Blog Archive

Monday, October 17, 2016

IAT3 Riwayah Al-Hadis Lia Nikmatul Maula 933805515



Riwayah Al-Hadis
Makalah Ini Disusununtuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah “IlmuHadis 3”
Dosen Pengampu:
Qoidatul Marhumah,M.Th.I








Disusun Oleh:
Lia Nikmatul Maula    933805515


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016







KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ”Riwayah al-Hadist”
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak tersebut dibawah ini.
1.      Ibu Qoidatul Marhumah,M.Th.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadist.
2.      Bapak dan Ibu  tercinta yang telah memberikan kasih sayangnya baik moral maupun material.
3.      Semua rekan-rekan yang telah membantu dan memberikan pengarahan kepada penulis sehingga kerya tulis ini bisa diselesaikan.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua semua pihak khususnya bagi pembaca.

Kediri,03 Oktober  2016


Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Swt. itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.
Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadis (ulumul hadis). Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks (matan) hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya.
            Melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi.
            Hadis dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Faktanya hadis tidaklah langsung disampaikan dari Nabi langsung kepada periwayat hadis tersebut, karena mereka hidup di era yang berbeda. Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya sampai pada  periwayat.
            Pada makalah ini penulis akan membahas tentang periwayatan hadis pada bab selanjutnya.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa definisi riwayah al-hadist?
2.      Bagaimana ihwal riwayah al- hadist ?
3.      Apa definisi tahammul wa ada’ al-hadist ?
4.      Bagaimana  metode tahammul wa ada’ al-hadist ?


C.     TUJUAN MASALAH

1.      Untuk mengetahui definisi riwayah al-hadist  .
2.      Untuk mengetahui ihwal riwayah al-hadist.
3.      Untuk mengetahui definisi tahammul wa ada’ al-hadist .
4.      Untuk mengetahui metode tahammul wa ada’ al-hadist








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian riwayah al-hadist
Menurut istilah ilmu hadist,yang dimaksud dengan al-riwayatialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist,serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi  dia tidak menyampaikan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadist yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist itu dia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist.
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadist.Yakni:[1] kegiatan menerima hadist dari periwayat hadist; [2] kegiatan menyampaikan hadist itu kepada orang lain; dan [3] ketika hadist itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.
Orang yang melakukan periwayatan hadist dinamai al-rawiy (periwayat),apa yang diriwayatkan dinamai al-marwiy,susunan rangkaian para periwayatnya dinamai sanad atau biasa juga disebut isnad dan kalimat yang disebutkan sesudah sanad dinamai matan. Kegiatan yang berkenaan dengan seluk-beluk penerimaan dan penyampaian hadist disebut tahammul wa ada’ al-hadist. Dengan demikian, seseorang barulah dapat dinyatakan sebagai periwayat hadist, apabila orang itu telah melakukan tahammul wa ada’ al-hadist dan hadist yang disampaikannya lengkap berisi sanad dan matan.[1]

B.     Ihwal Riwayah Al- Hadist
1.    Adab pencari Hadist
Adab bagi para pencari hadist yakni tata cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan ilmu yang dimaksudkan .Tata cara (adab) tersebut sebagai berikut:
a.       Ikhlas karena Allah Swt.
b.      Bersungguh-sungguh dalam mengambil hadist dari ulama.
c.       Mengamalkan ilmunya
d.      Memuliakan dan meenghormati guru
e.       Memberikan Ilmu yang dikuasainya kepada sesama rekan pencari hadist
f.       Memakai metodologi yang berlaku dalam pencarian hadist
g.      Memperhatikan musthalah hadist.
2.    Adab Muhaddist
Adab yang dimaksud disini adalah adab yang dibutuhkan oleh setiap orang yang akan memimpin suatu majelis ilmu atau mengajar.Para muhadditsin menganggap penting adab ini,khususnya bagi orang yang akan mengajarkan hadist Rasulullah Saw.  Tata cara (adab) tersebut sebagai berikut:
a.       Ikhlas dan Niat benar
b.      Menghiasi diri dengan berbagai keutamaan
c.       Memelihara kecakapan mengajar hadist
d.      Berhenti jika khawatir salah
e.       Menghormati orang yang lebih utama darinya
f.       Menghormati hadist dan mendatangi majelis pengkajian hadist
g.      Menyibukkan diri menulis karya ilmiah[2]

C.    Definisi Tahammul Wa Ada’ Al-Hadist
1.    Tahammul al-hadist adalah kegiatan menerima dan mendengar hadist dengan cara-cara tertentu.
Adapun beberapa permasalahan dalam Tahammul al-hadist yaitu:
a.       Penerimaan anak-anak
Mayoritas ulama hadist berpendapat, bahwa menerima periwayatan hadist pada masa anak-anak dianggap sah.
Hal ini didasarkan pada periwayatan para sahabat kecil, seperti Hasan dan Husain, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan lain-lain.
Adapun Imam Ahmad berpendapat , boleh menerima periwayatan hadist apabila dia mengerti apa yang dia dengar.
Dengan demikian diperbolehkan menerima periwayatan hadist ketika masih anak-anak dan dia mengerti apa yang dia dengar atau yang dia perhatikan, kemudian menyampaikan hadist tersebut setelah dia baligh.
Yang demikian seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, bahwa Muhammad bin al-Rabi’ r.a.berkata,” saya teringat Rasulullah memercikkan air kewajahku dari sebuah ember.sedangkan aku berumur 5 tahun.”
b.      Penerimaan orang fasiq dan kafir
Mayoritas ulama juga berpendapat , bahwa menerima periwayatan hadist bagi orang fasiq dan kafir dianggap sah, akan tetapi dalam menyampaikan hadist , dia sudah bertaubat dan masuk islam.Hal ini didasarkan pada hal ikhwal para sahabat yang banyak menyaksikan dan mendengar sabda Raslullah, sebelum mereka masuk islam,seperti sahabat Zubairn mendengar Rasulillah membaca surat al-Thur waktu shalat maghrib  sedangkan beliau belum masuk islam.
2.    Ada’ al-Hadist
Ada’ al-Hadist adalah kegiatan menyampaikan hadist dengan cara–cara tertentu. Orang yang menyampaikan periwayatan hadist memiliki peranan sangat penting dan  mempunyai tanggung jawab yang berat
Oleh karena itu, para ulama memberikan syarat-syarat ada’ al-hadist bagi mereka sebagai berikut:
a.       Islam
Periwayatan hadist harus disampaikan oleh orang islam. Sedangkan hadist yang disampaikan oleh orang kafir dianggap tidak sah.
b.      Baligh
Maksudnya adalah adanya akal sehat disertai usia yang memungkinkan bermimpi,atau orang sudah mampu menangkap pembicaraaan dan memahami hukum-hukum syari’at.
Pengecualian periwayatan anak dibawah umur disebabkan kekhawatiran akan berdusta. Yang demikian karena dia belum tau akibat perbuatan dosa dan tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya.
c.       ‘Adil
Maksudnya adalah sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong untuk berbuat taqwa dan memelihara harga diri, sehingga menjauhi dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa-dosa kecil.
d.      Dhabith
Maksudnya adalah kemampuan seorang perawi dalam memahami dan menghafal (menjaga) hadist dari gurunya. Sehingga dia mampu menyampaikan hafalan hadist tersebut kapan saja sesuai dengan apa yang dia dengar dari gurunya. Dhabith dapat berupa dhabith shadri (berdasarkan hafalan) dan dhabith kitabi (berdasarkan buku catatan).
3.    Metode penerimaan (Tahammul) dan penyampaian (Ada’) Hadist
Cara penerimaan dan penyampaian hadist, dapat disimpulkan menjadi 8 macam sebagai berikut :
a.       Al-sima’(السماع)
Maksudnya yaitu murid mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara mengimlakkan maupun bukan, baik dari hafalannya maupun membaca tulisannya.
Menurut jumhur ahli hadist, bahwa al-sima’ (mendengarkan) yang dibarengi dengan al-kitabah (tulisan) merupakan cara yang terbaik, karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya.
Shighat ada’ al-hadist (bentuk menyampaikan hadist) yang digunakan oleh perawi atas dasar al-sima’ adalah:سَمِعْنَا (سَمِعْتُ) حَدَّثَنَا, أخْبَرَنَا, أنْبَأَ نَا, قَالَ لَنَا, ذَكَرَ لَنَا,
b.      Al-Qir’ah al-Syaikh( القراءة على الشيخ )
Maksudnya yaitu dengan cara seorang murid membacakan hadistv dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain yang membacanya, sedangkan dia mendengarkannya.
Shighat ada’ al-hadist (bentuk menyampaikan hadist) yang digunakan oleh perawi atas dasar al-qira’ah ‘ala Syaikh adalah
قَرَأْتُ عَلَيْهِ(saya telah membaca dihadapannya)
قُرِئَ وَأناَ أَسْمَع(dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarkannya).
أخْبرنا قِرَاءَةً عليه(telah mengabarkan pada kami secara pembacaan dihadapannya)
أنْبأَنىِ قِراَءةً عليه(telah memberitahukan padaku secara pembacaan dihadapannya)
c.       Al-ijazah (الاجازة)
Maksudnya yaitu seorang guru memberikan izin kepada muritnya untuk menyampaikan hadist atau kitab kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang  murid tidak membacakan kepada gurunya atau mendengar bacaan gurunya
Cara yang demikian ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak memperbolehkan.
Sedangkan yang memperbolehkan menetapkan syarat dengan cara ijazah,yakni : bahwa sang guru harus benar-benar ahli ilmu dan mengertin kitab yang di ijazahkan, serta naskah muritnya harus menyamai dengan yang asli, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya.
Shighat ada’al-hadist (bentuk menyampaikan hadist) yang digunakan oleh perawi atas dasar ijazah, diantaranya adalah:
أَخْبَرَناَ فُلاَنٌ إِجاَزَةً(fulan telah memberikan kabar kepada kami dengan cara ijazah)
فِيْماَ اَجاَزَنىِ فُلاَن(mengenai apa yang telah diijazahkan fulan kepada kami)
d.      Al-Munawalah ( المناولة)
Maksudnya adalah seorang guru memberikan kitab asli atau salinan kitab yang telah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.
Cara ini terdiri atas dua macam,yaitu: al-munawalah yang dibarengi ijazah dan al –munawalah yang tidak dibarengi ijazah. Shighat ada’ al-hadist (bentuk menyampaikan hadist) yang digunakan oleh perawi atas dasar al-munawalah, dintaranya adalah :
أَخْبَرَناَ مُنَاوَلَةً(telah memberikan kabar kepada kami dengan cara munawalah)
فِيْماَ ناَوَلَناَ(mengenai apa yang diberikan kepada kami dengan cara munawalah).
e.       Al-Mukatabah ( المكا تبة)
Maksudnya adalah seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang alin untuk menuliskan sebagian hadistnya untuk diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan mengirim surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Cara ini terdiri atas dua macam, yaitu : al-mukatabah yang dibarengi ijazah dan al-mukatabah yang tidak dibarengi ijazah.
Shighat ada’ al-hadist (bentuk menyampaikan hadist) yang digunakan oleh perawi atas dasar al-mukatabah, diantaranya adalah :
كَتَبَ إِلَيَّ فُلان(fulan telah menuliskan kepadaku)
f.       Al-I‘lam ( الإعلام)
Maksudnya adalah pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadist atau kitab yang diriwayatkan, dia terima dari seseorang tanpa menyatakan secara jelas kepada muridnya untuk menyampaikan hadist tersebut.
Shighat ada’ al-hadist yang digunakan oleh perawi atas dasar al-i’lam ,diantaranya adalah:
أعْلَمَنى فُلان قاَلَ حَدَّثَنَا(fulan telah memberitahukan padaku, dia berkata : telah menceritakan kepada kami)
فِيْما أعْلَمَنى شَيْخِى(mengenai apa yang telah diberitahukan kepadaku dari guruku dengan cara i’lam)
g.      Al-Washiyyah ( الوصية)
Maksudnya adalah seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian jauh, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan kitabnya apabila dia meninggal atau bepergian. Periwayatan dengan cara ini menurut jumhur ulama dianggap sangat lemah.
Shighat ada’ al-hadist (bentuk menyampaikan hadist) yang digunakan oleh perawi atas dasar al-washiyyah, diantaranya adalah:
أَوْصَ إِلَيَّ فُلان(fulan telah berwasiat padaku)
أخْبَرَنىِ فُلان بالْوَصِّيةِ(Fulan telah mengabarkan padaku dengan cara wasiat)
h.      Al-Wijah(الوجادة)
Maksudnya adalah seseorang memperoleh kitab orang lain tanpa proses sima’,ijazah atau munawalah. Misalnya seseorang menemukan hadist dari tulisan-tulisan orang semasanya atau tidak semasanya, tetapi dia tau persis bahwa tulisan tersebut merupakan tulisan orang yang bersangkutan (syaikh) melalui kesaksian orang yang dapat dipercaya.
Shighat ada’ al-hadist (bentuk menyampaikan hadist ) yang digunakan oleh perawi atas dasar al-wijadah, diantaranya adalah:
وَجَدْتُ فىِ كِتابِ فُلان(saya menemukan dalam kitab fulan)
وَجَدْتُ بخَطِّ فُلان(Saya menemukan dalam tulisan fulan)[3]



BAB III
PENUTUP

   Menurut istilah ilmu hadist, yang dimaksud dengan al-riwayat  ialah kegiatan  penyampaian hadist,serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Tahammul al-hadist adalah kegiatan menerima dan mendengar hadist dengan cara-cara tertentu.Adapun beberapa permasalahan dalam Tahammul al-hadist yaitu: Penerimaan anak-anak, penerimaan orang fasiq dan kafir.
Ada’ al-Hadist adalah kegiatan menyampaikan hadist dengan cara–cara tertentu. Orang yang menyampaikan periwayatan hadist memiliki peranan sangat penting dan  mempunyai tanggung jawab yang berat. Oleh karena itu, para ulama memberikan syarat-syarat ada’ al-hadist bagi mereka yaitu : islam, baligh, ‘adil, dhabith.
Cara penerimaan dan penyampaian hadist, dapat disimpulkan menjadi 8 macam yaitu : al-sima’, al-qira’ah ‘ala al-syaikh, al-ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-washiyyah, al-wijadah.



DAFTAR PUSTAKA

Gufron , Muhammad dan Rahmawati. Ulumul Hadis. Yogyakarta:Teras,2013.
Ismail, Syuhudi.Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang,1995.
‘Itr, Nuruddin,’Ulumul Hadis.Bandung : Remaja Rosdakarya,2016.



[1]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist(Jakarta : Bulan Bintang,1995),23-24.
[2]Nuruddin ‘Itr,’Ulumul Hadis(Bandung : Remaja Rosdakarya,2016),179-189.
[3]Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadis (Yogyakarta:Teras,2013),43-50.


 

No comments:

Post a Comment