MAKALAH
“Ilmu
Hadis Riwayah dan Dirayah”
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
“Ulumul Hadits 3”
Dosen Pengampu : Qoidatul Marhumah, M.Th.I

Disusun oleh:
MISBACHUS SURUR
NIM : 933802515
PROGRAM
STUDI USHULUDDIN
JURUSAN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat serta InayahNya
sehingga kami mampu menyelesaikan penulisan makalah Ulumul Hadits dan tak lupa
kami ucapakan terima kasih kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini. Sarana penunjang makalah ini kami susun berdasarkan
referensi yang bermacam-macam. Hal ini dengan tujuan untuk membantu para
mahasiswa untuk mengetahui,memahami bahkan menerapkannya.
Adapun makalah ini
kami susun dengan tujuan: Pertama, mempermudah mahasiswa untuk menyampaikan materi
yang ada. Kedua, mempermudah mahasiswa untuk belajar. Ketiga, dapat memperlancar proses belajar dan
mengajar,sehingga mahasiswa menjadi aktif.
Namun demikian, dalam
penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan.oleh karena itu,
saran dan kritik dari berbagai pihak sangat di harapkan.
Akhirul kalam,semoga yang
tersaji ini dapat memberikan bantuan
kepada para mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di
Kampus. Aamiin
Kediri, 05 Oktober
2016
Penulis
DAFTAR
ISI
Cover …………………………………………………………………. i
Kata Pengantar …………………………………………………………. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………. iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang …………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 1
Bab II Pembahasan
A. Ilmu Hadis Riwayah …………………………………………………. 2
1. Pengertian …………………………………………………. 2
2. Objek Kajian dan Manfaat Ilmu Hadis Rirayah …………. 2
3. Sejarah Ilmu
Hadis Dirayah …………………………………. 3
4. Kaidah Riwayah Hadis …………………………………………. 3
B. Ilmu Hadis Dirayah …………………………………………………. 10
1. Pengertian …………………………………………………. 10
2. Objek Kajian dan
Manfaat Ilmu Hadis Dirayah …………………. 11
3. Sejarah Ilmu Hadis
Dirayah …………………………………. 12
4. Model Pengembangan
Hadis Dirayah …………………………. 12
Bab III Penutup
A. Kesimpulan …………………………………………………………. 14
Daftar Pustaka …………………………………………………………. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Perkembangan hadis dari masa ke
masa telah menyebabkan munculnya ilmu-ilmu baru yang mempelajari mengenai
aspek-aspek yang ada pada hadis atau sering disebut dengan ulumul hadis. Secara
kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis Kata ‘uliim adalah bentuk jamak dari
kata ‘ilm (ilmu).
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu
hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum
al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam
bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan
al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” dengan demikian,
gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas
atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
Secara garis besar ulama hadis
mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW ke dalam
dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang
ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian ilmu hadis riwayah?
2.
Apa
objek kajian dan manfaat ilmu hadis riwayah?
3.
Bagaimana
sejarah ilmu hadis riwayah?
4.
Bagaimana
kaidah riwayah hadis?
5. Apa pengertian ilmu hadis dirayah?
6. Apa objek kajian dan manfaat ilmu hadis dirayah?
7. Bagaimana sejarah ilmu hadis dirayah?
8.
Bagaimana model pengembangan hadis dirayah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu
Hadis Riwayah
1.
Pengertian
Menurut bahasa
riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti an naql
(memindahkan dan penukilan). Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah
sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih adalah ilmu hadits riwayah adalah ilmu
yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat dan tabiin.[1]
Kebanyakan ulama menta’rifkan ilmu hadits
riwayah seperti berikut ini :
علم الحديث رواية هو علم يعرف به أقوال النّبيّ
صلّى الله عليه وسلّم وأفعاله وتقريراته وصفا ته صلّى
الله عليه وسلّم
“Ilmu Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk
mengetahui sabda Nabi SAW, perbuatan Nabi, taqrir-taqrir Nabi dan sifat-sifat
Nabi.”[2]
Sedang
menurut Nuruddin ‘itr, ilmu hadits riwayah yaitu:
علمٌ يشتمل على أقوالِ النبيِّ
صلى الله عليه وسلّم. وأفعالهوتقريراته وصفاته وروايتها وضبطِهاوتحرير ألفاظها.
“Ilmu
yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW,
periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.”[3]
2. Objek Kajian dan Manfaat
Objek ilmu hadis riwayah adalah pribadi Nabi saw.
Dalam kata lain hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw, sahabat atau tabi’in. Itulah sebabnya pembahasan ilmu ini
berkisar tentang periwayatan, pencatatan, dan pengkajian sanad-sanadnya, serta
menguji status setiap hadits; apakah sahih, hasan, atau dha’if, disamping
membahas pula pengertian hadits dan faidah-faidah yang dapat dipetik darinya.[4]
Faedah
ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari kesalahan dalam penukilan atau
pengutipan sebuah hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW.[5]
3. Sejarah Ilmu Hadis Riwayah
Awal mula muncul
Ilmu Hadis Riwayah adalah sejak bersamaan dimulainya periwayatan hadis itu
sendiri oleh Rasulullah. Para shahabat menyampaikan hadis dengan sangat
hati-hati kepada shahabat yang lain atau kepada tabi’in, para tabi’inpun
melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya
kepada tabi’in lain atau tabi’at tabi’in (generasi sesudah tabi’in).
Demikian periwayatan
hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori ulama
hadits terkenal Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H) atas perintah
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan
pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadits pada abad ke-3
Hijriah, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam
At-Tirmidzi, Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan
ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadits masing-masing.[6]
4. Kaidah Periwayatan
Nabi Muhammad saw dalam menyampaikan hadist tidak
menggunakan satu cara saja, namun beliau menyampaikan dalam berbagai
macam, sesuai dengan bentuk-bentuk hadis
yang terdiri dari perkataan atau sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal atau
keadaan Nabi, serta situasi dan kondisi yang ada.[7]
Berikut ini dikemukakan cara-cara Nabi menyampaikan
hadis sebagai berikut:
a. Hadis dalam
bentuk perkataan
1) Nabi menyampaikan hadis dengan lisan.
Hadis yang disampaikan Nabi dengan lisan dilaksanakan dengan
cara-cara sebagai berikut:
a) Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri kaum
laki-laki.
b) Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
c) Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita
setelah kaum wanita memintanya[8]
Selain itu masih ada
riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi menyampaikan hadisnya melalui yaitu
:
a) Dengan lisan dan perbuatan di hadapan orang banyak,
dan disampaikan di masjid pada waktu malam dan subuh.
b) Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak di
hadapan orang yang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu
berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
c) Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara
lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa takrir atas
amalan ibadah sahabat yang belum dicontohkan langsung oleh Nabi.
d) Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan
hadisnya dengan bentuk tulisan.[9]
2) Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk tertulis
Cara seperti ini dilakukan Nabi misalnya ajakan ajakan
Nabi untuk memeluk agama Islam kepada berbagai
kepala Negara dan pembesar daerah yang non Islam lewat surat,
perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan orang-orang musyrik di Mekah
dan dan penduduk Madinah, seperti perjanjian Hudaibiyah dan piagam Madinah.
b. Hadis yang berupa perbuatan
Nabi menyampaikan hadis selain dengan cara lisan
juga dalam bentuk perbuatan. Cara ini dilakukan di depan orang banyak di masjid pada waktu malam dan subuh. Contoh.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ
عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
أَخْبَرَتْهُ
: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ
فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ
أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ
أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ
اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ
لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ
فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ
لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا قَالَ أَبُو عَبْد
اللَّهِ تَابَعَهُ يُونُسُ
Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah mengabarkan kepada kami Al Laits
dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Urwah bahwa
'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan
shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat
dibelakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut.
Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu
ikut shalat dengan Beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali
membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang
yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian
pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya beliau
keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau
menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: "Amma ba'du,
sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi
aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak
mampu." Abu 'Abdullah Al Bukhari berkata, "Hadits ini dikuatkan oleh
Yunus." (HR.Bukhari : 872).[10]
c. Hadis dalam bentuk taqrir
Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk taqrir dengan cara meminta penjelasan dari
sahabat, dan berupa taqrir berupa dalam amalan ibadah sahabat yang belum pernah
dicontohkan langsung oleh Nabi. Contoh
lain adalah sebuah riwayat tentang tindakan ‘Amr bin al-‘Ash yang mimpi
bersenggama dan keluar sperma. Ketika
masuk waktu subuh, ia lalu bertayammum dan tidak mandi janabah karena udara
terlalu dingin. Dia menjadi imam shalat pada hari itu. Para sahabat kemudian
melaporkan peristiwa itu kepada Nabi. Nabi segera meminta penjelasan dari ‘Amr
perihal tindakan itu ‘Amir menjawab,
bahwa ia bertayammum karena udara terlalu dingin, kemudian ‘amir menyatakan,
bahwa ia mendengar firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 29:
وَلا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Mendengar penjelasan tersebur ’Amr
bin al-Ash tersebut Nabi hanya diam saja dan tidak memberi komentar apa-apa.
d. Hadis dalam bentuk hal ihwal.
Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara berupa
keadaan Nabi sesungguhnya bukan merupakan aktifitas Nabi, karena menyampaikan
hadis Nabi bersikaf pasif saja, pihak aktif adakah para sahabat Nabi, dalam
arti sebagai perekam terhadap keadaan Nabi tersebut. Contoh:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ
عَلَى مَالِكٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ : كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا
بِالْقَصِيرِ وَلَيْسَ بِالْأَبْيَضِ الْأَمْهَقِ وَلَا بِالْآدَمِ وَلَا
بِالْجَعْدِ الْقَطَطِ وَلَا بِالسَّبِطِ بَعَثَهُ اللَّهُ عَلَى رَأْسِ
أَرْبَعِينَ سَنَةً فَأَقَامَ بِمَكَّةَ عَشْرَ سِنِينَ وَبِالْمَدِينَةِ عَشْرَ
سِنِينَ وَتَوَفَّاهُ اللَّهُ عَلَى رَأْسِ سِتِّينَ سَنَةً وَلَيْسَ فِي رَأْسِهِ
وَلِحْيَتِهِ عِشْرُونَ شَعْرَةً بَيْضَاءَ : و حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ ح و حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ
زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ
بِلَالٍ كِلَاهُمَا عَنْ رَبِيعَةَ يَعْنِي ابْنَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ بِمِثْلِ حَدِيثِ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَزَادَ فِي
حَدِيثِهِمَا كَانَ أَزْهَرَ
Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Yahya aku membaca Hadits Malik dari Rabi'ah bin Abu
'Abdur Rahman dari Anas bin Malik; Anas berkata; dia mendengar; Nabi
Shallallahu'alaihi wasallam adalah orang yang tingginya sedang, tidak terlalu
pendek dan tidak terlalu tinggi, tidak terlalu putih dan tidak terlalu coklat.
Rambutnya berombak, tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutusnya pada umur
empat puluh, beliau tinggal di Makkah sepuluh tahun dan di Madinah sepuluh
tahun juga. Dan Wafat pada umur enam puluh tahun, jumlah uban di kepala dan
jenggotnya tidak lebih dari dua puluh. Dan telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan 'Ali bin Hujr berkata; Telah menceritakan
kepada kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far; Demikian juga diriwayatkan dari jalur
lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku Al Qasim bin Zakaria; Telah
menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad; Telah menceritakan kepadaku
Sulaiman bin Bilal keduanya dari Rabi'ah yaitu Ibnu 'Abdur Rahman dari Anas bin
malik dengan Hadits yang serupa Malik bin Anas, hanya ada tambahan pada Hadits
keduanya; 'beliau putih bercahaya.' (HR. Muslim : No. 4330)[11]
5. Metode/Bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi
a. Hadist Riwayah BIL-LAFDZI (Lafal)
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah
meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan
mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain
meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi SAW. Riwayat hadits dengan
lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung
dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat
langsung menulis atau menghafalnya.
b. Hadist Riwayah BIL-MA’NA (MAKNA)
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan
hadis berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri
oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh
Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat
dengan lafaz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para
sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di
samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya
maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan
kecuali jika perawi lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan
hadis dengan makna.
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut
Luis Ma’luf adalah proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan
mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna
mengandung arti maksud dari sesuatu
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini
hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis
yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti
sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun
maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan
periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan
sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab,
maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti
lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima
hadis dengan makna.[12]
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan
periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu
Darda’ (wafat 32 H/652 M), Abu Hurairah
(wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat
Nabi yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin
Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam.[13]
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan
beberapa faktor berikut:
a) Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin
diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi
Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis
maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan
menggunakan redaksi perawi sendiri.
b) Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain
Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan
hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan
menulis hadis
c) Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada
kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat
susunan kata-katanya.
Menurut
ijma menjelaskan syariat Islam kepada orang ajam (selain Arab) boleh menggunakan bahasa mereka. Jika hal itu diperbolehkan, tentu boleh menggunakan
sinonim dalam meriwayatkan hadis. Sehubungan dengan itu Rasulullah pernah
mengirim surat ke berbagai negeri dalam rangka berdakwah. delegasinya dan berbagai Surat itu dianta
para mereka menerjemahkan ke bahasa selain Arab.
Sementara
itu, periwayatan hadis secara lafal tetap harus dilakukan demi menjaga
orisinalitas teks hadis. Rasulullah
percaya dengan hafalan sahabat yang dapat memelihara hadis, sedangkan bagi mereka yang kurang kuat
hafalannya boleh memiliki catatan pribadi sebagai alat bantu. Begitu pula dengan para sahabat junior yang
mengadakan rihlah untuk mencari hadis atau mengonfirmasi hadis yang
meragukan. Adapun bagi mereka yang lupa
dengan teks hadis, boleh meriwayatkan
secara makna tanpa mengurangi isi hadis tersebut. [14]
B.
Ilmu
Hadis Dirayah
1.
Pengertian
Ilmu hadis dirayah biasa juga disebut sebagai
Ilmu Musthalah Al-Hadits, Ilmu Ushul Al Hadits, Ulum al Hadits, dan Qawa’id
Al-Tahdits.[15]
Ibnu al-Akfani mendefinisikan ilmu hadis dirayah sebagai :
علم يعر
ف منه حقيقه الر واية وشروطها وأنواعهاوأحكامهاوحال الرواة وشروطهم واصناف
المرويات ومايتعلق بها
“Ilmu pengetahuan untuk
mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya
serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam
hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.
Yang dimaksud dengan :[16]
-
Hakikat
periwayatan adalah penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber hadis atau
sumber berita.
-
Syarat-syarat
periwayatan ialah penerimaan perawi terhadap hadis yang akan diriwayatkan
dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti al-sama’ (pendengaran),
al-qira’ah (pembacaan), al-washiah (wasiat), al-ijazah (Pemberian izin dari
perawi).
-
Macam-macam
periwayatan ialah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan
dan lain-lain.
-
Hukum-hukum
periwayatan adalah pembicaraan sekitar
diterima atau ditolaknya suatu hadis.
-
Keadaan
para Perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan
syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
-
Macam-macam
hadis yang diriwayatkan meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada
kitab-kitab tashnif, kitab tasnid dan kitab mu’jam.
2.
Objek
Kajian dan Manfaat
Objek kajian ilmu hadis dirayah adalah keadaan
para perawi dan marwinya. Keadaan para perawi, baik yang menyangkut pribadinya,
seperti akhlak, tabiat, dan keadaan hafalannya, maupun yang menyangkut
persambungan dan terputusnya sanad. Sedang keadaan marwi adalah dari sudut
kesahihan, kedhaifan-nya dan dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan
matan.[17]
Sedang faedah dari ilmu hadis dirayah adalah :
(a) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa
kemasa sejak masa Rasulullah SAW, sampai sekarang (b) dapat mengetahui
tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan,
memelihara, dan meriwayatkan hadis, (c) menegtahui kaidah-kaidah yang digunakan
oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut dan (d) dapat
menegtahui istilah-istilah, nilai-nilai dan criteria-kriteria hadis sebagai
pedoman dalam berinstinbat.[18]
3.
Sejarah
Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu ini telah tumbuh sejak zaman Rasulullah
masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Rasulullah wafat
terutama sekali ketika ummat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan
mengadakan perlawatan yang mereka lakukan sudah barang tentu secara lansung
atau tidak memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadis disinilah
ilmu hadis dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.
Dalam sejarah perkembangan hadis, bahwa ulama
yang pertama kali berhasil menyusun ilmu ini dalam suatu disiplin ilmu secara
lengkap, adalah al-Qadi abu Muhammad al-Ramahurmuzi (wafat 360 H) dengan
kitabnya al-Muhaddist al-Fashil baiina al-Rawi wa al-Wa’i[10]. Kemudian muncul
al-Haqi Abu Abdillah al-Naisaburi (w.321-405 H) dengan kitabnya Ma’rifah Ulum
al-Hadis setelah itu, muncul Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Asfahani
(w.336-430 H).
Demikianlah selajutnya bermunculan kitab-kitab
al-Musthalah al-Hadis, baik dalam bentuk nadzam, seperti kitab al-Fiyah
al-Syuti, maupun dalam bentuk nakzar (Prosa). Dari kedua jenis ini para ulama
juga memberikan syarahnya, seperti kitab Manhaj tsawi al-Nadzar karya
al-Tirmizi sebagai syarah dari kitab Nadzam karangan al-Syuti.[19]
4.
Model
Pengembangan Hadis Dirayah
Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu
(1) rijal al-sanad dan (2) jarah-ta’dil. Dari pembahasan dua ulasan itu muncul
penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dla’if.
Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
`Ilm Rijal al-Hadits adalah ilmu yang mengkaji
keadaan rawi dan perilaku hidup mereka, mulai dari kalangan sahabat, tabi`in,
dan tabi`it-tabi`in. Bagian dari ilmu ini adalah `ilm tarikh rijal al-hadits
yaitu kajian terhadap periwayat hadits dengan menelusuri tanggai kelahiran,
garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan dan
murid-muridnya.[20]
Sedangkan ’Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil adalah ilmu
yang membahas hal ikhwal rawi (periwayat) dengan menyoroti kesalehan dan
kejelekannya, untuk menentukan periwayatannya dapat diterima atau ditolak.[21]
Selain itu ilmu hadis dirayah juga memiliki
cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan matan hadis diantaranya :
1.
`Ilm Gharib
al-Hadits adalah ilmu yang membahas masalah lafal atau kata yang terdapat dalam
matan hadits yang sulit dipahami, baik karena nilai sastranya yang tinggi
maupun karena sebab yang lain. `Ulama perintis bidang ini ialah Abu Ubaidah
Ma`mar bin Musanna at-Tamimi;[22]
2.
`Ilm
Asbab Wurud al-Hadits adalah ilmu yang membahas latar belakang atau sebab-sebab
lahirnya suatu hadits.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Objek
kajian ilmu hadis riwayah lebih tertuju pada pribadi Nabi Muhammad SAW, Sedang
Objek kajian ilmu hadis dirayah lebih tertuju pada Sanad dan Matan Hadis.
-
Faedah ilmu hadits riwayah adalah untuk
menghindari kesalahan dalam penukilan atau pengutipan sebuah hadits yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sedang faedah
dari ilmu hadis dirayah adalah : (a) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
hadis dan ilmu hadis dari masa kemasa sejak masa Rasulullah SAW, sampai
sekarang (b) dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis, (c) menegtahui
kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis
lebih lanjut dan (d) dapat menegtahui istilah-istilah, nilai-nilai dan
criteria-kriteria hadis sebagai pedoman dlam berinstinbat
-
Kaidah
periwayatan hadis Nabi muhammad dengan cara : Hadis dalam bentuk perkataan, Hadis yang berupa
perbuatan, Hadis dalam bentuk taqrir, Hadis dalam bentuk hal ihwal.
-
Pokok
ilmu dirayah yaitu rijal al-sanad dan jarah-ta’dil, Selain itu ilmu hadis
dirayah juga memiliki cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan matan hadis
diantaranya : `Ilm Gharib al-Hadits dan `Ilm
Asbab Wurud al-Hadits
DAFTAR PUSTAKA
AJ.
Wensncik. al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfazh al-Hadis al-Nabawi Juz I. Leiden: E.J. Brill 1936 M.
Al-Khatib,
Muhammad Ajjaj. as-Sunnah qablat-Tadwin. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999.
Asror
, Miftahul dan Imam Musbikin. Membedah Hadis Nabi SAW “ Kaedah dan Sarana
Studi Hadits Serta pemahamannnya”. Madiun : Jaya Star Nine, 2015.
Asshalih, Subhi. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995.
CD : Lidwa i-Pusaka Software : Hadis
9 Imam. Bukhari : No. 872.
………., Muslim : No. 4330.
Fayyad,
Mahmud Ali. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. terj. Drs. A. Zarkasy
Chumaidy. Bandung : CV Pustaka
Setia, 1998.
Ismail,
Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis.
Cet. II. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Khon, Abdul Majid. Takhrij Metode &
Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.
Suparta, Muzier. Ilmu Hadis. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar
Mushthalahu’l Hadits. Bandung : PT Alma’arif, 1974.
Soetari, Endang. Ulumul Hadis.
Bandung : Amal Bakti Press,1997.
W.
Montgmery Watt, Muhammad Prophet and Statemen. diterjemahkan oleh Suhudi
Ismail; Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Pendekatan
dengan Ilmu Sejarah. Cet, II. Jakarta: Bulang Bintang, 1995.
[1] Subhi Asshalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1995), 107.
[2] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 129.
[3] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, (Bandung : PT
Alma’arif, 1974), 54.
[4] Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, terj.
Drs. A. Zarkasy Chumaidy, (Bandung
: CV Pustaka Setia, 1998), 26.
[5] Fatchur Rahman…, 55.
[6] Ibid., 55.
[7] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Cet. II, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), 30.
[8] W. Montgmery Watt, Muhammad Prophet and Statemen, diterjemahkan
oleh Suhudi Ismail; Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan
Pendekatan dengan Ilmu Sejarah (Cet, II; Jakarta:Bulang Bintang, 1995),29.
[9] AJ. Wensncik, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi
Juz I (Leiden: E.J. Brill 1936 M), 31-34.
[10] CD : Lidwa i-Pusaka Software : Hadis 9 Imam (Bukhari : No. 872)
[11] CD : Lidwa i-Pusaka Software : Hadis 9 Imam (Muslim : No. 4330)
[12] Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung : Amal Bakti
Press,1997), 213.
[13] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah qablat-Tadwin, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001) 126.
[14]Abdul
Majid Khon, Takhrij Metode & Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014),
32 – 35.
[15] Muzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003), 25.
[16] Muzier Suparta …, 26.
[17] Muzier Suparta …, 27.
[18] Ibid., 28.
[19] Muzier Suparta …, 28-29.
[21] Muhammad Ajjaj al-Khatib…, 233.
[23] Miftahul Asror dan Imam
Musbikin, Membedah Hadis Nabi SAW “ Kaedah dan Sarana Studi Hadits Serta
pemahamannnya”, (Madiun : Jaya Star Nine, 2015), 251.
No comments:
Post a Comment