STUDI
HADIS
TUGAS INI
DISUSUN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
MAKALAH
KODIFIKASI HADITS PADA MASA SAHABAT
KECIL DAN TABI’IN
DOSEN
PENGAMPU:
Qoidatul Marhumah, M.Th.I
DI
SUSUN OLEH:
Dinda Mar’atus
Sholihah 933200716
Devi
Ainun Zuhroh 933201316
Roudlatun
Nasikah 933201516
Amin
Tohari 933201916
Misbahul
Harish Al Hamid 933202616
M
Wahyu Rozaki 933202916
Yeni
Sri Rahayu 933203116
PROGRAM
STUDI ILMU HADIS
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu
saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Kediri,
11 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL..........................................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A.
Latar Belakang...........................................................................................................
B.
Rumusan Masalah .....................................................................................................
C.
Tujuan Penulisan .......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A.
Pengertian Sahabat Kecil...........................................................................................
B.
Ahli Hadits dari Kalangan Tabi’in.............................................................................
C. Konflik Deologi dan Teologi Antara
Shunni dan Syi’’ah Sehingga Memungkinkan
Terjadiya Pemalsuan Hadits.............................................................................................................................
D.
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’....................................................................
E.
Ciri-Ciri Hadits Maudhu’...........................................................................................
F.
Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Maudhu’......................................................
G.
Langkah-Langkah Para Ulama Dalam Menanggulangi Hadits Maudhu’..................
BAB III PENUTUP............................................................................................................
A. Kesimpulan
..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
periode ketiga proses pengumpulan hadits sehingga menghasilkan kitab- kitab
kumpulan hadits yang murni berasal daari Nabi tak lepas dari jasa-jasa sahabat
kecil dan tabiin yang hidup pada periode
tersebut. Tugas mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menilai hadist sangat
berat. Akan tetapi, sahabat dan tabiin pada saat itu dengan tekun menjaga
hadist- hadist nabi.
Sahabat kecil adalah umat muslim yang pada masa nabi
Muhammad, mereka masih berusia belum balig atau mukalaf. Dalam artian orang
yang sempat melihat nabi dan pada saat itu ia masih kecil. Sedangkan Tabiin
adalah orang-orang yang tidak bertemu langsung dengan nabi, tetapi mereka
meriwayatkan hadist- hadist nabi yang berasal dari sahabat kecil. Mereka
bersedia melakukan apa saja untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
agama dan nabi mereka.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Sahabat Kecil dan Tabi’in?
2.
Bagaimana Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis pada Masa Sahabat Kecil dan
Tabi’in?
3.
Mengapa pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Terjadi Kekeliruan dan
Pemalsuan Hadis?
4.
Apa yang Dimaksud dengan Hadits Maudhu’?
5. Bagaimana
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’?
6. Apa
Ciri-Ciri Hadits Maudhu’?
7. Sebutkan Langkah-Langkah Para Ulama untuk Menghadapi
Terjadinya Kekeliruan dan Pemalsuan Hadis?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian sahabat kecil dan tabi’in
2.
Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa sahabat kecil dan
tabi’in
3.
Mengetahui penyebab terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis pada masa
sahabat kecil dan tabi’in
4.
Mengetahui pengertian hadits maudhu’
5.
Mengetahui hukum meriwayatkan hadits maudhu’ dan ciri-ciri hadits maudhu’
6.
Mengetahui langkah-langkah para ulama untuk menghadapi terjadinya
kekeliruan dan pemalsuan hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sahabat Kecil
Sahabat
kecil adalah umat muslim yang pada masa nabi Muhammad ia masih berusia belum
baligh atau mukalaf. Dalam artian orang yang sempat melihat nabi dan pada saat
itu ia masih kecil.
1.
Abu Hurairah1
Abu Hurairah
nama lengkapnya adalah Abd Ar-Rahman ibn Shakhr Ad-Dausi Al-Yamani, sebagai
mana banyak ditulis oleh ahli para sejarah. Dia masuk Islam setelah mendengar
dakwah dari kawan sekampungnya, yaitu Thufail ibn Amr Ad-Dausi, yang pernah
datang ke Madinah menghadap Nabi Muhammad SAW
dengan telinganya yang sengaja disumbat dengan kapas. Sebab, hanya
dengan cara demikian, ia diizinkan orang-orang kafir Mekah untuk bertemu dengan
Nabi SAW. Akan tetapi, ternyata ayat-ayat Al-Quran menembus telinganya dan
langsung menempati hati nurani Thufail, dan ia menjadi muslim yang ikhlas dan
patuh.
Selanjutnya Abu Hurairah hijrah ke Madinah.
Dia datang pada malam terjadinya perang
Khaibar. Abu Hurairah shalat Shubuh yang pertama kali di Madinah, bermakmum
kepada Siba’ bin ‘Arfathah, wakil Rasullullah selama Rosul berperang di Khaibar
yang terjadi pada tahun 7 H/ 629 M. Menurut sebagian penulis biografi para
sahabat Nabi, sejak tahun itu, Abu Hurairah tidak pernah berpisah dengan
Rasulullah baik siang maupun malam. Dia mempunyai kesempatan yang banyak untuk
belajar dan menerima hadis dari Rosul.Tidak seperti sahabat-sahabat yang lain,
yang sibuk mengurus atu sibuk dengan dagangannya, dan adapula yang perhatiannya
dicurahkan untuk membantu Rasullullah dalam pertempuran dan pertahanan negara.
Abu
Hurairah selama tiga tahun, yaitu hingga
wafat Rasullullah SAW. Mencurahkan segala kesempatannya untuk
menerima hadist- hadist yang diucapkan
Rasulullah dan segala hal yang terjadi pada zaman itu.
Penghidupannya didapat dari pemberian
Rasul berupa makanan dan di dapat dari hasil membantu orang dan mendapat upah
berupa pemberian makanan.
Dia tinggal di serambi Masjid yang dekat
dengan rumah Rasulullah, selanjutnya dikenal dengan sebutan sahabat Ashhabu
Al-Suffah.
Mengenai
kehidupan Abu Hurairah, Khalid Muhammad Khalid menceritakan, antara lain:
“Aku dibesarkan dalam keadaan yatim dan
pergi Hijrah dalam keadaan miskin...aku menerima upah sebagai pembantu pada
keluarga Busrah binti Ghazwan untuk mengisi perutku. Akulah yang melayani
keluarga itu bila mereka menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila
sedang berpergian. Sekarang inilah aku , Allah telah menikahkanku dengan putri
Busrah maka segala puji bagi Allah yang telah menjajikan ini tiang penegak.”
Menurut pengarah sejarah, kendatipun Abu
Hurairah bergaul dengan Nabi lebih akhir daripada sahabat yang lain,
ketertinggalannya dapat ditopang oleh sifatnya yang haus ilmu sebagaimana
hadits di bawah ini:
“Sungguh aku telah menyangka tidak akan
ada yang bertanya tentang hadist ini mendahului kamu karena aku tahu kesungguhan
kamu terhadap hadist (HR. Bukhori).
Selain
itu menurut analisis mereka para penghapal hadist masih banyak yang berpendapat
bahwa penulisan hadist Nabi tidak diperkenankan. Hadist-hadist yang ada dalan
ingatan Abu Hurairah yang ia hapal, tidak kurang dari 5.374 buah hadist, suatu
jumlah periwayatan yang paling banyak diantara sahabat Nabi.
Data-data
sejarah kehidupan Abu Hurairah yang diyakini kebenaraannya oleh sebagian
penulis sejarah para Sahabat, khususnya Abu Hurairah adalah ungkapan beliau yang
menyatakan :
قلت: يا رسول الله، إني أسمع منك حديث
كثيرا أنساه؟ قال: (أبسط رداءك). فبسطته، قال: فغرف بيديه، ثم قال: (ضمه) فضممته،
فما نسيت شيئا بعده.
Artinya:
“Ya
Rasulullah ! Saya mendengar banyak hadist dari Engkau, tetapi saya sering lupa,
lalu Rasulullah mendoakan dengan isyaratnya, dan menyuruh Abu Hurairah
menghamparkan kainnya, lalu Rasulullah menciduk dengan kedua tangannya, dan
bersabda,’ Ikatkanlah!’ kemudian, Abu Hurairah mengikatkannya. Abu Hurairah
mengatakan, ‘ Sejak itu, saya tidak pernah lupa sedikitpun’.
Riwayat
serupa juga dituturkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda,
antara lain sebagai berikut:
Artinya:
“Siapa yang membentangkan serbannya
hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya kepada dirinya maka ia tak
akan lupa satupun dari apa yang telah didengarnya dariku, maka kuhamparkan
kainku, lalu Nabi berbicara kepadaku, kemudian aku meraih kain itu, dan setelah
itu, tak ada satupun yang terlupakan dari apa yang telah ku dengar
daripadanya.”
Marwa
ibn Hakam saudara Muawiyah ibn Abi Sufyan, menceritakan bahwa suatu hari ia
menguji kemampuan hapalan Abu Hurairah maka dipanggillah ia dan dibawanya duduk
bersamanya, lalu diminta untuk mengabarkan hadist-haddist dari Rasulullah SAW.
Sementara itu, disuruhnya penulisnya menuliskan Apa yang diceritakan Abu
Hurairah dibalik dinding. Sesudah berlalu setahun, dipanggilnya kembali Abu
Hurairah, dan dimintanya membacakan lagi hadist-hadist yang dulu itu yang telah
ditulis oleh sekretarisnya. Ternyata, tidak ada yang terlupakan oleh Abu
Hurairah walaupun sepatah kata.”
Argumen-argumen
itu juga menyatakan bahwa Abu Hurairah, disamping mempunyai hapalan yang tinggi
dan daya ingat yang kuat, ulet serta berkat doa dari Nabi, juga mempunyai cara
hidup yang berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya.
Riwayat-riwayat
tentang itu menyebutkan :
Artinya:
“Sesungguhnya
saudara- saudara kami dari kaum Muhajirin, mereka sibuk denga dagangan mereka
dipasar, saudara-saudara kami dari kaum Anshar, mereka sibuk mengelola
harta-harta mereka, sedangkan Abu
Hurairah, ia selalu menyertai Rasulullah SAW, ia mendapat makan dan ilmu
kemudian dihapalnya, sedangkan mereka tidak hadir dan tidak pula menghapalnya
(HR.Bukhori).
Para
menulis tarikh masa lalu, menyatakan bahwa
Abu Hurairah mempunyai sifat-sifat yang terpuji. Sifat yang begitu
melekat dan menyatu dengan sahabat yang
satu ini, yaitu ketabahan jiwanya yang sangat mengagumkan dalam mengemban tugas
mulia. Hal itu telah dibuktikan oleh Abu Hurairaah, yang melalui kefakirannya,
ia mampu bersabar padahal kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup tidak ada.
Said
Al-Musayyab berkata:
Artinya:
“Aku
telah melihat Abu Hurairah berkeliling di pasar kemudian pulang kepada
keluarganya dan menanyakan , ‘Apakah ada sesuatu pada kalian?’ dan jika mereka
menjawab tidak ada, maka Abu Hurairah berkata, ‘Sesungguhnya aku berpuasa’.
Abu
Hurairah adalah sahabat yang terkenal sebagai orang yang tekun beribadah,
penghapal Al-Quran. Meskipun demikian, dia tidak dikenal dalam barisan para
sahabat yang pemberani dan tidak terhitung pula sebagai sahabat yang berani
mengemukakan pendapatnya kepada yang lain. Ia mengakui dirinya yang lemah dan
miskin.
Muhammad
ibn Sirrin meriwayatkan kisah tentang kelaparan yang dialami oleh Abu Hurairah,
yang dinyatakan sendiri oleh Abu Hurairah:
Artinya:
“Abu
Hurairah menyatakan , Engkau benar –benar melihat saya jatuh terpelanting
antara mimbar Rasulullah SAW. Dan kamar Aisyah, lalu aku dikatakan gila (oleh
orang-orang), sebenarnya aku tidak gila, tetapi aku hanya hanyalah lapar.
Peranan
Abu Hurairah dalam menyebarluaskan hadist-hadist Nabi, bukanlah tergolong dalam
barisan penulis, dan yang berani mengemukakan pendapatnya kepada orang lain. Ia
adalah seorang yang terampil menghapal dan kuat ingatannya. Begitulah ia
mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghapal hadist-hadist
Nabi.
Sepeninggal nabi, Abu Hurairah terus menerus
menyampaikan hadist, sehingga hal ini menimbulkan kecurigaan dari sebagian
sahabat. Atas kecurigaan ini dia memberikan penjelasan dengan menyatakan bahwa
tuan-tuan telah menyangka Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadist dari
Nabi, dan tuan-tuan mengatakan pula bahwa orang-orang muhajirin lebih dahulu
masuk Islam, tetapi tidak menceeritakan hadist-hadist itu? Ketahuilah bahwa
sahabat-sahabatku orang-orang muhajirin
itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sahabat-sahabatku
orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka, sedangkan aku adalah
seorang miskin yang paling banyak menyertai majelis Rosulullah SAW. Aku hadir
sewaktu yang lain absen dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena
kesibukannya.
Penjelasan
ini selain memberikan kepercayaan bagi para sahabat, Juga memberikan keleluasan
bagi Abu Hurairah untuk meriwayatkan hadist, baik diantara sesama sahabat
maupun para tabiin. Terlebih lagi, setelah umar percaya atas kejujurannya.
Selain meriwayakan, ia juga tentu saja menerima periwayatan, terutama dari
sahabaat-sahabat besar, seperti Khulafa Ar-Rasyidin.
Data-
data hadist yang bersumber dari Abu Hurairah ditulis oleh Hamman ibn Munabih,
seorang murid kenamaan Abu Hurairah, dari kalangan tabiin.
Ia
menulis hadist-hadist dari Abu Hrairah dan menyimpan dalam sebuah kitab,
kemudian para sejarawan memberi nama Shahifah Abu hurairah. Shahifah ini
ditemukan oleh Dr.Hamidullah pada dua manuscript tua di Damaskus dan Berlin.
Untuk membuktikan kebenaran Shahifah, melalui penelitian yang panjang dan
memakan waktu yang cukup panjang, terbukti bahwa shahifah ini benar-benar yang
telah ditulis oleh Hamman ibn Munabih. Hadist-hadist tersebut diperkuat dengan
data-data hadist yang ada dalam Musnad Ahmad dan banyak tercantum dalam Shahih
Al-Bukhori.
Hamman ibn Munabih menyatakan, saya mendengar Abu
Hurairah berkata, tidak seorangpun dari Sahabat Rosulullah SAW. Yang lebih banyak
dariku dalam periwayatan hadist dari beliau, kecuali Abdullah ibn Amr karena ia
bisa menulis, sedangkan saya tidak bisa menulis.
Alasan Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadist,
sebagaimana diungkapkan dalam riwayat sebagai berikut:
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ia berkata, sungguh orang-orang
berkata, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadist. Kalaulah aku tidak tahu
dua ayat dalam Al-Quran, aku tidak mau meriwayatkan hadist. Kemudian, ia
membacakan ayat, ‘Inna al-ladzina yaktumuna maa anzalna min al bayyinati, ‘
sampai kata ‘Arrahim.’ Sungguh, saudara-saudara kami dari kaum muhajirin,
mereka disibukkan dagang di pasar, dan saudara-saudara kami daari Anshar,
mereka disibukkan mengurus harta (kebun) mereka.
Sedang
Abu Hurairah senantiasa menyertai Rasullullah SAW. Karena merasakan kenyang
perutnya (qanaah), ia bisa menghadirinya, dan ia menghapalkannya, sedangkan
mereka tidak menghapal.
Kekuatan
hapalan Abu Hurairah itu karena doa Rosulullah. Hal ini bukan hanya pengakuan
Abu Hurairah, namun didasarkan kesaksian
sahabat lainnya, Zaid ibn Tsabit yang menyatakan.
Artinya:
“Saya,
Abu Hurairah dan yang lainnya berada di sisi Rasulullah SAW. Kemudian beliau
bersabda, ‘Berdoalah kalian, kemudian saya dan kawan saya berdoa, sedangkan
Rasulullah SAW. Mengamini(nya). Kemudian, Abu Hurairah berdoa ‘Ya Allah! Aku
mohon sebagaimana yang dimohonkan oleh kedua kawanku, dan aku mohon ilmu yang
tidak akan lupa?’ ‘Maka Nabi mengamini(nya). Kemudian, kami berkata Ya
Rasulullah! Kami pun ingin seperti doa
itu. Beliau bersabda , ‘Anak Dausi ini telah mendahuluimu.
Abu
Hurairah hidup sebagai seorang ahli ibadah dan seorang Mujahid. Disamping
sebagai guru hadist dan pemberi fatwa di Madinah , ia tak pernah tertinggal
dalam urusan perang dan urusan kenegaraan. Hal ini telah dibuktikan olehnya
ketika zaman Umar ibn Khottob, ia diangkat sebagai gubernur dikota Bahroin,
lalu diberhentikan, ia menolak tawaran untuk kembali menjadi kepala daerah
tersebut, dengan alasan agar penghormatannya tidak tercela, hartanya tidak
dirampas, punggungnya dipukul. Dia takut menghukum tanpa ilmu dan berbicara
tanpa belas kasih. Dia berbicara demikian dihadapan Umar, yang tampakknya
sebagai suatu ungkapan kekecewaan dan sindiran terhadap tindakan Umar yang
menuduh dan memberhentikannya sebagai gubernur Bahroin.
Selepas
menjabat gubernur di Bahroin ia lebih suka tinggal di Madinah menghabiskan sisa
umurnya. Semasa kekuasaan Marwah ibn Hakam, ia juga membantu beberapa urusan
negara. Kemudian, Marwan mengangkatnya sebagai wakil Gubernur di Madinah.
Abu Hurairah wafat pada tahun 59 H dalam
usia 78 tahun, adapula yang mengatakan ia wafat pada tahun 58 dan 57 H. Yang
jelas, Abu Hurairah turut mensholatkan jenazah Aisyah dan pada ttahun itu pula,
Abu Hurairah wafat. Dan yang turut mengantarkan jenazahnya ialah ibn Umar, abu
Said Al-Kudri, juga Marwan ibn Hakam.
2. Abdullah ibn Umar ibn Al-Kaththab ibn Nufail
Al-Quraisy Al-Adawi Abu Abd-Rahman Al-Makki2
Ia
termasuk yang paling awal memasuki Islam yaitu sejak usia kanak-kanak dan
berhijrah ersama ayahnya. Ia masih dianggap kanak-kanak pada saat Perang Uhud.
Ia mengikuti Perang Khandaq dan Bai'at Ar-Ridhwan juga mengikuti perang yang
lainnya.
Ia
menerima riwayat dari Nabi SAW, ayahnya, pamannya Zaid dan saudara
perempuannya, Hafsah, istri Rasulullah SAW, Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali, Sa'id, Bilal, Zaid bin Tsabit, Shuahaib
ibn Mas'ud, Aisyah, Rafi' ibn Khadij, dan lainnya.
Orang yang menerima riwayat darinya terdiri atas:
anaknya, Hamzah, Salim, Abdullah, Ubaidillah, Umar dan cucunya dari anak
laki-lakinya, Abu Bakar ibn Ubaidillah, Muhammad ibn Zaid, Nafi', Abu Salamah
ibn Abd Ar-Rahman, dan lainnya.
Abdullah adalah seorang pemuda Qurasy yang saleh dan
paling mencintai pertemuannya dengan Allah karena amalnya. Ia memberi fatwa
selama 60 tahun. Ia berhijrah pada usia 10 tahun dan meninggal pada usia 73
tahun. Ia telah menghadiri penakhlukan Mesir dan telah memberikan kekuatan pada
saat berijtihaj, beribadah, harta perniagaan serta pengetahuan tentang akhira.
Ia tidak meninggal sehingga setelah memerdekan hamba sahaya sebanyak 1. 000
orang lebih, dan ia meninggal setelah melaksanakan haji.
Ia
meriwayatkan hadis hampir menyamai jumlah riwayat Abu Hurairah, yaitu sebanyak
2. 630 hadis . Ia termasuk salah seorang Al-'ubadalah, yaitu sebutan bagi orang
yang dipanggil Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Amr ibn Al-'Ash, dan Abdullah
ibn Zubair.
2.
Dimyati, Pengantar Studi Sanad Hadits, Fak. Syariah Iain Sgd Bandung, 1997,
Hlm. 149
3. Anas ibn
Malik ibn Nazhar Al-Anshari Al-Khazrani3
Anas
ibn Malik adalah seorang pelayan Rasulullah SAW, yang telah manfabdi selama 10
tahun. Ia meninggal pada tahun100 H.
Ia
menerima hadis dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdullah ibn Ruwahah,
Fatimah Az- Zahra, Tsabit ibn Qais ibn Syams, Abd Ar-Rahman ibn 'Auf ibn
Mas'ud, Malik ibn Sha'sha'ah, Abi Dzar dan lainnya yang berdatangan dari
berbagai penjuru negeri.
Rasulullah
datang ke Madinah dalam keadaan usianya(Anas ) 10 tahun dan ibunya menjadikan
dia seorang pengkhidmat, pembantu Rasul SAW. Dan Ummu Sulaim (ibunya) telah
membawanya ke hadapan Rasulullah. Dan ibunya meminta Rasulullah untuk
mendo'akannya. Maka Rasulullah SAW berdo'a agar diperbanyak hartanya dan
keturunanya dan agar dimasukkan ke surga.
Ketika
Abu Bakar menjadi khalifah mengutus Anas ibn Malik untuk datang ke Bahrain
sebagai pengurus (gubernur ) di sana, padahal masih berusia muda.Anas diustus
karena ia cerdik dan seorang penulis wahyu. Dan ia adalah orang yang paling
akhir tinggal di Bashrah dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Ia menerima
2.286 buah hadis.
4. Aisyah
binti Abu Bakar As-Shiddiq4
Aisyah adalah Ummu Al-Mukmini, istri Rasulullah yang
paling terkenal. Rasulullah menikahinya dua tahun sebelum hijrah. Dan pada saat
itu Aisyah baru berusia 6 tahun dan masih perawan.
Imam Al-Bukhari
menceritakan suatu riwayat tentang Ummu Salamah ketika tidak menghiraukan
Aisyah sampai tiga kali, Nabi SAW bersabda, Wahai Ummu Salamah janganlah
menyakitiku dengan sebab menyakiti Aisyah, karena demi Allah tidak diturunkan
wahyu kepadaku ketika aku berada dalam pangkuan istri salah seorang diantara
kamu, selain dalam pangkuan Aisyah.
3. Tahddib At-Tahdzib, Hlm. 39
4. Ibid, Pengantar Studi Sanad Hadits,
Fak. Syariah IAIN SGD Bandung, 1997, Hlm.152
Aisyah
merupakan orang yang paling paham dan baik pandangannya dalam segala hal,
seperti fiqh, kesehatan, dan syi'ir. Aisyah banyak meriwayatkan hadis dari Nabi
SAW dan banyak pula yang menerima riwayat darinya, seperti Umar ibn
Al-Khaththa, ataupun dari kalangan para tabi'in yang tidak terhitung jumlahnya.
Aisyah
meninggal ada tahun 57 H/58 H pada malam Selasa tanggal 27 Ramadhan. Dia
berwasiat untuk dikuburkan di Baqi pada malam itu juga.
Abu
Hurairah termasuk salah seorang sahabat yang menshalati jenazahnya serta
menguburkannya. Ketika Nabi wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun. Dan ia
meriwayatkan hadis mencapai jumlah 2.210 hadis.
5. Abdullah ibn Abbas ibn Abd Al-Muttalib Al-Madani
Ath-Thaifi Al-Hasyimi5
Abdullah
ibn Abbas dikatakan Rasulullah sebagai tinta dan lautan karena banyak ilmunya.
Ia menerima hadis dari Nabi SAW, dari ayah dan ibunya, Ummu Al-Fadhi,
saudaranya Al-Fadhi, bibinya, Maemunah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abd-Rahman, dan lainnya.
Nabi
SAW telah mendoakannya dengan hikmah sebanyak dua kali. Ibn Mas'ud berkata,
" Sebaik-baiknya penerjemah Al-Quran adalah ibn Abbas. Shubhi Ash-Shalih
mencata hadis yang diriwayatkan Ibn
Abbas berjumlah 1.660 hadis. An-Nasa'i menyebutnya sanadnya yang yang paling
shahih adalah yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Az-Zubri dari
Ubaidillah ibn Abdullah ibn 'Atabal dari ibn Abbas.
5.
Ibid, Pengantar Studi Sanad Hadits, Fak. Syariah IAIN SGD Bandung, 1997,
Hlm.153
6. Jabir ibn Abdullah ibn Amr ibn Haram Al-Anshari6
Ia
termasuk sahabat keenam diantara para sahabat Nabi SAW, yang banyak meriwayatkan
hadis dan hadisnya mencapai jumlah 1.540 buah. Ia meninggal setelah tahun 70-an
di Madinah dalam usia 94 tahun.
Ia
menerima riwayat dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Thalhah,
Mu'az ibn Jabal, Amar ibn Yasar, Khalid ibn Al Walid, dan lainnya.
Orang
- orang yang menerima riwayat darinya
adalah anak-anaknya, Abd Ar-Rahman, Uqail, Abu Az-Zubair, Amr ibn Dinar, Abu
Ja'far Al-Baqir, dan lainnya.
7. Abu Sa'id
Al-Khudri
Sejak
kecil, ia senantiasa mengikuti perang bersama Rasulullah SAW, mulai Perang Uhud
dan sampai sebanyak 12 kali peperangan setelah itu.
Ia
menerima hadis dari Nabi SAW, ayahnya, saudara ibunya, Qatadah ibn Nu'man, Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid ibn Tsabit,
Usaid ibn Hudair , dan lainnya.
Orang
- orang yang menerima riwayat darinya adalah anaknya, Abd Ar-Rahman, istrinya,
Zaenab binti Ka'ab ibn 'Ajrah, Ibn Umar, Jabir, Ibn Musayyab, dan lainnya.
Shubhi
Ash-Shalih menyebutkan jumlah hadis yang diriwayatkannya sebanyak 1.170 hadis.
Orang-orang senantiasa memintanya untuk menuliskan hadia darinya, tetapi
dijawabnya,"Kamu sekalian tidak akan bisa menulis hadis dan tidak akan
kamu menjadikannya sebagai Al-Quran, tetapi hafalkanlah dari kami sebagaimana
kami telah menghafalkannya. Abu Sa'id Al-Khudri meninggal pada tahun 65 H,kata
Al-Askari.
6.
Ibid, Pengantar Studi Sanad Hadits, Fak. Syariah IAIN SGD Bandung, 1997,
Hlm.158-166
B. Ahli Hadist dari Kalangan Tabiin
Tabi'in
(bahasa Arab: التابعون, pengikut), adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah
para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu
saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja
pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in
merupakan murid Sahabat Nabi.
1.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
Umar
ibn Abdul Aziz adalah seorang khalifah dari bani umayyah yang berkuasa
pada tahun 99 – 101 H. Nama lengkapnya ialah Umar ibn Abdul Al- Aziz ibn Marwan
ibn Al-Hakam Al-Imam Aimir Al-Mukmin Abu
Hafsh Al-Amawi Al-Quraisy.
Ia menerima hadist dari Abdullah ibn
Ja’far, Anas ibn Malik, Abu Bakar ibn Abd Ar-Rahman, Said ibn Musayyab,
Ubaidillah ibn Atabah, dan lainnya.
Usianya hanya
mencapai 40 tahun. Tiga tahun diantaranya ia berkuasa, yakni pada tahun 99 –
101 H. Ia berkuasa penuh keadilan dan penuh kezuhudan dan ia merupakan figur yang dimisalkan
sebagai orang yang diridloi Allah. As-Syafii menyatakan bahwa ia termasuk
Al-Khulafah Ar-Rasyidin yang kelima, setelah Abu Bakar, Abu Umar, Utsman, Ali.
Hisyam meriwayatkan dari Al-Hasan
bahwa ia berkata, “Ketika kematian datang menemui umar ibn Abd A-Aziz, ia
meninggal dengan sebaik-baiknya oraang meninggal. Ia meninggal di Dair Sam’an
dan dikubur disana dan banyak yang menziarahinya. Ia meninggal pada bulan rajab
tahun 101 H dalam usia 40 tahun lebih 6 bulan. Semoga Allah memberi rohmat
kepadanya.
Dalam catatan penulis tarikh yang
lain, dinyatakan bahwa Umar ibn Abad Al-Aziz meninggal akibat diracun melalui
makanan yang disuguhkan pembantunya. Konon, hal tersebut atas perintah adik
iparnya yang ingin berkuasa menggantikan kekhalifahan Umar ibn Al-Aziz
perbuatan ini menyebabkan kondisi kesehatan Umar terus menurun dan mengalami
sakit beberapa waktu. Pembantu yang diketahui meracuninya, kemudian disuruh
pergi meninggalkan negeri sebagai hukumannya.
Untuk
melaksanakan hukuman yang sangat ringan ini, Umar memberikan bekal seperlunya. Sementara
hukuman bagi adik iparnya yang telah menyuruh meracuninya kepda pembantu
tersebut, diserahkan kepada Allah.
2.
Amarah Binti Abd Ar-Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zararah Al-Anshariya
Al-Madaniyah
Amarah adalah anak asuh Aisyah. Ia
banyak menerima riwayat dari Aisyah. Saudara perempuan yang seibu dengannya
ialah Ummu Hisyam binti Haritsah ibn Nu’man, Habibah binti Sahal, dan Ummu Habibah Hamna binti Jahsyin.
Ibn Hibban menyebutkannya dalam daftar
orang tsiqat Nuh ibn Habib Al-Qaumisy, yang dinyatakan, “Barangsiapa berkata
bahwa Amarah binti Abd Ar-Rahman ibn Sa’ad Ibn Zararah itu tidak terkenal, ia
salah. Ia adalah saudara As’ad. Yang termashur itu bukan dia, melainkan,
Amarah. Saya mendengar hal itu dari Ali ibn Al-Madini dan orang-orang yang
mengetahui nasabnya Al-Anshori. Ia termasuk orang yang paling mengetahui hadist
Aisyah. Demikian menurut Ibn Hibban.
Menurut Abu Hasan Al-Zayadi bahwa ia
dikatakan meninggal pada tahun 98 atau 106 H dalam usia 77 tahun.
3.
Abd Ar-Rahman Ibn Al-Qasim
Nama lengkapnya adalah Abd Ar-Rahman
ibn Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar As-Shidiq At-Taimi Abu Muhammad
Al-Madini. Ia dilahirkan pada masa Aisyah masih hidup.
Ia menerima
hadist darri ayahnya, Ibn Al-Musayyab Abdullah ibn Abdullah ibn Umar, Salim ibn
Abdullah ibn Umar, Nafiq Mawla ibn Umar, Muhammad ibn Ja’far ibn Az-Zubair dan
lainnya.
Ibn Hibban memasukkannya pada kelompok
Ats-Tsiqat. Ia pula termasuk bangsawan Madinah, Ahli fiqh, berilmu, taat
beragama, memiliki keutamaan, penghapal yang teguh. Al-Hutsaim ibn ‘Adi dan ibn
Qani’ menyemutkan bahwa ia meninggal pada tahun 31 H.
4.
Muhammad ibn Muslim Ibn Ubaidillah ibn Abdullah ibn Syihab ibn Abdullah
ibn Al-Harits ibn Zahrah ibn Kilab ibn Marrah Al-Quraisy Az-Zuhri Al-Faqih Abu
Bakar Al-Hafidzh Al-Madani
Ia dikenal dengan nama Az-Zuhri, salah
seorang imam, ulama Hijaz dan Syam. Ia menerima riwayat dari Abdullah ibn Umar
ibn Al-Khottob, Abdullah ibn ja’far, Rubai’ah ibn ‘Ubbad, Al-Musawwar ibn
Mahramah, Abd Ar-Rahman ibn Azhar, dan banyak lagi.
Al-Bukhori dari Ali ibn Al-Madini
berkata, “Ia memiliki hadist sebanyak 2000 hadist.” Al-Ajari dan Abi Dawud
berkata, “ Jumlah keseluruhan hadist Az-Zuhri mencapai 2.250 hadist,
diantaranya hadist musnad 200 hadist yang diterima dan tidak di tsiqat, 50 buah
hadist yang diperselisihkan.
Al-Waqidi mengatakan Az-Zuhri lahir
pada tahun 58 H dan meninggal pada tahun 123 H. Yahya ibn Bakir berkata”Ia
dilahirkan pada tahun 56 H. Abu Dawud
dari Ahmad ibn Shalih berkata ia dilahirkan pada tahun 50-an. Abu Ubaid dan Ibn
Al-Madini, Amr Ibn Ali, mengatakan ia meninggal pada akhir tahun 124 H.
Az-Zubair ibn Bakar mengatakan dengan menambahkan pada bulan Romadlon dalam
usia 72 tahun. Ibn Yunus dan yang berkata, “Ia meninggal pada bulan Romadlon
tahun 125 H”.
5. Abu Bakar Ibn
Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm Al-Anshori Al-Khazraji An-Najjari Al-Madhani Al-Qadha
Ia menerima riwayat dari ayahnya. Ia
dikirimkan kepada kakeknya, Abdullah ibn Zaid ibn Abd Rabbah Al-Anshori. Ia
menerima pula riwayat dari bibinya, Amrah binti Abd Ar-Rahman, Abi Hayyah
Al-Badri dan Khalidah binti Anas.
Umar
ibn Abdullah At-Tamimi berkaata bahwa ia
meninggal pada tahun 110 H, Al Hutsaim ibn ‘Adi, Abu Musa, Ibn Bakir berkata
bahwa ia meninggal pada tahun 117 H. Al-Qaqidi, Ibn Al-Madini, dan lainnya
berkata bahwa ia meninggal pada tahun 120 H. Al-Waqidi menambahkan, ia termasuk
seorang yang tsiqat banyak
pemberdaharaan hadiistnya.
C. Konflik Deologi dan Teologi Antara Shunni dan Syi’ah
Sehingga Memungkinkan Terjadinya Pemalsuan Hadis
1. Pengertian Hadits Maudhu’
الَحَدِ يْثُ المَوْضُوْعُ هُوَا المُخْتَلَقُ المَصْنُوْعُ
”Hadist
Maudhu’ adalah Hadist yang diada-adakan dan dibuat-buat.”
Al-Maudhu’ secara bahasa merupakan
isim maf’ul dari, wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an,kata yang mempunyai arti
al-isqath (meletakkan tau memyimpan), Kata Al-Maudhu’ juga bermakna (al-iftira)
meninggalkan, (wa al-ikhtilaq)mengada-ada dan membuat-buat.
Hadits maudhu’ adalah hadist yang
bukan disandarkan kepada Rasulullah Saw, atau dengan kata lain Bukan hadist
Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak
tertentu dengan suatu alasan kemudian dikatakan kepada Rasul. Padahal untuk
kepentingan individu atau kelompok, bukan didasarkan kepada perkataan atau
perbuatan dan takrir Rasulullah saw.
Hadist Maudhu adalah hadist yang
paling jelek(buruk) dan paling membahayakan bagi Islam dan pemeluknya, dan
tidak halal bagi yang meriwayatkan hadist maudhu’. Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ حَدَّ ثَ عَنِّىِ
بِحَدِ يْثِ يَرَى اَنَّهُ كَذِ
بُ فَهُوَ اَحَدُ الكَا ذِ
بِيْنَ.
Artinya:
“Barang siapa meriwayatkan suatu hadist dariku yang ia ketahui bahwa Hadist itu
dusta, maka ai adalah sakah seorang pendusta”
2.
Sejarah Awal Terjadinya Hadits Maudhu’
Ketika Rasulullah Saw wafata, Hadits masih dalam
keadaan bersih dari berbagai pemalsuaan maupun perubahan. Keadaan ini terus
berlangsung pada zaman ai- Khaulafah Al-Rasyidin, para sahabat sabgat
berhati-hati dan teliti serta tegas dalam menerimah hsdits dari Rasul.
Sedangkan
Analisis Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Al-Islam yang berkesimpulan telah
terjadi hadis maudhu’ sejak masa Rasulullah saw karena pendustaan terhadap
Beliau inilah yang melatarbelakangi timbulnya sabda beliau.
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَّبَوَّا مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّلرِ
Artinya:
“Barang siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap
tinggal di neraka”.
Analisis
Ahmad tersebut tidak ilmiah karena tidak dukung oleh konkret dan tidak ada
peruwayatan yang shahi. Dan karena itu Awal terjadinya hadits maudhu’ dalam
sejarah muncul terjadi konflik antara
dua pendukung Ali dan Mu’awiyah, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok
yaitu, Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin atau Sunni.
Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang
paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin mempertahankan
kelompoknya dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dan cara mencari dalil
dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
3. Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu’
Latar belakang terjadinya Hadist
Naudhu’ adalah sebagai berikut:
1. Faktor
politik
Perpecahan umat Islam yang diakibakan
politik yang terjadi pada masa khalifah ’Al bin Abi Thalib besar sekali
pengaruhnya terhadap perpecahan umat kedalam beberapa golongan dan kemudian
muncul hadist palsu. Masing-masing kelompok berusaha mencari dalilnya kedalam
Al-Qur;an dan Hadist(Sunnah) untuk mengunggulkan kelompok mereka masing-masing.
Dan jika tidak menemukan dalilnya, Maka disini lah Hadist palsu mulai
berkembang yang mereka dasarkan atas perkataan Rasul. Dan Hadist palsu yang
pertama tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya.
Menurut Ibnu Abi Al-Haddad dalam
’Syarah Nahj Al-balaghah’. Bahwa yang pertama-tama membuat hadist palsu dalah
golongan syi’ah. Dan diantara kepentingan Syi’ah dalam membuat hadits maudhu’
adalah menetapkan khasiat Nabi saw bahwa Ali orang yang paling berhak menjadi
khalifah setelah Beliau dan menjatuhkan lawan-lawan politik yaitu Abu bakar,
Umar bin khattab dan lain-lain. Misalnya:
.وَصِيِّيْ وَمَوْضِعُ سِرَّيْ
وَخَلِيْلفَتِي فِي آَهْلِيْ وَخَيْرُ مَن
Artinya:
“Wasiatku, tepat rahasiaku, khalifahku pada keluargaku dan sebaik orang yang
menjadi khalifah setelahku adalah Ali”.
Golongan
Mu’awiyah juga membuaat Hadist palsu, Contohnya :
اَلْاَمَنَاءُ ثَلَاَثَهُ أَنَا وَجِبْرِيْلُ وَمٌعَاوِيَةٌ أَنْتَ
مِنَى يَامٌعَاوِيَةٌ وَأَنَامِنْكَ
Artinya:
“ Tiga Golongan yang dapat dipercaya, yaitu saya (Rasul), Jibril, dan
Mu’awiyah. Kamu termaksud golonganku dan Aku bagian dari kamu”.
Sedankan
golongan Khawarij menurut data sejarah tidak pernah membuat Hadist palsu.
4. Usaha Kaum Zindik( Musuh Islam)
Setelah
islam meruntuhkan dua negara adikuasa yakni kerajaan Romawi dan Persia. Islam
tersebar ke segala penjuru dunia, sementara musuh-musuh islam tidak mampu
melawannya secara terang-terangan, maka mereka meracuni islam melalui ajarannya
dengan memasukkan beberapa hadits maudhu’ kedalamnya yang dilakukan oleh kaum
zindiq. Hal ini dilakukan karena agar umat islam lari daripadanya dan agar
mereka melihat bahwa ajaran islam itu menjijikkan.
Contoh
hadist yang mereka palsukan adalah:
اَلنَّظَرُ اِلَى اْلوَجْهِ الْجَمِيْلِ صَدَ قَةٌ
Artinya:
“Melihat wajah cantik termaksud Ibadah”
أَلبَا ذِ نْجَانُ شِفَاءُكُلِّ شَئِ
Artinya:
“Buah Terong itu penawar bagi segala penyakit”
Sudah sangat banyak Hadist yang
mereka palsukan, baik dalam urusan aqidah, maupun dalam urusan ahlak,
obat-obatan dan halal haram. Hammad bin zaid berkata, “ Orang-orang zindiqn
Memalsukan
hadist Nabi Saw. Sebanyak 14.000 buah hadist.
Dan
diketahui Abdul Karim ibn
Abil
‘Aujaa’
ketika
ditangkap dan dihukum pancung (potong leher) dengan mengaku terus terang telah
memalsukan hadist sebanyak 4000 Hadist untuk mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram.”
5.
Perbedaan Ras dan Fanatik Golongan
Mereka ingin membuat hadist palsu
(Maudhu’) karena didorong oleh sikap ego dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lainnya.
Golongan
Al-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bahasa persiamengatakan yang Artinya:
”
Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan Wahyu dengan bahasa Arab dan apabilah
senang maka akan menurunkannya dengan bahasa Persia”
Untuk
mengimbangi hadits maudhu’ di atas muncullah dari lawannya yang fanatik bahasa
Arab:
أَبْغَضُ الُكَلاَمِ اِلَي الّلهِ
الفَارِسَيَّةُ وكَلاَم أَهْلِ الجَنَّةِ العَرَبِيَةُ
Artinya
:”Bahasa yang paling dimurkai Allah swt adalah bahasa Persia dan bahasa
penghuni surga adalah bahasa Arab”.
Banyak sekali Hadist-hadist yang
dapat kita lihat keanehan-keanehan yang dapat memisahkan ibadah, akhlak, ilmu,
obat-obatan dan lainnya. Sehinggah mereka dapat merugikan atas nama agama dan
dapat merusak pola pikir umat Islam.
6. Qashshash (tukang cerita/ pendongeng)
Para pendongeng ini berusaha agar
dapat memikat para pendengar, oleh sebab itu mereka membuat cerita yang
lucu-lucu dan aneh-aneh guna menarik perhatian orang-orang disekitarnya, dengan
membuat hadits-hadits palsu.
Tukang cerita itu membuat beberapa
riwayat yang seolah-olah dari Rasulullah saw dengan menempelkan sanad
seolah-olah hadits benar Rasulullah saw. Contohnya mereka menggambarkan surga
dengan suatu ilustrasikan yang menakjubkan. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ قَالَ لَاَاِلهَ اِلاَاللَّهُ ، خَلَقَ اللَّهُ مِنْ كُلِّ
كَلِمَةِ طَا ئِرَا، مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبِ
وَرِيْشُهُ مِنْ مَرْجَانِ
Artinya
:
”Barang
siapa yang membaca” Tidak ada Tuhan selain Allah Swt”, maka Allah swt
menciptakan dari setiap kata seekor burung yang paruhnya dari emas dan bulunya
dari marjan.”
Imam
Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in berembuk dan berkata: “Demi Allah swt aku
tidak pernah mendengar hadits ini melainkan sekarang ini.”
7. Mendekatkan dengan kebodohan
Banyak para ulama yang membuat hadits
palsu dengan dan bahkan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya
mendekatkan diri kepada Allah serta menjunjung tinggih Agamanya. kepalsuaan
hadits ini juga terjadi tanpa disengaja, seperti orang yang tidak sengaja
menyisipkan sesuatu yang bukan hadits yang diriwayatkannya. Atau penyebab
lainnya juga adalah rawi yang daya hapalannya atau penglihatannya
tergangguhatau kiyabnya risak sehingga ia meriwayatkan hadist yang tidak
dikuasainya.
Hadits Maudhu’ inilah yang paling
samara, karena para rawinya tidak sengaja memalsukannya padahal mereka
sebenarnya adalah oaring-orang yang jujur dan sholeh, tetapi karena kebodohn
mereka dalam ilmu agama. Kalaulah mereka mendalami ilmu agama niscaya akan
banyak mendapatkan Hadits Shahi dan yang diakui kebenarannya.
8. Menjilat penguasa
Mendekati penguasa dengan cara membuat
hadits palsu yang sesuai dengan apa yang di lakukannya untuk mencari legalitas,
bahwa ungkapan itu hadits Rasulullah saw. Misalnya yang dilakukan Ghiyats bin
Ibrahim An-Nakha’i ketika masuk ke istana Al-Mahdi yang sedang bermain burung
merpati.
Ghiyats
berkata Rasulullah saw bersabda:
لَاسَبْقَ اِلَا فِي نَصْلِ
أَوْخُفٌّ أَوْ حَافرَ أَوْ جَناحِ
Artinya
:”Tidak ada perlombaan kecuali pada anak panah atau unta atau kuda atau pada
burung”.
Pada mulanya ungkapan itu memang
hadits dari Rasulullah saw tetapi aslinya tidak ada kata “burung” (aw jannah).
Karena ia melihat khalifah sedang bermain burung merpati, maka ditambah “atau
burung merpati”.
Al-Mahdih
ketika mendengar hadits palsu itu member hadiah 10.000 dirham kepadanya, tetapi
setelah mengetahui bahwa Ghiyats pendusta burung tersebut disembelih dan
berkata:”Aku bersaksi pada tengkokmu bahwa ia adalah tengkok pendusta pada
Rasulullah saw”.
9. Perbedaan (khilafiyah) dalam madzhab
Munculnya Hadits-hadist palsu dalam
masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut Mazhab. Mereka
berani melakukan pemalsuan Hadits karena
didorong sifat fanatik dan ingi menguatkan mazhabnya masing-masing.
Diantara hadits-hadits palsu tentang masalah ini adalah:
§ Siapa yang mengangkat kedua tanggannya dalam
shalat, maka shalatnya tidak sah.
§ Jibril menjadi imamku dalam shalat di ka’ba,
ia(jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
§ Semua yang dibumi dan langit serta diantara
keduanya adalah Makhluk, kecuali Allah dan Al-Qur’an. Dan kelak akan ada
diantara umatku yang menyatakan ” Al-Qur’an
itu Makhluk”. Barang siapayang myatakan demikian, niscaya ia telah kufur kepada
Allah Yang Maha Agung dan saat itu pula jatuhlah talak kepada isterinya.
D. Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Umat islam telah sepakat bahwa
membuat hadits maudhu’ hukumnya haram secara mutlak tidak ada perbedaan antara
mereka. Menciptakan hadits maudhu’ sama dengan menduakan kepada Rasulullah saw.
Orang yang melekukan hal demikian diancam dengan api neraka, sebagaimana sabda
Beliau:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مٌتَعَمِّدَا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
Artinya
: “Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendak bersiap-siaplah
tempat tinggalnya didalam neraka”.
Sebagaimana haram membuat hadits
maudhu’, para ulama juga sepakat haram
meriwayatkannya tanpa menjelaskan kemaudhu’an atau kebohongannya. Sebagaimana
hadits Nabi saw:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيْثِ يُرَى
أَنَّهُ كَذِبُ فَهُوَ أَحُدُ الْكذَّابِيْنَ
Artinya
: ”Barang siapa yang memberitakan dari
padaku sesuatu hadits yang diketahui bahwa ia bohong, maka ia tergolong seorang
penbohong”. (HR.Muslim)
Jadi dapat kita pahami bahwa membuat
hadits palsu Hukumnya Haram. Dan demikian juga para Ulama telah berijma’
mengharam kan periwayatan hadits palsu dalam berbagai kepentingan apapun,
Karena hal tersebut telah ikut mendorong kearah perbuatan dusta dan kepalsuaan
yang diharamkan oleh agama.
E. Ciri-Ciri Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ dapat diketahui
melalui tanda-tandanya yang ada pada sanad atau pada matan.
1.
Tanda-Tanda Maudhu’ pada Sanad.
a.
Pengakuan pembuatnya sendiri
Sebagaimana pengakuan Abdul Karim bin
Abu Al-Auja ketika akan di hukum mati ia mengatakan: “Demi Allah swt aku
palsukan padamu 4.000 buah hadits. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku
halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya atas intruksi Muhammad
bin Sulaiman bin Ali Gubernur Bashrah (160-173 H). Maysarah bin Abdi Rabbih
Al-Farisi mengaku banyak membuat hadits maudhu’ tentang keutamaan Al-Qur’an dan
keutamaan Ali. Ia mengaku membuat hadits maudhu’ lebih dari 70 hadits. Demikian
juga Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami’ mengaku banyak membuat
hadits maudhu’ yang disandarkan kepada Ibnu Abbas tentang keutamaan Al-Qur’an.
Adanya bukti (qarinah) menempati pengakuan
Seperti
seorang yang pengakuannya meriwayatkan Hadits dari seorang syeikh, tetapi
ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung, atau pernah menerimah hadits
dari suatu daerah , tapi ia sendiri belum pernah melakukan Rihlah
(perjalanan)
ke daerah tersebut, atau juga pernah menerimah hadits dari syeikh tapi syeikh
tersebut di ketahui sudah meninggal ketika ia masih kecil.
b. Kedustaan perawi
Seorang
perawi yang di kenal berdusta(seorang pembohong) meriwayatkan suatu hadits sendirian dan
sementara itu tidak di temukan dalam riwayat lain, maka itu di tetapkan sebagai
hadits Maudhu’.
2.
Tanda-Tanda Maudhu’ pada Matan
a. Lemah
susunan dan lafalnya.
Seorang
yang memiliki keahlian bahasa dan sastra memiliki ketajaman dalam memahami
hadits dari Nabi saw atau bukan hadits maudhu’ ini bukan bahasa Nabi saw yang
mengandung sastra, karena sangat rusak susunannya. Ar-Rabi’ bin Khats yang berkata:
اِنَ لِلْحَدِ يْثِ ضَوْءَا
كَضَوْءِ النَّهَارِ نَعْرِفُهُ وَظُلْمَةَ كَظُلْمَةِ اللَّيْلِ نُنْكِرُهُ
Artinya:
”Sesungguhnya hadits itu bercahaya seperti cahaya siang kami mengenalnya dan
memiliki kegelapan bagaikan gelap malam kami menolaknya”
Hadits palsu di riwayatkan secara
eksplisit bahwa ini lafal dari Nabi dapat dideteksi oleh para pakar yang ahli
dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadits yang sesungguhnya dan hadits
palsu. Jika tidak dinyatakan secara eksplisit, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani,
hadits itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia
beralasan riwayah bi al-ma’na atau karena tidak bisa menyusunnya secara baik.
b. Rusaknya
makna
Rusaknya
makna karena bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi kaedah kesehatan,
mendorong pelampiasan biologis seks, dan lain-lain dan tidak bisa ditakwilkan.
Misalnya sebagaimana diriwayatkan Ibnu Al-Jauzi dari jalan Thariq Abdurrahman
bin zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
أَنَّ سَفِيْنَةَ نُوْحِ طاَفَّتْ بِالْبَيْتِ سَبْعَا
وَصَلَّتْ عِنْدَ الْمَقَامِ رَكْعَتِيْنِ
Artinya
: ”Bahwasanya perahu Nabi Nuh bertawaf di Bait (Ka’bah) 7 kali dalam shalat di
maqam Ibrahim dua raka’at”.
c. Menyalahi
teks Al-Qur’an atau hadits mutawatir
Termasuk
tanda maudhu’ adalah menyalahi Al-Qur’an atau hadits mutawatir dan tidak
mungkin ditakwilkan, kecuali jika dapat dikompromikan melalui takhshish al-‘amm
atau tafshil al-mujmal dan lain-lain sebagai langkah-langkah pemecahan yang
telah dilakukan ulama ushul fiqh.
Contoh
hadits palsu yang bertentangan ayat Al-Qur’an, misalnya:
وَلَدُ الزَّنا لَايَدْخُلٌ الْجَنَّةَ اِلَى سَبْعَةِ أَبْنَاء
Artinya
:”Anak zina masuk tidak bisa masuk surga sampai tujuh keturunan”.
Hadits
di atas bertentangan dengan firman Allah swt:
وَلَاتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Artinya:“Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemadharatanya kembali kepada dirinya
sendiri.” (QS.Al-An’am 6:164)
d. Menyalahi
realita sejarah
Hadist yang bertentangan dengan
kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah Saw, dan jelas
tampak kebohongannya, seperti hadist tentang ketentuan jizyah (pajak) pada
penduduk khaibar. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan hadits tersebut.
Pertama; dikatakan bahwasahnya
hal itu diriwayatkan dari Sa’ad ibn Mu’adz. Kedua; Kewajiban jizyah saat itu belum diterapkan.
e.
Hadits sesuai dengan madzhab perawi
Misalnya
hadits yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaini, ia berkata: Saya mendengar
Ali berkata:
عَبًدْتُ اللَّهَ مَعَ رَسُوْلِهِ قَبْلَ
أَنْ يَعْبُدهُ أَحُدُ مِنْ هَذَهِ الْأُمَّةِ خَمْسَ
سِنِيْنَ أَوْ سَبْعَ سِنِيْنَ
Artinya
:”Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun dari
umat ini lima atau tujuh tahun”.
Hadits
ini mengkultuskan Ali sesuai dengan madzhab Syi’ah, tetapi pengkultuskan itu
juga tidak masuk akal, bagaiman Ali beribadah bersama Rasul lima atau tujuh
tahun sebelum umat ini.
f.
Mengandung pahala yang mengandung kelebihan bagi amal yang kecil
Hadits
ini disampaikan oleh para tukang kisah yang ingin menarik perhatian para
pendengarnya untuk melakukan perbuatan amal shaleh. Tetapi memang terlalu
tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang berlebihan.
Misalnya:
مَنْ صَلَّى الضُّحَى كَذَ وَكَذَا
رَكْعَةَ أُعْطِيَ ثَوَابَ سَبْعِيْنَ نَبِيَّا
Artinya
:”Barang siapa yang shalat Dhuha’ sekian raka’at diberi pahala tujuh puluh
Nabi”.
g. Sahabat
dituduh membunyikan hadits
Sahabat dituduh menyembunyikan hadits
dan tidak menyampaikan atau tidak meriwayatkan kepada orang lain, padahal
hadits itu secara transparan harus disampaikan Nabi saw. Misalnya, Nabi saw
memegang tangan Ali bin Abi Thalib dihadapan para sahabat semua, kemudian
bersabda:
هَذَا وَصِيِّي وَأَخِيْ وَالْخَلِيْفَةُ مِنْ بَعْدِ
Artinya
:”Ini wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku”.
Seandainya itu benar hadits dari Nabi
saw tentu banyak diantara sahabat yang meriwayatkannya karena masalahnya adalah
untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam
tidak meriwayatkannya jika hal itu terjadi benar Rasulullah saw.
F. Para Pendusta dan Kitab-Kitab Hadits Maudhu’
1. Para
pendusta dalam hadits.
Diantara
para pendusta hadits yang diketahui setelah penelitian yang dilakukan oleh para
ulama, adalah sebagai berikut:
a. Aban bin Ja’far Al-Numaiqi, membuat 300
buah hadits yang disandarkan kepada
Abu Hanifah.
b. Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat
hadits disandarkan pada Malik.
c.
Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini,
juga membuat beribu-ribu hadits kepentingan kelompok As-Karramiyah.
d. Jabir bin Zaid Al-Jua’fi, membuat 30.000
buah hadits.
2.
Kitab-kitab tafsir
Kitab-kitab tafsir yang
terdapat banyak hadits maudhu’, antara lain: Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi,
Az-Zamakhsyari, Al-Baidhwi dan Asy-Syaukani.
3.
Kitab-kitab maudhu’ yang terkenal
Diantara kitab-kitab yang memuat hadits maudhu’
adalah sebagai berikut:
a) Tadzkirah Al-Maudhu’at, karya Abu
Al-Fadhal Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (448-507 H). Kitab ini menyebutkan
hadits secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang di nilai cacat (tajrih).
b) Al-Maudhu’at
Al-Kubra, karya Abu Al-Faraj Abdurahman Al-Jauzi (508-587 H) 4 jilid.
c) Al-La’ali
Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin As-Suyuthi (849-911
H).
d) Al-Ba’its
‘ala Al-Khalash min Hawadits Al-Qashash, karya Zainuddin Abdurrahman Al-Iraqi (725-806H).
e)
Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fi
Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya Al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
(1173-1255 H).
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin
ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih
termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara
estensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu
itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan
bisa tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matlu
dan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh
ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang
muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.Generasi penerus
Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun
masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman
kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara
periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Tasyri’ islam, telah melalui
beberapa periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’ hukum islam berbeda pendapat tentang membagi
periode-periode yang telah dilalui oleh hukum islam itu, demikian juga jangka
lamanya.Yaitu ada enam fase-fase Tarikh Tasyrik:
Ø Periode pertama
Fase tasyri’, yaitu masa Rasulullah,
yang lamanya 22 tahun dan beberapa bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijrah
s/d tahun 11 Hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.
Ø Periode kedua
Fase perkembangan fiqh periode para Khulafaur
Rasyidin dan Amawiyin, yang berlangsung dari tahun 11 H (= 632 M) s/d 40 H (=
720 M).
Ø Periode ketiga
Fase perkembangan fiqh periode
kesempurnaan, yaitu periode Imam-imam Mujtahidin, yaitu masa keemasan Daulah
‘Abbasiyah. Periode ini berlangsung +- 250 tahun, sejak tahun 101 H (=720 M)
s/d 350 H (= 961 M). Atau sampai permulaan abad 2.
Periode
keempat
Fase perkembangan fiqh periode
kemunduran dan periode taqlid atau periode jumud, beku, statis, dan berhenti
pada batas-batas yang telah ditentukan oleh ulama-ulama dahulu dengan tak mau
beranjak lagi, yaitu sejak pertengahan abad keempat Hijrah atau tahun 351 H,
yang sampai sekarangpun masih banyak terdapat luas perkembangannya dalam
masyarakat.
Periode
kelima
Periode
kebangkitan atau periode Renaissance.
G. Langkah-Langkah Para Ulama dalam Menanggulangi
Hadits Maudhu’
Agar jelas posisi hadits maudhu’
tidak tercampur dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah saw. Diantara
usaha-usaha itu sebagai berikut:
1. Memelihara sanad hadits
Jika
disertai sanad, maka suatu hadits tidak dapat di terima. Muhammad bin Sirin
mengatakan:”Para ulama semula tidak bertanya tentang sanad sunnah”. Tetapi
setelah pemalsuan hadits, mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya:
Sebutkan kepada kami para perawinya. Maka mereka memang ahli sunnah yang
diambil haditsnya dan dilihat ahli bid’ah tidak di ambil ahli haditsnya.
Abdullah
bin Al-Mubarak berkata:
مِثْلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ دِيْنَهُ بِلَا إِسْنَادِ كَمِثْلِ الَّذِي
يَرْتَقى السَطْحَ بِلَا سُلَّمِ
Artinya
:”Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik
loteng tanpa tangga”.
2.
Meningkatkan kesungguhan penelitian
Jika hadits mereka terima itu
meragukan atau datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam
permasalahan hadits, segera mereka mengadakan rihlah (perjalanan) sekalipun
dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau
yang terlibat dalam kejadian hadits.
3. Mengisolir para pendusta hadits
Para ulama berhati-hati dalam menerima
dan meriwayatkan hadits. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadits
dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan dari padanya. Semua ahli ilmu juga
menyampaikan hadits-hadits maudhu’ dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar
mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadits dari padanya.
4. Menerangkan keadaan para perawi
Dalam membasmi hadits maudhu’ para ahli
hadits berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hangga wafat
ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadits, dari yang jujur,
adil
dan andal daya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadits
yang shahih dan mana yang tidak shahih.
5. Memberikan kaidah-kaidah hadits.
Para ulama meletakkan dasar-dasar atau
kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian hadits untuk menganalisa
otensitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan, dha’if dan maudhu’.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sahabat kecil
adalah umat muslim yang pada masa nabi Muhammad ia masih berusia belum baligh
atau mukalaf. Dalam artian orang yang sempat melihat nabi dan pada saat itu ia
masih kecil.
1. Abu
Hurairah
2. Abdullah ibn Umar ibn Al-Kaththab ibn
Nufail Al-Quraisy Al-Adawi Abu Abd-Rahman Al-Makki
3. Anas ibn Malik ibn Nazhar Al-Anshari
Al-Khazrani
4. Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq
5. Abdullah ibn Abbas ibn Abd
Al-Muttalib Al-Madani Ath-Thaifi Al-Hasyimi
6. Jabir ibn Abdullah ibn Amr ibn Haram
Al-Anshari
7. Abu Sa'id Al-Khudri.
Tabi'in
(bahasa Arab: التابعون, pengikut), adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah
para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu
saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja
pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in
merupakan murid Sahabat Nabi.
1. Khalifah
Umar ibn Abdul Aziz
2.
Amarah Binti Abd
Ar-Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zararah Al-Anshariya Al-Madaniyah
3.
Abd Ar-Rahman
Ibn Al-Qasim
4.
Muhammad ibn
Muslim Ibn Ubaidillah ibn Abdullah ibn Syihab ibn Abdullah ibn Al-Harits ibn Zahrah
ibn Kilab ibn Marrah Al-Quraisy Az-Zuhri Al-Faqih Abu Bakar Al-Hafidzh
Al-Madani
5. Abu
Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm Al-Anshori Al-Khazraji An-Najjari
Al-Madhani Al-Qadha.
Hadits maudhu’ adalah hadist yang bukan
disandarkan kepada Rasulullah Saw, atau dengan kata lain Bukan hadist Rasul,
akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu
dengan suatu alasan kemudian dikatakan kepada Rasul.
Sejarah
Awal Terjadinya Hadits Maudhu’
Ketika
Rasulullah Saw wafat, Hadits masih dalam keadaan bersih dari berbagai
pemalsuaan maupun perubahan. Keadaan ini terus berlangsung pada zaman Khaulafah
Al-Rasyidin, para sahabat sabgat berhati-hati dan teliti serta tegas dalam
menerimah hsdits dari Rasul.
DAFTAR PUSTAKA
As Salafy, dkk. 2007. Ilmu Hadits. Jakarta: Daaru Ibn Hazm.
Ash
Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 1999.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Idri, 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Munzier, Suparta. 2010. Ilmu
Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muta’al, Isa Anshori Dkk. 2005. Ulumul Hadits. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Nuruddin,
Itr. 1994. Ulum Al-Hadits. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Qohar, Adnan, 2009.
Ilmu Ushul Fiqh.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.
No comments:
Post a Comment