Blog Archive

Wednesday, October 19, 2016

IAT3 PE-RIWAYAT-AN HADITS Ronny Giat Brahmanto (933304014)



MAKALAH
PE-RIWAYAT-AN HADITS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADITS 3
Dosen Pengampu:
Ibu Qoidatul Marhumah, M.Th.I


Disusun oleh :
Ronny Giat Brahmanto (933304014)



PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016



BAB I
Pendahuluan

Latar Belakang
Hadist mempunyai nilai yang sangat vital sebagai pedoman kedua Islam setelah Al-Qur’an meskipun kedudukannya sampai detik ini masih saja menuai kontroversi di beberapa kalangan tertentu akibat perkara keotentikan; entah dari segi substansi atau transformasi periwayatannya. Dan yang seperti itu wajar adanya mengingat  kodifikasi hadist yang  terlaksana di era abad ke-3 Hijriah bukan di umurnya yang dini berbeda dengan Kitab yang berisi kandungan Kallam Ilahi.
Berangkat dari sini, timbul adanya sikap selektif kembali dalam mengukur  kelayakan personal Sahabat Nabi SAW yang tak lain adalah para perawi hadist itu sendiri. Dan kondisi tersebut semakin ‘memanas’ dan ketat pada masa umat Islam mulai terpecah belah akibat pertempuran Shiffin antara Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah RA.  Keselektifan dalam segi substansi pun digalakkan juga melihat adanya ketersengajaan dalam memanipulasi substansi hadist untuk dijadikan alat penyokong aliran tertentu. Dan penulis turut beransumsi bahwa fenomena perseteruan shiffin menyebabkan kepada terbaginya esensi ilmu hadist sendiri. Yakni, sebagai permisalan hadist Sunni dan hadist Syiah;Yang mana terdapat perbedaan di antara keduanya dalam segi metode ataupun epistimologinya meskipun bersifat sebagian bukan secara keseluruhan,karena secara tidak langsung akidah juga mempunyai andil dalam mempengaruhi adanya perbedaan tersebut.
Namun kita juga tak bisa memungkiri bahwa ketika hadits berdialektika dengan ruang dan waktu pada saat itu telah menorehkan problem baru dalam meriwayatkan teks-teks hadits. Hal itu terbukti dengan kerasnya respon umat Islam perdana dengan diberlakukannya verifikasi yang ketat terhadap teks-teks hadits dan klasifikasi periwayat hadist sebagai mana kesaksian Ibnu Sirin bahwa, “mereka, orang Islam generasi awal, tidak pernah menanyakan mata rantai hadits, akan tetapi setelah terjadinya fitnah dikalangan umat Islam mereka meminta agar menyebutkan nama orang yang menyampaikan hadits tersebut. Mereka melihat kepada ahli sunnah dan haditsnya diterima, mereka melihat kepada ahli bid’ah dan haditsnya ditolak”.[1]
Dari pemikiran semodel ini, penulis akan menguraikan, memaparkan dan menulis dalam sebentuk makalah [sederhana] terkait tema periwayatan hadits. Tulisan ini hadir guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits 3.



Bab II
Pembahasan

A.     Perngertian Periwayatan Hadits
Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhari dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[2]

Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apbila menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadits-hadits yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.[3]

Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”.[4]

Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis, di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:

Pertama, orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).Kedua, apa yang diriwayatkan (al-marwiy). Ketiga, susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad). Keempat, kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.Kelima, kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Adapun metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:[5]
  1. Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
  2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca  hadits  (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
  3. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
  4. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
  5. Al-Mukatabah  yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.
  6. I’lam al-Syaikh  yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.
  7. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.
  8. Al-Wijada  yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga  dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.
B.      Bentuk Periwayatan Hadits
Pertama, Periwayatan dengan lafadz (riwâyat bil lafdzi)
Meriwayatkan hadis dengan lafadz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad Saw. Yaitu,meriwayatkan hadits dengan lafadz yang masih asli dari Nabi Muhammad Saw. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad Saw.bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafdzi bukan maknawi.

Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat Nabi adalah orang yang sangat berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadits. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad Saw.

Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad Saw.

Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:

من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannyaseperti  yang ia dengar, maka ia telah selamat

Periwayatan dengan lafadz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
1.            سمعت (Saya mendengar)
Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 (رواه مسلم وغيره)

Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

2. حدّثنى ( ia menceritakan kepadaku)
Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُاَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”

3.أخبرنى(Ia memberitakan kepadaku)
4.  رأيت(Saya melihat)
Contoh:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafadz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.

Kedua, Periwayatan dengan ma’na (riwâyat bil ma’na)
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.

Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafadz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna. Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafadz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu.

Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna.

Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32  H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam.

Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor berikut:

a.       Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafadz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

b.      Adanya larangan Nabi Saw. untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis

c.       Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:

جَائَتْ اِمْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَالَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقاَلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهَا وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْآنِ فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ وفىرواية, مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ (الحديث)

C.      Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.(Al-Hadis)

Syarat–syarat  Periwayatan  Secara Makna
Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.

Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.

2.      Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafadz atau harfiah.

3.      Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.

4.      Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قالatau او نحو هداatau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.

5.      Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafadz.

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah;

Pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafadz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafadz-lafadz tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.

Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.


C.Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh Wa Bi Al Ma’na.
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatulhadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.

Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.

Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Haditsulumuhu wa Mustalahuhu menegaskan bahwa periwayatan hadis adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu;

(1). orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal denganar-rawiy (periwayat), seperti Bukhari, Muslim.

(2). apa yang diriwayatkan (al-marwiy), keseluruhan hadis yang     diriwayatkan
(3). susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad), sejak mulai dari periwayat pertama yang menerima langsung dari nabi hingga periwayatterakhir.
(4). kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
(5). kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).

D.Sebab-SebabKe-ber-variasi-an Riwayat
Sebab-sebab kebervariasian riwayat adalah sebagai berikut, di antaranya:
1. Berbilang/bermacam-macamnya kejadian
Berbeda-bedanya redaksi dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam sebuah hadits apabila maknanya satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi SAW bahwa apabila beliau berbicara beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing orang (Sahabat) yang mendengar hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang dia dengar. Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak melemahkan hadits, apabila maknanya satu.

2. Riwayat dengan makna bukan dengan lafadzhnya
Dan hal ini adalah sebab yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits. Karena sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah menyampaikan kandungan dan isinya, adapun lafadzh atau redaksinya tidak ta’abudi (membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan membacanya), sebagaimana al-Qur’an yang ta’abudi.

Contohnya adalah hadits:
Riwayat Imam Muslim

حدثني أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز عن أبيعمران عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق

“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amit, meriwayatkan kepada Abu ‘Imran lalu meriwayatkan kepada Abu ‘Amir al-Khazzaz. Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim.

Jalur riwayat Imam Ahmad

حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه

حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
Jalur Riwayat al-Tirmidhi

حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح

Perbedaan lafadzh/redaksi ini sebabnya adalah meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi hadits ini satu, yaitu: Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah dari ‘Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini adalah bahwa makna yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka kerusakan apa yang timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?

supaya para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil hadits) telah menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang paham dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat selainnya dari kalangan perawi yang tsiqah (terpercaya). Maka jelaslah bagi mereka kesalahan dalam menukilnya, seandainya ada.

3. Meringkas hadits
ada seorang perawi yang hafal hadits secara sempurna, akan tetapi dia mencukupkan dengan menyebutkan sepotong dari hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan menyebutkannya secara lengkap pada kesempatan yang lain. Contohnya adalah riwayat hadits Abu Hurairah ra tentang kisah lupanya Nabi SAWdua raka’at dalam shalat Dzuhur, dan semuanya (riwayat-riwayat itu) datang dari Abu Hurairah, dan itu adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan riwayat-riwayat itu, sebabnya adalah sebagian perawi yang meringkas hadits.

4. Kesalahan
Seorang perawi kadang salah, lalu dia meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lain. Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini adalah dengan saling membandingkan di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh kalangan Ulama di dalam kitab-kitab Sunan dan kitab Takhrij.

Ibnu Taimiyah  berkata dalam kitab al-Jawab ash-Shahih (3/39):”Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ  (الحجر/9 )
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang menjaganya.(QS. Al-Hijr: 9)

Maka apa saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan hadits, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat ini orang yang akan menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan kekeliruan pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok orang yang berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena mereka adalah ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak ada kitab lagi setelah kitab Nabi mereka. Dan adalah umat-umat sebelum mereka, apabila mereka mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah SWT akan mengutus Nabi-Nya yang menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka. Dan tidak ada setelah Muhammad SAW Nabi lagi.Allah SWT telah menjamin bahwa Dia akan menjaga apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Qur’an dan Hadits). selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Dan Sunnah -sesuai dengan bentuk yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari Allah- menjelaskan (memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka di dalam al-Qur’an, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka butuhkan dalan Agama mereka. Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam al-Qur’an, maka kita katakan bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah kekhususan Nubuwah, dan ini adalah salah satu tugas dari Nabi SAW. Maka manusia senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa yang terkandung dalam kitab-kitab Hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan berupa perbedaan sebagian lafadzh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat mereka (kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing dalam menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya.



Bab III
Penutup

Kesimpulan
periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.

Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”.

Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan susuna matan hadist,serta periwayatan secara makna harus secara lafadz.


Saran
Diakhir tulisan ini kami selaku penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:

1.  Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.

2.  Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan sistem epistemologis yang selalu berkembang selaras kualitas pemikiran umat manusia. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual kita semua.

3.  Semoga hasil usaha kami menyusun makalah ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada kami selaku penulis atau penyusun makalah ini sendiri. Amîn yâ  Rabbal Alamîn.



Daftar Pustaka

Nawawi, Imam,Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, Kairo, cet. I, tt)

Ismail,H. M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Hadis (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995)

G. H. A . Juynboll, Kontroversi  Hadis di Mesir (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999)

Thahan, Mahmud, Taisir Musthalah al hadits, (Singapuira-Jeddah-Indonesia: Al Haramain, tt)




[1] Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, Kairo, cet. I, tt) h. 84
[2]Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 23.
[3]G. H. A . Juynboll, Kontroversi  Hadis di Mesir (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999), h. 167.
[4]Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Ibid, h. 23
[5]Dr. Mahmud Thahan, taisir Musthalah al hadits, (Singapuira-Jeddah-Indonesia: Al Haramain, tt) h. 155-165

No comments:

Post a Comment