Blog Archive

Wednesday, October 12, 2016

IAT3 HADITS MURSAL, MARFU’, MAUQUF MAQTHU’ Ahmad Idham Romi (933802315)



MAQTHU’
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL HADITS 3

Dosen Pengampu :

QOIDATUL MARHUMAH


Description: Description: index



KELAS B

1.     Ahmad Idham Romi (933802315)



PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
JAWA TIMUR
2016




 
 

KATA PENGANTAR


Assalamu ‘alaikum  Wr, Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat,taufik serta hidayahnya sehingga saya sebagai penulis dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIQH 1”.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW,yang telah menuntun kita dari jalan kegelapan menuju jalan terang benerang yakni Addinul islam.
Dan tak lupa saya sebagai penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini.
Saya sadar dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari kritik dan saran  sangat saya harapkan untuk memperbaiki penyusunan makalah berikutnya.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Kediri,  05OKTOBER  2016

                                                                                                        (Penyusun)

 

 

 

 



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan di dunia ini kita berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Pada Al-Qur’an semua wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW baik dengan cara inspiratif, diajak bicara langsung oleh ALLAH lewat tabir, melalui penglihatan di waktu tidur ataupun dari utusan ALLAH seperti malaikat jibril adalah mutlak. Apapun yang tertulis didalam Al-Qur’an itu bersifat abadi dan tidak bisa dirubah karena Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Jadi apa yang terdapat didalam Al-Qur’an saat ini begitu jugalah yang terdapat pada masa nabi dan para rasul.
Sedangkan hadits adalah segala apa yang diberitakan dari nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa pembiasaan atas perbuatan sahabatnya.Karena hadits ini ada yang bisa diterima dan ditolak oleh para ulama maka dari itu Ilmu Hadits sangat diperlukan agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hadits mursal, mauquf, marfuq dan maqthu’?
2.      Apa hukum hadits mursal, mauquf, marfuq dan maqthu’?










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Mursal
1.     Hadis mursal
      Hadis mursal adalah isim maf’ul dan kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, maka seakan-akan hadis mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi yang terkenal.[1]
Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in.[2]Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.[3] Adapun menurut pendapat dari sebuah buku yang ditulis oleh Drs.M.Solahudin,M.Ag “Ulumul Hadis” (Bandung,2009), bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil.
Jadi, dapat disimpulkan dari tiga pendapat diatas mengenai pengertian hadis mursal, yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, tanpa disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi dikarenakan gugurnya sanad setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur disini ialah tidak disebutkannya nama sanad terakhir.
B.     Hukum hadis mursal
Pada asalnya hadis mursal itu dha’if lagi mardud (tertolak), karena hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat hadis maqbul, yaitu bersambung sanadnya. Secara global pendapat ulama mengenai hadis mursal ada tiga pendapat, yaitu[4] :
1.                 Hukumnya dho’if (tertolak), ketika menurut kebanyakan ulama ahli hadis dan kebanyakan dari kalangan ahli ushul dan fiqih, dasar mereka adalah tidak diketahuinya keadaan rawi yang dibuang, karena bisa terjadi bukan sahabat.
2.      Hukumnya shahih dapat dijadikan dasar, jika yang mursal itu orang yang terpercaya dan tidak bisa mursal dari rawi yang tsiqat. Ini menurut Imam Abu hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad, dasar mereka adalah bahwa tabi’in itu tsiqat mustahil menyatakan “Telah bersabda Rosulullah kecuali bila telah mendengarnay dari orang yang tsiqat pula”.
3.      Hukumnya diterima dengan syarat, yakni syah dengan syarat-syarat, pendapat ini menurut Imam Syafi’i dan sebagian ahli ilmu. Syarat-syarat itu ada empat, tiga pada rawi yang mursal, sebagai berikut :
a.       Hendaknya mursal itu dari kalangan tabi’in besar.
b.      Apabila orang yang menanamkan itu orang yang tsiqat.
c.       Apabila bersekutu padanya orang-orang yang hafidz lagi terpercaya dimana mereka tidak menyelisihnya.
d.      Bilamana tiga syarat tersebut mengandung salah satu hal sebagai berikut :
1)      Bilamana hadis tersebut diriwayatkan dari jalan lain dalam keadaan bersandar.
2)      Bilamana hadis itu diriwayatkan dari jalan lain secara mursal, terputus dan mengetahuinya tanpa melewati perawi-perawi yang mursal pertama.
3)      Atau bilamana sesuai dengan perkataan sahabat.
            Kemudian apabila telah terwujud syarat-syarat ini, maka jelaslah keabsahan tempat keluarnya hadis mursal dan yang melawannya, dan keduanya itu sama-sama shahih, seandainya yang melawan keduanya shahih dari jalan satu maka keduanya kita kembalikan kepadanya, hal itu bilamana terhalang menggabungkan antara keduanya.
C. Pengertian Hadits Marfuq
AlMarfu’ menurut bahasa merupakan  isim maf’ul  dari kata  rafa’a  (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah SAW.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ : marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya;
a)         Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan sahabat,”Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda begini”; atau “Rasulullah SAW,  menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah SAW bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
b)         Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
c)         Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan begini”.
d)         Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah SAW). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas ra, berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud  merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
e)         Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW,” atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW, dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah SAW,  terhadap perbuatan itu.
f)          Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah SAW”.
g)         Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah SAW, sebagaimana dalam hadits Ali ra,”Nabi SAW itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi SAW berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
h)         Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi SAW, yang menghalalkan dan mengharamkan.Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah SAW, adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya.Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
D. Pengertian Hadits Mauquf
Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti.Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat.[5]
 Mauquf menurutpengertian istilah ulama hadis adalah:
مَا اُضِيْفَ إِلَي الصَحَابِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ نَحْوٍ مُتَّصِلًا كَانَ مُنْقَطِعًا
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”
Sebagian ulama mendefinisikan hadis mauquf adalah:
الحديث الذي اسند إلى الصحابي دون النبي صل الله عليه وسلم        
“Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW”[6]
Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Contoh Hadis Mauquf
Berikut ini adalah contoh hadis mauquf antara lain:
a)      Hadis mauquf qauli (yang berupa perkataan)
قال علي بن طالب رضي الله عنه : حدّثوا الناس بما يعرفون أن يكذّب الله ورسوله ؟
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”
b)      Hadis mauquf fi‟li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam Bukhari,
“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.”
c)      Hadis mauquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi‟in
فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم ينكر عليّ
“Aku telah melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku”
E.   Kehujjahan Hadis Mauquf
ada prinsipnya hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan (menjadikan) marfu’, karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata, tidak disandarkan kepada Rasulullah saw.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa.[7]
Di antara hadis mauquf terdapat hadis yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadis dengan alMauquf Lafzhan al-Marfu’ Ma’nan, yaitu secara lafaz berstatus mauquf namun scara makna berstatus marfu’ (hadis marfu’ hukmi), sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan hadis marfu’ sebelumnya.
F. Pengertian Hadits Maqthu’
Menurut bahasa kata maqthu berasal dari akar kata  قَطَّعَ يُقَطِّعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَمَقْطُوْعٌ
yang berarti terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.
Menurut istilah hadis maqthu’adalah
مَا اُضِيْفَ إِلَيالتابعي أو من دونه من قول أو فعل
“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabiin dan orang setelahnya daripada Tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya.[8]
Perbedaan antara hadis maqthu’ dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad.Hadis yang maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya.Sedangkan munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.[9]
Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi‟in atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis maqthu’.
Contoh Hadis Maqthu’
a)      Hadis maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri tentang sholat di belakang ahli bid’ah:
صل وعليه بدعته
“Shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya”
b)      Hadis maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin

Muhammad al-Muntasyir.
كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ويقبل على صلاته ريخليهم ودنياهم
“Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”
c)      Hadis maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam bin‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga) shalat disitu.”
Syuraih adalah seorang tabi`in.Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
G. Kehujjahan Hadis Maqthu’
Hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang datang dari Rasulullah saw, hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat Islam.
Dengan demikian, hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum dan bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari perkataan tabi’in sama dengan perkataan ulama lainnya.






















BAB III
KESIMPULAN
Hadits adalah segala apa yang diberitakan dari nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa pembiasaan atas perbuatan sahabatnya.Karena hadits ini ada yang bisa diterima dan ditolak oleh para ulama maka dari itu Ilmu Hadits sangat diperlukan agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar.
Hadis mursal, yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, tanpa disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi dikarenakan gugurnya sanad setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur disini ialah tidak disebutkannya nama sanad terakhir.
Hadits Marfu’ adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ : marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).

DAFTAR PUSTAKA
Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taisir Musthalahul Hadits. Bairut : Darul Tsaqafah Islamiyah.
Mudasir. 1999.  Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Al-Qaththan. 2005. Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits. Terjemahan Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2003. Al-Syakhshiyah al-Islamiyah. Terjemahan Zakia Ahmad. Bogor: Thariqul Izzah.








[1]Mahmud, Thahhan, Taisir Musthalahul Hadits ,(Bairut : Darul Tsaqafah Islamiyah, cet.VII), hlm. 56.
[2]Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka setia,1999), hlm. 157.
[3]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group,2010), hlm. 193.
[4]Mahmud, Thahahan, Taisir Musthalahul Hadits, hlm. 193.
[5]Al-Qaththan, Mabahits fi’ulum al-Hadits, (terj.Mifdho Abdurrahman,) Jakarta: Pustaka alKautsar, 2005, 173
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah,2010), 227.
[7]Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, terj. Zakia Ahmad, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 470
[8]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2010), 231.
[9]Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum AL-Hadits, (terj. Mifdho Abdurrahman,) Jakarta: Pustaka al Kautsar,2005, 174.

1 comment: