.
b)
Pengakuan perawi sendiri. Contohnya Abdul Karim ibn Abil Auja yang
mengaku telah memalsukan 4000 hadis mengenai hokum halal dan haram.
c)
Menurut sejarah mereka tidak mungkin bertemu. Maksudnya adalah
seorang perawi yang meriwayatkan hadis dari syekh, mereka tidak pernah bertemu
atau bahkan perawi lahir setelah syekh itu meninggal.
d)
Keadaan perawi-perawi sendiri serta dorongan membuat hadis. Dapat
diketahui pula bahwa hadis itu maudhu’ dengan memperhatikan keadaan-keadaan
karinah yang mengelilingi perawi kala ia meriwayatkan hadis tersebut.
2.
Tanda-tanda pada matan[12]
a)
Buruk susunan dan lafadznya. Hal ini dapat kita ketahui setelah
kita mendalami ilmu bayan.
b)
Rusak maknanya
1) Karena
berlawanan makna hadis dengan soal-soal yang mudah dicerna akal dan tak dapat
pula kita ta’wilkan. Seperti hadis yang diriwayatkan
Ibnu Al-Jauzai dari jalan Thariq Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya
dari kakeknya secara marfu':
إن سفينة نوح طافت بالبيت سبعا و صلت عند
المقام ركعتين
“Bahwasanya
perahu Nabi Nuh bertawaf di bait (ka'bah) tujuh kali dan sholat di maqam
Ibrahim dua rakaat”
Hadits ini
maudhu' karena irrasional, tidak mungkin secara akal perahu melakukan
berputar-putar (thawaf) mengelilingi ka'bah 7 kali seperti orang yang sedang
melakukan thawaf haji, demikian juga melakukan shalat di maqam Ibrahim.
2)
Karena berlawanan dengan norma-norma akhlaq atau menyalahi
kenyataan.
3)
Berlawanan dengan ilmu-ilmu kedokteran.
4)
Menyalahi undang-undang yang ditetapkan akal terhadap Allah.
5)
Menyalahi undang-undang Allah dalam menjadikan alam.
6)
Mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal.
c)
Menyalahi keterangan al-Qur’an yang terang, keterangan Sunnah
Mutawatirrah dan kaidah-kaidah kulliyah.
Hadis maudhu’ yang bertentangan dengan al-Qur’an:
ولد الزنا لا يدخل الجنة إلى سبعة أبناء
“Anak zina tidak bisa masuk surga
sampai tujuh keturunan”
Hadis
ini bertentangan dengan Q.S. Al-An’am: 164 yang artinya: “ Dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang yang lain.”
Hadis maudhu’ yang bertentangan
dengan sunnah:
إذا حدثتم عنى بحديث يوافق الحق
فخذوابه حدثت أو لم أحدث
Hadits di atas jelas kepalsuannya, karena
bertentangan dengan hadits yang disabdakan Nabi:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار
“Barang siapa yang mendustakanku dengan
sengaja, maka hendaklah bersiap-siap karena tempat tinggalnya di dalam neraka.”
d)
Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal di masa Nabi Saw.
e)
Sesuai hadis dengan madzhab yang dianut oleh rawi, sedang rawi itu
pula yang sangat fanatik terhadap madzhabnya.
f)
Menerangkan urusan yang menurut seharusnya kalau ada dinukilkan
oleh orag yang ramai.
g)
Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang
sangat kecil, atau siksa yang sangat besar pada suatu perbuatan yang sangat
kecil.
من صلى الضحى كذا و كذا ركعة أعطي
ثواب سبعين نبيا
“Barang siapa yang shalat dhuha sekian raka'at
diberi pahala 70 Nabi.”[13]
F.
Golongan-Golongan yang Memalsukan Hadis
Jika
diperhatikan dari paparan diatas, dapat kita simpulkan siapa saja yang termasuk
golongan pemalsu hadis. Mereka adalah:[14]
1.
Zanadiqah (orang-orang zindiq).
2.
Penganut-penganut bid’ah.
3.
Orang-orang yang dipengaruhi fanatik kepartaian.
4.
Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashub madzhab.
5.
Para qushshah (ahli dongeng).
6.
Para ahli tashauwuf zuhhad yang keliru.
7.
Orang-orang yang mencari penghargaan pembesar negeri.
8.
Orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan
hadis-hadis yang tidak diperoleh orang lain.
G. Upaya dan Kesungguhan Para Ulama Dalam Mengantisipasi
Hadits Maudhu'
Adapun upaya-upaya yang ditempuh ulama untuk
mengantisipasi hadist maudhu' adalah:
1.
Berpegang Pada Sanad
Para sahabat, tabi'in dan ulama sesudah mereka bersikap sangat ketat
dalam menuntut isnad dari para perawi dan selalu mereka terapkan dalam
meriwayatkan hadist, sebab sanad bagi khabar seperti nasab bagi seseorang.
Abdullah Ibnu al-Mubarak Mengatakan:
الإسناد من الدين ولو لا الإسناد لقال
من شاء ما شاء
"Isnad merupakan bagian dari agama, dan
seandainya tidak ada isnad tentu orang akan mengatakan sekehendakanya."
2. Meningkatkan Semangat Ilmiyah dan Ketelitian
Dalam Meriwayatkan Hadist
Zaman dahulu
sahabat mengirimkan para hafiz hadits ke baerbagai daerah guna menyebarluaskan
hadist, semua itu merupakan bukti maraknya kehidupan ilmiah sejak masa awal
islam. Kita juga mengetahui bahwa sebagian tabi'in bila mendengar suatu hadits
dari selain sahabat, maka mereka bergegas untuk menemui sahabat yang masih ada,
untuk mengukuhkan keabsahan yang mereka dengar.Demikian pula yang dilakukan
tabi'in terhadap tabi'in besar, at-taba' at-tabi'in terhadap tabi'in dan begitu
juga seterusnya, sehingga perjalanan menuntut hadist tak pernah putus.
3. Memerangi Para Pendusta dan Tukang Cerita
Sebagian ulama
memerangi para pendusta dan tukang cerita serta melarang mereka dan menjelaskan
keadaan mereka kepada masyarakat.Mereka juga melarang masyarakat mendekati para
pendusta itu, semua ahli ilmu juga menjelaskan yang maudhu' kepada murid-murid
mereka dan mengingatkan agar para murid tidak meriwayatkan khabar-khabar dari
para pendusta itu.
4. Menjelaskan Hal-ihwal Para Perawi
Seorang ahli
hadis melakukan penelitian tentang kehidupan para periwayat dan mengenal
hal-ihwal mereka.Mereka melakukan kritik demi mendapatkan pahala dari Allah
swt.Bukan karena rasa takut kepada seseorang.
5. Membuat Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadits
Maudhu'
Para ulama meletakkan dasar-dasar atau kaidah-kaidah secara metodologis
tentang penelitian hadits untuk menganalisa otentisitasnya, sehingga dapat
diketahui mana yang shahih, hasan, dha'if dan maudhu'.Kaidah-kaidah itu dapat
dijadikan standar penilaian suatu hadits apakah suatu hadits memenuhi kriteria
sebagai hadits yang diterima atau ditolak.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Kata Maudhu’
adalah isim maf’ul وَضَعَ-يَضَعُ-وَضْعاًdari
yang menurut bahasa berarti (meletakkan atau menyimpan). Dapat juga diartikan
sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk),
dan diada-adakan (al-muftara).Hadis maudhu’ itu bukanlah hadis yang
bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan merupakan hadis rasul.
Umat Islam telah sepakat (ijma’) bahwa hukum membuat
dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram.Ini terkait dengan
perkara-perkara hukum-hukum syarak, cerita-cerita, targhib dan tarhib dan
sebagainya.Tapi jika meriwayatkan
hadits-hadits maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadits tersebut
sebagai maudhu’, tidak ada masalah.
Untuk awal mula
timbulnya hadis maudhu’ ini ada yang mengatakan sudah ada pada masa Nabi
Saw.dan ada pula yang mengatakan baru timbul pada masa Ali bin Abi Thalib. Dan
mengenai latar belakang timbulnya hadis maudhu’ sendiri banyak sekali
factor-faktor yang memengaruhinya.
Untuk membedakan hadis
itu maudhu’ (palsu) atau tidak, maka harus mengetahui tanda-tanda yang terdapat
pada hadis maudhu’ baik dari segi sanad maupun matannya.
Selain itu guna untuk
mengantisipasi makin maraknya pemalsuan hadis (hadis maudhu’), para ulama telah
melakukan berbagai upaya dan melakukan penelitian-penelitian terhadap semua
hadis.Yang kegiatan itu merupakan salah satu upaya mereka.
Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.Semarang: PT Pustaka Rizky
Putra, 1999.
Al-Khatib, Muhammad
'Ijaj. Usul al-Hadith Ulumuhu wa Mustalatuhu. Bairut: Dar
al-Fikr, 2001.
Idri.Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta
: Amzah, 2008.
Mudasir.Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Thahan, Mahmud.Taysir Musthalahul
Hadis.Kuwait: Haramain, 1405.
Zahw, Muhammad Abu.The History of
Hadith: Historiografi Hadis Nabi dari Masa ke Masa. Terj.Abdi Pemi Karyanto
dan Mukhlis Yusuf Arbi.Depok: Keira Publishing, 2015.
[1]Dr.
Idri, M.Ag, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 247.
[2]Dr.
Mahmud Thahan, Taysir Musthalahul Hadis (Kuwait: Haramain, 1405), 89.
[3]Ibid.,
89.
[4]Drs.
H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 171.
[5]Dr.
Muhammad 'Ijaj Al-Khatib, Usul al-Hadith Ulumuhu wa Mustalatuhu (Bairut:
Dar al-Fikr, 2001), 428
[6]Dr.
Idri, M.Ag, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 249.
[7]Drs.
H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 172.
[8]Ibid.,
173.
[9]Muhammad
Abu Zahw, The History of Hadith: Historiografi Hadis Nabi dari Masa ke Masa,
Terj. Abdi Pemi Karyanto dan Mukhlis Yusuf Arbi (Depok: Keira Publishing,
2015), 212.
[10]Dr.
Idri, M.Ag, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 259-260.
[11]Prof.
DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis
(Semarang: PT Pustaka Rizky Putra, 1999), 213-214
[12]Ibid.,215-220.
[13]Dr.
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : Amzah, 2008), 212.
[14]Ibid.,229.
No comments:
Post a Comment