Blog Archive

Tuesday, October 25, 2016

IAT3 KODIFIKASI HADIST Ahmad Hilman Abdurrohman ( 933802815)



KODIFIKASI HADIST
Di susun untuk memenuhi tugas matakuliah:
Ulumul Hadits 3
Dosen Pengampu:
M. Th. I Qoidatul Marhumah
 
Di susun oleh:
 Ahmad Hilman Abdurrohman ( 933802815)
Kelas : A
PROGRAM STUDI AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) KEDIRI
2016



KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh SWT,  Tuhan semesta alam. Sholwat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kami sangat bersyukur kepada Alloh yang telah memberkan Hidayah dan Inayah-Nya, sehingga tugas makalah ini bisa diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kepada Dosen pengampu mata kuliah “Bahasa Indonesia”, M. Th. I Qoidatul Marhumah sudilah untuk mengoreksi, dan bagi pembaca yang budiman serta para rekan-rekan, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini dikemudian hari
Semoga dengan hadirnya makalah ini bisa berguna bagi kita semua Amiin Yaa Robbal’Alamin.




                                                                                               Kediri, Oktober 2016


                                                                                                       Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Bagi kaum Muslimin, hadits diyakini sebagai sumber hukum pokok setelah al-Quran. Ia adalah salah satu sumber tasyripenting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir al-Quran, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Quran sendiri. Ini terkait dengan tugas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung di dalamnya.
Berdasar hal ini umat Islam meyakini bahwa al-Quran dan hadits merupakan sumber hukum Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari'ah.
Dengan ini jelaslah ulama yang mempunyai komitmen tinggi terhadap Islam untuk cepat tanggap mengantisipasinya dengan berupaya menyelamatkan sunnah. Mereka mendorong diadakan penelitian kritik hadits, baik matan maupun sanad, meletakkan kaidah-kaidah pendhabitan (penetapan keshahihan) hadits, dan membuat standar keshahihan hadits.
Mereka mendata kehidupan perawi dari segala aspeknya, menjelaskan sifat mereka, kejujuran, daya hafalnya, ketelitiannya, kedustaannya, dan kelupaannya, atau pemalsuan dan penyelewengannya terhadap hadits, dan membuat kriteria tingkatan masing-masing, ta’dil (keterpujiannya) dan tajrih (ketercelaannya). Mereka bersikap hati-hati dalam dalam memberikan pengeritikan dan periwayatan dengan benar-benar.[1]
B.     RUMUSAN PERMASALAHAN
a.    Bagaimana permulaan pembukuan hadist abad 1 H – 3 H ?
b.    Bagaimana metode membukukan hadist ?
c.    Terjadi konflik apa saja di saat pembukuan hadist?
d.   Kitab-kitab apa saja yang terkenal pada abad 2 H dan 3 H ?



DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG.............................................................................1
  2. RUMUSAN PERMASALAHAN............................................................1
BAB II PEMBAHASAN
  1. Kronologis Perkembangan Hadits Mulai Masa Nabi saw Sampai
 Abad VII H............................................................................................... 2
  1. Kodifikasi As-Sunah Pada Abad Pertama Hijriyah....................................3
  2. Permulaan Masa Pembukuan Hadist .........................................................7
  3. Metode Kodifikasi Hadits Abad ................................................................10
  4. Langkah-Langkah Yang Di Ambil Untuk Mengkodifikasi Hadits........... 11
  5. Timbulnya Pemalsuan Hadits Dan Upaya Penyelamatannya....................13
  6. Beberapa Pendapat Tentang Pembukuan Hadits........................................14
  7. Pendapat Para Orientalis tentang Pembukuan Hadits................................15
BAB III PENUTUP
  1. KESIMPULAN..........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kronologis Perkembangan Hadits Mulai Masa Nabi saw Sampai Abad VII H
Para ahli membagi perkembangan dan kodifikasi hadits terdiri dari 3 (tiga) periode, yaitu:
1.    Dikenal dengan sebutan “ashrul wahyi wattaqwimعصر الوحي والتقويم  )), yaitu turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.
2.    Dikenal dengan sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minnarriwayah” ( زمن التثبت والاقلال من الرواية ), yaitu masa Khulafa’ur Rasyidin atau masa sahabat besar.
3.    Masa sahabat kecil dan tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman intisyari riwayati ilal am-shar” (زمن انتشار الرواية الى الامصار), yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat hadits ke kota-kota.
4.    Abad ke II H, termasuk periode ke empat, yaitu masa pemerintahan kholifah Umar bin Abdul Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “ashrul kitabati wattadwin(عصر الكتا بة والتدوين), yakni masa penulisan dan masa mengkodifikasi hadits-hadits. Pada masa ini masih tercampur perkataan Nabi dengan perkataan sahabat.
5.    Abad III H, termasuk didalamnya periode kelima, yang disebut dengan “ ashruttajjridi watshrieh watanqieh” (عصر التجريد والتصريح والتنقيح), yaitu masa penyaringan hadits dan penyarahannya. Sedang orang pertama yang melakukan penyaringan hadits-hadits shohih ialah Ishak Ibn Rahawaih yang kemudia dilanjutkan oleh Imam al-Bukhori dengan kitab shahihnya, lalu dilanjutkan oleh muridnya bernama Imam Muslim.
6.    Abad IV H, yang pada umumnya disebut dengan istilah “ ashru al-tahdzibi wa al-istidraki wa al-jam’i (عصر التهزذيب والاستدراك الجمع), yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan. Dalam abad ini termasuk juga periode keenam.[2]

B.     Kodifikasi As-Sunah Pada Abad Pertama Hijriyah
1.    Kodifikasi as-Sunah Dimulai Pada Masa Rasulullah[3]
Al-Khatib mencoba menetapkan bahwa kodifikasi hadist telah ada pada masa Rasulullah, sahabat dan tabi’in, ia mengumpulkan hadits-hadits dan atsar sahabat yang berhubungan dengan kodifikasi hadits. Dia berhasil mengumpulkannya lebih banyak, hal ini telah ditemukan pula oleh para ulama pendahulunya namun al-Khatib menemukan hal yang baru, yaitu bahwa dalam sebagian hadits-hadits tersebut terkandung sebab larangan penulisan hadits. Kemudian memisahkan nash-nash ini dalam bab-bab khusus yang dengan sendirinya memberikan penjelasan yang dapat menghilangkan perselisihan dan pertentangan
Al-Khatib mengkhususkan pasal pertama dari bagian pertama dari kitabnya ini untuk hadits-hadits marfu’,  beliau berusaha membahas secara komperhensif seluruh jalan periwayatannya baik yang shahih atau yang dhaif. Akan tetapi semua riwayat-riwayat ini tidak ada satu pun yang shahih selain hadits Abu Sa’id al-Khudri.
لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه
“Janganlah kalian menulis dariku. Barang siapa menulis dariku selai al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim secara marfu’,[4] sedangkan al-Bukhari dan lainnya mengatakan bahwa hadits ini mauquf kepada Abu Sa’id al-kudri.
Dalam pasal ini menyimpulkan alasan tersebut dengan perkataannya, “Telah tetap bahwa sebab generasi pertama dari para sahabat yang melarang kodifikasi hadits adalah agar tidak ada sesuatu pun yang menyrupai al-Quran atau orang menyibukkan dengannya dan melalaikann al-Qur’an. Adapun yang saya temukan tentng dilarangnya penulisan hadits pada awal masa Islam adalah karena sedikitnya ahli fiqh pada waktu itu, begitu pula yang bisa membedakan wahyu dengan selainnya, karena kebanyakan orang-orang Badui belum paham Agama, dan mereka dan mereka juga tidak belajar kepada Ulama, maka dikhawatirkan mereka menganalogikan sesuatu yang mereka temukan dengan al-Qur’an, dan mereka menganggap sesuatu yang dikandungnya sebagai al-Qur’an.”[5]
Al-Khatib menambahkan dalam permulaan pasal kedua dari bagian kedua sebab-sebab lain tentang larangan kodifikasi hadist seraya berkata, “Manusia diperintah hadist karena sanadnya masih dekat, dan zaman pun belum jauh, dan mereka dilarang bersandar pada tulisan, karena hal tersebut akan merusak hafalan bahkan bisa menghilangkannya. Namun apabila tulisan itu tidak ada, maka hafalan-hafalan yang menemani manusia di setiap tempat akankuat. Untuk masalah ini, Sufyan ats-Tsauri berkata “sejelek-jeleknya gudang ilmu adalah kertas.”
Pada bagian ketiga, maka dia menyendirikan tiga pasal untuk menerangkan hadits-hadist dan atsar-atsar yang membolehkann kodifikasi hadits.
Pasal pertama tentang hadist-hadist marfu’kpada Rasulullah. Ada banyak, dan sebagiannya shahih seperti:
Hadist Abu Huraairah,
ما من اصحاب النبي احد اكثر حديثا عنه مني الا ما كان من عبد الله بن عمرو فانه كان يكتب ولا اكتب
“Tidak seorang pun dari sahabat yang lebih banyak meriwayatkan hadits Rasulullah dari padaku kecuali sesuatu yang ada pada Abdullah bin Amr, karena dia menulis (Nya),sedangkan saya tidak menulis.”
Dari Abu Hurairah, dia berkata,
خطب رسول الله في فتح مكة....فقال: اكتبوا لاءبي ثاة
“Rasulullah berkhutbah pada waktu Fathu Makkah...lalu beliau bersabda, kalian tulislah untuk Abu Syah..”
Dalam pasal kedua dan ketiga al-Khatib mambahas hadits-hadits dan atsar-atsar dari para sahabat dan tabi’in yang melarang penulisan hadits. Al-Khatib mengkhususkannya untuk menyebutkan riwayat-riwayat (tentang kodifikasi hadist) dari imam para tabi’in.
Adapun sebab meluasnya penulisan pada masa setelah tabi’in dan bersandarnya manusia kepada tulisan, maka al-Khatib menyebutkan, “Sesungguhnya banyaknya manusia yang menulis hadits dan bermaksud untuk mengkodifikasinya dalam lembaran buku setelah dilarangnya adalah karena jalur periwayatannya sudah tersebar, dan jalur sanad telah memanjang, nama-nama para ahli hadist dan kunyah serta nasabnya banyak, pengungkapan dengan lafadzh berbeda-beda, sehingga hati orang-orang menjadi sulit untuk menghafalnya, dan jadilah ilmu pada zaman itu lebih kokoh daripada ilmu seorang hafidzh, sedangkan Rasulullah telah memberikan keringanan untuk menulisnya bagi orang yang hafalannya lemah, begitu pula para sahabat dan tabi’in serta para ulama setelahnya telah melakukan hal tersebut.[6]
2.      Hadits Yang Dibukukan Pada Masa Perkembangan Permulaan Perkembangan Islam
Telah diakui kebenarannya bahwa sebagian sahabat menulis sebagian hadits Rasulullah saw, dengan izin khusus beliau, seperti Abdullah bin Amr dan seorang sahabat Anshar yang tidak hafal hadits. Orang selain mereka menulis sebagian setelah beliau mengizinkan penulisan hadits secara umum, dan menemukan banyak kabar tentang adanya lembaran-lembaran yang ditulis oleh para sahabat.
Namun, kita tidak mengetahui kandungan semua lembaran itu karena sebagian sahabat dan tabi’in membakar atau menghapus lembaran-lembaran milik mereka sebelum meninggal. Sebagian yang lain mewasiatkan lembaran miliknya kepada orng yang mereka percayai agar tidak beralih kepada orang-orang yang tidak layak menerimanya.
Pada masa Rasululah saw dikenal suatu tulisan yang sangat penting, ketika rasulullah saw memerintahkan para penulisnya agar membukukkan tulisan pada tahun pertama hijriyah.dalam tulisan ini ditegaskan hak-hak kaum muslimin dan Muhajirin dan Anshar, bangsa arab yastrib dan tentang perjanjian damai dengan Yahudi Yatsrib.
Hal ini membuktikan bahwa undang-undang atau piagam pemerintahan Islam (yang baru terbentuk) telah dibukukan dalam suatu lembaran yang berisi persoalan yang sangat terkenal. Lembaran ini dinukil oleh banyak orang secara berantai (mutawatiri).[7]
3.    Kesungguhan Para Sahabat dalam Kodifikasi as-Sunnah dan Menyampaikannya Kepada Umat[8]
Kesungguhan generasi yang diberkahi ini adalah landasan pertama dalam mengkodifikasi as-Sunnah, menghafal dan menyampaikannya kepada umat,. Berikut ini beberapa contoh dari kesungguhan tersebut:
1.      Anjuran untuk menghafal dan menguatkan hafalan, sehingga untuk menguatkan hafalan mereka, maka sebagian dari mereka memerintahkan kepada murid-muridnya untuk menulisnya, kemudian menghapusnya agar tidak bersandar kepada tulisan.
2.      Sebagian sahabat menulis (dan mengirimkan)as-Sunnah kepada sahabat yang lainnya. Di antara contohnya:
a.       Usaid bin Hudhair al-Anshari menulisbeberapa hadits dan keputusan-keputusan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan mengirimkannya kepada Marwan bin al-Hakam.
b.      Jabir bin Saamurah menulis beberapa hadits Rasulullah dan mengirimkannya kepada Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash berdasarkan atas pemerintahannya.
3.      Menganjurkan murid-murid mereka untuk menuliskan hadits-hadits dan membukukannya. Diantara contohnya:
a.       Anas bin malik al-Anshari menyuruh anak-anaknya untuk menulis ilmu, seraya berkata, “Wahai anak-anakku, ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Dan ia berkata, “Dahulu kami tidak menganggapi ilmu (sunnah) dari orang yang tidak menuliskan ilmunya”.
b.      Al-Khatib meriwayatkan beberapa riwayat dari murid-murid Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkata, “Kalian ikatlah ilmu (sunnah) dengan cara menulisnya, karena sebaik-baik pengikat ilmu adalah tulisan.
4.      Kodifikasi hadits dalam lembaran-lembaran dan penukilannya antara para syaikh dan muridnya.[9]
Lembaran-lembaran ini adalah asal mula dari kitab-kitab hadits yang ditulis pada abadkedua dan ketiga hijriyyah berupa jawami, masanid, dan sunan, serta lainnya. Diantara contoh lembaran-lembaran tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Lembaran (catatan) Abu Bakar ash-Shidiq yang berisi tentang kewajiban zakat.
Al-khatib meriwayatkan dengan sanadnya kepada Anas bin Malik, “Sesungguhnya Abu Bakar ash-Shidiq yatelah mengutusnya sebagai pengambil zakat, dan dia menulis surat kepadanya yang berisi tentang kewajiban zakat. Surat tersebut dicap dengan stempel Rasulullah didalamnya berisi, Inilah kewajiban (kadar) zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah bagi kaum Muslimin’.
lembaran ini ditulis ketika Rasulullah masih hidup, dan masih banyak lembaran-lembaran lain yang di tulis pada masa itu.
b.      Lembaan (catatan) Abdullah bin Abi Aufa.
c.       Lembaran (catatan) Abu Musa Al-Asy’ari
d.      Lembaran (catatan) Jabir bin Abdillah.
e.       Lembaran (catatan) hadits shahih yang diriwayatkan Hammam dari Abu Hurairah.
C.    Permulaan Masa Pembukuan Hadist Abad 1 H – 3 H
Ketika kekhalifan di pegang oleh Umar Ibn al-Aziz yang di nobatkan dalam tahun 99 H, yang terkenal adil dan wara, sehingga beliau di pandang sebagai “Khalifah Rasyidin yang ke lima”,tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a.       Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b.      Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu (maudhu’) yang banyak beredar.
c.       Al – Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d.      Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan – peperangan tersebut.[10]
Untuk mewujudkan maksud mulianya itu,khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazmin (120 H). Yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, Inu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadist Rasul yang terdapat pada penghafal wanita rerkenal Amrah binti Abd Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades, seorang ahli fiqih, murid Aisyah (20 H. = 642 M.-98 H. = 716 M. atau 106 H. = 724 M.), dan hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash-Shiddiq (107 H. = 725M.),
Umar ibn Abd al Aziz menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm, bunyinya :
“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
Kitab hadits yag ditulis oleh Ibn Hazm merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Seorang ulama hadits yang terkenal yaitu Al-Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az-Zuhry beliau membukukan hadits yang ada di Madinah.
Faktor yang mendorong munculnya gagasan mulia dari khalifah ini antara lain ialah karena wilayah teritorial pemerintahan Islam serta keberadaan para pemeluknya ketika itu semakin meluas ke berbagai penjuru daerah, sementara disisi lain para penghafal hadits telah berangsur-angsur meninggal baik di medan perang maupun lanjut usia.[11]
Selanjutnya , pada permulaan abad ke- 3 H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Ulama’ hadits berusaha untuk membukukan hadits Nabi saw. secara mandiri, tanpa mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Karena ulama’ hadits banyak menysun kitab-kitab musnad yang bebas dari fatwa sahabat dan tabi’in.
Meskipun demikian, upaya untuk membukukan hadits dalam sebuah kitab musnad ini bukan tanpa kelemahan. Ulama hadits tergerak untuk menyelamatkan hadits dengan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menilai kesahihan suatu hadist. Dengan adanya kaidah-kaidah dan syarat-syarat, kemudian lahirlah yang disebut dengan ilmu dirayah hadits yang sangat banyak cabangnya, di samping juga ilmu riwayat hadits. Konsekwensi dari pemilahan hadits shahih, hasan, dhaif, dan palsu, maka disusunlah kitab-kitab himpunan khusus hadits shahih dan kitab-kitab al-sunan.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing. Keadaan ini dipecahkan Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang di kunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisaburry, Rey, Baghdad, Kuffah, Damsyik, Qaisyariyah, Asqalan dan Himsah. enam belas tahun menjelajah terus menerus untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Pada abad pertama, kedua dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatkan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. hadits yang telah dibukukan oleh ulama’ mutaqaddimin ulama’ abad 1 sampai 3 H dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama’ muta’akhirin,ulama’ abad keempat dan seterusnya.
Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam hadits seperti: al-hakim, al-hafidz, dan sebagainya. Secara kongkret, Hasbi ash-Shidiqiey menyebut abad ini sebagai abad tahzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami’, zawa’id dan athraf.

D.    Metode Kodifikasi Hadits Abad 1 H – 3 H.
Ulama abad ke -2 membukukan hadits, dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits saja, fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa tabi’in, semua itu dibukukan bersama-sama. Maka dalam dalam kitab – kitab itu terdapat hadits-hadits marfu’, mauquf dan hadits maqthu’.Hadîts marfu ’(terangkat sampai kepada Nabi SAW ),  hadîts mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan),  hadîts mauquf (terhenti sampai kepada tâbi ’în).
Adapula dengan menyusun secara musnad. Yang mula-mula menyusun dengan cara ini ialah Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musadad ibn Musarhad al-Bashry, Asad ibn Musa al-Amawy, Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’y, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Utsman ibn Abi syaibah.
Para ahli hadits abad ke 2 Hijriah, tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yakni mereka mencampuradukan hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya, atau kehasanannya atau ke dha’ifannya.
Pada abad ke 3 H. Mulanya ulama menerima hadits dari para perawi, lalu menulis ke dalam bukunya. Musuh yang berkedok dan berselimut islam melihat kegiatan ulama-ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits, yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu.
Melihat kesungguhan musuh-musuh islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-bersungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits- hadits yang shahih dari yang dha’ifyakni menshahihkan hadits.[12]

Pada dasarya ada tiga metode pengujian :
1.      Karakter Para periwayat
Pengujian yang pertama adalah terhadap para periwayat .periwayat yang dapat dipercaya harus Adil,yakni dapat diterima dalam etika islam.Seorang ulama' Ibn al-Mubarok (118-181 H ) mendifinisikan periwayat yang terpercaya sebagai orang yang selalu sholat berjamaah.
2.      Perbandingan Tekstual
Pengujian yang kedua, yang terdiri dari beberapa tes adalah dengan membuat perbandingan silang antara hadis:
a.    Membandingkan hadis –hadis dari murid-murid yang berbeda tapi dari ulama' yang sama .
b.    Membandingan pernyataan – pernyataan yang dibuat pada waktu yang berbeda oleh ulama' yang sama
c.    Membandingkan versi lisan dan tulisan.
d.   Membandingkan Hadist dengan teks yang berkaitan dalam al-Qur'an.
3. Kritik Nalar
Dua penguji yang dijelaskan diatas digunakan untuk memastikan validitas para periwayat atau mata rantai periwayat,tapi nalar juga mendapat tempat yang selayaknya menurut al-Mu'allami al-Yamani hal ini diterapkan pada tiap tahap dalam mempelajari Hadist,dalam menilai periwayat ,dan dalam mempelajari Hadist ,dalam menilai periwayat,dan dalam mengevaluasi otentisitas hadist.
E.  Langkah-Langkah Yang Di Ambil Untuk MengkodifikasiHadits
a.    Mengisnadkan Hadits
Melalui jalur sanad, dimungkinkan penelitian terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita dengan mengenali para perawinya. Sebab, dalam sanad terhimpun sejumlah bukti dan pendukung berupa perawi-perawinya yang bersifat adil, tsiqaat dan dhobit. Dan dari sinilah keshahihan suatu berita yang diriwayatkan menjadi kokoh. Cara ini memberikan rasa tenteram dan percaya pada berita yang diriwayatkan. Bahkan setelah mempelajari semua unsur yang tersebut di atas, kemudian memberikan hukum kepada sanad hadits apakah sanadnya shahih, lemah, atau dusta.[13]
Karena itulah para ulama menetapkan sanad sebagai bagian penting dalam penerimaan hadits. Ibnu Mubarok mengatakan bahwa sanad merupakan bagian dari agama. Sebab tanpa sanad, orang bisa berbicara apa saja sesuai yang dikehendakinya.
Penetapan sanad ini dimaksudkan untuk memastikan keshahihan (keotentikan) suatu nash (teks) atau berita, serta melenyapkan kepalsuan dankebohongan yang mungkin ada padanya. Dengan cara ini bisa diketahui siapa-siapa yang meriwayatkan sebuah berita. Bila yang meriwayatkan itu orang yang memenuhi kreteria di atas, periwayatannya diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi kreteria tersebut, periwayatannya ditolak.
Kegunaan lainnya, riwayat-riwayat yang disandarkan pada sanad jauh lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan tanpa sanad. Alasannya, sanad dalam suatu riwayat dapat digunakan untuk melacak keotentikan sebuah riwayat. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga dapat dilakukan dengan cara yang jauh lebih sempurna dibanding dengan khabar-khabar atau riwayat yang tidak bersanad.
Karena pentingnya kedudukan sanad, para ulama berpendapat bahwa mengetahuinya sama dengan mengetahui satu bagian yang besar dalam ilmu-ilmu Islam. Imam Ali bin al- Madini berkata: "Kefahaman yang mendalam tentang makna-makna hadits adalah separuh ilmu dan mengenali para perawi adalah separuh ilmu.”
Kata-kata Ibn al-Madini ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan ilmu periwayatan yang sebanding dengan ilmu memahami kandungan hadits. Sebab, hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana yang shahih atau tidak. Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan".
b.        Memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima
Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits. Untuk memenuhi maksud itu para tabi’in melakukan perlawatan dari kota ke kota untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya.
c.    Mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka, tentang kebenarannya ataupun kedustaannya
Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali, mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyidari keadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan-segan menerangkan cacat seseorang perawi dan memberitakannya kepada umum.
d.   Membuat kaidah umum untuk membedakan derajat-derajat hadits
Masing- masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if. Dan melahirkan ilmu musthalahul hadist
e.    Menetapkan kriteria hadist-hadist maudhu
Untuk menyaring hadist, menapis dan memisahkan hadist-hadist yang shahih, hasan dan dha’if.Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadist maudhu yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat awam.[14]
F.     Timbulnya Pemalsuan Hadits Dan Upaya Penyelamatannya
Pada abad ke-2, pemalsuan hadits bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Muncul dari pihak muawiayah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selainitu muncul pula golongan Zindiq, yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan cara membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat orang yang haditsnya tidak boleh diambil darinya :
a.    Orang yang kurang akalnya.
b.    Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
c.    Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
d.   Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadits yang diriwayatkannya.
G.    Beberapa Pendapat Tentang Pembukuan Hadits
a.       Pendapat Syeikh Muhammad Rasyid Ridha[15] (1282-1354 H)
Imam Muhammad Rasyid berkata, “Kemungkinan, oran yang pertama kali menulis hadits dan lain-lain dari kalangan tabi’in pada abad pertama hijriyyah, lalu menjadikan apa yang ditullisnya sebagai kitab mushannaf majmu’ adalah Khalid bin a’dan al-Himshi.” Diriwiyatkan bahwa ia bertemu dengan 70 orang sahabat. Penulis kitab Tadzkirah al-Huffadh berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih menekuni ilmu dibandingkan Khalid. Ilmunya dihimpun dalam suatu kitab yang dilengkapi kancing dan tali pengikat.”
Rasyid Ridha berkata, “Khalid bin Ma’dan menghimpun ilmunya dalam satu mushannaf yang terpelihara dengan baik, dilengkapi dengan kancing dan tali pengikat agar tidak tercecer. Ini terjadi pada abad pertama Hjriah karena ia meninggal pada tahun 103 H atau 104 H. Namun, yang lebih dikenal sebagai orang pertama yang menulis hadits adalah ibnu syihab az-Zuhri al-Qurasyi. Dan, kemungkinan ia melakukannya karena adanya ancaman dari para amir (gubernur) Bani Umayyah.[16]
b. Pendapat Syi’ah tentang Pembukuan Hadits
1.    As-Sayyid ash-Shadr
“masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz berlangsung dua tahun lima bulan, yaitu dari tanggal 10 Shafar 98 H (99 H) sampai ia meninggal pada tahun 101 H, pada tanggal 5 atau 6 Rajab. (Menurut satu pendapat, tanggal 20 Rajab tahun 101 H). Tidak dikertahui secara pasti kapan Umar memerintahkan pembukuan hadits. Dan, tidak ada seorang pun yang menukil bahwa perintah Umar tentang pembukuan hadits padamasanya telah terlaksana. Pendapat al-hafidzh Ibnu Hajar adalah suatu perkiraan, bukan suatukepastian yang dapat dibuktikan dengan mata. Dan seandainya perintah Umar itu, menurut para ahli ilmu hadits, telah dilaksanakan dan membuahkan hasil (yang dapat dibuktikan dengan mata), niscaya mereka tidak mengatakan bahwa pembukuan hadits rasulullahsaw. Artinya tidak dibukukan bersama dengan selain hadits terjadi pada awal tahun 200 H. Padahal hal ini dikatakan oleh Syekhul Islam dan yang lainnya. Ibnu Hajar berkata, “...sampai sebagian imam menilai pentingnya hadits-hadits nabi saw.
Al-Hafidzh adz-Dzahabi menegaskan bahwa masa awal penyusunan dan pembukuan sunnah dan penghimpunan furu’ adalah setelah jatuhnya pemerintahan Bani umayyah disusul berdirinya Bani Abbasiyyah. Dan adz-Dzahabi tidak sependapat dengan As-Suyuti. Maka, ada kemungkinan hadits itu baru dihimpun pada masa Umar bin AbdulAziz. Dengan demikian, pendapat bahwa hadits telah dihimpun pada awal tahun 100 H tidak dapat dibenarkan karena tidak dapat dibuktikan. Demikianlah pernyataan Hasan ash- Shadr.
H.    Pendapat Para Orientalis tentang Pembukuan Hadits
Goldziher menulis suatu pasal sekitar penulisan hadits. Dalam pasal itu, ia mengemukakan banyak bukti tentang pembukuan hadits pada awal abad ke 2 H. Pada pasal pertama bukunya itu, ia mengatakan, “Sekelompok ulama mengemukakan kabar-kabar yang menunjukkan adanya sebagian shahifah-shahifah yang dibukukan pada masa Rasulullah saw, namun keberadaan shahifah-shahifah itu di ragukan.”
Dengan pernyataan itu, Goldziher hendak mencapai dua sasaran, yaitu sebagai berikut:
Pertama, menilai orang tsiqah sebagai orang lemah dengan mengatakan bahwa as-Sunnah itu dihafal dan dipelihara di dalam hati, sebab sejak abad kedua Hijriah manusia mengandalkan tulisan.[17]
Kedua, menodai seluruh As-Sunnah dengan mengatakan bahwa as-Sunnah adalah buatan para ulama. Para ulama hanya menghimpun As-Sunnah yang sesuai dengan selera mereka, yang mendukung pendapat mereka tentang kehidupan.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Rasul pada awalnya melarang untuk membukukan Hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Begitu juga pada masa sahabat perbedaannya pada masa sahabat Hadis digunakan hanya kepada yang memerlukan saja dan pada saat perlu.
Berebeda lagi pada masa tabi’in walaupun sama-sama pada masa ini Hadis belum dibukukan, tetapi telah banyak periwayatan Hadis hingga meluas. Walaupun semuanya disampaikan dari mulut ke mulut, akan tetapi pada kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah, beliau telah mengintruksikan kepada pejabat daerah untuk mengumpulkan Hadis dari hafalan-hafalannya. Beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm untuk mengumpulkan Hadis.
Selanjutnya , pada permulaan abad ke- 3 H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Ulama’ hadits berusaha untuk membukukan hadits Nabi saw. secara mandiri, tanpa mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Dan membedakan antara hadis shahih,hasan dan maudhu.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.







DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar ILMU HADITS (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009), 59
Abdurahman ibnu Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq Abdul Wahab Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah, tth), juz II,  159.
Mahmud Ali Fayyad, METODOLOGI PENETAPAN KESHAHIHAN HADIS, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1998).
Muhammad Ma’shum Zein, ULUMUL HADIST & MUSTHOLAH HADIST, (Jombang: DARUL-HIKMAH, 2008).
Muhammad, Tadwin as-sunnah an-Nabawiyyah, (Jakarta: DARUL HAQ, 2012).
Misbah. A.B, mutiara ILMU HADIS, (kediri: Mitra Pesantren, 2010).
Abdurahman ibnu Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq Abdul Wahab Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah, tth), juz II.
Ilyas hasan, KONTROVERSI HADITS DI MESIR, (Bandung: Mizan, 1999).





[1]Mahmud Ali Fayyad, METODOLOGI PENETAPAN KESHAHIHAN HADIS, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1998), hal.32.
[2] Muhammad Ma’shum Zein, ULUMUL HADIST & MUSTHOLAH HADIST, (Jombang:  DARUL-HIKMAH, 2008), hal. 62.
[3] Muhammad, Tadwin as-sunnah an-Nabawiyyah, (Jakarta: DARUL HAQ, 2012), hal. 75.
[4]Shahih Muslim, Kitab az-Zuhud, no. 72.
[5] Ibid, hal. 76.
[6] Ibid, hal. 76.
[7] Muhammad Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1999), hal.382.
[8] Muhammad, Tadwin as-sunnah an-Nabawiyyah, (Jakarta: DARUL HAQ, 2012), hal. 84.
[9] Ibid, Muhammad, hal. 87.
[10] Misbah. A.B, mutiara ILMU HADIS, (kediri: Mitra Pesantren, 2010), hal.23.
[11] Ibid, hal. 27
[12]Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar ILMU HADITS (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009),  hal. 59.
[13]Abdurahman ibnu Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq Abdul Wahab Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah, tth), juz II,  159.
[14]Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar ILMU HADITS (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009),hal. 59.
[15]Ilyas hasan, KONTROVERSI HADITS DI MESIR, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 72.
[16] Ibid, hal.399.
[17] Ibid, hal.410.

No comments:

Post a Comment