Di susun
untuk memenuhi tugas matakuliah:
Ulumul
Hadits 3
Dosen
Pengampu:
M. Th. I
Qoidatul Marhumah
Di susun oleh:
Ahmad Hilman Abdurrohman ( 933802815)
Kelas : A
PROGRAM
STUDI AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN
USHULUDDIN
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh SWT, Tuhan semesta alam. Sholwat dan salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kami sangat bersyukur kepada Alloh yang
telah memberkan Hidayah dan Inayah-Nya, sehingga tugas makalah ini bisa
diselesaikan dengan baik.
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kepada Dosen pengampu mata kuliah “Bahasa Indonesia”, M. Th. I
Qoidatul Marhumah sudilah untuk mengoreksi, dan bagi pembaca yang budiman serta
para rekan-rekan, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini dikemudian hari
Semoga
dengan hadirnya makalah ini bisa berguna bagi kita semua Amiin Yaa
Robbal’Alamin.
Kediri,
Oktober 2016
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Bagi kaum Muslimin, hadits diyakini sebagai sumber hukum
pokok setelah al-Qur‟an. Ia adalah salah satu sumber tasyri‟penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui
fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir al-Qur‟an,
bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur‟an
sendiri. Ini terkait dengan tugas Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam sebagai
pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung di dalamnya.
Berdasar hal ini umat Islam meyakini bahwa al-Qur‟an
dan hadits merupakan sumber hukum Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam
kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu
nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari'ah.
Dengan ini jelaslah ulama yang mempunyai komitmen tinggi
terhadap Islam untuk cepat tanggap mengantisipasinya dengan berupaya
menyelamatkan sunnah. Mereka mendorong diadakan penelitian kritik
hadits, baik matan maupun sanad, meletakkan kaidah-kaidah pendhabitan (penetapan
keshahihan) hadits, dan membuat standar keshahihan hadits.
Mereka mendata kehidupan perawi dari segala aspeknya,
menjelaskan sifat mereka, kejujuran, daya hafalnya, ketelitiannya,
kedustaannya, dan kelupaannya, atau pemalsuan dan penyelewengannya terhadap
hadits, dan membuat kriteria tingkatan masing-masing, ta’dil
(keterpujiannya) dan tajrih (ketercelaannya). Mereka bersikap hati-hati
dalam dalam memberikan pengeritikan dan periwayatan dengan benar-benar.[1]
B.
RUMUSAN
PERMASALAHAN
a.
Bagaimana
permulaan pembukuan hadist abad 1 H – 3 H ?
b.
Bagaimana
metode membukukan hadist ?
c.
Terjadi
konflik apa saja di saat pembukuan hadist?
d.
Kitab-kitab
apa saja yang terkenal pada abad 2 H dan 3 H ?
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG.............................................................................1
- RUMUSAN PERMASALAHAN............................................................1
BAB II PEMBAHASAN
- Kronologis Perkembangan Hadits Mulai Masa Nabi saw Sampai
Abad VII H...............................................................................................
2
- Kodifikasi As-Sunah Pada Abad Pertama Hijriyah....................................3
- Permulaan Masa Pembukuan Hadist .........................................................7
- Metode Kodifikasi Hadits Abad ................................................................10
- Langkah-Langkah Yang Di Ambil Untuk Mengkodifikasi Hadits........... 11
- Timbulnya Pemalsuan Hadits Dan Upaya Penyelamatannya....................13
- Beberapa Pendapat Tentang Pembukuan Hadits........................................14
- Pendapat Para Orientalis tentang Pembukuan Hadits................................15
BAB III PENUTUP
- KESIMPULAN..........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kronologis Perkembangan Hadits Mulai Masa Nabi saw Sampai
Abad VII H
Para
ahli membagi perkembangan dan kodifikasi hadits terdiri dari 3 (tiga) periode,
yaitu:
1.
Dikenal
dengan sebutan “ashrul wahyi wattaqwim”عصر
الوحي والتقويم )), yaitu turun wahyu dan pembentukan
masyarakat Islam.
2.
Dikenal
dengan sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minnarriwayah” ( زمن
التثبت والاقلال من الرواية ),
yaitu masa Khulafa’ur Rasyidin atau masa sahabat besar.
3.
Masa
sahabat kecil dan tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman intisyari
riwayati ilal am-shar” (زمن انتشار الرواية الى الامصار),
yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat hadits ke kota-kota.
4.
Abad
ke II H, termasuk periode ke empat, yaitu masa pemerintahan kholifah Umar bin
Abdul Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “ashrul kitabati wattadwin”(عصر الكتا بة والتدوين),
yakni masa penulisan dan masa mengkodifikasi hadits-hadits. Pada masa ini masih
tercampur perkataan Nabi dengan perkataan sahabat.
5.
Abad
III H, termasuk didalamnya periode kelima, yang disebut dengan “ ashruttajjridi
watshrieh watanqieh” (عصر التجريد والتصريح والتنقيح), yaitu masa penyaringan hadits dan
penyarahannya. Sedang orang pertama yang melakukan penyaringan hadits-hadits
shohih ialah Ishak Ibn Rahawaih yang kemudia dilanjutkan oleh Imam al-Bukhori
dengan kitab shahihnya, lalu dilanjutkan oleh muridnya bernama Imam Muslim.
6.
Abad
IV H, yang pada umumnya disebut dengan istilah “ ashru al-tahdzibi wa
al-istidraki wa al-jam’i (عصر التهزذيب والاستدراك الجمع), yaitu masa pembersihan,
penyusunan, penambahan dan pengumpulan. Dalam abad ini termasuk juga periode
keenam.[2]
B.
Kodifikasi As-Sunah Pada Abad Pertama Hijriyah
1.
Kodifikasi
as-Sunah Dimulai Pada Masa Rasulullah[3]
Al-Khatib
mencoba menetapkan bahwa kodifikasi hadist telah ada pada masa Rasulullah,
sahabat dan tabi’in, ia mengumpulkan hadits-hadits dan atsar sahabat yang
berhubungan dengan kodifikasi hadits. Dia berhasil mengumpulkannya lebih
banyak, hal ini telah ditemukan pula oleh para ulama pendahulunya namun
al-Khatib menemukan hal yang baru, yaitu bahwa dalam sebagian hadits-hadits
tersebut terkandung sebab larangan penulisan hadits. Kemudian memisahkan
nash-nash ini dalam bab-bab khusus yang dengan sendirinya memberikan penjelasan
yang dapat menghilangkan perselisihan dan pertentangan
Al-Khatib
mengkhususkan pasal pertama dari bagian pertama dari kitabnya ini untuk
hadits-hadits marfu’, beliau
berusaha membahas secara komperhensif seluruh jalan periwayatannya baik yang
shahih atau yang dhaif. Akan tetapi semua riwayat-riwayat ini tidak ada satu
pun yang shahih selain hadits Abu Sa’id al-Khudri.
لا
تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه
“Janganlah kalian menulis dariku.
Barang siapa menulis dariku selai al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya”.
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Muslim secara marfu’,[4]
sedangkan al-Bukhari dan lainnya mengatakan bahwa hadits ini mauquf kepada Abu
Sa’id al-kudri.
Dalam
pasal ini menyimpulkan alasan tersebut dengan perkataannya, “Telah tetap bahwa
sebab generasi pertama dari para sahabat yang melarang kodifikasi hadits adalah
agar tidak ada sesuatu pun yang menyrupai al-Quran atau orang menyibukkan
dengannya dan melalaikann al-Qur’an. Adapun yang saya temukan tentng
dilarangnya penulisan hadits pada awal masa Islam adalah karena sedikitnya ahli
fiqh pada waktu itu, begitu pula yang bisa membedakan wahyu dengan selainnya,
karena kebanyakan orang-orang Badui belum paham Agama, dan mereka dan mereka
juga tidak belajar kepada Ulama, maka dikhawatirkan mereka menganalogikan
sesuatu yang mereka temukan dengan al-Qur’an, dan mereka menganggap sesuatu
yang dikandungnya sebagai al-Qur’an.”[5]
Al-Khatib
menambahkan dalam permulaan pasal kedua dari bagian kedua sebab-sebab lain
tentang larangan kodifikasi hadist seraya berkata, “Manusia diperintah hadist
karena sanadnya masih dekat, dan zaman pun belum jauh, dan mereka dilarang
bersandar pada tulisan, karena hal tersebut akan merusak hafalan bahkan bisa
menghilangkannya. Namun apabila tulisan itu tidak ada, maka hafalan-hafalan
yang menemani manusia di setiap tempat akankuat. Untuk masalah ini, Sufyan
ats-Tsauri berkata “sejelek-jeleknya gudang ilmu adalah kertas.”
Pada
bagian ketiga, maka dia menyendirikan tiga pasal untuk menerangkan
hadits-hadist dan atsar-atsar yang membolehkann kodifikasi hadits.
Pasal
pertama tentang hadist-hadist marfu’kpada Rasulullah. Ada banyak, dan
sebagiannya shahih seperti:
Hadist
Abu Huraairah,
ما من اصحاب النبي احد اكثر حديثا عنه مني الا
ما كان من عبد الله بن عمرو فانه كان يكتب ولا اكتب
“Tidak
seorang pun dari sahabat yang lebih banyak meriwayatkan hadits Rasulullah dari
padaku kecuali sesuatu yang ada pada Abdullah bin Amr, karena dia menulis
(Nya),sedangkan saya tidak menulis.”
Dari
Abu Hurairah, dia berkata,
خطب رسول الله في فتح مكة....فقال: اكتبوا لاءبي
ثاة
“Rasulullah
berkhutbah pada waktu Fathu Makkah...lalu beliau bersabda, kalian tulislah
untuk Abu Syah..”
Dalam
pasal kedua dan ketiga al-Khatib mambahas hadits-hadits dan atsar-atsar dari
para sahabat dan tabi’in yang melarang penulisan hadits. Al-Khatib
mengkhususkannya untuk menyebutkan riwayat-riwayat (tentang kodifikasi hadist)
dari imam para tabi’in.
Adapun
sebab meluasnya penulisan pada masa setelah tabi’in dan bersandarnya manusia
kepada tulisan, maka al-Khatib menyebutkan, “Sesungguhnya banyaknya manusia
yang menulis hadits dan bermaksud untuk mengkodifikasinya dalam lembaran buku
setelah dilarangnya adalah karena jalur periwayatannya sudah tersebar, dan
jalur sanad telah memanjang, nama-nama para ahli hadist dan kunyah serta
nasabnya banyak, pengungkapan dengan lafadzh berbeda-beda, sehingga hati
orang-orang menjadi sulit untuk menghafalnya, dan jadilah ilmu pada zaman itu
lebih kokoh daripada ilmu seorang hafidzh, sedangkan Rasulullah telah
memberikan keringanan untuk menulisnya bagi orang yang hafalannya lemah, begitu
pula para sahabat dan tabi’in serta para ulama setelahnya telah melakukan hal
tersebut.[6]
2.
Hadits
Yang Dibukukan Pada Masa Perkembangan Permulaan Perkembangan Islam
Telah
diakui kebenarannya bahwa sebagian sahabat menulis sebagian hadits Rasulullah
saw, dengan izin khusus beliau, seperti Abdullah bin Amr dan seorang sahabat
Anshar yang tidak hafal hadits. Orang selain mereka menulis sebagian setelah
beliau mengizinkan penulisan hadits secara umum, dan menemukan banyak kabar
tentang adanya lembaran-lembaran yang ditulis oleh para sahabat.
Namun,
kita tidak mengetahui kandungan semua lembaran itu karena sebagian sahabat dan
tabi’in membakar atau menghapus lembaran-lembaran milik mereka sebelum
meninggal. Sebagian yang lain mewasiatkan lembaran miliknya kepada orng yang
mereka percayai agar tidak beralih kepada orang-orang yang tidak layak
menerimanya.
Pada
masa Rasululah saw dikenal suatu tulisan yang sangat penting, ketika rasulullah
saw memerintahkan para penulisnya agar membukukkan tulisan pada tahun pertama
hijriyah.dalam tulisan ini ditegaskan hak-hak kaum muslimin dan Muhajirin dan
Anshar, bangsa arab yastrib dan tentang perjanjian damai dengan Yahudi Yatsrib.
Hal
ini membuktikan bahwa undang-undang atau piagam pemerintahan Islam (yang baru
terbentuk) telah dibukukan dalam suatu lembaran yang berisi persoalan yang
sangat terkenal. Lembaran ini dinukil oleh banyak orang secara berantai (mutawatiri).[7]
3.
Kesungguhan
Para Sahabat dalam Kodifikasi as-Sunnah dan Menyampaikannya Kepada Umat[8]
Kesungguhan
generasi yang diberkahi ini adalah landasan pertama dalam mengkodifikasi
as-Sunnah, menghafal dan menyampaikannya kepada umat,. Berikut ini beberapa
contoh dari kesungguhan tersebut:
1.
Anjuran
untuk menghafal dan menguatkan hafalan, sehingga untuk menguatkan hafalan
mereka, maka sebagian dari mereka memerintahkan kepada murid-muridnya untuk
menulisnya, kemudian menghapusnya agar tidak bersandar kepada tulisan.
2.
Sebagian
sahabat menulis (dan mengirimkan)as-Sunnah kepada sahabat yang lainnya. Di
antara contohnya:
a.
Usaid
bin Hudhair al-Anshari menulisbeberapa hadits dan keputusan-keputusan Abu
Bakar, Umar, dan Utsman, dan mengirimkannya kepada Marwan bin al-Hakam.
b.
Jabir
bin Saamurah menulis beberapa hadits Rasulullah dan mengirimkannya kepada Amir
bin Sa’ad bin Abi Waqqash berdasarkan atas pemerintahannya.
3.
Menganjurkan
murid-murid mereka untuk menuliskan hadits-hadits dan membukukannya. Diantara
contohnya:
a.
Anas
bin malik al-Anshari menyuruh anak-anaknya untuk menulis ilmu, seraya berkata,
“Wahai anak-anakku, ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Dan ia berkata, “Dahulu
kami tidak menganggapi ilmu (sunnah) dari orang yang tidak menuliskan ilmunya”.
b.
Al-Khatib
meriwayatkan beberapa riwayat dari murid-murid Abdullah bin Abbas, bahwa dia
berkata, “Kalian ikatlah ilmu (sunnah) dengan cara menulisnya, karena
sebaik-baik pengikat ilmu adalah tulisan.
4.
Kodifikasi
hadits dalam lembaran-lembaran dan penukilannya antara para syaikh dan
muridnya.[9]
Lembaran-lembaran
ini adalah asal mula dari kitab-kitab hadits yang ditulis pada abadkedua dan
ketiga hijriyyah berupa jawami, masanid, dan sunan, serta
lainnya. Diantara contoh lembaran-lembaran tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Lembaran
(catatan) Abu Bakar ash-Shidiq yang berisi tentang kewajiban zakat.
Al-khatib meriwayatkan
dengan sanadnya kepada Anas bin Malik, “Sesungguhnya Abu Bakar ash-Shidiq
yatelah mengutusnya sebagai pengambil zakat, dan dia menulis surat kepadanya
yang berisi tentang kewajiban zakat. Surat tersebut dicap dengan stempel
Rasulullah didalamnya berisi, Inilah kewajiban (kadar) zakat yang ditetapkan
oleh Rasulullah bagi kaum Muslimin’.
lembaran
ini ditulis ketika Rasulullah masih hidup, dan masih banyak lembaran-lembaran
lain yang di tulis pada masa itu.
b.
Lembaan
(catatan) Abdullah bin Abi Aufa.
c.
Lembaran
(catatan) Abu Musa Al-Asy’ari
d.
Lembaran
(catatan) Jabir bin Abdillah.
e.
Lembaran
(catatan) hadits shahih yang diriwayatkan Hammam dari Abu Hurairah.
C.
Permulaan Masa Pembukuan Hadist Abad 1 H – 3 H
Ketika kekhalifan di pegang oleh Umar Ibn al-Aziz yang di
nobatkan dalam tahun 99 H, yang terkenal adil dan wara, sehingga
beliau di pandang sebagai “Khalifah Rasyidin yang ke lima”,tergeraklah hatinya
untuk membukukan hadits dengan motif :
a.
Beliau
khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b.
Kemauan
beliau untuk menyaring hadits palsu (maudhu’) yang banyak beredar.
c.
Al
– Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran
tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d.
Peperangan
dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama
kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat
dalam peperangan – peperangan tersebut.[10]
Untuk mewujudkan maksud mulianya itu,khalifah meminta
kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazmin (120 H).
Yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, Inu Ishaq dan Ibnu Abi
Dzi’bin supaya membukukan hadist Rasul yang terdapat pada penghafal wanita
rerkenal Amrah binti Abd Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades, seorang ahli
fiqih, murid Aisyah (20 H. = 642 M.-98 H. = 716 M. atau 106 H. = 724 M.), dan
hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash-Shiddiq (107
H. = 725M.),
Umar ibn Abd al Aziz menulis surat kepada Abu Bakr ibn
Hazm, bunyinya :
“Lihat
dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah
karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda
terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan
mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
Kitab hadits yag ditulis oleh Ibn Hazm merupakan kitab
hadits yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, kitab itu tidak
membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Seorang ulama hadits yang
terkenal yaitu Al-Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az-Zuhry beliau
membukukan hadits yang ada di Madinah.
Faktor yang mendorong munculnya gagasan mulia dari
khalifah ini antara lain ialah karena wilayah teritorial pemerintahan Islam
serta keberadaan para pemeluknya ketika itu semakin meluas ke berbagai penjuru
daerah, sementara disisi lain para penghafal hadits telah berangsur-angsur
meninggal baik di medan perang maupun lanjut usia.[11]
Selanjutnya , pada permulaan abad ke- 3 H, para ulama’
berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadits dengan fatwa sahabat dan
tabi’in. Ulama’ hadits berusaha untuk membukukan hadits Nabi saw. secara mandiri,
tanpa mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Karena ulama’ hadits banyak
menysun kitab-kitab musnad yang bebas dari fatwa sahabat dan tabi’in.
Meskipun demikian, upaya untuk membukukan hadits dalam
sebuah kitab musnad ini bukan tanpa kelemahan. Ulama hadits tergerak untuk
menyelamatkan hadits dengan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menilai kesahihan suatu hadist. Dengan adanya kaidah-kaidah dan syarat-syarat,
kemudian lahirlah yang disebut dengan ilmu dirayah hadits yang sangat banyak
cabangnya, di samping juga ilmu riwayat hadits. Konsekwensi dari pemilahan
hadits shahih, hasan, dhaif, dan palsu, maka disusunlah kitab-kitab himpunan
khusus hadits shahih dan kitab-kitab al-sunan.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang
terdapat di kota mereka masing-masing. Keadaan ini dipecahkan Al-Bukhary.
Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang di kunjungi untuk mencari
hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisaburry, Rey, Baghdad, Kuffah, Damsyik,
Qaisyariyah, Asqalan dan Himsah. enam belas tahun menjelajah terus menerus
untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Pada abad pertama, kedua dan ketiga, hadits
berturut-turut mengalami masa periwayatkan, penulisan dan penyaringan dari
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. hadits yang telah dibukukan oleh ulama’
mutaqaddimin ulama’ abad 1 sampai 3 H dihafal dan diselidiki sanadnya oleh
ulama’ muta’akhirin,ulama’ abad keempat dan seterusnya.
Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian
dalam hadits seperti: al-hakim, al-hafidz, dan sebagainya. Secara
kongkret, Hasbi ash-Shidiqiey menyebut abad ini sebagai abad tahzib,
istidrak, istikhraj, menyusun jawami’, zawa’id dan athraf.
D.
Metode Kodifikasi Hadits Abad 1 H – 3 H.
Ulama abad ke -2 membukukan hadits, dengan tidak
menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits saja, fatwa-fatwa sahabat, bahkan
fatwa-fatwa tabi’in, semua itu dibukukan bersama-sama. Maka dalam dalam
kitab – kitab itu terdapat hadits-hadits marfu’, mauquf dan hadits maqthu’.Hadîts
marfu ’(terangkat sampai kepada Nabi SAW ), hadîts mursal (adanya perawi sahabat
yang digugurkan), hadîts mauquf
(terhenti sampai kepada tâbi ’în).
Adapula dengan menyusun secara musnad. Yang mula-mula
menyusun dengan cara ini ialah Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musadad ibn
Musarhad al-Bashry, Asad ibn Musa al-Amawy, Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’y, Ahmad
ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Utsman ibn Abi syaibah.
Para ahli hadits abad ke 2 Hijriah, tidak memisahkan
hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yakni mereka mencampuradukan
hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Segala
hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan
keshahihannya, atau kehasanannya atau ke dha’ifannya.
Pada abad ke 3 H. Mulanya ulama menerima hadits dari para
perawi, lalu menulis ke dalam bukunya. Musuh yang berkedok dan berselimut islam
melihat kegiatan ulama-ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah
upaya untuk mengacaubalaukan hadits, yaitu dengan menambahkan lafalnya atau
membuat hadits maudhu.
Melihat kesungguhan musuh-musuh islam dan menyadari
akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-bersungguh
membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat,
kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits- hadits yang shahih
dari yang dha’ifyakni menshahihkan hadits.[12]
Pada dasarya ada tiga metode pengujian :
1.
Karakter
Para periwayat
Pengujian yang pertama adalah terhadap para periwayat
.periwayat yang dapat dipercaya harus Adil,yakni dapat diterima dalam etika
islam.Seorang ulama' Ibn al-Mubarok (118-181 H ) mendifinisikan periwayat yang
terpercaya sebagai orang yang selalu sholat berjamaah.
2.
Perbandingan
Tekstual
Pengujian yang kedua, yang terdiri dari beberapa tes
adalah dengan membuat perbandingan silang antara hadis:
a.
Membandingkan
hadis –hadis dari murid-murid yang berbeda tapi dari ulama' yang sama .
b.
Membandingan
pernyataan – pernyataan yang dibuat pada waktu yang berbeda oleh ulama' yang
sama
c.
Membandingkan
versi lisan dan tulisan.
d.
Membandingkan
Hadist dengan teks yang berkaitan dalam al-Qur'an.
3.
Kritik Nalar
Dua penguji yang dijelaskan diatas digunakan untuk memastikan
validitas para periwayat atau mata rantai periwayat,tapi nalar juga mendapat
tempat yang selayaknya menurut al-Mu'allami al-Yamani hal ini diterapkan pada
tiap tahap dalam mempelajari Hadist,dalam menilai periwayat ,dan dalam
mempelajari Hadist ,dalam menilai periwayat,dan dalam mengevaluasi otentisitas
hadist.
E.
Langkah-Langkah Yang Di Ambil Untuk MengkodifikasiHadits
a.
Mengisnadkan
Hadits
Melalui jalur sanad, dimungkinkan penelitian
terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita dengan mengenali para
perawinya. Sebab, dalam sanad terhimpun sejumlah bukti dan pendukung berupa
perawi-perawinya yang bersifat adil, tsiqaat dan dhobit. Dan dari
sinilah keshahihan suatu berita yang diriwayatkan menjadi kokoh. Cara ini
memberikan rasa tenteram dan percaya pada berita yang diriwayatkan. Bahkan
setelah mempelajari semua unsur yang tersebut di atas, kemudian memberikan
hukum kepada sanad hadits apakah sanadnya shahih, lemah, atau dusta.[13]
Karena itulah para ulama menetapkan sanad sebagai bagian
penting dalam penerimaan hadits. Ibnu Mubarok mengatakan bahwa sanad merupakan
bagian dari agama. Sebab tanpa sanad, orang bisa berbicara apa saja sesuai yang
dikehendakinya.
Penetapan sanad ini dimaksudkan untuk memastikan
keshahihan (keotentikan) suatu nash (teks) atau berita, serta melenyapkan
kepalsuan dankebohongan yang mungkin ada padanya. Dengan cara ini bisa
diketahui siapa-siapa yang meriwayatkan sebuah berita. Bila yang meriwayatkan
itu orang yang memenuhi kreteria di atas, periwayatannya diterima. Sebaliknya,
jika tidak memenuhi kreteria tersebut, periwayatannya ditolak.
Kegunaan lainnya, riwayat-riwayat yang disandarkan pada
sanad jauh lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan
tanpa sanad. Alasannya, sanad dalam suatu riwayat dapat digunakan untuk melacak
keotentikan sebuah riwayat. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga dapat
dilakukan dengan cara yang jauh lebih sempurna dibanding dengan khabar-khabar
atau riwayat yang tidak bersanad.
Karena pentingnya kedudukan sanad, para ulama berpendapat
bahwa mengetahuinya sama dengan mengetahui satu bagian yang besar dalam
ilmu-ilmu Islam. Imam Ali bin al- Madini berkata: "Kefahaman yang mendalam
tentang makna-makna hadits adalah separuh ilmu dan mengenali para perawi adalah
separuh ilmu.”
Kata-kata Ibn al-Madini ini menunjukkan betapa tingginya
kedudukan ilmu periwayatan yang sebanding dengan ilmu memahami kandungan
hadits. Sebab, hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti siapa
yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui
mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana yang shahih atau tidak. Abdullah
bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari
agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya
apa yang ia inginkan".
b.
Memeriksa
benar tidaknya hadits yang diterima
Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya
kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits. Untuk memenuhi maksud itu para
tabi’in melakukan perlawatan dari kota ke kota untuk mendengar hadits-hadits
dari orang terpercaya.
c.
Mengkritik
perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka, tentang kebenarannya ataupun
kedustaannya
Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar
sekali, mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal
yang tersembunyidari keadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan
tidak segan-segan menerangkan cacat seseorang perawi dan memberitakannya kepada
umum.
d.
Membuat
kaidah umum untuk membedakan derajat-derajat hadits
Masing- masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk
membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih
dan dha’if. Dan melahirkan ilmu musthalahul hadist
e.
Menetapkan
kriteria hadist-hadist maudhu
Untuk menyaring hadist, menapis dan memisahkan
hadist-hadist yang shahih, hasan dan dha’if.Dengan memahami
tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadist
maudhu yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat awam.[14]
F.
Timbulnya Pemalsuan Hadits Dan Upaya Penyelamatannya
Pada
abad ke-2, pemalsuan hadits bertambah luas dengan munculnya
propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Muncul
dari pihak muawiayah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda
yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selainitu muncul pula golongan Zindiq,
yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan cara
membuat kisah-kisah palsu.
Menurut
Imam Malik ada empat orang yang haditsnya tidak boleh diambil darinya :
a.
Orang
yang kurang akalnya.
b.
Orang
yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa
nafsunya.
c.
Orang
yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
d.
Orang
yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai
hadits yang diriwayatkannya.
G.
Beberapa Pendapat Tentang Pembukuan Hadits
a.
Pendapat
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha[15]
(1282-1354 H)
Imam Muhammad Rasyid berkata, “Kemungkinan, oran yang
pertama kali menulis hadits dan lain-lain dari kalangan tabi’in pada abad
pertama hijriyyah, lalu menjadikan apa yang ditullisnya sebagai kitab mushannaf
majmu’ adalah Khalid bin a’dan al-Himshi.” Diriwiyatkan bahwa ia bertemu
dengan 70 orang sahabat. Penulis kitab Tadzkirah al-Huffadh berkata,
“Saya tidak melihat seseorang yang lebih menekuni ilmu dibandingkan Khalid.
Ilmunya dihimpun dalam suatu kitab yang dilengkapi kancing dan tali pengikat.”
Rasyid Ridha berkata, “Khalid bin Ma’dan menghimpun
ilmunya dalam satu mushannaf yang terpelihara dengan baik, dilengkapi
dengan kancing dan tali pengikat agar tidak tercecer. Ini terjadi pada abad
pertama Hjriah karena ia meninggal pada tahun 103 H atau 104 H. Namun, yang
lebih dikenal sebagai orang pertama yang menulis hadits adalah ibnu syihab
az-Zuhri al-Qurasyi. Dan, kemungkinan ia melakukannya karena adanya ancaman
dari para amir (gubernur) Bani Umayyah.[16]
b.
Pendapat
Syi’ah tentang Pembukuan Hadits
1.
As-Sayyid
ash-Shadr
“masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz berlangsung dua
tahun lima bulan, yaitu dari tanggal 10 Shafar 98 H (99 H) sampai ia meninggal
pada tahun 101 H, pada tanggal 5 atau 6 Rajab. (Menurut satu pendapat, tanggal
20 Rajab tahun 101 H). Tidak dikertahui secara pasti kapan Umar memerintahkan
pembukuan hadits. Dan, tidak ada seorang pun yang menukil bahwa perintah Umar
tentang pembukuan hadits padamasanya telah terlaksana. Pendapat al-hafidzh Ibnu
Hajar adalah suatu perkiraan, bukan suatukepastian yang dapat dibuktikan dengan
mata. Dan seandainya perintah Umar itu, menurut para ahli ilmu hadits, telah
dilaksanakan dan membuahkan hasil (yang dapat dibuktikan dengan mata), niscaya
mereka tidak mengatakan bahwa pembukuan hadits rasulullahsaw. Artinya tidak
dibukukan bersama dengan selain hadits terjadi pada awal tahun 200 H. Padahal
hal ini dikatakan oleh Syekhul Islam dan yang lainnya. Ibnu Hajar berkata,
“...sampai sebagian imam menilai pentingnya hadits-hadits nabi saw.
Al-Hafidzh adz-Dzahabi menegaskan bahwa masa awal
penyusunan dan pembukuan sunnah dan penghimpunan furu’ adalah setelah
jatuhnya pemerintahan Bani umayyah disusul berdirinya Bani Abbasiyyah. Dan
adz-Dzahabi tidak sependapat dengan As-Suyuti. Maka, ada kemungkinan hadits itu
baru dihimpun pada masa Umar bin AbdulAziz. Dengan demikian, pendapat bahwa
hadits telah dihimpun pada awal tahun 100 H tidak dapat dibenarkan karena tidak
dapat dibuktikan. Demikianlah pernyataan Hasan ash- Shadr.
H.
Pendapat Para Orientalis tentang Pembukuan Hadits
Goldziher menulis suatu pasal sekitar penulisan hadits.
Dalam pasal itu, ia mengemukakan banyak bukti tentang pembukuan hadits pada
awal abad ke 2 H. Pada pasal pertama bukunya itu, ia mengatakan, “Sekelompok
ulama mengemukakan kabar-kabar yang menunjukkan adanya sebagian shahifah-shahifah
yang dibukukan pada masa Rasulullah saw, namun keberadaan shahifah-shahifah
itu di ragukan.”
Dengan
pernyataan itu, Goldziher hendak mencapai dua sasaran, yaitu sebagai berikut:
Pertama, menilai orang tsiqah sebagai orang lemah dengan
mengatakan bahwa as-Sunnah itu dihafal dan dipelihara di dalam hati, sebab
sejak abad kedua Hijriah manusia mengandalkan tulisan.[17]
Kedua, menodai seluruh As-Sunnah dengan mengatakan bahwa
as-Sunnah adalah buatan para ulama. Para ulama hanya menghimpun As-Sunnah yang
sesuai dengan selera mereka, yang mendukung pendapat mereka tentang kehidupan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Rasul pada awalnya melarang untuk membukukan Hadis karena
dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Begitu juga pada masa sahabat
perbedaannya pada masa sahabat Hadis digunakan hanya kepada yang memerlukan
saja dan pada saat perlu.
Berebeda lagi pada masa tabi’in walaupun sama-sama pada
masa ini Hadis belum dibukukan, tetapi telah banyak periwayatan Hadis hingga
meluas. Walaupun semuanya disampaikan dari mulut ke mulut, akan tetapi pada
kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah, beliau telah
mengintruksikan kepada pejabat daerah untuk mengumpulkan Hadis dari
hafalan-hafalannya. Beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn
Hazm untuk mengumpulkan Hadis.
Selanjutnya , pada permulaan abad ke- 3 H, para ulama’
berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadits dengan fatwa sahabat dan
tabi’in. Ulama’ hadits berusaha untuk membukukan hadits Nabi saw. secara
mandiri, tanpa mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Dan membedakan antara
hadis shahih,hasan dan maudhu.
Seluruh
perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan
perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman
hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat
memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu
meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang
diperintahkan Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku
Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar ILMU HADITS (Semarang:
PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009), 59
Abdurahman
ibnu Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq
Abdul Wahab Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah,
tth), juz II, 159.
Mahmud
Ali Fayyad, METODOLOGI PENETAPAN KESHAHIHAN HADIS, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 1998).
Muhammad
Ma’shum Zein, ULUMUL HADIST & MUSTHOLAH HADIST, (Jombang: DARUL-HIKMAH, 2008).
Muhammad,
Tadwin as-sunnah an-Nabawiyyah, (Jakarta: DARUL HAQ, 2012).
Misbah.
A.B, mutiara ILMU HADIS, (kediri: Mitra Pesantren, 2010).
Abdurahman
ibnu Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq
Abdul Wahab Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah,
tth), juz II.
Ilyas
hasan, KONTROVERSI HADITS DI MESIR, (Bandung: Mizan, 1999).
[1]Mahmud Ali
Fayyad, METODOLOGI PENETAPAN KESHAHIHAN HADIS, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 1998), hal.32.
[2] Muhammad
Ma’shum Zein, ULUMUL HADIST & MUSTHOLAH HADIST, (Jombang: DARUL-HIKMAH, 2008), hal. 62.
[3]
Muhammad, Tadwin as-sunnah an-Nabawiyyah, (Jakarta: DARUL HAQ, 2012), hal.
75.
[4]Shahih
Muslim, Kitab az-Zuhud, no. 72.
[5] Ibid,
hal. 76.
[6] Ibid,
hal. 76.
[7]
Muhammad Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, (Jakarta: GEMA INSANI
PRESS, 1999), hal.382.
[8]
Muhammad, Tadwin as-sunnah an-Nabawiyyah, (Jakarta: DARUL HAQ, 2012),
hal. 84.
[9] Ibid,
Muhammad, hal. 87.
[10] Misbah.
A.B, mutiara ILMU HADIS, (kediri: Mitra Pesantren, 2010), hal.23.
[11] Ibid,
hal. 27
[12]Teungku
Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar ILMU HADITS
(Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009), hal. 59.
[13]Abdurahman ibnu
Abu Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sarah Taqrib al-Nawawi, Tahqiq
Abdul Wahab Abdul Latif, (Maktabah Ar-Riyadh al-Hadits, Riyadh, Saudi Arabiyah,
tth), juz II, 159.
[14]Teungku
Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar ILMU HADITS (Semarang:
PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009),hal. 59.
[15]Ilyas
hasan, KONTROVERSI HADITS DI MESIR, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 72.
[16] Ibid,
hal.399.
[17] Ibid,
hal.410.
No comments:
Post a Comment