HADITS
MAWDHU’
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ULUMUL
HADITS III”
Dosen
pengampu:
Qoidatul
Marhumah, M.Th. I

Disusun
oleh:
Ulya
Nabila
933800115
PROGRAM
STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI KEDIRI
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik serta hidayah,
dan inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita semua dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang yaitu addinul islam.
Dengan
pertolongan dan hidayah-Nya, makalah Ulumul Hadits yang berjudul “ Hadits Mawdhu’ ” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan tuntas tanpa
adanya bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang membangun agar dapat dijadikan
pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Kediri, 01 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ............................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah
...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Mawdhu’
....................................................... 2
B.
Sejarah Awal Hadits Mawdhu’
................................................... 2
C. Hukum Meriwayatkan Hadits Mawdhu’
.................................... 4
D. Status Hadits
Mawdhu’............................................................... .6
E.
Tingkatan-tingkatan Hadits Mawdhu’
........................................
7
F.
Usaha Para Ulama dalam menanggulangi Hadits Mawdhu’ ....... 8
G.
Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits
Mawdhu’........................ 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
............................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah hadits mawdhu’
berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali Bin Abi
Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang tujuannya adalah untuk
mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Akibat perpecahan
politik ini, hampir setiap golongan membuat hadits mawdhu’ untuk
memperkuat golongannya masing-masing.
Ulumul hadits merupakan
suatu ilmu pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan,
salah satunya adalah mengenai hadits mawdhu’ yang menimbulkan kontrofersi dalam
keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya
dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara
langsung.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian Hadits Mawdhu’ ?
2.
Bagaimana Sejarah Awal Hadits Mawdhu’ ?
3. Bagaimana Hukum Meriwayatkan Hadits
Mawdhu’ ?
4. Bagaimana Status Hadits Mawdhu’?
5. Bagaimana Tingkatan-tingkatan
Hadits Mawdhu’ ?
6. Bagimana Usaha Para Ulama dalam
menanggulangi Hadits Mawdhu’ ?
7.
Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Mawdhu
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis Mawdhu’
Secara etimologi, hadits mawdhu’
memiliki beberapa arti diantaranya adalah, menggugurkan, meninggalkan,
mengada-ada, membuat-buat dan sebagainya. Secara terminologi, menurut ulama hadits,
hadits mawdhu’ adalah “ sesuatu yang di nisbatkan kepada Rasulullah saw
secara mengada-ada dan dusta, dan beliau tidak sabdakan atau kerjakan ataupun taqrir
kan ’’
Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa hadits mawdhu’ itu sebenarnya bukan hadits yang bersumber dari Nabi saw.
(bukan hadits Nabi saw), hanya di sandarkan kepada Nabi.[1]
Jadi hadits mawdhu’ adalah hadits bohong
atau hadits palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh
seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukkannya
bagian dari hadits dha’if karena ia bukan hadits dalam arti yang sebenarnya dan
ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadits tetapi palsu dan
bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadits.[2]
B.
Sejarah Awal Hadits Mawdhu’
Sejak masa Nabi dan masa
Khulafaurrasyidin atau sebelum terjadi konflik antara kelompok pendukung Ali
dan Muawiyah hadits Nabi masih bersih dan murni tidak terjadi pembauran dengan
kebohongan dan perubahan-perubahan. Analisis Ahmad Amin dalam bukunya Fajr
Al-Islam yang berkesimpulan telah terjadi hadits mawdhu’ sejak masa
Rasulullah saw karena pendustaan terhadap beliau inilah yang melatar belakangi
timbulnya sabda beliau.
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مُقْعَد هُ مِنَ انَّارِ
Barang
siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal
di neraka
Analisis Ahmad Amin di atas tidak
ilmiah karena tidak di dukung oleh fakta yang konkret dan tidak ada periwayatan
shahih yang menjelaskan hal tersebut, seandainya analisis itu benar tentu para
sahabat menjelaskan periwayatan tersebut dan termuat dalam kitab-kitab hadits.[3]
Awal terjadinya hadits mawdhu’ dalam
sejarah muncul setelah terjadi konflik antar elit politik dan antara dua
pendukung Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi 3 kelompok, yaitu
Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin atau Sunni. Masing-masing mengklaim bahwa
kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin
mempertahankan kelompoknya, dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dengan
cara mencari dalil dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Jika tidak didaptkan
ayat atau hadits yang mendukung kelompoknya, mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan
interpretasi yang terkadang tidak layak.
Ketika mereka tidak menemukan
ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang mendukung tujuan partainya, sementara
penghafal Al-Qur’an dan hadits masih banyak, maka sebagian mereka membuat
hadits palsu (mawdhu’) seperti hadits-hadits tentang keutamaan para Khalifah,
pimpinan kelompok, dan aliran-aliran dalam agama. Pada masa ini tercatat dalam
sejarah masa awal terjadi mawdhu’ yang lebih disebabkan oleh situasi politik.
Namun, yang perlu diketahui pada masa ini hanya sedikit jumlah hadits mawdhu’
karena faktor penyebabnya tidak banyak. Mayoritas faktor penyebab timbulnya
hadits mawdhu’ adalah karena tersebarnya bid’ah dan fitnah. Sementara para
sahabat justru menjauhkan dari itu. Mereka sangat mencintai Rasulullah dan
telah mengorbankan segala jiwa raga dan harta bendanya untuk membela beliau
dengan penuh ketulusan hati. Mereka hidup bersama beliau selalu meneladani dan
mempraktikkan sunnah dengan penuh kejujuran dan takwa kepada Allah. Secara
logika, tidak mungkin mereka berbuat dusta kepada beliau dengan membuat hadits
mawdhu’.
Demikian juga pada masa tabi’in hadits
dibawa oleh para ulama besar yang diterima dari sahabat secara langsung. Mereka
sangat teguh beragama, bersungguh-sungguh, dan berhati-hatidalam meriwayatkannya.
Sunnah diingat, diriwayatkan, dan dipraktikkan dalam kehidupan mereka dengan
sifat kejujuran dan kecerdasan mereka yang luar biasa. Maka hadits mawdhu’
hanya ditimbulkan dari sebagian kelompok orang-orang bodoh yang bergelut dalam
bidang politik atau mengikuti hawa nafsunya untuk menghalalkan segala cara.[4]
C.
Hukum Meriwayatkan Hadits Mawdhu’
Umat Islam telah sepakat bahwa membuat
hadits mawdhu’ hukumnya haram secara mutlak tidak ada perbedaan antara mereka.
Menciptakan hadits mawdhu’ sama dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena
perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan orang lain kemudian
diklaim Rasulullah yang menyabdakan berarti ia berdusta atas nama Rasulullah.
Orang yang melakukan hal demikian diancam dengan api neraka, sebagaimana sabda
beliau:[5]
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأ مُقْعَدَ هُ مِنَ انَّارِ
Barang
siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal
di neraka
Jumhur ulama Ahlu As-Sunnah telah
bersepakat bahwa bohong termasuk berdosa besar, semua ahli hadits menolak
khabar yang dibawa oleh pendusta Rasul, bahkan Abu Muhammad Al-Juwaini
mengkafirkannya.
Hanya kelompok sesat yang
memperbolehkannya membuat hadits mawdhu’ seperti Al-Karramiyah, yaitu pengikut
Muhammad Bin Karram As-Sijistani seorang tokoh anthropomorfisme (mujassimah)
dalam teologi. Mereka memperbolehkan membuat hadits mawdhu’ dalam masalah yang
menggemarkan ibadah (targhib) dan yang mengancam orang berdosa (tarhib)
berdasarkan hadits diatas melalui jalan lain yang ditambah لِيُضِلَّ
ا لنَّاسَ = untuk menyesatkan
manusia. Namun, menurut penelitian para ulama, tambahan ini tidak dalam
periwayatan para huffazh al-hadits, maka tambahan tersebut juga suatu
kebohongan. Lengkapnya hadits periwayatan mereka, yaitu:
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا لِيُضِلَّ ا لنَّاسَ فَلْيَتَبَوَّ أْ مَقْعَدَ
هُ مِنَ النَّا رِ
Barang
siapa yang mendustakanku dengan sengaja, untuk menyesatkan manusia maka
hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di dalam neraka.
Berdasarkan ini di antara mereka mengatakan:
“ Kami bohong untuk kebaikan bukan untuk kejelekan.’’ Alasan ini tentu sangat
rendah, karena agama Allah tidak perlu pembohong untuk mencari alasan. Cara
membuat hadits mawdhu’ terkadang disusun sendiri kemudian dipasang sanad dan
diriwayatkannya atau dengan mengambil perkataan sebagai ulama kemudian dipasang
sanad.[6]
Sebagaimana haram membuat hadits
mawdhu’, para ulama juga sepakat haram meriwayatkannya tanpa menjelaskan ke
mawdhu’an atau kebohongannya baik dalam targhib, tarhib, fadha’il a’mal, ahkam,
kisah dan lain-lain, sebagaimana hadits Nabi saw:
مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يُرَي أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَأَحُدُ الْكَذَّا بِيْن
Barang
siapa yang memberitakan dari padaku suatu hadits yang diketahui bahwa ia
bohong, maka ia bohong, maka ia tergolong salah seorang pembohong. (HR. Muslim)
Meriwayatkan Hadits mawdhu’ dengan
menjelaskan ke mawdhu’annya boleh saja, karena dengan memberi penjelasan
seperti ini akan dapat dibedakan dengan hadits yang benar dari Rasul dalam
rangka menjaga sunnah.[7]
D.
Status Hadits Mawdhu’
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan status hadits mawdhu’, apakah merupakan bagian dari hadits atau
bukan. Pertentangan pendapat ini sangat berkait erat dengan definisi hadits
mawdhu’ yng di rumuskan oleh para ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadits yang
mengandung unsur dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.
Dengan adanya unsur dibuat-buat, dusta, dan disengaja, para muhaddisin yang
menolak hadits mawdhu’, mempersoalkan apakah hadits mawdhu’ layak dikategorikan
sebagai hadits. Dalam hal ini, terdapat dua pandangan. Kelompok pertama, yang
diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa
hadits mawdhu’ merupakan bagian dari hadits dhoif. Hanya saja, posisi tingkatan
ke dhoifan nya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta
paling rusak nilainya. Imam Ibnu Shalah menegaskan: hadits mawdhu’ adalah
hadits dhaif yang paling jelek dan jahat (Ibnu Shalah,t.t:47).[8]
Kelompok kedua diwakili oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, yang berpendapat bahwa hadits mawdhu’ bukan termasuk hadits Nabi
saw, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketepatan. Hadits mawdhu’ bukan
sesuatu yang datang atau berasal dari Nabi saw, melainkan ucapan, perbuatan
atau sikap yang berasal dari seseorang, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal
dari nabi saw. (Moh. Najib, 2001: 47).
Menurut Ibnu Hajar, ungkapan Ibnu
Ash-Shalah bahwa hadits mawdhu’ merupakan ungkapan yang digunakan dalam konteks
nisbah antara hadits mawdhu’ dengan jenis hadits konteks tingkatan bentuk hadits
dhaif. Dengan demikian, Ibnu Hajar tetap berpendirian bahwa hadits mawdhu’
bukan merupakan bagian dari jenis hadits dhoif, bukan bagian dari hadits, atau
bukan hadits. Sebaliknya, para ulama lainnya tetap berpendirian bahwa hadits
mawdhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif. Pandangan ini didasarkan pada
realitas empiric bahwa kebanyakan para muhaddisin memasukkan hadits mawdhu’
dalam kitab hadits merek, baik kitab daalam kategori kitab hadits dhaif atau
kitab hadits mawdhu’. Mereka juga memasukkan kitab hadits mawdhu’ sebagai
bagian dari kitab hadits pada umumnya. (Moh.Najib, 2001: 47).[9]
E.
Tingkatan-tingkatan Hadits Mawdhu’
Di kalangan para ulama, terdapat
perbedaan pandangan dalam menentukan bobot ke-mawdhu’an. Perbedaan ini timbul
karena adanya perbedaan pendekatan atau metode penilaian.
Menurut
Imam Adz-Dzahabi, hadits mawdhu’ mempunyai tiga tingkatan berikut.
1.
Hadits mawdhu’ yang nilai kemawdhu’annya disepakati secara bulat oleh para
muhaddisin. Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat
didalam bentuk periwayatannya, yaitu berupa berdasar pengakuan rawi atau hasil
pengujian dari berbagai aspek.
2.
Hadits mawdhu’ yang nilai kemawdhu’annya ditetapkan berdasarkan kesepakatan
mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara, sebagian
ulama lain menilai hadits itu bukan mawdhu’, tetapi hadits yang diantaranya
syarat kesahihannya ada yang gugur saja.
3.
Hadits mawdhu’ (wahm al mawdhu’). Sebagian muhaddisin lain menilai hadits yang
dusta ( kidz). (Moh. Najib, 2001: 48.[10]
F.
Usaha Para Ulama dalam menanggulangi Hadits Mawdhu’
Ada beberapa usaha yang dilakukan para
ulama dalam menanggulangi mawdhu’, dengan tujuan agar hadits tetap eksis
terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping agar
jelas posisi hadits mawdhu’ tidak tercampur dengan hadits-hadits shahih dari
Rasulullah saw. Di antara usaha-usaha itu sebagai berikut:
1. Memelihara sanad hadits
Dalam rangka memelihara sunnah siapa
saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai dengan sanad. Jika tidak
disertai sanad, maka suatu hadits tidak dapat diterima. Muhammad bin Sirin
mengatakan: Para ulama semula tidak bertanya tentang sanad sunnah. Tetapi
setelah terjadi pemalsuan hadits, mereka pun berkata kepada yang
meriwayatkannya: Sebutkan kepada kami para perawinya. Maka jika mereka memang
ahli sunnah diambil haditsnya dan jika dilihat ahli bid’ah tidak diambil
haditsnya.’’
Abdullah bin Al-Mubarrak berkata:
مِثْلُ
الَّذِي يَطْلُبُ دِيْنَهُ بِلاَ إِسْنَادٍكَمِثْلِ الَّذِي يَرْ تَقى السَّطْحَ
بِلَا سُلَّمٍ
Perumpamaan
orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik loteng tanpa
tangga[11]
Keharusan sanad dalam menerima hadits
bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu
mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa
tabi’in, hingga merupakan suatu kwajiban bagi ahli hadits menerngkan sanad
hadits yang ia riwayatkan.
2.
Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka
telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadits yang mereka dengar atau yang
mereka terima dari sesamanya. Jika hadits yang mereka terima itu meragukan atau
datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadits,
segera mereka mengadakan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk
mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam
kejadin hadits. Mereka saling mengingatkan dan bermudzakarah bersama sahabat
lain agar tidak melupakan hadits dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
Hasil penelitian mereka dibukukan di
berbagai buku hadits atau ilmu hadits yang besar-besar dan berjilid-jilid dari
masa ke masa seperti Buku Induk Hadits enam atau tujuh. Imam Asy-Syafi’i
menulis Ar-Risalah dan Al-Umm yang memuat Ulumul Hadits, demikian
juga Imam Muslim dalam muqaddimah dan akhiran kitabnya, At-Tirmidzi dalam akhir
kitab Jami’-nya, dan Al-Bukhari yang menulis kitab Tarikh Al-Kabir,
Al-Awsath dan Ash-Shaghir. Muhammad bin Sa’ad Al-Waqidi (w.230 H)
yang menulis Ath-Thabaqat, Abu Hatim (w. 354 H) menulis Ats-Tsiqat,
At-Thabaqat, Adh-Dhu’afa, Al-‘Illal, dan lain-lain.[12]
3.
Mengisolir para pendusta hadits
Para ulama berhati-hati dalam menerima
dan meriwayatkan hadits. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadits
dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan dari padanya. Semua ahli ilmu juga
menyampaikan hadits-hadits mawdhu’ dan pembuatannya itu kepada murid-muridnya,
agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadits dari padanya.
Di antara para ulama yang terkenal
menentang para pembuat mawdhu’ adalah Amir Asy-Sya’bi (w.103 H), Syu’ban bin
Al-Hajjaj (w.160 H), Sufyan Ats-Tsauri (w.161 H), Abdullah bin Al-Mubarak (w.
181 H), Abdurrahman bin Al-Mahdi (w. 198 H), dan lain-lain.
4.
Menerangkan keadaan para perawi
Dalam membasmi hadits mwdhu’ para ahli
hadits berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga wafat
ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadits, dari yang jujur, adil, dan
andal jaya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadits shahih
dan mana yang tidak shahih. Mana hadits yang sesungguhnya dan yang dipalsukan.
Hasil karya penelitian mereka dihimbau dalam Rijal Al-Hadits dan Al-Jarh wa
At-Ta’dil sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi ke generasi berikutnya.
5. Memberi kaidah-kaidah hadits
Para ulama meletakkan dasar-dasar
atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian hadits untuk
menganalisa otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan,
dhaif, dan mawdhu’. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penilaian suatu
hadits apakah suatu hadits memenuhi kriteria sebagai hadits yang diterima atau
tertolak.[13]
G.
Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Mawdhu’
1.
Para pendusta dalam hadits
Di
antara para pendusta hadits yang diketahui setelah penelitian yang dilakukan oleh
para ulama, adalah sebagai berikut:
a.
Aban bin Ja’far Al-Numaiqi membuat 300 buah hadits yang disandarkan kepada Abu
Hanifah.
b.
Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadits disandarkan dari Malik.
c.
Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, juga membuat beribu-ribu hadits kepentingan
kelompok Al-Karramiyah.
d.
Jabir bin Zaid Al-Jua’fi, membuat 30.000 buah hadits.
e.
Nuh bin Abu Maryam membuat hadits mawdhu’ tentang fadhail surah-surah
dalam Al-Qur’an.
f.
Muhammad bin Syuja’ Al-Wasithi, Al-Harits bin Abdullah Al-A’war, Muqatil bin
Sulaiman, Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu Yahya.
2.
Kitab-kitab tafsir
Kitab-kitab
tafsir yang terdapat banyak hadits mawdhu’ antara lain: Ats-Tsa’labi,
Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi, dan Asy-Syaukani.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi hadits mawdhu’ adalah hadits bohong
atau hadits palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh
seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukkannya
bagian dari hadits dha’if karena ia bukan hadits dalam arti yang sebenarnya dan
ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadits tetapi palsu dan
bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Majid Khon Abdul, Ulumul Hadits, Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2008
Sahrani Sohari, Ulumul Hadits, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2015
Sulaiman Noor, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung
persada press, 2008
[1]
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung
persada press, 2008), 182
[2]
Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadits, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), 199
[3] Ibid,200
[4] Ibid,201
[5]
Ibid,207
[6] Ibid,208
[7] Ibid,208
[8]
Sohari Sahrani, Ulumul
Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), 167
[10] Ibid, 168
[11] Abdul Majid Khon,213
[12] Ibid,214
[13]
Ibid,215
No comments:
Post a Comment