Blog Archive

Friday, October 14, 2016

IAT3 HADITS MAWDHU’ Ulya Nabila 933800115



HADITS MAWDHU’
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ULUMUL HADITS III”
Dosen pengampu:

Qoidatul Marhumah, M.Th. I









Disusun oleh:
Ulya Nabila
933800115

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI KEDIRI
2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik serta hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita semua dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang yaitu addinul islam.
Dengan pertolongan dan hidayah-Nya, makalah Ulumul Hadits yang berjudul Hadits Mawdhu’ ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kami  menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan tuntas tanpa adanya bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik, saran dan masukan yang membangun agar dapat dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.



                                                                             Kediri, 01 Oktober 2016


                                                                                                Penyusun




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR   .............................................................................    i
DAFTAR ISI   .............................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang  ............................................................................   1
B. Rumusan Masalah   ......................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hadits Mawdhu’ .......................................................   2
B.  Sejarah Awal Hadits Mawdhu’ ...................................................   2
            C.  Hukum Meriwayatkan Hadits Mawdhu’ ....................................   4
            D. Status Hadits Mawdhu’...............................................................   .6
            E.  Tingkatan-tingkatan Hadits Mawdhu’ ........................................   7
            F.  Usaha Para Ulama dalam menanggulangi Hadits Mawdhu’ .......   8
            G.  Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Mawdhu’........................  10

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan    ...............................................................................  12
DAFTAR PUSTAKA   ...............................................................................   13






BAB I
 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah hadits mawdhu’ berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Akibat perpecahan politik ini, hampir setiap golongan membuat hadits mawdhu’ untuk memperkuat golongannya masing-masing.
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah satunya adalah mengenai hadits mawdhu’ yang menimbulkan kontrofersi dalam keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara langsung.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Hadits Mawdhu’ ?
2. Bagaimana Sejarah Awal Hadits Mawdhu’ ?
            3. Bagaimana Hukum Meriwayatkan Hadits Mawdhu’ ?
            4. Bagaimana Status Hadits Mawdhu’?
            5. Bagaimana Tingkatan-tingkatan Hadits Mawdhu’ ?
            6. Bagimana Usaha Para Ulama dalam menanggulangi Hadits Mawdhu’ ?
7. Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Mawdhu


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Mawdhu’
Secara etimologi, hadits mawdhu’ memiliki beberapa arti diantaranya adalah, menggugurkan, meninggalkan, mengada-ada, membuat-buat dan sebagainya. Secara terminologi, menurut ulama hadits, hadits mawdhu’ adalah “ sesuatu yang di nisbatkan kepada Rasulullah saw secara mengada-ada dan dusta, dan beliau tidak sabdakan atau kerjakan ataupun taqrir kan ’’
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hadits mawdhu’ itu sebenarnya bukan hadits yang bersumber dari Nabi saw. (bukan hadits Nabi saw), hanya di sandarkan kepada Nabi.[1]
Jadi hadits mawdhu’ adalah hadits bohong atau hadits palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukkannya bagian dari hadits dha’if karena ia bukan hadits dalam arti yang sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadits tetapi palsu dan bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadits.[2]
B. Sejarah Awal Hadits Mawdhu’
Sejak masa Nabi dan masa Khulafaurrasyidin atau sebelum terjadi konflik antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah hadits Nabi masih bersih dan murni tidak terjadi pembauran dengan kebohongan dan perubahan-perubahan. Analisis Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Al-Islam yang berkesimpulan telah terjadi hadits mawdhu’ sejak masa Rasulullah saw karena pendustaan terhadap beliau inilah yang melatar belakangi timbulnya sabda beliau.
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مُقْعَد هُ مِنَ انَّارِ
Barang siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal di neraka
            Analisis Ahmad Amin di atas tidak ilmiah karena tidak di dukung oleh fakta yang konkret dan tidak ada periwayatan shahih yang menjelaskan hal tersebut, seandainya analisis itu benar tentu para sahabat menjelaskan periwayatan tersebut dan termuat dalam kitab-kitab hadits.[3]
            Awal terjadinya hadits mawdhu’ dalam sejarah muncul setelah terjadi konflik antar elit politik dan antara dua pendukung Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi 3 kelompok, yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin atau Sunni. Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin mempertahankan kelompoknya, dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dengan cara mencari dalil dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Jika tidak didaptkan ayat atau hadits yang mendukung kelompoknya, mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan interpretasi yang terkadang tidak layak.
            Ketika mereka tidak menemukan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang mendukung tujuan partainya, sementara penghafal Al-Qur’an dan hadits masih banyak, maka sebagian mereka membuat hadits palsu (mawdhu’) seperti hadits-hadits tentang keutamaan para Khalifah, pimpinan kelompok, dan aliran-aliran dalam agama. Pada masa ini tercatat dalam sejarah masa awal terjadi mawdhu’ yang lebih disebabkan oleh situasi politik. Namun, yang perlu diketahui pada masa ini hanya sedikit jumlah hadits mawdhu’ karena faktor penyebabnya tidak banyak. Mayoritas faktor penyebab timbulnya hadits mawdhu’ adalah karena tersebarnya bid’ah dan fitnah. Sementara para sahabat justru menjauhkan dari itu. Mereka sangat mencintai Rasulullah dan telah mengorbankan segala jiwa raga dan harta bendanya untuk membela beliau dengan penuh ketulusan hati. Mereka hidup bersama beliau selalu meneladani dan mempraktikkan sunnah dengan penuh kejujuran dan takwa kepada Allah. Secara logika, tidak mungkin mereka berbuat dusta kepada beliau dengan membuat hadits mawdhu’.
Demikian juga pada masa tabi’in hadits dibawa oleh para ulama besar yang diterima dari sahabat secara langsung. Mereka sangat teguh beragama, bersungguh-sungguh, dan berhati-hatidalam meriwayatkannya. Sunnah diingat, diriwayatkan, dan dipraktikkan dalam kehidupan mereka dengan sifat kejujuran dan kecerdasan mereka yang luar biasa. Maka hadits mawdhu’ hanya ditimbulkan dari sebagian kelompok orang-orang bodoh yang bergelut dalam bidang politik atau mengikuti hawa nafsunya untuk menghalalkan segala cara.[4]
C. Hukum Meriwayatkan Hadits Mawdhu’
Umat Islam telah sepakat bahwa membuat hadits mawdhu’ hukumnya haram secara mutlak tidak ada perbedaan antara mereka. Menciptakan hadits mawdhu’ sama dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan orang lain kemudian diklaim Rasulullah yang menyabdakan berarti ia berdusta atas nama Rasulullah. Orang yang melakukan hal demikian diancam dengan api neraka, sebagaimana sabda beliau:[5]
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مُقْعَدَ هُ مِنَ انَّارِ
Barang siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal di neraka
Jumhur ulama Ahlu As-Sunnah telah bersepakat bahwa bohong termasuk berdosa besar, semua ahli hadits menolak khabar yang dibawa oleh pendusta Rasul, bahkan Abu Muhammad Al-Juwaini mengkafirkannya.
Hanya kelompok sesat yang memperbolehkannya membuat hadits mawdhu’ seperti Al-Karramiyah, yaitu pengikut Muhammad Bin Karram As-Sijistani seorang tokoh anthropomorfisme (mujassimah) dalam teologi. Mereka memperbolehkan membuat hadits mawdhu’ dalam masalah yang menggemarkan ibadah (targhib) dan yang mengancam orang berdosa (tarhib) berdasarkan hadits diatas melalui jalan lain yang ditambah لِيُضِلَّ ا لنَّاسَ  = untuk menyesatkan manusia. Namun, menurut penelitian para ulama, tambahan ini tidak dalam periwayatan para huffazh al-hadits, maka tambahan tersebut juga suatu kebohongan. Lengkapnya hadits periwayatan mereka, yaitu:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا لِيُضِلَّ ا لنَّاسَ فَلْيَتَبَوَّ أْ مَقْعَدَ هُ مِنَ النَّا رِ
Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, untuk menyesatkan manusia maka hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di dalam neraka.
Berdasarkan ini di antara mereka mengatakan: “ Kami bohong untuk kebaikan bukan untuk kejelekan.’’ Alasan ini tentu sangat rendah, karena agama Allah tidak perlu pembohong untuk mencari alasan. Cara membuat hadits mawdhu’ terkadang disusun sendiri kemudian dipasang sanad dan diriwayatkannya atau dengan mengambil perkataan sebagai ulama kemudian dipasang sanad.[6]
Sebagaimana haram membuat hadits mawdhu’, para ulama juga sepakat haram meriwayatkannya tanpa menjelaskan ke mawdhu’an atau kebohongannya baik dalam targhib, tarhib, fadha’il a’mal, ahkam, kisah dan lain-lain, sebagaimana hadits Nabi saw:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يُرَي أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَأَحُدُ الْكَذَّا بِيْن
Barang siapa yang memberitakan dari padaku suatu hadits yang diketahui bahwa ia bohong, maka ia bohong, maka ia tergolong salah seorang pembohong. (HR. Muslim)
Meriwayatkan Hadits mawdhu’ dengan menjelaskan ke mawdhu’annya boleh saja, karena dengan memberi penjelasan seperti ini akan dapat dibedakan dengan hadits yang benar dari Rasul dalam rangka menjaga sunnah.[7]
D. Status Hadits Mawdhu’
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadits mawdhu’, apakah merupakan bagian dari hadits atau bukan. Pertentangan pendapat ini sangat berkait erat dengan definisi hadits mawdhu’ yng di rumuskan oleh para ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadits yang mengandung unsur dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja. Dengan adanya unsur dibuat-buat, dusta, dan disengaja, para muhaddisin yang menolak hadits mawdhu’, mempersoalkan apakah hadits mawdhu’ layak dikategorikan sebagai hadits. Dalam hal ini, terdapat dua pandangan. Kelompok pertama, yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadits mawdhu’ merupakan bagian dari hadits dhoif. Hanya saja, posisi tingkatan ke dhoifan nya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya. Imam Ibnu Shalah menegaskan: hadits mawdhu’ adalah hadits dhaif yang paling jelek dan jahat (Ibnu Shalah,t.t:47).[8]
Kelompok kedua diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang berpendapat bahwa hadits mawdhu’ bukan termasuk hadits Nabi saw, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketepatan. Hadits mawdhu’ bukan sesuatu yang datang atau berasal dari Nabi saw, melainkan ucapan, perbuatan atau sikap yang berasal dari seseorang, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal dari nabi saw. (Moh. Najib, 2001: 47).
Menurut Ibnu Hajar, ungkapan Ibnu Ash-Shalah bahwa hadits mawdhu’ merupakan ungkapan yang digunakan dalam konteks nisbah antara hadits mawdhu’ dengan jenis hadits konteks tingkatan bentuk hadits dhaif. Dengan demikian, Ibnu Hajar tetap berpendirian bahwa hadits mawdhu’ bukan merupakan bagian dari jenis hadits dhoif, bukan bagian dari hadits, atau bukan hadits. Sebaliknya, para ulama lainnya tetap berpendirian bahwa hadits mawdhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif. Pandangan ini didasarkan pada realitas empiric bahwa kebanyakan para muhaddisin memasukkan hadits mawdhu’ dalam kitab hadits merek, baik kitab daalam kategori kitab hadits dhaif atau kitab hadits mawdhu’. Mereka juga memasukkan kitab hadits mawdhu’ sebagai bagian dari kitab hadits pada umumnya. (Moh.Najib, 2001: 47).[9]
E. Tingkatan-tingkatan Hadits Mawdhu’
Di kalangan para ulama, terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan bobot ke-mawdhu’an. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pendekatan atau metode penilaian.
Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadits mawdhu’ mempunyai tiga tingkatan berikut.
1. Hadits mawdhu’ yang nilai kemawdhu’annya disepakati secara bulat oleh para muhaddisin. Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat didalam bentuk periwayatannya, yaitu berupa berdasar pengakuan rawi atau hasil pengujian dari berbagai aspek.
2. Hadits mawdhu’ yang nilai kemawdhu’annya ditetapkan berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara, sebagian ulama lain menilai hadits itu bukan mawdhu’, tetapi hadits yang diantaranya syarat kesahihannya ada yang gugur saja.
3. Hadits mawdhu’ (wahm al mawdhu’). Sebagian muhaddisin lain menilai hadits yang dusta ( kidz). (Moh. Najib, 2001: 48.[10]
F. Usaha Para Ulama dalam menanggulangi Hadits Mawdhu’
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi mawdhu’, dengan tujuan agar hadits tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping agar jelas posisi hadits mawdhu’ tidak tercampur dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah saw. Di antara usaha-usaha itu sebagai berikut:
            1. Memelihara sanad hadits
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai dengan sanad. Jika tidak disertai sanad, maka suatu hadits tidak dapat diterima. Muhammad bin Sirin mengatakan: Para ulama semula tidak bertanya tentang sanad sunnah. Tetapi setelah terjadi pemalsuan hadits, mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya: Sebutkan kepada kami para perawinya. Maka jika mereka memang ahli sunnah diambil haditsnya dan jika dilihat ahli bid’ah tidak diambil haditsnya.’’
Abdullah bin Al-Mubarrak berkata:
مِثْلُ الَّذِي يَطْلُبُ دِيْنَهُ بِلاَ إِسْنَادٍكَمِثْلِ الَّذِي يَرْ تَقى السَّطْحَ بِلَا سُلَّمٍ
Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga[11]
Keharusan sanad dalam menerima hadits bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kwajiban bagi ahli hadits menerngkan sanad hadits yang ia riwayatkan.
2. Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadits yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadits yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadits, segera mereka mengadakan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadin hadits. Mereka saling mengingatkan dan bermudzakarah bersama sahabat lain agar tidak melupakan hadits dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
Hasil penelitian mereka dibukukan di berbagai buku hadits atau ilmu hadits yang besar-besar dan berjilid-jilid dari masa ke masa seperti Buku Induk Hadits enam atau tujuh. Imam Asy-Syafi’i menulis Ar-Risalah dan Al-Umm yang memuat Ulumul Hadits, demikian juga Imam Muslim dalam muqaddimah dan akhiran kitabnya, At-Tirmidzi dalam akhir kitab Jami’-nya, dan Al-Bukhari yang menulis kitab Tarikh Al-Kabir, Al-Awsath dan Ash-Shaghir. Muhammad bin Sa’ad Al-Waqidi (w.230 H) yang menulis Ath-Thabaqat, Abu Hatim (w. 354 H) menulis Ats-Tsiqat, At-Thabaqat, Adh-Dhu’afa, Al-‘Illal, dan lain-lain.[12]
3. Mengisolir para pendusta hadits
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadits dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan dari padanya. Semua ahli ilmu juga menyampaikan hadits-hadits mawdhu’ dan pembuatannya itu kepada murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadits dari padanya.
Di antara para ulama yang terkenal menentang para pembuat mawdhu’ adalah Amir Asy-Sya’bi (w.103 H), Syu’ban bin Al-Hajjaj (w.160 H), Sufyan Ats-Tsauri (w.161 H), Abdullah bin Al-Mubarak (w. 181 H), Abdurrahman bin Al-Mahdi (w. 198 H), dan lain-lain.
4. Menerangkan keadaan para perawi
Dalam membasmi hadits mwdhu’ para ahli hadits berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga wafat ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadits, dari yang jujur, adil, dan andal jaya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadits shahih dan mana yang tidak shahih. Mana hadits yang sesungguhnya dan yang dipalsukan. Hasil karya penelitian mereka dihimbau dalam Rijal Al-Hadits dan Al-Jarh wa At-Ta’dil sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi ke generasi berikutnya.
            5. Memberi kaidah-kaidah hadits
            Para ulama meletakkan dasar-dasar atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian hadits untuk menganalisa otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan, dhaif, dan mawdhu’. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penilaian suatu hadits apakah suatu hadits memenuhi kriteria sebagai hadits yang diterima atau tertolak.[13]
G. Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Mawdhu’
1. Para pendusta dalam hadits
Di antara para pendusta hadits yang diketahui setelah penelitian yang dilakukan oleh para ulama, adalah sebagai  berikut:
a. Aban bin Ja’far Al-Numaiqi membuat 300 buah hadits yang disandarkan kepada Abu Hanifah.
b. Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadits disandarkan dari Malik.
c. Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, juga membuat beribu-ribu hadits kepentingan kelompok Al-Karramiyah.
d. Jabir bin Zaid Al-Jua’fi, membuat 30.000 buah hadits.
e. Nuh bin Abu Maryam membuat hadits mawdhu’ tentang fadhail surah-surah dalam Al-Qur’an.
f. Muhammad bin Syuja’ Al-Wasithi, Al-Harits bin Abdullah Al-A’war, Muqatil bin Sulaiman, Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu Yahya.
2. Kitab-kitab tafsir
Kitab-kitab tafsir yang terdapat banyak hadits mawdhu’ antara lain: Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi, dan Asy-Syaukani.











BAB III
PENUTUP 
A. Kesimpulan
Jadi hadits mawdhu’ adalah hadits bohong atau hadits palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukkannya bagian dari hadits dha’if karena ia bukan hadits dalam arti yang sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadits tetapi palsu dan bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadits.



DAFTAR PUSTAKA
Majid Khon Abdul, Ulumul Hadits, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008
Sahrani Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2015
Sulaiman Noor,  Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung persada press, 2008




[1] Noor Sulaiman,  Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung persada press, 2008), 182
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), 199
[3] Ibid,200
[4] Ibid,201
[5] Ibid,207
[6] Ibid,208
[7] Ibid,208
[8] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), 167
[9][9] Ibid,167
[10] Ibid, 168
[11] Abdul Majid Khon,213
[12] Ibid,214
[13] Ibid,215

No comments:

Post a Comment