MAQTHU’
Di susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADITS
3
Dosen
Pengampu :
QOIDATUL
MARHUMAH
KELAS B
1.
Ahmad Idham Romi (933802315)
PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
JAWA TIMUR
2016
|
KATA PENGANTAR
Assalamu
‘alaikum Wr, Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang
telah melimpahkan rahmat,taufik serta hidayahnya sehingga saya sebagai penulis
dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIQH 1”.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW,yang telah menuntun kita dari jalan
kegelapan menuju jalan terang benerang yakni Addinul islam.
Dan tak lupa saya sebagai penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini.
Saya sadar dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna maka dari kritik dan saran
sangat saya harapkan untuk memperbaiki penyusunan makalah berikutnya.
Wassalamu
‘alaikum Wr. Wb.
Kediri, 05OKTOBER 2016
(Penyusun)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan di
dunia ini kita berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Pada Al-Qur’an semua
wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW baik dengan cara inspiratif, diajak
bicara langsung oleh ALLAH lewat tabir, melalui penglihatan di waktu tidur
ataupun dari utusan ALLAH seperti malaikat jibril adalah mutlak. Apapun yang
tertulis didalam Al-Qur’an itu bersifat abadi dan tidak bisa dirubah karena
Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Jadi apa yang terdapat
didalam Al-Qur’an saat ini begitu jugalah yang terdapat pada masa nabi dan para
rasul.
Sedangkan hadits
adalah segala apa yang diberitakan dari nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa
pembiasaan atas perbuatan sahabatnya.Karena hadits ini ada yang bisa diterima
dan ditolak oleh para ulama maka dari itu Ilmu Hadits sangat diperlukan agar
kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
hadits mursal, mauquf, marfuq dan maqthu’?
2.
Apa hukum hadits
mursal, mauquf, marfuq dan maqthu’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadits Mursal
1. Hadis mursal
Hadis
mursal adalah isim maf’ul dan kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, maka
seakan-akan hadis mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi yang
terkenal.[1]
Sedangkan
menurut istilah adalah hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur
sesudah tabi’in.[2]Mayoritas
ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung
kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil,
tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.[3] Adapun
menurut pendapat dari sebuah buku yang ditulis oleh Drs.M.Solahudin,M.Ag
“Ulumul Hadis” (Bandung,2009), bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur
rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil.
Jadi,
dapat disimpulkan dari tiga pendapat diatas mengenai pengertian hadis mursal,
yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, tanpa
disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi dikarenakan gugurnya sanad
setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur disini ialah tidak disebutkannya
nama sanad terakhir.
B. Hukum
hadis mursal
Pada asalnya hadis mursal itu
dha’if lagi mardud (tertolak), karena hilangnya salah satu syarat dari
syarat-syarat hadis maqbul, yaitu bersambung sanadnya. Secara global pendapat
ulama mengenai hadis mursal ada tiga pendapat, yaitu[4] :
1. Hukumnya
dho’if (tertolak), ketika menurut kebanyakan ulama ahli hadis dan kebanyakan
dari kalangan ahli ushul dan fiqih, dasar mereka adalah tidak diketahuinya
keadaan rawi yang dibuang, karena bisa terjadi bukan sahabat.
2. Hukumnya
shahih dapat dijadikan dasar, jika yang mursal itu orang yang terpercaya dan
tidak bisa mursal dari rawi yang tsiqat. Ini menurut Imam Abu hanifah, Imam
Malik dan Imam Ahmad, dasar mereka adalah bahwa tabi’in itu tsiqat mustahil
menyatakan “Telah bersabda Rosulullah kecuali bila telah mendengarnay dari
orang yang tsiqat pula”.
3. Hukumnya
diterima dengan syarat, yakni syah dengan syarat-syarat, pendapat ini menurut
Imam Syafi’i dan sebagian ahli ilmu. Syarat-syarat itu ada empat, tiga pada
rawi yang mursal, sebagai berikut :
a. Hendaknya
mursal itu dari kalangan tabi’in besar.
b. Apabila orang
yang menanamkan itu orang yang tsiqat.
c. Apabila
bersekutu padanya orang-orang yang hafidz lagi terpercaya dimana mereka tidak
menyelisihnya.
d. Bilamana tiga
syarat tersebut mengandung salah satu hal sebagai berikut :
1) Bilamana hadis
tersebut diriwayatkan dari jalan lain dalam keadaan bersandar.
2) Bilamana hadis
itu diriwayatkan dari jalan lain secara mursal, terputus dan mengetahuinya
tanpa melewati perawi-perawi yang mursal pertama.
3) Atau bilamana
sesuai dengan perkataan sahabat.
Kemudian
apabila telah terwujud syarat-syarat ini, maka jelaslah keabsahan tempat
keluarnya hadis mursal dan yang melawannya, dan keduanya itu sama-sama shahih,
seandainya yang melawan keduanya shahih dari jalan satu maka keduanya kita
kembalikan kepadanya, hal itu bilamana terhalang menggabungkan antara keduanya.
C. Pengertian Hadits Marfuq
AlMarfu’ menurut bahasa
merupakan isim maf’ul dari kata
rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”.
Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan
tinggi, yaitu Rasulullah SAW.
Hadits Marfu’ menurut istilah
adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat
yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ : marfu’ hukman),
baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik
sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah
bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini
mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan
jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya
adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan
marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya;
a)
Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan sahabat,”Aku
mendengar Rasulullah SAW,
bersabda begini”; atau “Rasulullah SAW,
menceritakan
kepadaku begini”; atau “Rasulullah SAW
bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah SAW
bahwa beliau bersabda begini”; atau
yang semisal dengan itu.
b)
Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak
mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di
masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau
berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan
keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami
diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk
sunnah adalah melakukan begini”.
c)
Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah
melihat Rasulullah SAW
melakukan begini”.
d)
Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada
celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah SAW). Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas ra, berbuka puasa dan
mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan jamak
dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu
(sekitar 80 km)].
e)
Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah
melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW,” atau “Si Fulan telah
melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW, dan dia (shahabat
tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah SAW, terhadap perbuatan itu.
f)
Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para
shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah SAW”.
g)
Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan
sifat Rasulullah SAW,
sebagaimana dalam hadits Ali ra,”Nabi
SAW itu tidak tinggi dan
tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi SAW
berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
h)
Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk
kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti
secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi SAW,
yang menghalalkan dan mengharamkan.Ini dikarenakan sifat yang secara hukum
menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah SAW, adalah yang
menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan
sifat baginya.Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi,
meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
D. Pengertian Hadits Mauquf
Mauquf menurut bahasa berasal dari
kata waqf yang berarti berhenti.Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis
pada sahabat.[5]
Mauquf menurutpengertian
istilah ulama hadis adalah:
مَا اُضِيْفَ إِلَي
الصَحَابِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ نَحْوٍ مُتَّصِلًا كَانَ مُنْقَطِعًا
“Sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik bersambung sanadnya
maupun terputus.”
Sebagian ulama mendefinisikan hadis
mauquf adalah:
الحديث الذي اسند إلى
الصحابي دون النبي صل الله عليه وسلم
“Hadis yang disandarkan seseorang
kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW”[6]
Dari berbagai definisi di atas
dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat
atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya,
bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis mauquf. Sandaran hadis
ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Contoh Hadis Mauquf
Berikut ini adalah contoh hadis
mauquf antara lain:
a)
Hadis mauquf qauli (yang berupa perkataan)
قال علي بن طالب رضي
الله عنه : حدّثوا الناس بما يعرفون أن يكذّب الله ورسوله ؟
Ali bin Abi Thalib ra. berkata,
”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah
kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”
b)
Hadis mauquf fi‟li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam Bukhari,
“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan
dia (hanya) bertayammum.”
c)
Hadis mauquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi‟in
فعلت كذا أمام أحد
الصحابة ولم ينكر عليّ
“Aku telah melakukan begini di
hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku”
E. Kehujjahan Hadis Mauquf
ada prinsipnya hadis mauquf tidak
dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan (menjadikan)
marfu’, karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata, tidak
disandarkan kepada Rasulullah saw.
Sesuatu yang disandarkan pada
seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal
menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal
(dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang
kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa.[7]
Di antara hadis mauquf terdapat
hadis yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya
bermakna marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadis yang demikian
dinamai oleh para ulama hadis dengan alMauquf Lafzhan al-Marfu’ Ma’nan, yaitu
secara lafaz berstatus mauquf namun scara makna berstatus marfu’ (hadis marfu’
hukmi), sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan hadis marfu’
sebelumnya.
F. Pengertian Hadits Maqthu’
Menurut bahasa kata maqthu’ berasal dari akar kata قَطَّعَ
يُقَطِّعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَمَقْطُوْعٌ
yang berarti terpotong atau teputus, lawan dari
maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai
kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.
Menurut istilah hadis maqthu’adalah
مَا اُضِيْفَ إِلَيالتابعي أو من دونه من
قول أو فعل
“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi’in dan orang setelahnya
daripada Tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan
atau perbuatan dan sesamanya.[8]
Perbedaan antara hadis maqthu’
dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah bagian dari sifat matan,
sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad.Hadis yang maqthu’ itu merupakan
perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya
bersambung sampai kepadanya.Sedangkan munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan
tidak ada kaitannya dengan matan.[9]
Dari berbagai definisi di atas
dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi‟in atau
orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung
sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis maqthu’.
Contoh Hadis Maqthu’
a)
Hadis maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri
tentang sholat di belakang ahli bid’ah:
صل وعليه بدعته
“Shalatlah dan dialah yang menanggung
bid’ahnya”
b)
Hadis maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin
Muhammad al-Muntasyir.
كان مسروق يرخي الستر
بينه وبين أهله ويقبل على صلاته ريخليهم ودنياهم
“Masruq membentangkan pembatas
antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan
mereka dengan dunia mereka”
c)
Hadis maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam
bin‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu,
sedang syuraih (juga) shalat disitu.”
Syuraih adalah seorang
tabi`in.Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba
tersebut untuk menjadi imam.
G. Kehujjahan
Hadis Maqthu’
Hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan
hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang datang dari Rasulullah saw,
hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat Islam.
Dengan demikian, hadis maqthu’
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum
dan bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari perkataan tabi’in
sama dengan perkataan ulama lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
Hadits adalah segala
apa yang diberitakan dari nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa pembiasaan atas perbuatan
sahabatnya.Karena hadits ini ada yang bisa diterima dan ditolak oleh para ulama
maka dari itu Ilmu Hadits sangat diperlukan agar kita bisa menjalani kehidupan
ini dengan baik dan benar.
Hadis
mursal, yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, tanpa
disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi dikarenakan gugurnya sanad
setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur disini ialah tidak disebutkannya
nama sanad terakhir.
Hadits Marfu’ adalah “sabda, atau
perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan
kepada Nabi SAW,
baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ : marfu’ hukman),
baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik
sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
DAFTAR PUSTAKA
Thahhan, Mahmud. Tanpa
Tahun. Taisir Musthalahul Hadits. Bairut : Darul Tsaqafah Islamiyah.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis.
Bandung : Pustaka Setia.
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Al-Qaththan. 2005. Mabahits fi ‘Ulum
al-Hadits. Terjemahan Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis.
Jakarta: Amzah.
An-Nabhani, Taqiyuddin.
2003. Al-Syakhshiyah al-Islamiyah. Terjemahan Zakia Ahmad. Bogor: Thariqul
Izzah.
[1]Mahmud,
Thahhan, Taisir Musthalahul Hadits ,(Bairut : Darul Tsaqafah
Islamiyah, cet.VII), hlm. 56.
[2]Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka
setia,1999), hlm. 157.
[3]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media
Group,2010), hlm. 193.
[4]Mahmud, Thahahan, Taisir Musthalahul Hadits, hlm.
193.
[5]Al-Qaththan, Mabahits fi’ulum al-Hadits,
(terj.Mifdho Abdurrahman,) Jakarta: Pustaka alKautsar, 2005, 173
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta:
Amzah,2010), 227.
[7]Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, terj. Zakia
Ahmad, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 470
[8]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah,
2010), 231.
[9]Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum AL-Hadits, (terj.
Mifdho Abdurrahman,) Jakarta: Pustaka al Kautsar,2005, 174.
Tahanks For ilmik yaa shaabiy...:)
ReplyDelete