Hadits
Mutawatir dan Hadits Ahad
Makalah
ini Disusun Guna untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Hadits 3
Dosen
Pengampu: Qoidatul Marhumah, M. Th. I
Disusun
oleh :
Amalia
Evi Kumala (933803815)
Program Studi Ilmu Al-qur’an dan Tafsir
Jurusan Ushuludin dan Ilmu Sosial
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat serta Taufik dan Hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad” ini
dengan baik, dan saya menyadari masih
banyak kekurangan didalam penulisan makalah ini. Saya ucapkan Terima Kasih kepada
Ibu Qoidatul Marhumah, M. Th.I Selaku Dosen mata kuliah Ulumul Hadits 3 yang telah memberikan tugas kepada kami.
Saya
berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Apabila terdapat kesalahan ataupun ada kekurangan dalam penulisan kata-kata yang kurang berkenan
dan terdapat pula penjelasan yang masih belum bisa dijabarkan dengan sempurna,
dari lubuk hati yang terdalam kami Mohon Maaf atas kesalahan penulisan tersebut
. karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah Milik-Nya. Maka dari itu kami
berharap adanya Kritik dan Saran demi untuk memperbaiki makalah yang akan kami
buat selanjutnya. Terima Kasih .
Kediri, 05 Okt. 16
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Para ulama berbeda pendapat tentang
pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi
sumber berkaitan. Diatara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian,
yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang
membaginya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.
Ulama golongan pertama, yang
menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari
hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah
Abu Bakar Al- Jasashah (305- 307 H). Adapun ulama golongan kedua, diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis masyhur
bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari ahad.
Itulah sebabnya mereka membagi hadis dari segi kuantitasnya menjadi dua
bagian yaitu, mutawatir dan ahad.[1]
Bahkan sebagian ulama ada yang
membaginya mutawatir bagian dari masyhur seperti Ibnu Ash- Shalah
(w. 643 H). Sebagian mereka juga ada yang mengartikan masyhur secara
bahasa yang diartkan pembagian yang masyhur (tenar) dikalangan ulama ushul dan
fikih.
Perbedaan pembagian di atas tidak
menjadi persoalan yang prinsip karena intinya sebenarnya sama saja. Bagi yang
menghitung dua macam, Hadis masyhur dimasukkan ke dalam pembagian hadis ahad,
sedangkan yang membagi tiga macam, hadis masyhur berdiri sendiri. [2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Hadis Mutawatir ?
2.
Apa
pengertian Hadis Ahad ?
3.
Bagaimana
kehujjahan Hadits Mutawatir dan Ahad ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Mutawatir
1.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Menurut Mahmud al- Thahhan dalam kitabnya Taysir Mushthalah al-
Hadits Arti Kata Mutawatir secara bahasa adalah:
هو اسم فاعل
مشتق من التواتر أي التتابع ،تقول تواتر المطر أي تتابع نزوله
Merupakan
isim fa’il dari kata al- tawatur yang bermakna al- tatabu’
(berturut- berturut), dapat dikatakan turun secara terus- menerus maksudnya
turunya secara berturut- turut.[3]
Dalam hal ini mutawatir mengandung
pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik secara berturut- turut maupun
secara terus- menerus tanpa adanya hal yang menyela yang menghalangi
kontinuitas itu. Pengertian etimologis ini, bila ini dikaitkan dengan hadis
menunjukkan bahwa pada hadits mutawatir itu antara periwayat yang satu
dengan periwayat yang lain pada generasi sebelum maupun sesudahnya terjadi
hubungan yang berturut- turut, runtun sehingga tidak terputus- putus dikarenakan jumlah pada masing- masing
generasi cukup banyak.[4]
Secara istilah, menurut Mahmud al-
Thahhan , definisi hadis Mutawatir adalah:
مَارَوَاهُ عَدَدٌ كَثِيْرٌ
تَحِيْلُ الْعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ.
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan).”[5]
Sementara itu, Nur
Ad- Din ‘Itr mendefinisikan:
الَّذِيْ رَوَاهُ جَمْعٌ
كَثِيْرٌ لاَيُمْكِنُ نَوَاطُئُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ اِلَى
انْتِهَاءِالسَّنَدِ وَكَانَ مُسْتَنَدَهُمْ
الحِسُّ
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadis
yang diriwayatkan itu didasarkan pada pengamatan pancaindra.”
Sedangkan menurut
Muhammad Abu Syuhbah dalam kitabnya al- Wasith fi ‘Ulum wa Musthalah al-
Hadits mendefinisikan hadits mutawatir sebagai berikut:
مَارَوَاهُ جَمْعٌ يَحِيْلُ الْعَقْلُ
وَالْعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ اَوَّلِ
السَّنَدِ اِلَى مُنْتَهَاهُ عَلَى اَنْ لاَيَخْتَلْ هَذَاالْجَمْعُ فِى اَيِّ
طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ السَّنَدِ وَيَكُوْنَ مَرْجِعُهُ اِلَى الْحِسِّ مِنْ
مَشَاهِدِ اَوْ مَسْمُوْعٍ اَوْنَحْوِ ذَلِكَ.
“Hadis
yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan adat kebiasaan
mustahil mereka sepakat berdusta (yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat
dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir dengan
syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya dan sandaran
beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat di indra seperti disaksikan, didengar,
ataupun sebagainya.” [6]
Berdasarkan
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir itu
merupakan hadis shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut
logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat berdusta. Hadis itu
diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad dengan
jumlah tertentu. Sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat diindra
seperti disaksikan, didengar, diraba, dicium, ataupun dirasa.[7]
2.
Syarat-
syarat Hadits Mutawatir
Mahmud al- Thahhan dalam kitabnya Taysir
Mushthalah al- Hadits menyebutkan syarat atau kriteria- kriteria hadits Mutawatir
ada empat yaitu, diriwayatkan sejumlah orang banyak, adanya jumlah banyak
pada seluruh tingkatan sanad, mustahil bersepakat bohong, sandaran berita itu
pada pancaindra. Berikut penjelasanya:
a.
Diriwayatkan
sejumlah orang banyak
Mengenai masalah ini, para ulama ada
beberapa pendapat, ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak
menetapkanya. Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, menurut
adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil
mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah
tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.[8]
Al- Qadhi al- Baqilani menetapkan
bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang- kurangnya 5 orang,
alasanya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar ulul ‘azmi sejumlah 5
orang.[9]
Ulama lain berpendapat 5, 7, 10, 12, 40, 70, dan bahkan ada yang berpendapat
300 orang lebih. Mengutip pendapat sebagian ulama, al- Syuyuthi menyatakan
pendapat yang terpilih adalah sepuluh orang karena merupakan batas minimal
banyak bilangan, jumlah sepuluh ini juga dinyatakan oleh Mahmud al- Thahhan.
Menurut Hajar al- Asqalani, tidak disyaratkan bilangan dengan jumlah tertentu.
Karena ‘banyak’ itu adalah jumlah yang menghasilkan keyakinan pasti terhadap
kebenaran sebuah berita.[10]
b.
Adanya
jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang pada setiap
tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah
banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir,
tetapi dinamakan hadits ahad. Persamaan jumlah para perawi tidak
berarti harus sama jumlah angka nominalnya, mungkin saja jumlah nominalnya
berbeda, namun nilai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal
tingkatan sanad 10 orang, tingkatan sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40
orang, 100 orang dan seterusnya. Jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama
banyak dan tergolomg mutawatir.[11]
c.
Mustahil
bersepakat bohong
Misalnya para perawi dalam sanad itu
datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang
berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil
terjadi adanya kesepakatan berbohong secara ‘Urf (tradisi) .[12]
d.
Sandaran
berita itu pada pancaindra
Yakni warta yang mereka sampaikan
itu harus benar- benar hasil pendengaran atau penlihatan sendiri. Kalau
pewartaan itu hasil pemikiran semata- mata atau hasil rangkuman dari satu
peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istinbath dari satu dalil dengan
dalil yang lain, bukan berita mutawatir.[13]
3.
Pembagian
Hadits Mutawatir
Terdapat perbedaan pendapat mengenai
pembagian hadits mutawatir, Menurut Mahmud al- Thahhan dalam kitabnya Taysir
Mushthalah al- Hadits membagi hadits mutawatir menjadi dua yaitu,
Hadits mutawatir lafdzi, hadits mutawatir ma’nawi.[14]
Sedangkan sebagian ulama lainya membaginya menjadi tiga, yakni hadits mutawatir
lafdzi, hadits mutawatir ma’nawi, dan mutawatir amali.[15]
a.
Hadits
Mutawatir lafdzi
Hadits mutawatir lafdzi adalah
hadits yang mutawatir baik lafalnya maupun maknanya (هُوَمَاتَوَاتَرَ
لَفْظُهُ وَمَعْنَاهُ).[16]Menurut
al- Shabbagh, hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan
oleh banyak periwayat sejak awal sampai akhir sanadnya dengan memakai redaksi
yang sama. Muhammad ‘Ajaj al- Khathib mendefinisikan hadits mutawatir lafdzi
sebagai berikut:
مَارَوَاهُ بِلَفْظِهِ
جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ لاَيَتَوَهَّمُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ مِنْ اَوَّلِهِ
وَمُنْتَهَاهُ
“Hadits yang diriwayatkan secara
lafad dari banyak orang yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta dari awal
sampai akhir.”
Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ
مُتَعَّمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barang siapa
berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dineraka”
Menurut
Al- Imam Abu Bakar A- Sairi Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ oleh
enam puluh sahabat. Sebagai ahli haffaz mengatakan hadits ini
diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang dijamin
masuk surga. Menurut sebagian ulama lain menyatakan hadits ini diriwayatkan
oleh dua ratus sahabat. Ibrahim Al- Harabi dan Abu Bakar Al- Bazari mengatakan,
hadits ini diriwayatkan oleh seratus orang.
b.
Hadits mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah
hadits yang mutawatir maknanya saja bukan lafalnya (هُوَمَاتَوَاتَرَ َمَعْنَاهُ دُوْنَ لَفْظُهُ).[17] Hadits mutawatir kategori
ini disepakati penukilanya secara makna tetapi redaksinya berbeda – beda.
Muhammad ‘Ajaj al- Khathib mendefinisikan hadits mutawatir ma’nawi sebagai
berikut:
مَااِتَّفَقَ
نَقْلَتُهُ عَلَى مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ مُطَابِقَةٍ فِى اللَّفْظِ.
“Hadits yang periwayatanya
disepakati maknanya, akan tetapi lafalnya tidak.”[18]
Contoh hadits mutawatir ma’nnawi adalah
hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhamad s.a.w. mengangkat tanganya ketika
berdo’a:
قَالَ اَبُو مُوْسَ
الْأَشْعَرِ يُّ دَعَاالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ
يَدَيْهِ وَرَاَيْتُ بَيَاضَ اِبْطِيْهِ
(رواه البخارى).
“Abu Musa al- Asy’ari berkata, Nabi Muhammad s.a.w. berdo’a,
kemudian dia mengangkat kedua tanganya dan aku melihat putih- putih kedua
ketiaknya.”
Hadits semacam ini berjumlah sekitar
seratus hadits dengan redaksi yang berbeda- beda, namun mempunyai titik
persamaan, yakni keadaan Nabi mengangkat kedua tanganya ketika berdo’a.[19]
c.
Hadits
mutawatir amali
Hadits mutawatir ‘amali adalah
Perbuatan dan pengalaman syari’ah islamiyah yang dilakukan Nabi s.a.w. secara
praktis dan terbuka, kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat.[20]Sebagian
ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
مَاعِلْمَ
مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتُرَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ اَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَلَهُ اَوْاَمَرَبِهِ اَوْغَيْرَ ذَلِكَ وَهُوَالَّذِى يَنْطَبِقُ
عَلَيْهِ تَعْرِيْفُ الاِجْمَاعِ انْطِبَاقَا صَحِيْحًا
“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawatir antara umat islam bahwa Nabi Muhammad s.a.w
mengerjakannya, menaruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan
ta’rif ijmak.”
jenis hadits mutawatir amali ini
banyak jumlahnya, misalnya hadits yang menerangkan waktu shalat, rakaat shalat,
shalat jenazah, tata cara shalat, cara pelaksanaan haji dan lain- lain.[21]Semua
itu terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabatdan kemudian diriwayatkan secara
terbuka oleh sejumlah besar kaum muslimin dari masa ke masa.[22]
B.
Kehujjahan Hadits Mutawatir
Pengetahuan yang disampaikan pada
hadits mutawatir , menurut Muhammad al- Shabbagh, harus bersifat dharuri
yang diperoleh dari pengamatan pancaindra. Hal ini dimaksudkan agar berita
yang disampaikan didasarkan pada ilmu yang pasti bukan berdasarkan prasangka dan
bersifat apologis dan apriori. Dengan harapan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn
Hajar al- ‘Asqalani, berita yang disampaikan oleh para periwayat hadis itu
dapat melahirkan keyakinan pada diri orang- orang yang mendengarnya tentang
kebenaran isi berita tersebut.[23]
Mahmud al- Thahhan menyatakan bahwa
hadits mutawatir bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan
yang mengharuskan manusia mempercayai dan membenarkannya secara pasti seperti
orang yang menyaksikan sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun.
Dengan demikian, seluruh hadits mutawatir dapat diterima (maqbul)
untuk dijadikan hujjah tanpa harus mengkaji para periwayatnya. [24]
C.
Hadits Ahad
1.
Pengertian
Hadits Ahad
Kata ahad (اَحَادُ) jamak dari ahad (اَحَدٌ) yang berarti satu (وَاحِدٌ).
Hadits Ahad, secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan
oleh satu orang saja. Adapun menurut terminologi ulama hadits, hadits Ahad adalah:
هُوَ
مَالَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ شُرُوْطُ الْمُتَوَاتِرِ
“Hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat - syarat hadits
mutawatir”[25]
Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-
Buthi, hadits ahad adalah hadits yang sanadnya shahih dan bersambung
hingga kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandunganya memberikan pengertian
dzanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
Dua definisi diatas menunjukkan dua
hal yaitu: (1) dari segi kuantitas periwayatnya, hadits ahad berada
dibawah hadits mutawatir. (2) dari segi isinya hadits ahad berstatus
dzanni bukan qath’i. Kedua hal inilah yang membedakan hadits ahad
dan hadits mutawatir.[26]
Perawi hadits ahad tidak
mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat
bohong sebagaimana dalam hadits mutawatir ,ia hanya diriwayatkan satu,
dua, tiga, empat, dan atau lima yang tidak mencapai mutawatir. Hadits ahad
memberi faedah ilmu nadzari artinya ilmu yang diperlukan penelitian
dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki
sifat kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadits inilah
yang memerlukan penelitian secara cermat apakan perawinya adil atau tidak, dhabith
atau tidak, sanadnya muttashil (bersambung) atau tidak.[27]
2.
Pembagian
Hadits Ahad
Menurut Mahmud
al- Thahhan, hadits ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya, terbagi
menjadi tiga kategori, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits gharib.[28]
a.
Hadits
masyhur
Secara bahasa,
kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara seperti: شَهَرْتُ
الاَمرَ
(aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti aku mengumumkan suatu hal. Dalam
pengertian bahasa ini, masyhur juga berarti sesuatu yang terkenal , yang
dikenal, atau yang populer dikalangan umat manusia, sehingga hadits masyhur berarti
hadits yang terkenal, ,dikenal, atau hadits yang populer dikalangan umat
manusia. Berdasarkan pengertian ini, dikalangan ulama memang dikenal beberapa
hadits yang masyhur (dalam arti terkenal) meskipun tidak mempunyai sanad
sama sekali yang kemudian disebut dengan hadits masyhur non-istilah (masyhur
ghayr isthilah), berbeda dengan hadits masyhur istilah (masyhur
isthilah) yang mensyaratkan jumlah tertentu untuk tiap tingkatan sanadnya.[29]
Menurut terminologi ulama hadits, hadits masyhur adalah:
مَارَوَاهُ ثَلاَثَةٌ
فَاَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَالتَّوَاتُرِ
“Hadits
yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi
tidak sampai pada peringkat mutawatir.”[30]
Muhammad al-
Shabbagh mendefinisikan hadits masyhur sebagai berikut:
خَبَرُ جَمَاعَةٍ لَمْ
يَبْلُغُوْا فِى الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ جَمَاعَةِ الْمُتَوَاتِرِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak
akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak periwayat pada hadits mutawatir.”
Hadits masyhur
sebagaimana dalam definisi diatas disebut masyhur secara isthilah (masyhur
ishthilahi). Dikalangan ulama hadits dikenal pula hadits masyhur non-
isthilah (masyhur ghayr isthilah) disebut juga hadits yang terkenal
dalam pembicaraan ((مَااِشْتَهَرَ عَلَى الْأَالْسِنَةِ ,yaitu hadits-
hadits yang masyhur (terkenal) dikalangan masyarakat tertentu tanpa harus
memenuhi syarat- syarat hadits masyhur menurut ulama hadits, sehingga
hadits kategori ini ada yang mempunyai satu sanad saja, lebih dari satu sanad,
atau tidak ada sanadnya sama sekali.[31]
Hadits masyhur
ghayr isthilah bermacam- macam. Pertama, hadits yang masyhur dikalangan
ulama hadits. Kedua, hadits yang masyhur dikalangan ahli hadits, para ulama,
dan masyarakat umum. Ketiga, hadits yang masyhur dikalangan ulama fiqh (fuqaha’).
Keempat, hadits yang masyhur dikalangan ulama Ushul Fiqh. Kelima, hadits
yang masyhur dikalangan ulama Bahasa Arab. Keenam, hadits yang masyhur
dikalangan masyarakat umum.[32]
Hadits masyhur
baik yang istilah maupun yang non istilah ada yang shahih, hasan,
dha’if bahkan ada yang maudhu’. Hanya
saja, hadits masyhur istilah yang shahih kualitasnya lebih tinggi dari
hadits ‘aziz atau gharib yang juga shahih. Dari beberapa definisi hadits
masyhur istilah di atas diketahui bahwa para periwayat hadits jenis ini berada
di bawah jumlah periwayatan hadits mutawatir. Meskipun jumlah periwayat
hadits masyhur banyak, tetapi dari jumlah yang banyak itu tidak sampai
menghasilkan ilmu dharuri melainkan ilmu dzanni, sehingga dengan
demikian statusnya sebagian dapat dijadikan hujjah dan sebagian lainya tidak,
tergantung kualitas hadits yang bersangkutan. [33]
b.
Hadits
‘Aziz
Kata ‘aziz
dalam bahasa arab berasal dari kata: ‘azza- ya’izzu yang berarti sedikit atau
jarang, dan kata :’azzu- ya’azzu yang berarti kuat dan sangat. Disebut demikian
karena hadits kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan
adanya sanad yang datang dari jalur lain. Menurut istilah hadits ‘aziz adalah:
اَنْ لاَيَقِلَّ رُوَاتُهُ
عَنِ اثْنَيْنِ فِى جَمِيْعِ طَبَقَاتِ السَّنَدِ.
“hadits
yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat”[34]
Dengan demikian,
suatu hadits yang pada salah satu thabaqah sanadnya diriwayatkan oleh
dua orang periwayat, meskipun pada thabaqah yang lain diriwayatkan oleh
banyak periwayat, maka hadits itu dinamakan hadits ‘aziz. Hanya saja
sebagian ulama seperti Muhammad ‘Ajaj al- Khatib menambahkan bahwa jika pada
salah satu thabaqah sanadnya juga diriwayatkan oleh banyak periwayat,
maka haditsnya disebut ‘aziz masyhur. Berbeda dengan hadits mutawatir,
pada hadits ‘aziz tidak disyaratkan adanya keseimbangan jumlah periwayat
pada tiap- tiap thabaqah-nya. Hal ini karena sulit ditemukan hadits yang
diriwayatkan oleh dua periwayat pada tiap tingkatan sanad dari awal sampai
akhir sanadnya[35].
Contoh hadits ‘aziz
adalah:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ
اَنَّ رَسُوْلَاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ
اَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ
اِلَيْهِ مِنْ وَّلِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ.
“Dari
Abu hurairah r.a bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: tidaklah beriman seseorang
diantara kalian hingga aku lebih dicintainyadaripada ayahnya, anaknya, dan
seluruh manusia.”[36]
Hadits ini
diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abd al- ‘Aziz ibn Syuhayb dari Anas. Syu’bah dan
Sa’id meriwayatkannya dari Qatadah. Isma’il ibn ‘Ulayyah dan ‘Abd Warits
meriwayatkannya dari ‘Abd al- ‘Aziz , dan dari mereka berdua hadits tersebut
diriwayatkan oleh banyak periwayat.[37]yang
akhirnya sampai kepada al- Bukhari dan Muslim.
Hukum hadits ‘aziz
adakalanya shahih, hasan dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi,
apakah memenuhi seluruh kriteria persyaratan hadits shahih atau
tidak.jika memenuhi segala persyaratan berarti berkualitas shahih dan
jika tidak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratannya maka tergolong hadits
hasan atau dha’if.[38]
c.
Hadits
Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri (اَلْمُنْفَرِدُ) atau jauh dari kerabat (اَلْبَعِيْدُ
عَنْ اَقَارِبِهِ). Mahmud al- Thahhan menyatakan bahwa
dikalangan ulama, hadits gharib disebut juga hadits fard karena
keduanya sinonim. Akan tetapi, ada pula ulama yang membedakan antara keduanya.
Definisi hadits gharib menurut Mahmud al- Thahhan adalah:
هُوَ مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ
وَاحِدٌ.
“Hadits
yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat”[39]
Definisi tersebut menunjukkan bahwa hadits gharib diriwayatkan
oleh seorang periwayat baik pada seluruh tingkatan sanad atau pada sebagianya
walaupun hanya pada satu tingkatan saja dan jika pada salah satu tingkatan
sanad lebih dari satu periwayat, hal itu tidak meninkatkan derajatnya.[40]
Mahmud al- Thahhan membagi hadits gharib menjadi dua, yakni gharib
muthlak dan gharib nisbi. Hadits gharib muthlak adalah hadits
yang diriwayatkan secara sendirian pada thabaqah sahabat. Adapun hadits gharib
nisbi adalah hadits yang diriwayatkan secara sendirian ditengah- tengah
sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqah sahabat.[41]
Pembagian hadits gharib nisbi menurut Mahmud al- Thahhan adalah
sebagai berikut:[42]
(1) Seorang periwayat menyendiri dalam meriwayatkan hadits.
(2) Periwayat tertentu secara tersendiri meriwayatkan dari periwayat
tertentu pula.
(3) Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu
(4) Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu dan tidak
dari daerah atau tempat yang lain.
Hadits gharib
ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang maudhu’
tergantung pada kualitas sanad dan matanya. Jika suatu hadits gharib memenuhi
semua syarat hadits shahih, yaitu sanadnya bersammbung, diriwayatkan
oleh periwayat yang tsiqah, dan terlepas dari syadz dan ‘illat,
maka hadits gharib itu shahih.
D.
Kehujjahan Hadits Ahad
jumhur ulama
baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka
dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadits ahad
yang shahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Dasar
argumentasi kewajiban beramal dengan hadits ahad itu adalah kewajiban
syar’i bukan kewajiban akli.
Pendapat senada
dikemukakan pula oleh Muslim ibn Al- Hajjaj bahwa beramal dengan hadits ahad
yang memenuhi persyaratan maqbul hukumnya wajib. Bahkan menurut
sebagian ahli hadits, hadits ahad yang terdapat dalam Shahih
al-Bukhari dan shahih muslim menunjukkan pada ilmu yakin, yang berfaedah
qath’i sebagaimana hadis mutawatir.[43]
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah
hadits dilihat dari segi kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan
kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memeriksa sifat- sifat para perawi
secara individu, atau menunjuk pada kualitas hadits ahad, jika disertai
pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadits yang maqbul. Hadits ahad
masih memerlukan berbagai persyaratan yaitu segi sifat- sifat kepercayaan para
perawi atau sifat- sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat
keadilan dan ke- dhabith- an, ketersambungan saanad dan
ketidakganjilanya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara pasti (qath’i).
Sedangkan kebenaran yang dibawa oleh hadits ahad bersifat relatif (dzanni)
yang wajib diamalkan.
Daftar Pustaka
Al- Thahhan, Mahmud. Taysir Mushthalah al- Hadits.
Idri. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadits. Jakarta: AMZAH. 2008.
Rahman, Fathur. Ikhtisar Mushtalahul Hadits. Bandung: PT
Alma’arif.
1974.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
2015.
Sulaiman, Noor. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada
Press.
2008.
[1] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), 83.
[2] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2008), 130.
[3] Mahmud al-
Thahhan, Taysir Mushthalah al- Hadits, 19.
[4] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), 130.
[5] Mahmud al-
Thahhan, Taysir Mushthalah al- Hadits, 19.
[6] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), 131- 132.
[7] Ibid,.
[8] Sohari Sahrani,
Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015),85.
[9] Noor Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 87.
[10] Idri,
Studi Hadits,. 133.
[11] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2008), 132.
[12] Ibid,.
[13] Fathur Rahman,
Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Alma’arif, 1974),79.
[14] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 20.
[15] Sohari Sahrani,
Ulmul Hadits.,87.
[16] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 20.
[17] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 21.
[18] Idri, Studi
Hadits., 138- 139.
[19] Sohari
sahrani, Ulumul Hadits., 89- 90.
[20] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits., 137.
[21] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits., 90.
[22] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits., 137.
[23] Idri, Studi
Hadits., 139.
[24] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 20.
[25] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 22.
[26] Idri, Studi
Hadits.,141
[27] Abdul Majid
Khon., Ulumul Hadits., 138.
[28] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 22.
[29] Idri, Studi
Hadits., 142.
[30] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 23.
[31] Idri, Studi
Hadits., 143.
[32] Ibid.,
144.
[33] Ibid., 146.
[34] Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 26.
[35] Idri, Studi
Hadits..,148.
[36] Ibid.,
[37] Mahmud
al- Thahhan, Taysir., 27.
[38] Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadits., 143.
[39] Mahmud al-
Thahhan, Taysir.,28.
[40] Idri, Studi
Hadits., 150.
[41]Ibid.,
[42]Mahmud al-
Thahhan, Taysir., 30.
[43] Idri, Studi
Hadits., 153-154.
No comments:
Post a Comment