MAKALAH
PE-RIWAYAT-AN HADITS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADITS 3
Dosen Pengampu:
Ibu Qoidatul Marhumah, M.Th.I
Disusun oleh :
Ronny Giat Brahmanto (933304014)
PROGRAM STUDI ILMU
AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN DAN
ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Hadist mempunyai nilai
yang sangat vital sebagai pedoman kedua Islam setelah Al-Qur’an meskipun
kedudukannya sampai detik ini masih saja menuai kontroversi di beberapa
kalangan tertentu akibat perkara keotentikan; entah dari segi substansi atau
transformasi periwayatannya. Dan yang seperti itu wajar adanya mengingat kodifikasi hadist yang terlaksana di era abad ke-3 Hijriah bukan di
umurnya yang dini berbeda dengan Kitab yang berisi kandungan Kallam Ilahi.
Berangkat dari sini,
timbul adanya sikap selektif kembali dalam mengukur kelayakan personal Sahabat Nabi SAW yang tak
lain adalah para perawi hadist itu sendiri. Dan kondisi tersebut semakin ‘memanas’
dan ketat pada masa umat Islam mulai terpecah belah akibat pertempuran Shiffin
antara Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah RA. Keselektifan dalam segi substansi pun
digalakkan juga melihat adanya ketersengajaan dalam memanipulasi substansi
hadist untuk dijadikan alat penyokong aliran tertentu. Dan penulis turut
beransumsi bahwa fenomena perseteruan shiffin menyebabkan kepada terbaginya
esensi ilmu hadist sendiri. Yakni, sebagai permisalan hadist Sunni dan hadist
Syiah;Yang mana terdapat perbedaan di antara keduanya dalam segi metode ataupun
epistimologinya meskipun bersifat sebagian bukan secara keseluruhan,karena
secara tidak langsung akidah juga mempunyai andil dalam mempengaruhi adanya
perbedaan tersebut.
Namun kita juga tak
bisa memungkiri bahwa ketika hadits berdialektika dengan ruang dan waktu pada
saat itu telah menorehkan problem baru dalam meriwayatkan teks-teks hadits. Hal
itu terbukti dengan kerasnya respon umat Islam perdana dengan diberlakukannya
verifikasi yang ketat terhadap teks-teks hadits dan klasifikasi periwayat
hadist sebagai mana kesaksian Ibnu Sirin bahwa, “mereka, orang Islam generasi
awal, tidak pernah menanyakan mata rantai hadits, akan tetapi setelah
terjadinya fitnah dikalangan umat Islam mereka meminta agar menyebutkan nama
orang yang menyampaikan hadits tersebut. Mereka melihat kepada ahli sunnah dan
haditsnya diterima, mereka melihat kepada ahli bid’ah dan haditsnya ditolak”.[1]
Dari pemikiran semodel
ini, penulis akan menguraikan, memaparkan dan menulis dalam sebentuk makalah [sederhana]
terkait tema periwayatan hadits. Tulisan ini hadir guna memenuhi tugas mata
kuliah Ulumul Hadits 3.
Bab II
Pembahasan
A.
Perngertian Periwayatan Hadits
Hadist Nabi yang terhimpun
dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhari dan shahih
Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat
al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat
diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang
diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[2]
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat
atau periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apbila
menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-katanya sendiri, sehingga
tereproduksilah hadits-hadits yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri
mengenai hadis-hadis tersebut.[3]
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat,
tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat
disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang
tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi
ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya,
maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis”.[4]
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan
hadist namun mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan
hadits adalah proses penerimaan (naql dan
tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami,
dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth),
ditulis, di-tadwin (tahrir), dan
disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayat tersebut.
Dari
definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam
periwayatan hadis Nabi, yaitu:
Pertama, orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal
dengan ar-rawiy (periwayat).Kedua, apa yang diriwayatkan (al-marwiy). Ketiga, susunan rangkaian pera
periwayat (sanad/isnad). Keempat, kalimat yang disebutkan
sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.Kelima, kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan
penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Adapun
metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai secara umum
oleh ulama berbagai generasi adalah:[5]
- Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
- Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
- Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
- Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
- Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.
- I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.
- Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.
- Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.
B.
Bentuk
Periwayatan Hadits
Pertama, Periwayatan dengan lafadz (riwâyat bil lafdzi)
Meriwayatkan hadis dengan lafadz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafadz
yang mereka terima dari Nabi Muahmmad Saw. Yaitu,meriwayatkan hadits dengan lafadz yang masih asli dari Nabi Muhammad Saw. Kebanyakan sahabat menempuh
periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad Saw.bukan menurut redaksi mereka.
Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafdzi bukan maknawi.
Tercatat dalam sejarah, bahwa
para sahabat Nabi adalah orang yang sangat berhati-hati dan ketat dalam
periwayatan hadits. Mereka tidak mau meriwayatkan
sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan
disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad Saw.
Sebagian sahabat ada yang jika
ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika sahabat lain yang
menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan periwayatan. Menurut
mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan redaksi yang
diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah melakukan
pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong
oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam hal ini Umar bin Khatab
pernah berkata:
من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannyaseperti yang ia dengar, maka ia telah selamat”
Periwayatan dengan lafadz ini
dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
1.
سمعت (Saya mendengar)
Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً
عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
(رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain.
Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati
tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
2. حدّثنى ( ia menceritakan kepadaku)
Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُاَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin
Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang
telah lalu.”
3.أخبرنى(Ia
memberitakan kepadaku)
4. رأيت(Saya
melihat)
Contoh:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى
الأسود” ويقول إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ
وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’
ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu
ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu
yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku
tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadis yang menggunakan lafadz-lafadz
di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi
SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan
hadis dengan lafadz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.
Kedua, Periwayatan dengan ma’na (riwâyat bil ma’na)
Meriwayatkan hadis dengan makna
adalah meriwayatkan hadis berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan
redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa
yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan
oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini
dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula
yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih
ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya
lagi.
Periwayatan hadis dengan makna
tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafadz tapi ingat akan makna,
maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna. Sedangkan periwayatan hadis
dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah proses penyampaian hadis-hadis
Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafadz
karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu.
Menukil atau meriwayatkan hadis
secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi.
Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab
tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan
yang lain meskipun maknanya tetap.Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan
dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan
dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab,
maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafadz
yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis
dengan makna.
Pada umumnya para sahabat Nabi
membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib,
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik
(wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32
H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah
(wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara
makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid
bin Arqam.
Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor berikut:
a.
Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin
diriwayatkan secara lafadz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi
Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis
maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan
menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan Nabi Saw. untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus
menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan
dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
c.
Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada
kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat
susunan kata-katanya.
Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:
جَائَتْ اِمْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَالَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقاَلَ: يَارَسُوْلَ
اللهِ اَنْكِحْنِيْهَا وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ
الْقُرْآنِ فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ مِنَ
الْقُرآنِ وفىرواية, مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ (الحديث)
C.
Artinya: Ada seorang wanita
datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin)
kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,
nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak
memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian
ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku
nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa
mengajarkan ayat Alquran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”
Dan dalam riwayat lain
disebutkan:
“Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.” (Al-Hadis)
Syarat–syarat Periwayatan
Secara Makna
Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar
ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW
tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar
mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan
langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Namun, pendapat yang populer di
kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis
secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.
Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian
periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan
dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara
lafadz atau harfiah.
3. Yang
diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya
ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang
berbentuk jawami al kalim.
4. Periwayat hadis
secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang
diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قالatau او نحو هداatau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan
hadis yang bersangkutan.
5. Kebolehan
periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya
hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan
hadis harus secara lafadz.
Para sahabat lainnya berpendapat
bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan
Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan
maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang
didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.Shubhi Ismail menyebut
empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah;
Pertama, perawi hadis
itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa
Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafadz
dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui
hal-hal yang berbeda di antara lafadz-lafadz tersebut; dan keempat,
perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang
benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu
Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan
di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil
ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.
C.Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh Wa Bi Al Ma’na.
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab
hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai
dengan riwayatulhadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pemintalan)
dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai
puas).Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut
dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis,
menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu.Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia
tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut
sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut
menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika
menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka
orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis.
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib
dalam Ushul Haditsulumuhu wa Mustalahuhu menegaskan bahwa periwayatan
hadis adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik
beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu;
(1). orang yang
melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal denganar-rawiy (periwayat), seperti Bukhari,
Muslim.
(2). apa yang diriwayatkan (al-marwiy),
keseluruhan hadis yang diriwayatkan
(3). susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad),
sejak mulai dari periwayat pertama yang menerima langsung
dari nabi hingga periwayatterakhir.
(4). kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan
matan.
(5). kegiatan yang
berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada
al- Hadis).
D.Sebab-SebabKe-ber-variasi-an
Riwayat
Sebab-sebab
kebervariasian riwayat adalah sebagai berikut, di antaranya:
1. Berbilang/bermacam-macamnya kejadian
Berbeda-bedanya redaksi
dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam sebuah hadits apabila maknanya
satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi SAW bahwa apabila beliau berbicara
beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing orang (Sahabat) yang mendengar
hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang dia dengar.
Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak melemahkan hadits, apabila
maknanya satu.
2. Riwayat dengan makna bukan
dengan lafadzhnya
Dan hal ini
adalah sebab yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits.
Karena sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah
menyampaikan kandungan dan isinya, adapun lafadzh atau redaksinya tidak ta’abudi
(membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan
membacanya), sebagaimana al-Qur’an yang ta’abudi.
Contohnya adalah hadits:
Riwayat Imam
Muslim
حدثني أبو
غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز عن أبيعمران عن
عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا
تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah
menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan kepada kami
Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amit, meriwayatkan kepada Abu
‘Imran lalu meriwayatkan kepada Abu ‘Amir al-Khazzaz. Pada tingkatan
selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad
dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim.
Jalur riwayat Imam Ahmad
حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
Jalur Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح
Perbedaan lafadzh/redaksi ini sebabnya adalah
meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi hadits ini satu,
yaitu: Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah dari
‘Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini adalah bahwa makna
yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka kerusakan apa yang
timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?
supaya para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil
hadits) telah menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka
tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang
paham dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat
selainnya dari kalangan perawi yang tsiqah
(terpercaya). Maka jelaslah bagi mereka kesalahan dalam menukilnya, seandainya ada.
3. Meringkas hadits
ada seorang
perawi yang hafal hadits secara sempurna, akan tetapi dia mencukupkan dengan
menyebutkan sepotong dari hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan
menyebutkannya secara lengkap pada kesempatan yang lain. Contohnya adalah
riwayat hadits Abu Hurairah ra tentang
kisah lupanya Nabi SAWdua
raka’at dalam shalat Dzuhur, dan semuanya (riwayat-riwayat itu) datang dari Abu
Hurairah, dan itu adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan
riwayat-riwayat itu, sebabnya adalah sebagian perawi yang meringkas hadits.
4. Kesalahan
Seorang perawi
kadang salah, lalu dia meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang
diriwayatkan oleh perawi lain. Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini
adalah dengan saling membandingkan di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan
itulah yang dilakukan oleh kalangan Ulama di dalam kitab-kitab Sunan dan kitab Takhrij.
Ibnu
Taimiyah berkata dalam kitab ”al-Jawab ash-Shahih”
(3/39):”Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk
mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر/9 )
Artinya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang
menjaganya.(QS. Al-Hijr: 9)
Maka apa saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan
hadits, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat
ini orang yang akan menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan
kekeliruan pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena umat ini tidak akan
bersepakat di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok
orang yang berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena
mereka adalah ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak
ada kitab lagi setelah kitab Nabi mereka. Dan adalah umat-umat sebelum mereka,
apabila mereka mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah SWT akan mengutus
Nabi-Nya yang menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka.
Dan tidak ada setelah Muhammad SAW Nabi lagi.Allah SWT telah menjamin bahwa Dia
akan menjaga apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Qur’an dan Hadits). selesai
perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dan Sunnah
-sesuai dengan bentuk yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari
Allah- menjelaskan (memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka di dalam al-Qur’an, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka
butuhkan dalan Agama mereka. Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam
al-Qur’an, maka kita katakan bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah
kekhususan Nubuwah, dan ini adalah
salah satu tugas dari Nabi SAW.
Maka manusia senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa
yang terkandung dalam kitab-kitab Hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan
berupa perbedaan sebagian lafadzh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat
mereka (kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing
dalam menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai
dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya.
Bab
III
Penutup
Kesimpulan
periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat ,
tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat
disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang
tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi
ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya,
maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang
dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan kandungan atau
redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist adalah mereka
yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna
boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan
akan susuna matan hadist,serta periwayatan secara makna harus secara lafadz.
Saran
Diakhir tulisan ini kami
selaku penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1. Dalam memahami Islam
hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang
segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab
berbagai tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya setiap
orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan sistem epistemologis yang selalu berkembang selaras kualitas
pemikiran umat manusia. Karena hal itu akan menambah
kekayaan khasanah intelektual kita semua.
3. Semoga hasil usaha
kami menyusun makalah ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada
kami selaku penulis atau penyusun makalah ini sendiri. Amîn yâ Rabbal Alamîn.
Daftar Pustaka
Nawawi, Imam,Shahih Muslim bi Syarhi
al-Nawawi, (al-Mathba’ah
al-Mishriyyah bi al-Azhar, Kairo, cet. I, tt)
Ismail,H. M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Hadis (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1995)
G. H. A . Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (Bandung: Mizan Anggota
IKAPI, 1999)
Thahan, Mahmud, Taisir Musthalah al hadits, (Singapuira-Jeddah-Indonesia:
Al Haramain, tt)
[1] Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi
al-Nawawi, (al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, Kairo, cet. I, tt) h.
84
[3]G. H. A .
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 1999), h. 167.
[5]Dr. Mahmud Thahan, taisir
Musthalah al hadits, (Singapuira-Jeddah-Indonesia: Al Haramain, tt) h.
155-165
No comments:
Post a Comment