Blog Archive

Monday, October 17, 2016

IAT3 HADISMUTAWATIR DAN HADIS AHAD LailatusSyarifah (933803915)



HADISMUTAWATIR DAN HADIS AHAD


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
MataKuliahUlumul Hadis

Dosenpengampu: Qidatul Marhumah,M.Thi



Disusunoleh:

LailatusSyarifah             (933803915)



PROGAM STUDIILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA NEGERI(STAIN) KEDIRI
201
6


KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentangHADIS MUTAWATIR dan HADIS AHAD ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterimakasihpadaIbu Qoidatul Marhumah,M.Thi selaku Dosen matakuliah Ulumul Hadisyang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa itu Ulumul Hadis. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.






Kediri, 03Oktober 2016


Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………....……….…………………….………........ii
BAB I PENDAHULUAN……………………............………………………..... 1
A.    LatarBelakang…………….………..…………………….........................1
B.     Rumusan Masalah......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..……............. 2
A.           Hadis Mutawatir.......................................................................................2
1.      Pengertian Mutawatir..................……………….………….......... 2
2.      Syarat Mutawatir...............……........………...………….……......3
3.      Hukum Hadis Mutawatir............……………………….…....…… 4
4.      Macam-macam Hadis Mutawatir……………………………….… 4
5.      Keberadaan Hadis Mutawat………………..……………...………..6
6.      Faedah Hadis Mutawatir….....…………………………...………….7
7.      Kitab-kitab Hadis Mutawatir………………………………………..7
B.       Hadis Ahad...…………………………………………….………..………8
1.         Pengertian Hadis Ahad……….………….….……………...….........8
2.          Macam-macam Hadis Ahad……………………………..……..........9
a.       Hadis Masyhur.................................................................9
b.      Hadis Aziz......................................................................12
c.       Hadis Ghorib..................................................................13
3.    Faedah Hadis Ahad....................................................................18
4.     Kehujjahan Hadis Ahad.............................................................18
BAB III KESIMPULAN………………….........……………...….…..…….…….. 22
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................25





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
        Sebagaimana diketahui, bahwa hadis Nabi Muhammad saw. dapat sampai kepada kita melalui jalur periwayatan. Periwayatan yang diawali dari para sahabat, tabi’in hingga perawi terakhir dan kemudian hadis tersebut dibukukan dan dapat kita baca teks-teksnya. Dalam proses periwayatan itu, ada hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat, dan ada pula yang  diriwayatkan oleh satu sahabat. Sebuah hadis terkadang memiliki banyak perawi, ada pula yang hanya memiliki satu atau dua perawi.
            Banyak sedikitnya perawi terkadang berpengaruh dalam menentukan kualitas sebuah hadis. Sebagaimana pernah disinggung, bahwa hadis yang memiliki banyak sanad kulitasnya lebih kuat daripada hadis yang hanya memiliki satu sanad, tentunya dengan beberapa ketentuan yang sudah dijelaskan dibahasan sebelumnya. Kaitanya dengan kuantitas atau sedikit banyaknya jumlah perowi, para ‘ulama membagi hadis Nabi saw menjadi dua bagian, yaitu: Mutawatir dan Ahad.

B. Rumusan Masalah
1.      Apakah hadis Mutawatir itu?
2.      Apa faedah dari hadis Mutawatir?
3.      Bagaimana eksistensi hadis Mutawatir?
4.      Apa pengertian hadis Ahad?
5.      Apa faedah dari hadis Ahad?
6.      Bagaimana kehujjahan hadis Ahad?






BAB II
PEMBAHASAN
Pengelompokkan Hadits dari Segi Banyaknya Perawi
       Sebagaimana yang diketahui, bahwa hadits Nabi saw dapat sampai kepada kita melalaui jalur periwayatan. Yaitu periwayatan yang diawali dari para sahabat, tabi’in hingga perawi terakhir dan kemudian dibukukan dan dapat kita baca teks-teksnya. Dalam proses periwayatan tersebut, ada hadits-hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat, dan ada juga yang diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Sebuah hadits terkadang memiliki banyak perawi, dan terkadang hanya memiliki satu atau dua perawi saja.
       Pengelompokan hadits dilihat dari banyak sedikitnya rawi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. pengelompokan ini tidak mempermasalahkan segi kualitas isi hadits, akan tetapi hanya melihat dari hitungan banyaknya perawi.
A.    Hadits Mutawatir
1.Pengertian Hadits Mutawatir
      Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau beriringan-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya[1]. Adapun menurut istilah, para ulama’ ahli hadits berpendapat:
هو خير عن محسوس رواه عدد جم يحب في العادة إ؛الة إتماعهم وتواطهم علي الكذب
Artinya: “Khabar yang didasarkan pada panca indera yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu dengan dusta”.

ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
Artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong”.

ما كان عن محسوس أبر به جماعة بلغوا في الكثرة مبلغا تحيل العادة توتؤهم علي الكذب
Artinya : “Hadits yang didasarkan pada panca indera (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka berbohong”.

2.      Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
      Dari pengertian hadits mutawatir di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir adalah berita atau hadits yang bersifat inderawi (dapat didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.
  Berdasarkan pengertian di atas, ada 4 syarat hadits mutawatir, yaitu:
a.         Diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak
     Jumlah perawi hadits mutawatir harus banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah perawi hadits ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa jumlah minimal ada tujuh puluh orang perawi, berdasarkan firman Allah SWT:
وأختار موسى قومه سبعين رجلا لميقاتنا
Artinya: “Dari Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat
kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan ” (Q.S Al-A’raf {7}:155)
                                           Sedangkan Ashab Asy-Syafi’i  berpendapat bahwa batas jumlah perawi hadits mutawatir adalah sebanyak lima orang.. Abu Ath-Thayib berpendapat empat orang perawi, dengan pertimbangan saksi pada masalah zina adalah empat orang. Sedangkan ulama lain ada yang membatasi dengan kurang dari dua belas orang, dan sebagian yang lain membatasi empat puluh orang perawi.
b.  Jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
     Adanya jumlah perawi yang banyak pada setiap tingkatan atau sanad. Artinya hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh banyak orang pada sanad awal sampai akhir sanad. Apabila hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi pada sebagian sanadnya saja, maka hadits tersebut tidak dapat digolongka sebagai hadits mutawatir.
c.    Mustahil bersepakat berbohong
     Misalnya para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Kemudian sejumlah perawi tersebut secara logika dan adat atau kebiasaannya mustahil sepakat untuk berdusta.Pada masa awal pertumbuhan hadits tidak dapat dibandingkan dengan masa sekarang. Di samping masalah kejujuran, daya ingat para perawi hadits sangat kuat, bahkan mereka membutuhkan transportasi yang sulit untuk menjangkau antar daerah, dan waktu yang lama untuk menyampaikan atau mendapatkan hadits. Oleh sebab itu, mustahil bagi mereka untuk sepakat berdusta.  Di antara alasan pengingkaran sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah perawi yang banyak akan tetapi adanya kemungkinan dusta dari perawi.
d. Sandaran berita pada panca indera
     Maksud dari pancara indera di sini adalah bereita itu dapat didengar dengan telinga atau dapat dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal, sperti tentang sifat barunya alam , berdasarkan keadaan logika. Jumlah hadits mutawatir  lebih sedikit jika dibandingksn dengan hadits ahad. contoh hadits mutawatir adalah hadits tentang telaga (al-hawdh)yang diriwayatkan oleh 50 orang sahabat, hadits
menyapu sepatu (khawf) diriwayatkan oleh 70 orang sahabat, hadits tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 orang sahabat.
3.      Hukum Hadits Mutawatir
     Hadits mutawatir mengandung hukum qath’i al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Olh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadis mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur, bagi orang yang mengingkari hadis mutawatir. Mengingkari hadis mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti sumbernya dari Rasulullah.
     Dengan demikian dapat difahami bahwa penerimaan hadis mutawatir tidak membutuhkan proses seperti halnya hadis ahad. Cukup dengan bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat Nabi yang bernama Umar bin Khattab. Sekalipun kita belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.[2]
4. Macam-Macam Hadits Mutawatir
     Hadits mutawatir dibagi menjadi tiga macam, yaitu: mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali. Sedangkan menurut ulama ushul Fiqh membagi mutawatir hanya ke dalam dua macam, yaitu: mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
a. Mutawatir lafdzi
     [3]ما تواترت روايته على لفظ واحد
     “hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafat”.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis mutawatir lafdzi adalah:
ما توا تر لفظه و معناه
     “hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”
     Berat dan ketatnya hadis mutawatir lafdzi seperti diatas, menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut ibnu Hibban dan Al-Hazimi, bahwa hadis mutawatir dengan ta’rif ini tiada diperoleh. Ibn Al-Salamah yang diikuti oleh Al-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawatir lafdzi sedikit sekali, sukar dikemukakan.
     Menurut ‘ajjaj al-khattib ialah hadis yang lafadznyz diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi-perawi yang tidak memungkinkan mereka untuk berdusta dari awal sampai akhir sanad.
     Menurut Taahir al-jazaairi adalah hadis yang sama lafal-lafal perawinya dalam satu matan sebagaimana mereka mengatakan فتح فلان مد ينة maka matan yang lain harus mengatakan hal yang sama persis, atau dengan menggunakan lafal yang lain yang semakna dan menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas.
     Sebagai conto tentang hadis mutawatir yang lafadh adalah hadis tentang larangan berdusta:”siapa yang mendustakan atas diriku secara sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dineraka.
     Para ulama menyebutkan sanad hadis tersebut dengan bervariasi jumlahnya namun secara keseluruhan menunjukkan jumlah yang banyak. Menurut Abu Bakar as-sairaqi hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 60 sahabat secara marfu’. Sebagian al-huffadz telah diriwayatkan olh 62 sahabat termasuk 10 orang sahabat yang dijanjikan masuk surga. Demikian juga ibrahim al-harbi bin Abu Bakar Al-Bazzar menyatakan bahwa hadis itu diriwayatkan sekitar 40 sahabat. Abuu al-Qasim ibn mandah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 oarang sahabat.
b. Mutawatir Ma’nawi[4]
     yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang maknanya mutawatir tetapi lafadznya tidak.
     Ada juga yang mengatakan bahwa hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan.
     Al-Suyuthi mendefinisikan sebagai hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda tetapi bertemu pada ttik persamaan.
     Misalnya, seseorang meriwayatkan bahwa hatim umpamanya memberikan seekor unta kepada seorang laki-laki. Sementara yang lain meriwayatkan, bahwa hatim memberi uang kepada seorang laki-laki dan denikian seterusnya.
     Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat memahami bahwa hatim adalah seseorang yang pemurah. Sifat pemurahnya hatim ini kita pahami melalui jalan khabar mutawatir ma’nawi.
      
 c. Mutawatir ‘amali
     adapun yang dimaksut hadis mutawatir ‘amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara ummat islam bahwa Nabi saw mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.[5]
     Hadis-hadis yang berkaitan dengan mutawatir ‘amali cukup banyak dan juga beraneka ragam bentunknya. Yang jelas berita-berita yang menerangkan tentang praktik agama seprti, waktu sembahyang, jumlah rakaatnya, tata cara sholat jenazah, tatacara sholat id, tata cara haji, hijab bagi perempuan dan yang bukan mikhrimnya kadar zakat, maka seua tersebut hadis mutawatir ‘amali. Konkretnya adalah segala jenis amal yang telah menjadi ijma’ ( kesepakatan) ahli ijma’ maka termasuk golongan mutawatir amali.[6] 
5.   Keberadaan Hadits Mutawatir
Ibn Shalah berpendapat bahwa hadits Mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh ibn Hajar, “orang yang mengatakan bahwa hadits mutawatir jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadits”.
Para ulama kemudian berusaha menyatukan dua pendapat ini. Apabila yang dimaksudkan oleh Ibn Sholah adalah mutawatir lafdli, maka pendapat tersebut ada benarnya, karena keberadaan hadits mutawatir lafdli pada kenyataannya memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadits mutawatir jumlahny abanyak, juga ada benarnya, jika yang dimaksud adalah hadits mutawatir maknaawi atau mutawatir secara umum.[7]
6.   Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberi faedah ilmu ad-dlarury, yaitu keharusan untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir, sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’y (pasti).
     Rawi-rawi Hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan Kedlabitannya, karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari kesepakatan dusta. Nabi Muhammad saw benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaimana ayang diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir.
     Seluruh umat Islam teh sepakat tentang faedah hadits mutawatir yang demikian. Bahkan, orang yang mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan khabar mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyadat (pengelihatan panca indera).
7.   Kitab-Kitab Hadits Mutawatir
     Sebagian ulama mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam beberapa kitab, diantaranya:
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini disusun berdasarkan bab-bab dan setiap hadis disertai sanad-sanadnya didalam kitab ini terdapat seratus hadis sdangkan menurut al-kattani berjumlah 112 hadis.
b.Qath Al-Azhar, karya As-Suyuthi.kitab ini merupakan ringkasan dari kitabnya yang pertama. Teknik peringkasan yang diprgunakan adalah dengan mengambil salah satu sanad dari seorang imam yang mengeluarkannya lalu didatangkan pula sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh satu sanad itu. Diantaranya adalah hadis tentang telaga, yang diringkas dari riwayat lima puluh orang sahabat, hadis tentang mengusap kdua sepatu dari riwayat tujuh puluh orang sahabat.
c. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah          Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
d. ithaf Dzawil Fadha’il al-Musytasyhirah bi Maa Waqaa’a min Ziyadah ‘Alaa al-       Azhar al- mutanaastsirah min al-hadis al-mutawatirah. Karya ustadz syeikh ‘Abdul       ‘Aziiz al- Gammari. Kitab ini berisi revisi terhadap kitab karya al-kattani. Dalam    kitab ini dijelaskan tentang jumlah hadis mutawatir yang benar.
e. Nadzam Al-Mutanatsirah min Al-Hadits  Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin      Ja’far Al-Kattani. Dalam kitab ini terdapat 310 hadis mutawatir baik itu berupa    mutawatir lafdzi maupun maknawi.
f. luqt al-Liaalii al- Mutanaastsirah fii al-hadis al- mutawatirah. karya Abii al- Faidh   Muhammad Murthadhaa al- Husaini az-Zubaidi al-misri merupakan ringkasan dari karya ibn. Taaluun.
B.     Hadits Ahad
1.      Pengertian Hadits Ahad
      Kata Al-ahad jama’ dari kata ahad menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[8]
     Sedangkan yang dimaksud dengan hadis Ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama, antara lain sbagai berikut:
a.       Tahir al-jazaa’iri ad-dimasyqy dalam bukunya taujiih an-nadzar ‘ilaa ushul al-‘atsar, mengatakan[9]:
مَالَمْ تَبْلُغُ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِالْمُتَوَاتِرْسَوَاءٌكَانَ الْمُخْبِرُوَاحِدًا أَوْاِثْنَيْنِ أَوْثَلَاثًا اَوْ أَرْبَعَةً أَوْخَمْسَةَ اَوْاِلَ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ لأَعْدَادِالَّتِيْ لَاتَشْعُرُبِأَنَّ الخَبَرَدَخَلَّ بِهَا فِى خَبَرِ المُتَوَاتِرِ
            “khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlahperawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir”.
b.      Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq dalam as-Syaasyii, ushul as-syaasyii, mengatakan[10]:
خبرالوحد هو ما نقله وا حد عن واحد أو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد ولا عبرة للعددإذالم تبلغ حد المشهور
            “khabar  wahid adalah khabar yang dinukil seorang rowi dari seorang rawi yang lain, atau yang dinukil seoranh rawi dari sekelompok rawi, atau sekelompok rawi menukil dari seorang rawi dan secara jumlah tidak sampai pada batasan jumlah hadis masyhur”.
c.       ‘Ajjaj Al-Khatiib dalam Ushul al-Hadis  Ulumul wa Mustahalul, mengatakan:
هومارواهالواحدأوالاثنان فأكثرمما لم تتوفر فيه شروط الحديث المشهورأوالمتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذلك
            “Khabar yang diriwayatkan seorang rawi atau dua orang rawi ataupun lebih akan tetapi tidak memenuhi persyaratan-persyaratan hadis masyhur ataupun mutawatir. Secara jumlah tidak memenuhi kriteria tersebut”.

2.      Macam-Macam Hadits Ahad
Menurut Mahmud al- Thahhan, hadis ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya, terbagi menjadi tiga, yaitu: Hadits Masyhur, Hadits ‘Azis, dan Hadits Gharib.[11]
a.  Hadits Masyhur
1). Pengertian Masyhur
            menurut bahasa, ialah al-intisyar waal-dzuyu’: sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
           Menurut ulama ushul:
مَارَوَاهُ مِنْ الصَّحَابَةِ عَدَدُ لاَ يَبْلُغُ حَدَّ التَّوَاتُرِ ثُمَّ تَوَاتَرَ بَعْدَ الصَّحَابَةِ وَ مَنْ بَعْدَ هُمْ[12]
“hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.
Ada juga yang mendefinisikan hadis masyhur secara ringkas yaitu:
مَا لَهُ طُرُقٌ مَحْصُوْرَةٌ بِأَكْثَرِ مِنْ اِثْنَيْنِ وَلَمْ يَيْلُغٌ حَدَّ التَّوَاتُرِ[13]
“hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis yang mutawatir”.
        Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur “segala hadis yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus sahih atau dha’if”. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi orang yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
        Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan, dan dha’if. Yang dimaksut dengan hadis masyhur sahih adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik dari sanadnya maupun matannya, seperti hadis Ibnu ‘Umar
إِذَاجَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ (رواه البخارى)[14]
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari)
        Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur  hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW.
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ[15]
“jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang lain).”
        Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dha’if adalah hadis masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun ada matannya, seperti hadis:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ[16]
“Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis masyhur adalah :
·         Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang atau lebih
·         Hadis yang dalam jumlah setiap tingkatan tidak sama tetapi jumlah lebih dari tiga
·         Hadis yang memiliki jalur terbatas
·         Hadis yang tidak mencapai derajat atau batasan mutawatir.
2). Macam-Macam Hadits Masyhur
                             Istilah masyhur yang ditetapkan pada suatu hadis, kadang-kadang untuk menetapkan kriteria-kriteria hadis menurut ketentuan diatas, yakni jumlah rawi yang meriwayatkannya, akan tetapi ditetapkan pula untuk memberikan sifat suatu hadis yang di anggap populer menurut ahli ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat tertentu. Dari tujuan inilah menyebabkan ada suatu hadis bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadis masyhur, tetapi apabila dilihat dari kepopulerannya tergolong hadis masyhur.
             Dari segi yang terakhir inilah, hadis masyhur dapat digolongkan kepada:
a)      Masyhur dikalangan ahli hadis, seperti hadis yang menerangkan, bahwa Rasulullah SAW. membaca do’a qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh, berdo’a atas golongan ri’il dan zakwan.[17] Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat sulaiman Al-Taimi dari Abi-Mijlas dari Anas.
b)      Masyhur dikalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama lain, dan dikalangan orang umum, seperti:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ (رواه البخارى ومسلم)[18]
“orang islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
 c)   masyhur dikalangan ahli Fiqih
نَهَى رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه مسلم)
       “Rasulullah SAW. melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya”. (HR. Muslim)
d)    masyhur dikalangan ahli ushul fiqh, seperti:                                             
اذا حكم الحا كم فا جتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فا جتهد ثم أخطأ فله أجر (رواه مسلم)
                    “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperolah dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala ijtihad)”. (HR. Muslim)
e)    Masyhur dikalangan Ahli Sufi, seperti:
كنت كنزا مخفيا  فأ حببن ان أعرف فخلقت الخلق فبي عر فو ني
       “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui aku merekapun kenal padaku”.
f)   Masyhur dikalangan ulama-ulama Arab, seperti ungkapan:”kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dad (ض) sebab kami dari golongan orang-orang Quraisy”.
       Kitab-kitab yang ditulis berkaitan dengan persoalan ini antara lain:
1.      Kasyaf Al-Khifa dan Mazil Al-ilbas oleh ismail bin Muhammad Al-‘Ajaluni (1162 H )
2.      Al-Maqashid Al-Hasanah fi Al-Ahadits Al-Mashurah karangan al-hafidz syams al-din bin muhammad bin ‘abd al-rahman al-syakhawi (w: 902 H)
3.      Asna Al-mathalib oleh syekh Muhammad bin sayyid barwisi
4.      Tamyiz Al-Tayibi oleh ibn Al-Daiba’ Al-Syailani
b. Hadits ‘Aziz
1.   pengertian Hadis Aziz
                        Aziz adalah merupakan sifat musyabihat , dari formula ‘azzu ya’izzu  dengan menggunakan kasrah pada ‘ain  mempunyai pngertian sesuatu yang jarang dan hampir tidak ditemukan. Demikian juga kata Aziiz dengan ‘azzu ya’izzu menggunakan fathah pada ‘aiin yang mempunyai pengertian, yang kuat yang memenangkan segala sesuatu. Bila kata ini dihubungkan dengan pengertian hadis aziz maka mempunyai pengertian hadis yang jarang ditmukan dalam setiap tabaqah berjumlah dua-dua dan keberadaannya akan meningkat apabila didukung dengan riwayat yang lain.
                        Sedangkan pengertian hadis aziz secara terminologi dikalangan ulama juga memberikan definisi yang bervariasi sesuai dengan cakupannya masing-masing, definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama antara lain:
a)      Taahir al-Jazaa’irii dalam kitab taujih an-nadzar menyatakan
“khabar yang diriwayatkan sekelompok rawi dari kelompok yang lain meskipun jumlahnya pada sebagian tabaqah hanya terdiri dua orang saja”.
b)      Imam dalam kitab menyatakan bahwa hadis aziz adalah dua perawi atau tiga perawi yang menyendiri meriwayatkan hadis tidak pada seluruh hadis yang diriwayatkan.
c)      Imam dalam kitab menyatakan bahwa hadis aziz adalah dua prawi atau tiga perawi yang meriwayatkan hadis dari orang-orang yang disepakati hadisnya.
2.   pendapat ulama tentang hadis aziz
Berkaitan dengan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, ada perbedaan tentang jumlah perawi yang meriwayatkan hadis dalam tingkatan-tingkatan sanad, antara lain:[19]
a)      Ibn Hibban menyatakan bahwa periwayatan yang berasal dari dua perawi untuk diriwayatkan dua perawi berikutnya adalah tidak ada.
b)      Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh ibn Hibban dengan konsepnya, dapat kami terima. Beliau memberikan alternatif tentang konsep hadis aziz dengan hadis yang diriwayatkan kurang dari oarang dari perawi yang jumlahnya dua orang.
c)      Imam Bukhari menyatakan telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama) ya’kub bin ibrahim berkata, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode sama) ibn aliyah dari ‘abdul aziz bin shuhaib dari anas  juga diriwayatkan ‘adam dia berkata telah menyampaikan kepada  kami (menggunakan metode yang sama) syu’bah dari qatadah dari anas r.a dari Nabi Muhammad saw, beliau brsabda; tidaklah beriman seseorang kamu, hingga aku (Nabi) lebih dicintai olehnya dari dirinya, ayahnya, putra-putrinya, dan manusia semuanya.
c. Hadits Gharib
1). Pengertian
      Kata gharib berasal dari kata gharuba dengan bentuk masdar gharaabatan yang berarti orang-orang yang jauh dari tanah air.sedangkan kata dari pengertian kata ini mempunyai bentuk plural ghurabaau
2). Pengelompokan Hadits Gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi seperti keterangan di atas, maka hadits gharib itu  terjadi menjadi dua macam: Gharib-mutlak dan Gharib-nisbi
      a).  Gharib-mutlak (Fard)
Apabila penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya, maka hadits yang diriwayatkan tersebut dinamakan dengan Gharib-mutlak. Penyendirian rawi hadits ghari-mutlak ini harus berpangkal di tempat ashlu’s-sanad, yaitu tabi’y, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan perbincangan penyendirian rawi dalam hadits-gharib di sini, ialah untuk menetapkan apakah ia masih dapat diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali.
Sedangkan apabila penyendirian itu berupa seorang sahabat, maka tidak perlu diperiksa karena sudah diakui keadilan sahabat tersebut. Contoh:
قال  رسول الله ص.م: أالاءيمان بضع وسبعون شعبة. والحياء شعبة من الايمان
Artinya: “Nabi Muhammadsaw bersabda: Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang. Malu itu salah satu cabang dari iman”

.
b).Gharib Nisbi
Disebut HaditsGharib-Nisbi ketika penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi, mempunyai beberapa kemungkinan:
1). Tentang Sifat Keadilan dan Kedlabitan Rawi
Misalnya hadits Muslim tentang pernyataan ‘Umar bin Al Khatabah r.a kepada Abu Waqid Al-Laitsy perihal surat-surat apa yang dibaca oleh pada shalat dua hari raya, jawab Abu Waqid:
كان يقرأ في الاضحى والفطر بق والقرأن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر
 Artinya: “Konon Rasulullah saw pada hari raya kurban dan fitrah membaca surat Qaf dan surat Al-Qamar”
2).  Tentang Kota Atau Tempat Tinggal Tertentu
Misalnya hadits-hadits yang diriwyatkan oleh rawi-rawi dari bashrah saja:
أمرنا لرسول الله ص.م أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر منه
Artinya: “Makanlah buah kurma muda dengan yang masak, sebab bila bani Adam memakan kurma muda, setan-setan marah-marah”.
3). Tentang Meriwayatkan dari Rawi Tertentu
إن النبي ص.م او لم على صفية بتسويق وتمر
Artinya: “Bahwa Nabi Muhammad saw. mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung gandum dan kurma”.
Di samping itu, ditinjau dari segi letaknya, dimatankan atau disanadkan maka terbagi lagi menjadi tiga:
a)      Gharib Pada Sanad dan Matan
Imam muslim menyatakan telah  menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama)yahya bin yahya  at-taimii telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama), sulaiman bin bilal dari abdillah bin dinar bin ibn. Umar bahwasanya Rasulullah saw, bersabda: Nabi melarang jual beli budak dan melarang juga penghibahannya.
b)      Gharib pada sanadnya saja
Imam timidzi menyampaikan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) Abu Bakar bin ishaq al bagdadi telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) Abdullah bin yusuf at taisii as- syaamii, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) al-haistam bin humaid telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama)al-‘ala Bin harist dari al-qasim ‘abi abdirrahman dari unaisiyyah ibn abi sufyan dia berkata: saya mendengar saudara perempuanku ummi habibah istri Nabi saw berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: barang siapa menjaga empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka. 
c)      Gharib pada sebagian matannya
Imam bukhari menyampaikan, telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) al-humaidi abdillah bin az-Zubair dia berkata: telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) sufyan, dia berkata: telah menyampaikan kepada kami (dengan menggunakan metode yang sama) yahya bin sa’id al-Ansaari, dia berkata: telah menyampaikan kepadaku  (dengan menggunakan metode yang sama) muhammad bin Ibrahim at-Tamimi dia mendengar al-Qamah bin waqas al-Laits, dia berkata saya mendengar ‘Umar bin Khattab ra diatas mimbar dia berkata saya mendengar Rasulullah bersabda: sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, sesungguhnya seseorang tergantung pada niatnya, barang siapa niatnya hijrah karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya maka hijrah adalah sesuatu yang dituju.


3.      Cara Untuk Menetapkan ke-gharib-an hadits
Untuk menetapkan suatu hadits itu gharib atau tidak , dapat dilakukan dengan cara memeriksa terlebih dahulu pada kitab-kitab hadits, seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad,  apakh hadits tersebut memiliki sanad yang lain yang menjadi muthabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar. Menurut istilah, hadits mutabi’ adalah:
هو الحديث لأالي قد تابع رواية غيره عن شيخه أو شيخ شيخه
Artinya: “Hadits yang mengikuti periwayatan rawilain dari gurunya (yangbterdekat), atau gurunya guru(yang terdekat itu)”
Muthabi’ sendiri ada dua macam, yaitu:
a). Muthabi’ tam, yaitu apabila periwayatan muthabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
b). Mutabi’ qashir, yaitu apabila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai pada guru yang jauh.
Adapun yang dimaksud dengan syahid adalah
أن يروي حديثا اخر بمعناه
Artinya:” Meriwayatkan sebuah hadits lain sesuai dengan maknanya”
Hadits syahid ada dua macam, yaitu:
1). Syahid bi Al-Lafdzi, yaitu bila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai dengan redaksi dan maknanya dengan hadits fard-nya
2).Syahid bi Al-Ma’na, yaitu apabila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
d. Kedudukan Hadits Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadits Ahad
Para ahli hadits berbeda pendapat tentang kedudukan hadits Ahad. Pendapat tersebut antara lain:
1). Segolngan Ulama, seperti Al-Qsayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadits ahad.
2). Jumhur Ulama ushul menetapkan bahwa hadits ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu, hadits ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3). Sebagian Ulama menetapkan bahwa hadits ahad diamalkan dalam segala bidang.
4). Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan ‘amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aqa’id (aqidah).
5). Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Qur’an.
6). Ahlu Zhuhair (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zahiri) tidak membolehkan men-takhsis-kan umum ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits ahad.
e. Istilah-Istilah Nuhadditsin yang Bersangkutan dengan Hadits Gharib
     Gharib dan fard adalah dua istilah yang muradif. Kedua istilah tersebut dalam segi penggunaannya berbeda. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk hadits fard nisby (gharib nisby). Sedangkan istilah fard diterapkan untuk fard mutlak. Dari segi kata kerjanya, para muhadditsin tidak mengadakan perbedaan satu sama lain. Misalnya:
أغرب به فلان sama dengan  تفرد به فلان
Istilah-istilah yang sering dipakai untuk memberi ciri hadits gharib, antara lain:
هذا حديث غريب
Para Muhadditsin mengartikan istilah tersebut dengan hadits fard nisby.
Menurut Al-Baghawy dalam kitabnya Ashabihu’s-Sunnah, istilah itu diterapkan untuk hadits syadz.
Dengan ini, maka hadits syadz tidak termasuk hadits yang tentu ditolak dan tidak pula akan berlawanan dengan kesahihan hadits. Dengan kata lain, hadits syadz itu ada yang shahih.
غريب من هذا الوجه
Periwayatan guru mutaba’ dari yang dekat sampai guru terjauh. Mutabi’ qashir, ialah apabila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti guru-guru yang jauh.
Syahid, sebagaimana diketahui, bahwa dalam mubtaba’ah itu disyaratkan adanya sumber pengambilan yang sama antara mutaba’, yaitu bersumber dari seoarang sahabat. Apabila sumbernya berasal dari beberapa orang sahabat yang berlainan, , disebut dengan Hadits Syahid.
Dengan istilah lain hadits syahid adalah:
أن يروي حديثا آخر بمعناه
Artinya: “Meriwayatkan hadits lain dengan sesuai maknanya”.
Hadits Syahid ada dua macam:
1). Syahid bi al-lafdhi
Yaitu apabila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat sesuai redaksi dan maknanya dengan hadits fardnya.
2). Syahid bi al-ma’na
Yaitu apabila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat hanya sesuai maknanya saja.
 Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dinamakan dengan hadits-mutabi’, ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang sesuai lafadhnya, dan yang dikatakan dengan syahid ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi lain yang sesuai makna hadits fardnya, baik hadits tersebut bersumber dari seorang sahabat, maupun dari beberapa orang sahabat. Sebagian ulama yang lain memutlakkan mutaba’ah kepada syahid dan sebaliknya.
3.  Faedah Hadis Ahad
                                                                                                   Hadis ahad memberikan manfaat kepada dzan (kemungkinan melakukan penelitian). Kata dzanii dalam beberapa literatur disinonimkan dngan istilah nazhari, relatif dan nisbi sinonim kata-kata ini apabila dihubungkan dengan faedah ahad mempunyai arti tidak ada keharusan untuk menerima secara bulat tanpa adanya penelitian dan pembahasan apapun. Setiap hadis ahad tidak memberikan keyakinan dan kebenarannya bersifat relative sesuai dengan kualitas pembawa berita dan kandungan dari berita yang dibawa. Untuk itu perlu untuk diadakan penelitian pada serangkaian sanad dan kandungan hadis.   
                                                                                                   perawi-perawi hadis dalam hadis ahad perlu diteliti tentang keadilannya, ketaqwaannya, kemampuan menjauhi disa-dosabesar, menjauhi perbuatan mubah yang dapat menodai perwiraannya, atau tentang kedzabitannya, kekuatan ingatan menguasai apa yang diriwayatkan. Fungsi sanad dalam hadis ahad sangat dominan, hal ini berguna untuk mengetahui keadaan rawi apakah mendapat kritikan ataupun mendapatkan pujian.
                                                                                                   Secara teologis, orang yang mengingkari hasil yang telah dicapai oleh dzanii dengan jalan ahad tidak ada konsekuensi apapun, artinya bahwa orang yang mengingkari terhadap hadis ahad maka tidak dianggap sebagai kafir.[20]
4.  Kehujjahan Hadis Ahad
Para ulama memperbolehkan hadis ahad untuk diamalkan dan diterima umat islam, dengan beberapa persyaratan. Persyaratan yang dikemukakan para ulama berkaitan pada dua sisi, yaitu: berkaitan dengan para perawi hadis dan berkaitan dengan substansi dari hadis.
Adapun yang berkaitan dengan perawi hadis (sanad), adalah:
a)      Perawi harus ‘Adil
b)      Perawi harus Dhabit
c)      Perawi harus paham dengan hadis yang disampaikan
d)     Perawi harus melakukan dengan apa yang telah diriwayatkan
e)      Perawi harus menyampaikan hadis dengan huruf-hurufnya
f)       Perawi hendaknya mengetahui perubahan makna hadis dari lafal hadis yang sebenarnya
Sedangkan pesyaratan yang berkaitan dengan substansi hadis adalah:[21]
a)      Hendaknya sanadnya bersambung dengan Rasulullah
b)      Terhindar dari syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘illat (cacat)
c)      Hendaknya tidak bertentangan dengan as-Sunnah al-masyhurah, baik yang berupa qauliyah atupun fi’liyah.
d)     Hendaknya tidak bertentangan dengan perilaku sahabat dan tabi’in, serta tidak bertentangan dengan ‘ummum kitab (universitas Al-Qur’an) dan dhahirnya al-kitab.
e)      Hendaknya sebagian ulama salaf tidak mencela (mengkritik)hadis tersebut.
f)       Hendaknya dalam hadis tersebut tidak terdapat penambahan dalam matan dan sanadnya yang tambahanya itu diriwayatkan secara mandiri dan menyalahi rawi-rawi yang tsiqah.

Berkaitan dengan kehujjahan hadis ahad ini, al-Khatib al-Bagdadii, menyatakan bahwa seluruh tabi’in dan generasi berikutnya dari ahli fiqih yang beragam pada seluruh daerah kaum muslimin sampai sekarang tidak seorangpun yang menolak atas pengalam khabar ahad, dan tidak ada pula yang menentangnya.[22]
Hadis ahad dengan berbagai pembagiannyaterkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atupun dha’if, tergantung pada diterimanya hadis (syurut al-qabul). Adapun kehujjahan hadis ahad jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selam hadis tersebut masuk kategori hadis maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadis.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadis ahad. Diantara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
a)      Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah saw. tatkala menyebarkan islam kepada para pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut islam.
Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa satu, dua sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata Syafi’i.
b)      Dalam menybarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah saw. mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap ke baitul maqdis di palestina kemudian arah kiblat dipindah menghadap ke ka’bah  di mekkah.            Informasi pengalihan ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi Muhammad saw. kemudian datang kesalah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblah telah diubah arah.
           Mendengar informasi itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu oarang yang dikenal jujur tidak dapat ditrima niscaya mereka tidak akan memperhatikan informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c)      Termasuk dalil yang digunakan imam syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadis ahad adalah hadis yang berbunyi anjuran Rasulullah saw untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadis yang dibawa oleh orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadis yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadis ahad dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kritria shahih.






















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penertian mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau beriringan-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Syarat-syarat mutawatir
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak
b.      Jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
c.       Mustahil bersepakat berbohong
d.      Sandaran berita pada panca indera
Macam-macam hadis mutawatir
1.      Hadis mutawatir lafdzi
2.      Hadis mutawatir maknawi
3.      Hadis mutawatir ‘amali
Kitab-kitab hadis mutawatir
1)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi,
2)      Qath Al-Azhar, karya As-Suyuthi
3)      Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah    Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
4)      ithaf Dzawil Fadha’il al-Musytasyhirah bi Maa Waqaa’a min Ziyadah ‘Alaa al-Azhar al- mutanaastsirah min al-hadis al-mutawatirah. Karya ustadz syeikh ‘Abdul ‘Aziiz al- Gammari
5)      Nadzam Al-Mutanatsirah min Al-Hadits  Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin  Ja’far Al-Kattani
6)      luqt al-Liaalii al- Mutanaastsirah fii al-hadis al- mutawatirah. karya Abii al- Faidh Muhammad Murthadhaa al- Husaini az-Zubaidi al-misri
Pengertian Hadits Ahad
Kata Al-ahad jama’ dari kata ahad menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis Ahad menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlahperawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.
Macam-macam hadis ahad
1)      hadis masyhur
macam-macam hadis masyhur
1.      hadis masyhur dalam beberapa prespektif
2.      hadis masyhur dalam kajian ilmu hadis (dari segi kualitasnya)
2)      hadis aziz
3)      hadis ghorib
macam-macam hadis ghorib
1.      gharib mutlak
2.      gharib nisbii
      





















DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, ilmu Hadis,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
              Muslim, Akib, ilmu mustalahul hadis, kediri: STAIN Kediri Press, 2010
B, Smeer, Zeid, ulumul hadis pengantar studi hadis praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008
              Al-Thahhan, Mahmud, taisir mustolah  al hadis, haromain,1985


[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rja Grafindo Persada, 1993), hlm, 95-96
[2] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis pengantar studi hadis praktis, I(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm, 42.
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rja Grafindo Persada, 1993),hlm,  101.
[4] Ibid,. 103-105.
[5] Ibid., 105-106.
[6] Akib Muslim, ilmu mustalahul hadis (yogyakarta: STAIN Kediri Press, 2010),hlm., 99-100.
[7] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis pengantar studi hadis praktis, I(Malang: UIN-Malang Press, 2008),42.
[8] Mahmud Al-Thahhan, taisir mustolah al-hadis, hlm. 22.
[9] Op.cit., Tahir al-jaza’iri ad-damasyqy, taujiih an-nadzar, hlm. 108.
[10]Loc.cit.,Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq as-Syaaasyii, ushuul as-syaasyii
[11] Mahmud al-thahhan, taisir, hlm22.
[12] Ajjaj Al-Khathib, op.cit.,hlm. 302. Pengrtian serupa diberikan oleh Abd Al-Wahhab Khallaf, (Mesir: Al-Da’wat Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar, 1968), cet. Ke-7, hlm. 41; dan Muhammad Abu Zahra, ushul Al-Fiqh, (kairo: Dar Al-Fikr Al-‘Araby, 1985) ,hlm. 108.
[13] Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi, op. Cit., hlm. 173.
[14] Hadis nomor 877 dalam bab fadhl Ghasl Yaum Al-Jum’at, Kitab Al-Jum’at, dalam Imam Bukhari, op. Cit., jilid I,Juz 1, hlm. 238, dengan urutan sanad; diterima dari Abdullah ibn yusuf, dari malik ibn nafi’, dari Abdullah ibn Umar.
[15] Hadis ini diriwayatkan melalui banyak jalan. Sehingga kualitasnya mencapai derajat hasan atau sahih. 
[16] Hadis ini didha’ifkan oleh oleh imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan lain-lain.
[17] Muslim, jilid II, op. Cit., hlm. 136.
[18] Al-Suyuthi, op. Cit., jilid II, hlm. 667.
[19] Akib Muslim, ilmu mustalahul hadis (yogyakarta: STAIN Kediri Press, 2010), hlm, 117-118
[20] Ibid., 105-106
[21] Ibid., 106-107.
[22] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis pengantar studi hadis praktis, I(Malang: UIN-Malang Press, 2008),hlm., 46-48

No comments:

Post a Comment