HADISMUTAWATIR DAN HADIS AHAD
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas
MataKuliahUlumul Hadis
Dosenpengampu: Qidatul Marhumah,M.Thi
Disusunoleh:
PROGAM
STUDIILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN
USULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA NEGERI(STAIN) KEDIRI
2016
SEKOLAH TINGGI AGAMA NEGERI(STAIN) KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentangHADIS MUTAWATIR dan HADIS AHAD ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterimakasihpadaIbu Qoidatul
Marhumah,M.Thi selaku Dosen matakuliah Ulumul Hadisyang telah memberikan tugas
ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa itu
Ulumul Hadis. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………….. i
DAFTAR
ISI………………………....……….…………………….………........ii
BAB I PENDAHULUAN……………………............………………………..... 1
A.
LatarBelakang…………….………..…………………….........................1
B.
Rumusan Masalah......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..……............. 2
A.
Hadis
Mutawatir.......................................................................................2
1. Pengertian Mutawatir..................……………….………….......... 2
2.
Syarat Mutawatir...............……........………...………….……......3
3.
Hukum Hadis Mutawatir............……………………….…....……
4
4.
Macam-macam Hadis Mutawatir……………………………….… 4
5.
Keberadaan Hadis Mutawat………………..……………...………..6
6.
Faedah Hadis Mutawatir….....…………………………...………….7
7.
Kitab-kitab Hadis Mutawatir………………………………………..7
B.
Hadis Ahad...…………………………………………….………..…………8
1.
Pengertian
Hadis Ahad……….………….….……………...….........8
2.
Macam-macam Hadis Ahad……………………………..……..........9
a.
Hadis Masyhur.................................................................9
b.
Hadis Aziz......................................................................12
c.
Hadis Ghorib..................................................................13
3. Faedah Hadis
Ahad....................................................................18
4. Kehujjahan Hadis Ahad.............................................................18
BAB III
KESIMPULAN………………….........……………...….…..…….…….. 22
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana
diketahui, bahwa hadis Nabi Muhammad saw. dapat sampai kepada kita melalui
jalur periwayatan. Periwayatan yang diawali dari para sahabat, tabi’in hingga
perawi terakhir dan kemudian hadis tersebut dibukukan dan dapat kita baca
teks-teksnya. Dalam proses periwayatan itu, ada hadis Nabi saw yang
diriwayatkan oleh beberapa sahabat, dan ada pula yang diriwayatkan oleh satu sahabat. Sebuah hadis
terkadang memiliki banyak perawi, ada pula yang hanya memiliki satu atau dua
perawi.
Banyak
sedikitnya perawi terkadang berpengaruh dalam menentukan kualitas sebuah hadis.
Sebagaimana pernah disinggung, bahwa hadis yang memiliki banyak sanad
kulitasnya lebih kuat daripada hadis yang hanya memiliki satu sanad, tentunya
dengan beberapa ketentuan yang sudah dijelaskan dibahasan sebelumnya. Kaitanya
dengan kuantitas atau sedikit banyaknya jumlah perowi, para ‘ulama membagi
hadis Nabi saw menjadi dua bagian, yaitu: Mutawatir dan Ahad.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah hadis
Mutawatir itu?
2.
Apa faedah dari
hadis Mutawatir?
3.
Bagaimana
eksistensi hadis Mutawatir?
4.
Apa pengertian
hadis Ahad?
5.
Apa faedah dari
hadis Ahad?
6.
Bagaimana
kehujjahan hadis Ahad?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengelompokkan
Hadits dari Segi Banyaknya Perawi
Sebagaimana yang diketahui, bahwa hadits
Nabi saw dapat sampai kepada kita melalaui jalur periwayatan. Yaitu periwayatan
yang diawali dari para sahabat, tabi’in hingga perawi terakhir dan kemudian
dibukukan dan dapat kita baca teks-teksnya. Dalam proses periwayatan tersebut,
ada hadits-hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat, dan ada
juga yang diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Sebuah hadits terkadang
memiliki banyak perawi, dan terkadang hanya memiliki satu atau dua perawi saja.
Pengelompokan hadits dilihat dari banyak
sedikitnya rawi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad. pengelompokan ini tidak mempermasalahkan segi kualitas isi hadits, akan
tetapi hanya melihat dari hitungan banyaknya perawi.
A.
Hadits
Mutawatir
1.Pengertian
Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi
yakni yang datang berikutnya atau beriringan-iringan yang antara satu
dengan yang lain tidak ada jaraknya[1]. Adapun menurut istilah,
para ulama’ ahli hadits berpendapat:
هو خير عن محسوس
رواه عدد جم يحب في العادة إ؛الة إتماعهم وتواطهم علي الكذب
Artinya: “Khabar
yang didasarkan pada panca indera yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu dengan
dusta”.
ما رواه جمع تحيل
العادة تواطؤهم علي الكذب
Artinya: “Hadits
yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula
yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong”.
ما كان عن محسوس أبر
به جماعة بلغوا في الكثرة مبلغا تحيل العادة توتؤهم علي الكذب
Artinya : “Hadits
yang didasarkan pada panca indera (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi
mereka berbohong”.
2.
Syarat-Syarat
Hadits Mutawatir
Dari pengertian hadits mutawatir di atas,
dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir adalah berita atau hadits yang
bersifat inderawi (dapat didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak
orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi
mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk
kebohongan.
Berdasarkan pengertian di atas, ada 4 syarat
hadits mutawatir, yaitu:
a.
Diriwayatkan oleh
sejumlah orang banyak
Jumlah perawi hadits mutawatir harus
banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah perawi hadits ini.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa jumlah minimal ada tujuh puluh orang
perawi, berdasarkan firman Allah SWT:
وأختار موسى قومه
سبعين رجلا لميقاتنا
Artinya:
“Dari Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat
kepada
Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan ” (Q.S Al-A’raf {7}:155)
Sedangkan
Ashab Asy-Syafi’i berpendapat bahwa
batas jumlah perawi hadits mutawatir adalah sebanyak lima orang.. Abu
Ath-Thayib berpendapat empat orang perawi, dengan pertimbangan saksi pada
masalah zina adalah empat orang. Sedangkan ulama lain ada yang membatasi dengan
kurang dari dua belas orang, dan sebagian yang lain membatasi empat puluh orang
perawi.
b. Jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Adanya jumlah perawi yang banyak pada
setiap tingkatan atau sanad. Artinya hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh
banyak orang pada sanad awal sampai akhir sanad. Apabila hadits tersebut
diriwayatkan oleh banyak perawi pada sebagian sanadnya saja, maka hadits tersebut
tidak dapat digolongka sebagai hadits mutawatir.
c.
Mustahil bersepakat
berbohong
Misalnya para perawi dalam sanad itu datang
dari berbagai negara yang berbeda berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat
yang berbeda pula. Kemudian sejumlah perawi tersebut secara logika dan adat
atau kebiasaannya mustahil sepakat untuk berdusta.Pada masa awal pertumbuhan
hadits tidak dapat dibandingkan dengan masa sekarang. Di samping masalah
kejujuran, daya ingat para perawi hadits sangat kuat, bahkan mereka membutuhkan
transportasi yang sulit untuk menjangkau antar daerah, dan waktu yang lama
untuk menyampaikan atau mendapatkan hadits. Oleh sebab itu, mustahil bagi
mereka untuk sepakat berdusta. Di antara
alasan pengingkaran sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah
perawi yang banyak akan tetapi adanya kemungkinan dusta dari perawi.
d. Sandaran berita
pada panca indera
Maksud dari pancara indera di sini adalah
bereita itu dapat didengar dengan telinga atau dapat dilihat dengan mata dan
disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal, sperti tentang
sifat barunya alam , berdasarkan keadaan logika. Jumlah hadits mutawatir lebih sedikit jika dibandingksn dengan hadits
ahad. contoh hadits mutawatir adalah hadits tentang telaga (al-hawdh)yang diriwayatkan
oleh 50 orang sahabat, hadits
menyapu sepatu
(khawf) diriwayatkan oleh 70 orang sahabat, hadits tentang mengangkat kedua
tangan dalam shalat oleh 50 orang sahabat.
3.
Hukum
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’i
al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut.
Olh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadis mutawatir, bahkan
para ulama menghukumi kufur, bagi orang yang mengingkari hadis mutawatir.
Mengingkari hadis mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan
pasti sumbernya dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat difahami bahwa
penerimaan hadis mutawatir tidak membutuhkan proses seperti halnya hadis ahad.
Cukup dengan bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini
kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa
ada sahabat Nabi yang bernama Umar bin Khattab. Sekalipun kita belum pernah
melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.[2]
4. Macam-Macam
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir
dibagi menjadi tiga macam, yaitu: mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi,
dan mutawatir ‘amali. Sedangkan menurut ulama ushul Fiqh membagi
mutawatir hanya ke dalam dua macam, yaitu: mutawatir lafdzi dan mutawatir
ma’nawi.
a. Mutawatir lafdzi
[3]ما تواترت روايته على
لفظ واحد
“hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafat”.
Ada juga yang mengatakan bahwa
hadis mutawatir lafdzi adalah:
ما توا تر لفظه و
معناه
“hadis
yang mutawatir lafaz dan maknanya”
Berat dan ketatnya hadis mutawatir lafdzi
seperti diatas, menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut ibnu Hibban
dan Al-Hazimi, bahwa hadis mutawatir dengan ta’rif ini tiada diperoleh. Ibn
Al-Salamah yang diikuti oleh Al-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawatir lafdzi
sedikit sekali, sukar dikemukakan.
Menurut ‘ajjaj al-khattib ialah hadis yang
lafadznyz diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi-perawi yang
tidak memungkinkan mereka untuk berdusta dari awal sampai akhir sanad.
Menurut Taahir al-jazaairi adalah hadis
yang sama lafal-lafal perawinya dalam satu matan sebagaimana mereka mengatakan فتح فلان مد ينة maka matan yang
lain harus mengatakan hal yang sama persis,
atau dengan
menggunakan lafal yang lain yang semakna dan menunjukkan makna yang dimaksud
secara jelas.
Sebagai conto tentang hadis mutawatir yang
lafadh adalah hadis tentang larangan berdusta:”siapa yang mendustakan atas
diriku secara sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dineraka.
Para ulama menyebutkan sanad hadis tersebut
dengan bervariasi jumlahnya namun secara keseluruhan menunjukkan jumlah yang
banyak. Menurut Abu Bakar as-sairaqi hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 60
sahabat secara marfu’. Sebagian al-huffadz telah diriwayatkan olh 62 sahabat termasuk
10 orang sahabat yang dijanjikan masuk surga. Demikian juga ibrahim al-harbi
bin Abu Bakar Al-Bazzar menyatakan bahwa hadis itu diriwayatkan sekitar 40
sahabat. Abuu al-Qasim ibn mandah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh
lebih dari 80 oarang sahabat.
b. Mutawatir
Ma’nawi[4]
yang dimaksud dengan hadis mutawatir
ma’nawi adalah hadis yang maknanya mutawatir tetapi lafadznya tidak.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis
mutawatir ma’nawi adalah hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil
mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai
bentuk tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan.
Al-Suyuthi
mendefinisikan sebagai hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut
adat mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda tetapi bertemu
pada ttik persamaan.
Misalnya, seseorang meriwayatkan bahwa
hatim umpamanya memberikan seekor unta kepada seorang laki-laki. Sementara yang
lain meriwayatkan, bahwa hatim memberi uang kepada seorang laki-laki dan
denikian seterusnya.
Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat
memahami bahwa hatim adalah seseorang yang pemurah. Sifat pemurahnya hatim ini
kita pahami melalui jalan khabar mutawatir ma’nawi.
c. Mutawatir ‘amali
adapun yang dimaksut hadis mutawatir ‘amali
adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan
telah mutawatir antara ummat islam bahwa Nabi saw mengerjakannya, menyuruhnya,
atau selain dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.[5]
Hadis-hadis yang berkaitan dengan mutawatir
‘amali cukup banyak dan juga beraneka ragam bentunknya. Yang jelas
berita-berita yang menerangkan tentang praktik agama seprti, waktu sembahyang,
jumlah rakaatnya, tata cara sholat jenazah, tatacara sholat id, tata cara haji,
hijab bagi perempuan dan yang bukan mikhrimnya kadar zakat, maka seua tersebut
hadis mutawatir ‘amali. Konkretnya adalah segala jenis amal yang telah menjadi
ijma’ ( kesepakatan) ahli ijma’ maka termasuk golongan mutawatir amali.[6]
5. Keberadaan Hadits Mutawatir
Ibn
Shalah berpendapat bahwa hadits Mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini
dibantah keras oleh ibn Hajar, “orang yang mengatakan bahwa hadits mutawatir
jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadits”.
Para
ulama kemudian berusaha menyatukan dua pendapat ini. Apabila yang dimaksudkan
oleh Ibn Sholah adalah mutawatir lafdli, maka pendapat tersebut ada benarnya,
karena keberadaan hadits mutawatir lafdli pada kenyataannya memang tidak
banyak. Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadits mutawatir jumlahny abanyak,
juga ada benarnya, jika yang dimaksud adalah hadits mutawatir maknaawi atau
mutawatir secara umum.[7]
6. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits
mutawatir memberi faedah ilmu ad-dlarury, yaitu keharusan untuk menerimanya
bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir, sehingga membawa
kepada keyakinan yang qath’y (pasti).
Rawi-rawi Hadits mutawatir tidak perlu lagi
diselidiki tentang keadilan dan Kedlabitannya, karena kuantitas rawi-rawinya sudah
menjamin dari kesepakatan dusta. Nabi Muhammad saw benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu, sebagaimana ayang diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir.
Seluruh
umat Islam teh sepakat tentang faedah hadits mutawatir yang demikian. Bahkan,
orang yang mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan khabar mutawatir,
sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyadat
(pengelihatan panca indera).
7. Kitab-Kitab Hadits Mutawatir
Sebagian ulama
mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam beberapa kitab, diantaranya:
a. Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, hadis-hadis
yang terdapat dalam kitab ini disusun berdasarkan bab-bab dan setiap hadis
disertai sanad-sanadnya didalam kitab ini terdapat seratus hadis sdangkan
menurut al-kattani berjumlah 112 hadis.
b.Qath Al-Azhar,
karya As-Suyuthi.kitab ini merupakan ringkasan dari kitabnya yang pertama.
Teknik peringkasan yang diprgunakan adalah dengan mengambil salah satu sanad
dari seorang imam yang mengeluarkannya lalu didatangkan pula sejumlah hadis
yang diriwayatkan oleh satu sanad itu. Diantaranya adalah hadis tentang telaga,
yang diringkas dari riwayat lima puluh orang sahabat, hadis tentang mengusap
kdua sepatu dari riwayat tujuh puluh orang sahabat.
c. Al-La’ali’
Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad
bin Thulun Ad-Dimasyqi
d. ithaf Dzawil
Fadha’il al-Musytasyhirah bi Maa Waqaa’a min Ziyadah ‘Alaa al- Azhar al- mutanaastsirah min al-hadis
al-mutawatirah. Karya ustadz syeikh ‘Abdul ‘Aziiz
al- Gammari. Kitab ini berisi revisi terhadap kitab karya al-kattani.
Dalam kitab ini dijelaskan tentang
jumlah hadis mutawatir yang benar.
e. Nadzam
Al-Mutanatsirah min Al-Hadits
Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani. Dalam kitab ini terdapat 310 hadis mutawatir baik itu berupa mutawatir lafdzi maupun maknawi.
f. luqt
al-Liaalii al- Mutanaastsirah fii al-hadis al- mutawatirah. karya Abii al-
Faidh Muhammad Murthadhaa al- Husaini
az-Zubaidi al-misri merupakan ringkasan dari karya
ibn. Taaluun.
B.
Hadits
Ahad
1.
Pengertian
Hadits Ahad
Kata Al-ahad
jama’ dari kata ahad menurut bahasa berarti al-wahid atau
satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh
satu orang.[8]
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis Ahad
menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama, antara lain sbagai
berikut:
a.
Tahir al-jazaa’iri
ad-dimasyqy dalam bukunya taujiih an-nadzar ‘ilaa ushul al-‘atsar,
mengatakan[9]:
مَالَمْ تَبْلُغُ
نَقْلَتُهُ فِى الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِالْمُتَوَاتِرْسَوَاءٌكَانَ
الْمُخْبِرُوَاحِدًا أَوْاِثْنَيْنِ أَوْثَلَاثًا اَوْ أَرْبَعَةً أَوْخَمْسَةَ
اَوْاِلَ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ لأَعْدَادِالَّتِيْ لَاتَشْعُرُبِأَنَّ
الخَبَرَدَخَلَّ بِهَا فِى خَبَرِ المُتَوَاتِرِ
“khabar yang jumlah perawinya tidak
mencapai batasan jumlahperawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga
empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah
perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir”.
b.
Ahmad bin Muhammad
bin Ishaaq dalam as-Syaasyii, ushul as-syaasyii, mengatakan[10]:
خبرالوحد هو ما نقله
وا حد عن واحد أو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد ولا عبرة للعددإذالم تبلغ حد
المشهور
“khabar wahid adalah khabar yang dinukil seorang rowi
dari seorang rawi yang lain, atau yang dinukil seoranh rawi dari sekelompok
rawi, atau sekelompok rawi menukil dari seorang rawi dan secara jumlah tidak
sampai pada batasan jumlah hadis masyhur”.
c.
‘Ajjaj Al-Khatiib
dalam Ushul al-Hadis Ulumul wa
Mustahalul, mengatakan:
هومارواهالواحدأوالاثنان
فأكثرمما لم تتوفر فيه شروط الحديث المشهورأوالمتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذلك
“Khabar yang diriwayatkan seorang
rawi atau dua orang rawi ataupun lebih akan tetapi tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan hadis masyhur ataupun mutawatir. Secara jumlah tidak
memenuhi kriteria tersebut”.
2.
Macam-Macam
Hadits Ahad
Menurut Mahmud al-
Thahhan, hadis ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya, terbagi menjadi tiga,
yaitu: Hadits Masyhur, Hadits ‘Azis, dan Hadits Gharib.[11]
a. Hadits Masyhur
1). Pengertian Masyhur
menurut bahasa, ialah al-intisyar
waal-dzuyu’: sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Sedangkan menurut
istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Menurut ulama
ushul:
مَارَوَاهُ مِنْ
الصَّحَابَةِ عَدَدُ لاَ يَبْلُغُ حَدَّ التَّوَاتُرِ ثُمَّ تَوَاتَرَ بَعْدَ
الصَّحَابَةِ وَ مَنْ بَعْدَ هُمْ[12]
“hadis yang
diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah
mereka”.
Ada juga
yang mendefinisikan hadis masyhur secara ringkas yaitu:
مَا لَهُ طُرُقٌ مَحْصُوْرَةٌ بِأَكْثَرِ مِنْ
اِثْنَيْنِ وَلَمْ يَيْلُغٌ حَدَّ التَّوَاتُرِ[13]
“hadis
yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak sampai
kepada batas hadis yang mutawatir”.
Hadis ini dinamakan masyhur karena telah
tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur “segala
hadis yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama
sekali, baik berstatus sahih atau dha’if”. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa
hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib
diamalkan, akan tetapi bagi orang yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadis masyhur ini ada yang berstatus
sahih, hasan, dan dha’if. Yang dimaksut dengan hadis masyhur sahih adalah hadis
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik dari sanadnya
maupun matannya, seperti hadis Ibnu ‘Umar
إِذَاجَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
(رواه البخارى)[14]
“Bagi siapa
yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR.
Bukhari)
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis
masyhur hasan adalah hadis masyhur yang
telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun
matannya, seperti sabda Rasulullah SAW.
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ[15]
“jangan
melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang lain).”
Adapun yang dimaksud dengan hadis
masyhur dha’if adalah hadis masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis
sahih dan hasan, baik pada sanad maupun ada matannya, seperti hadis:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
وَمُسْلِمَةٍ[16]
“Menuntut
ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”.
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis masyhur adalah :
·
Hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang atau lebih
·
Hadis yang dalam
jumlah setiap tingkatan tidak sama tetapi jumlah lebih dari tiga
·
Hadis yang memiliki
jalur terbatas
·
Hadis yang tidak
mencapai derajat atau batasan mutawatir.
2). Macam-Macam
Hadits Masyhur
Istilah
masyhur yang ditetapkan pada suatu hadis, kadang-kadang untuk menetapkan
kriteria-kriteria hadis menurut ketentuan diatas, yakni jumlah rawi yang
meriwayatkannya, akan tetapi ditetapkan pula untuk memberikan sifat suatu hadis
yang di anggap populer menurut ahli ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat
tertentu. Dari tujuan inilah menyebabkan ada suatu hadis bila dilihat dari
bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadis masyhur, tetapi apabila
dilihat dari kepopulerannya tergolong hadis masyhur.
Dari segi yang terakhir inilah, hadis masyhur
dapat digolongkan kepada:
a)
Masyhur dikalangan
ahli hadis, seperti hadis yang menerangkan, bahwa Rasulullah SAW. membaca do’a
qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh, berdo’a atas golongan ri’il dan
zakwan.[17] Hadis ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat sulaiman Al-Taimi dari
Abi-Mijlas dari Anas.
b)
Masyhur dikalangan
ulama ahli hadis, ulama-ulama lain, dan dikalangan orang umum, seperti:
الْمُسْلِمُ مَنْ
سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ (رواه البخارى ومسلم)[18]
“orang islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang islam
lainnya selamat dari lidah dan tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
c)
masyhur dikalangan ahli Fiqih
نَهَى رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه مسلم)
“Rasulullah SAW. melarang jual beli yang
didalamnya terdapat tipu daya”. (HR. Muslim)
d) masyhur dikalangan ahli ushul fiqh, seperti:
اذا حكم الحا كم فا
جتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فا جتهد ثم أخطأ فله أجر (رواه مسلم)
“Apabila seorang hakim memutuskan
suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia
memperolah dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila
ijtihadnya itu salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala ijtihad)”. (HR.
Muslim)
e) Masyhur dikalangan Ahli Sufi, seperti:
كنت كنزا مخفيا فأ حببن ان أعرف فخلقت الخلق فبي عر فو ني
“Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui
aku merekapun kenal padaku”.
f) Masyhur dikalangan ulama-ulama Arab, seperti
ungkapan:”kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dad (ض) sebab
kami dari golongan orang-orang Quraisy”.
Kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan
persoalan ini antara lain:
1.
Kasyaf Al-Khifa dan Mazil
Al-ilbas oleh ismail bin Muhammad Al-‘Ajaluni (1162 H )
2.
Al-Maqashid
Al-Hasanah fi Al-Ahadits Al-Mashurah karangan al-hafidz
syams al-din bin muhammad bin ‘abd al-rahman al-syakhawi (w: 902 H)
3.
Asna Al-mathalib oleh
syekh Muhammad bin sayyid barwisi
4.
Tamyiz Al-Tayibi oleh ibn
Al-Daiba’ Al-Syailani
b.
Hadits ‘Aziz
1. pengertian Hadis Aziz
Aziz adalah merupakan
sifat musyabihat , dari formula ‘azzu ya’izzu dengan menggunakan kasrah pada ‘ain mempunyai pngertian sesuatu yang jarang dan
hampir tidak ditemukan. Demikian juga kata Aziiz dengan ‘azzu ya’izzu menggunakan
fathah pada ‘aiin yang mempunyai pengertian, yang kuat yang memenangkan segala
sesuatu. Bila kata ini dihubungkan dengan pengertian hadis aziz maka mempunyai
pengertian hadis yang jarang ditmukan dalam setiap tabaqah berjumlah dua-dua
dan keberadaannya akan meningkat apabila didukung dengan riwayat yang lain.
Sedangkan pengertian
hadis aziz secara terminologi dikalangan ulama juga memberikan definisi yang
bervariasi sesuai dengan cakupannya masing-masing, definisi-definisi yang
dikemukakan oleh para ulama antara lain:
a)
Taahir
al-Jazaa’irii dalam kitab taujih an-nadzar menyatakan
“khabar yang
diriwayatkan sekelompok rawi dari kelompok yang lain meskipun jumlahnya pada
sebagian tabaqah hanya terdiri dua orang saja”.
b)
Imam dalam kitab
menyatakan bahwa hadis aziz adalah dua perawi atau tiga perawi yang menyendiri
meriwayatkan hadis tidak pada seluruh hadis yang diriwayatkan.
c)
Imam dalam kitab
menyatakan bahwa hadis aziz adalah dua prawi atau tiga perawi yang meriwayatkan
hadis dari orang-orang yang disepakati hadisnya.
2. pendapat ulama tentang hadis aziz
Berkaitan dengan
definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, ada perbedaan tentang jumlah
perawi yang meriwayatkan hadis dalam tingkatan-tingkatan sanad, antara lain:[19]
a)
Ibn Hibban
menyatakan bahwa periwayatan yang berasal dari dua perawi untuk diriwayatkan
dua perawi berikutnya adalah tidak ada.
b)
Ibn Hajar
al-Asqalani menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh ibn Hibban dengan
konsepnya, dapat kami terima. Beliau memberikan alternatif tentang konsep hadis
aziz dengan hadis yang diriwayatkan kurang dari oarang dari perawi yang jumlahnya
dua orang.
c)
Imam Bukhari
menyatakan telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama)
ya’kub bin ibrahim berkata, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan
metode sama) ibn aliyah dari ‘abdul aziz bin shuhaib dari anas juga diriwayatkan ‘adam dia berkata telah
menyampaikan kepada kami (menggunakan
metode yang sama) syu’bah dari qatadah dari anas r.a dari Nabi Muhammad saw,
beliau brsabda; tidaklah beriman seseorang kamu, hingga aku (Nabi) lebih
dicintai olehnya dari dirinya, ayahnya, putra-putrinya, dan manusia semuanya.
c. Hadits Gharib
1). Pengertian
Kata gharib berasal dari kata gharuba
dengan bentuk masdar gharaabatan yang berarti orang-orang yang jauh dari
tanah air.sedangkan kata dari pengertian kata ini mempunyai bentuk plural ghurabaau
2). Pengelompokan
Hadits Gharib
Ditinjau
dari segi bentuk penyendirian rawi seperti keterangan di atas, maka hadits
gharib itu terjadi menjadi dua macam:
Gharib-mutlak dan Gharib-nisbi
a).
Gharib-mutlak (Fard)
Apabila
penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya, maka
hadits yang diriwayatkan tersebut dinamakan dengan Gharib-mutlak. Penyendirian
rawi hadits ghari-mutlak ini harus berpangkal di tempat ashlu’s-sanad,
yaitu tabi’y, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan perbincangan
penyendirian rawi dalam hadits-gharib di sini, ialah untuk menetapkan apakah ia
masih dapat diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali.
Sedangkan
apabila penyendirian itu berupa seorang sahabat, maka tidak perlu diperiksa
karena sudah diakui keadilan sahabat tersebut. Contoh:
قال رسول الله ص.م: أالاءيمان بضع وسبعون شعبة.
والحياء شعبة من الايمان
Artinya:
“Nabi Muhammadsaw bersabda: Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang. Malu
itu salah satu cabang dari iman”
.
b).Gharib
Nisbi
Disebut
HaditsGharib-Nisbi ketika penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu dari seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu dari seorang perawi, mempunyai beberapa kemungkinan:
1).
Tentang Sifat Keadilan dan Kedlabitan Rawi
Misalnya
hadits Muslim tentang pernyataan ‘Umar bin Al Khatabah r.a kepada Abu Waqid
Al-Laitsy perihal surat-surat apa yang dibaca oleh pada shalat dua hari raya,
jawab Abu Waqid:
كان يقرأ في الاضحى والفطر بق
والقرأن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر
Artinya:
“Konon Rasulullah saw pada hari raya kurban dan fitrah membaca surat Qaf dan
surat Al-Qamar”
2). Tentang Kota Atau Tempat Tinggal Tertentu
Misalnya
hadits-hadits yang diriwyatkan oleh rawi-rawi dari bashrah saja:
أمرنا لرسول الله ص.م أن نقرأ
بفاتحة الكتاب وما تيسر منه
Artinya:
“Makanlah buah kurma muda dengan yang masak, sebab bila bani Adam memakan kurma
muda, setan-setan marah-marah”.
3).
Tentang Meriwayatkan dari Rawi Tertentu
إن النبي ص.م او لم على صفية
بتسويق وتمر
Artinya:
“Bahwa Nabi Muhammad saw. mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan
makanan yang terbuat dari tepung gandum dan kurma”.
Di
samping itu, ditinjau dari segi letaknya, dimatankan atau disanadkan maka
terbagi lagi menjadi tiga:
a)
Gharib Pada Sanad
dan Matan
Imam
muslim menyatakan telah menyampaikan
kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama)yahya bin yahya at-taimii telah menyampaikan kepada kami
(dengan menggunakan metode yang sama), sulaiman bin bilal dari abdillah bin dinar
bin ibn. Umar bahwasanya Rasulullah saw, bersabda: Nabi melarang jual beli
budak dan melarang juga penghibahannya.
b)
Gharib pada
sanadnya saja
Imam
timidzi menyampaikan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode
yang sama) Abu Bakar bin ishaq al bagdadi telah menyampaikan kepada kami
(dengan menggunakan metode yang sama) Abdullah bin yusuf at taisii as- syaamii,
telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) al-haistam
bin humaid telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang
sama)al-‘ala Bin harist dari al-qasim ‘abi abdirrahman dari unaisiyyah ibn abi
sufyan dia berkata: saya mendengar saudara perempuanku ummi habibah istri Nabi
saw berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: barang siapa menjaga empat
rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah mengharamkan
baginya api neraka.
c)
Gharib pada
sebagian matannya
Imam
bukhari menyampaikan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode
yang sama) al-humaidi abdillah bin az-Zubair dia berkata: telah
menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) sufyan, dia
berkata: telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama)
yahya bin sa’id al-Ansaari, dia berkata: telah menyampaikan kepadaku (dengan menggunakan metode yang sama) muhammad
bin Ibrahim at-Tamimi dia mendengar al-Qamah bin waqas al-Laits, dia berkata
saya mendengar ‘Umar bin Khattab ra diatas mimbar dia berkata saya mendengar
Rasulullah bersabda: sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya,
sesungguhnya seseorang tergantung pada niatnya, barang siapa niatnya hijrah
karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya maka hijrah adalah
sesuatu yang dituju.
3.
Cara Untuk
Menetapkan ke-gharib-an hadits
Untuk
menetapkan suatu hadits itu gharib atau tidak , dapat dilakukan dengan cara
memeriksa terlebih dahulu pada kitab-kitab hadits, seperti kitab Jami’
dan kitab Musnad, apakh hadits
tersebut memiliki sanad yang lain yang menjadi muthabi’ dan atau matan lain
yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar. Menurut
istilah, hadits mutabi’ adalah:
هو الحديث لأالي قد
تابع رواية غيره عن شيخه أو شيخ شيخه
Artinya:
“Hadits yang mengikuti periwayatan rawilain dari gurunya (yangbterdekat), atau
gurunya guru(yang terdekat itu)”
Muthabi’ sendiri
ada dua macam, yaitu:
a). Muthabi’
tam, yaitu apabila periwayatan muthabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’)
dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
b). Mutabi’
qashir, yaitu apabila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan
guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai pada guru yang jauh.
Adapun
yang dimaksud dengan syahid adalah
أن يروي حديثا اخر
بمعناه
Artinya:”
Meriwayatkan sebuah hadits lain sesuai dengan maknanya”
Hadits
syahid ada dua macam, yaitu:
1). Syahid
bi Al-Lafdzi, yaitu bila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang
lain sesuai dengan redaksi dan maknanya dengan hadits fard-nya
2).Syahid
bi Al-Ma’na, yaitu apabila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat lain
itu, hanya sesuai dengan maknanya.
d.
Kedudukan Hadits Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadits Ahad
Para
ahli hadits berbeda pendapat tentang kedudukan hadits Ahad. Pendapat tersebut
antara lain:
1).
Segolngan Ulama, seperti Al-Qsayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud,
mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadits ahad.
2).
Jumhur Ulama ushul menetapkan bahwa hadits ahad memberi faedah dhan. Oleh
karena itu, hadits ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3).
Sebagian Ulama menetapkan bahwa hadits ahad diamalkan dalam segala bidang.
4).
Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib diamalkan dalam
urusan ‘amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan
dalam urusan aqa’id (aqidah).
5). Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari
hukum-hukum Al-Qur’an.
6). Ahlu
Zhuhair (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zahiri) tidak membolehkan men-takhsis-kan
umum ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits ahad.
e.
Istilah-Istilah Nuhadditsin yang Bersangkutan dengan Hadits Gharib
Gharib dan fard adalah dua
istilah yang muradif. Kedua istilah tersebut dalam segi penggunaannya
berbeda. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk hadits fard nisby
(gharib nisby). Sedangkan istilah fard diterapkan untuk fard
mutlak. Dari segi kata kerjanya, para muhadditsin tidak mengadakan
perbedaan satu sama lain. Misalnya:
أغرب به فلان sama dengan تفرد به فلان
Istilah-istilah
yang sering dipakai untuk memberi ciri hadits gharib, antara lain:
هذا حديث غريب
Para
Muhadditsin mengartikan istilah tersebut dengan hadits fard nisby.
Menurut
Al-Baghawy dalam kitabnya Ashabihu’s-Sunnah, istilah itu diterapkan
untuk hadits syadz.
Dengan
ini, maka hadits syadz tidak termasuk hadits yang tentu ditolak dan
tidak pula akan berlawanan dengan kesahihan hadits. Dengan kata lain, hadits
syadz itu ada yang shahih.
غريب من هذا الوجه
Periwayatan
guru mutaba’ dari yang dekat sampai guru terjauh. Mutabi’ qashir, ialah apabila
periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja, tidak
sampai mengikuti guru-guru yang jauh.
Syahid,
sebagaimana diketahui, bahwa dalam mubtaba’ah itu disyaratkan adanya
sumber pengambilan yang sama antara mutaba’, yaitu bersumber dari
seoarang sahabat. Apabila sumbernya berasal dari beberapa orang sahabat yang
berlainan, , disebut dengan Hadits Syahid.
Dengan
istilah lain hadits syahid adalah:
أن يروي حديثا آخر
بمعناه
Artinya:
“Meriwayatkan hadits lain dengan sesuai maknanya”.
Hadits
Syahid ada dua macam:
1). Syahid
bi al-lafdhi
Yaitu
apabila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat sesuai redaksi dan maknanya
dengan hadits fardnya.
2). Syahid
bi al-ma’na
Yaitu
apabila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat hanya sesuai maknanya saja.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang
dinamakan dengan hadits-mutabi’, ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang lain
yang sesuai lafadhnya, dan yang dikatakan dengan syahid ialah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi lain yang sesuai makna hadits fardnya, baik
hadits tersebut bersumber dari seorang sahabat, maupun dari beberapa orang
sahabat. Sebagian ulama yang lain memutlakkan mutaba’ah kepada syahid
dan sebaliknya.
3. Faedah Hadis Ahad
Hadis
ahad memberikan manfaat kepada dzan (kemungkinan melakukan penelitian). Kata
dzanii dalam beberapa literatur disinonimkan dngan istilah nazhari, relatif dan
nisbi sinonim kata-kata ini apabila dihubungkan dengan faedah ahad mempunyai
arti tidak ada keharusan untuk menerima secara bulat tanpa adanya penelitian
dan pembahasan apapun. Setiap hadis ahad tidak memberikan keyakinan dan
kebenarannya bersifat relative sesuai dengan kualitas pembawa berita dan
kandungan dari berita yang dibawa. Untuk itu perlu untuk diadakan penelitian
pada serangkaian sanad dan kandungan hadis.
perawi-perawi
hadis dalam hadis ahad perlu diteliti tentang keadilannya, ketaqwaannya,
kemampuan menjauhi disa-dosabesar, menjauhi perbuatan mubah yang dapat menodai
perwiraannya, atau tentang kedzabitannya, kekuatan ingatan menguasai apa yang
diriwayatkan. Fungsi sanad dalam hadis ahad sangat dominan, hal ini berguna
untuk mengetahui keadaan rawi apakah mendapat kritikan ataupun mendapatkan
pujian.
Secara
teologis, orang yang mengingkari hasil yang telah dicapai oleh dzanii dengan
jalan ahad tidak ada konsekuensi apapun, artinya bahwa orang yang mengingkari
terhadap hadis ahad maka tidak dianggap sebagai kafir.[20]
4. Kehujjahan Hadis Ahad
Para
ulama memperbolehkan hadis ahad untuk diamalkan dan diterima umat islam, dengan
beberapa persyaratan. Persyaratan yang dikemukakan para ulama berkaitan pada
dua sisi, yaitu: berkaitan dengan para perawi hadis dan berkaitan dengan
substansi dari hadis.
Adapun
yang berkaitan dengan perawi hadis (sanad), adalah:
a)
Perawi harus ‘Adil
b)
Perawi harus Dhabit
c)
Perawi harus paham
dengan hadis yang disampaikan
d)
Perawi harus
melakukan dengan apa yang telah diriwayatkan
e)
Perawi harus
menyampaikan hadis dengan huruf-hurufnya
f)
Perawi hendaknya
mengetahui perubahan makna hadis dari lafal hadis yang sebenarnya
Sedangkan
pesyaratan yang berkaitan dengan substansi hadis adalah:[21]
a)
Hendaknya sanadnya
bersambung dengan Rasulullah
b)
Terhindar dari
syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘illat (cacat)
c)
Hendaknya tidak
bertentangan dengan as-Sunnah al-masyhurah, baik yang berupa qauliyah atupun
fi’liyah.
d)
Hendaknya tidak
bertentangan dengan perilaku sahabat dan tabi’in, serta tidak bertentangan
dengan ‘ummum kitab (universitas Al-Qur’an) dan dhahirnya al-kitab.
e)
Hendaknya sebagian
ulama salaf tidak mencela (mengkritik)hadis tersebut.
f)
Hendaknya dalam
hadis tersebut tidak terdapat penambahan dalam matan dan sanadnya yang
tambahanya itu diriwayatkan secara mandiri dan menyalahi rawi-rawi yang tsiqah.
Berkaitan
dengan kehujjahan hadis ahad ini, al-Khatib al-Bagdadii, menyatakan bahwa
seluruh tabi’in dan generasi berikutnya dari ahli fiqih yang beragam pada
seluruh daerah kaum muslimin sampai sekarang tidak seorangpun yang menolak atas
pengalam khabar ahad, dan tidak ada pula yang menentangnya.[22]
Hadis
ahad dengan berbagai pembagiannyaterkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atupun
dha’if, tergantung pada diterimanya hadis (syurut al-qabul). Adapun kehujjahan
hadis ahad jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad dapat dijadikan sebagai
hujjah, selam hadis tersebut masuk kategori hadis maqbul, atau memenuhi syarat
diterimanya hadis.
Para
ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadis ahad. Diantara
dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
a)
Sejarah membuktikan
bahwa Rasulullah saw. tatkala menyebarkan islam kepada para pemimpin negeri
atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat.
Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua
belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut islam.
Kasus
ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa satu, dua sahabat
dapat dijadikan sebagai hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit
tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan
sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut.
Demikian kata Syafi’i.
b)
Dalam menybarkan
hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah saw. mengutus satu orang
untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan
tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang
semula menghadap ke baitul maqdis di palestina kemudian arah kiblat dipindah
menghadap ke ka’bah di mekkah. Informasi pengalihan ini disampaikan
oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi Muhammad saw. kemudian datang
kesalah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu
memberitahukan bahwa kiblah telah diubah arah.
Mendengar informasi itu spontan
mereka berputar arah untuk menghadap ke ka’bah padahal mereka tidak mendengar
sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya
khabar satu oarang yang dikenal jujur tidak dapat ditrima niscaya mereka tidak
akan memperhatikan informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c)
Termasuk dalil yang
digunakan imam syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadis ahad adalah hadis
yang berbunyi anjuran Rasulullah saw untuk menghafal lalu menyampaikan pada
orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadis yang dibawa oleh orang tersebut
dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadis
yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan
dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadis ahad dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kritria shahih.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penertian
mutawatir
Mutawatir
menurut
bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau
beriringan-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Syarat-syarat
mutawatir
a.
Diriwayatkan oleh
sejumlah orang banyak
b.
Jumlah banyak pada
seluruh tingkatan sanad
c.
Mustahil bersepakat
berbohong
d.
Sandaran berita
pada panca indera
Macam-macam hadis
mutawatir
1.
Hadis mutawatir
lafdzi
2.
Hadis mutawatir maknawi
3.
Hadis mutawatir
‘amali
Kitab-kitab hadis
mutawatir
1)
Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi,
2)
Qath Al-Azhar, karya
As-Suyuthi
3)
Al-La’ali’
Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Thulun
Ad-Dimasyqi
4)
ithaf Dzawil
Fadha’il al-Musytasyhirah bi Maa Waqaa’a min Ziyadah ‘Alaa al-Azhar al-
mutanaastsirah min al-hadis al-mutawatirah. Karya ustadz syeikh
‘Abdul ‘Aziiz al- Gammari
5)
Nadzam
Al-Mutanatsirah min Al-Hadits
Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani
6)
luqt al-Liaalii al-
Mutanaastsirah fii al-hadis al- mutawatirah. karya Abii al-
Faidh Muhammad Murthadhaa al- Husaini az-Zubaidi al-misri
Pengertian Hadits
Ahad
Kata Al-ahad
jama’ dari kata ahad menurut bahasa berarti al-wahid atau
satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh
satu orang. Sedangkan yang dimaksud
dengan hadis Ahad menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak
mencapai batasan jumlahperawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga
empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah
perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.
Macam-macam hadis
ahad
1) hadis
masyhur
macam-macam hadis
masyhur
1. hadis
masyhur dalam beberapa prespektif
2. hadis
masyhur dalam kajian ilmu hadis (dari segi kualitasnya)
2) hadis
aziz
3) hadis
ghorib
macam-macam hadis
ghorib
1. gharib
mutlak
2. gharib
nisbii
DAFTAR
PUSTAKA
Suparta, Munzier, ilmu
Hadis,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
Muslim, Akib, ilmu mustalahul
hadis, kediri: STAIN Kediri Press, 2010
B, Smeer, Zeid, ulumul
hadis pengantar studi hadis praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008
Al-Thahhan, Mahmud, taisir
mustolah al hadis, haromain,1985
[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rja Grafindo Persada, 1993), hlm, 95-96
[2] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis
pengantar studi hadis praktis, I(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm, 42.
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rja Grafindo Persada, 1993),hlm,
101.
[4] Ibid,. 103-105.
[5] Ibid., 105-106.
[6] Akib Muslim, ilmu mustalahul
hadis (yogyakarta: STAIN Kediri Press, 2010),hlm., 99-100.
[7] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis
pengantar studi hadis praktis, I(Malang: UIN-Malang Press, 2008),42.
[8] Mahmud
Al-Thahhan, taisir mustolah al-hadis, hlm. 22.
[9] Op.cit.,
Tahir al-jaza’iri ad-damasyqy, taujiih an-nadzar, hlm. 108.
[10]Loc.cit.,Ahmad
bin Muhammad bin Ishaaq as-Syaaasyii, ushuul as-syaasyii
[11] Mahmud
al-thahhan, taisir, hlm22.
[12] Ajjaj
Al-Khathib, op.cit.,hlm. 302. Pengrtian serupa diberikan oleh Abd
Al-Wahhab Khallaf, (Mesir: Al-Da’wat Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar, 1968), cet.
Ke-7, hlm. 41; dan Muhammad Abu Zahra, ushul Al-Fiqh, (kairo: Dar Al-Fikr
Al-‘Araby, 1985) ,hlm. 108.
[13] Al-Suyuthi,
Tadrib Al-Rawi, op. Cit., hlm. 173.
[14] Hadis nomor
877 dalam bab fadhl Ghasl Yaum Al-Jum’at, Kitab Al-Jum’at, dalam
Imam Bukhari, op. Cit., jilid I,Juz 1, hlm. 238, dengan urutan sanad;
diterima dari Abdullah ibn yusuf, dari malik ibn nafi’, dari Abdullah ibn Umar.
[15] Hadis ini
diriwayatkan melalui banyak jalan. Sehingga kualitasnya mencapai derajat hasan
atau sahih.
[16] Hadis ini
didha’ifkan oleh oleh imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan lain-lain.
[17] Muslim,
jilid II, op. Cit., hlm. 136.
[18] Al-Suyuthi,
op. Cit., jilid II, hlm. 667.
[19] Akib Muslim, ilmu mustalahul
hadis (yogyakarta: STAIN Kediri Press, 2010), hlm, 117-118
[20] Ibid., 105-106
[21] Ibid., 106-107.
[22] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis
pengantar studi hadis praktis, I(Malang: UIN-Malang Press, 2008),hlm.,
46-48
No comments:
Post a Comment