MAKALAH
“Hadits
Mutawatir dan Hadis Ahad”
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ulumul Hadits 3”
Dosen Pengampu:
Qoidatul Marhumah, M. Th. I
Disusun oleh :
FATISA RUSDIANA (933805115)
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
TAHUN 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits dapat ditinjau dari segi
jumlah perawinya (kuantitasnya), semakin banyak orang yang meriwayatkan suatu
hadits maka semakin valid hadits tersebut dari segi kuantitas. Kuantitas perawinya mulai
dari sahabat, tabi’in sampai kepada perawi yang meriwayatkan suatu hadits dalam
jumlah yang seimbang pada setiap tingkatan(thabaqat). Dengan jumlah yang banyak dan
seimbang tersebut, maka mustahil mereka menurut kebiasaan akan berbohong,
Namun ada juga hadits yang diriwayatkan oleh sedikit orang, sehingga
mengurangi validitas hadits tersebut. Maka berdasarkan jumlah perawinya ini,
hadits menjadi bertingkat- tingkat, mulai dari tingkat atas yang paling
diterima sampai yang cukup hanya diterima.
Hadits-hadits yang mutawattir yang tergolong hadits yang maqbul dan wajib
diterima dan diamalkan, sedangkan hadits masyhur atau hadits Ahad, maka ia bisa
saja berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif, tergantung kualitas masing-masing
hadits tersebut. Adapun makalah ini terbatas hanya membahas hadits dari segi
kuantitas perawinya, yakni pembahasan tentang Hadis Mutawatir dan Hadis
Ahad.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian dari Hadis Mutawair?
Ø Apa sajakah syarat-syarat yang harus ada
dalam Hadis Mutawatir?
Ø Klasifikasi dan Faedah yang
dimiliki Hadis Mutawatir?
2. Apakah pengertian dari Hadis Ahad?
Ø Klasifikasi Hadis Ahad
Ø Ketentuan Umum hadis Ahad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa berarti mutatabi’, yakni
sesuatu yang dating berikut dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu
dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1]
Secara
definitive Hadis Mutawatir itu ialah:
هُوخَيْرٌعَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌجَمٌّ يَجِبُ فِى
الْعَادَةِاِحَالَةُ إِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهَمْ عَلَى الْكَذِبِ.
Suatu hadis
hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.”[2]
Ada
juga mengatakan:
ألْحَدِيْثُ
الْمُتَوَاتِرُ هُوَالذَى رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌيُؤْمشنُ وَاطُنُهُمْ عَلَى
الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِالسَّنَدِوَكَانَ مُسْتَنَدُهُمُ
الْحِسُّ
“Hadis Mutawatir adalah
hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawiyang tidak mungkin bersepakat untuk
berdustadari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir
sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra.”[3]
Hasby As-Shiddiqie dalam bukunya iIlmu
Mustalah Al-Hadits mendefinisikan sebagai berikut.
Hadis
yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orang banyak yang menurut
adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dosa.[4]
1. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
Dengan
memperhatikan pengertian Hadis Mutawatir di atas, maka suatu hadis, baru dapat
dikatakan dengan mutawatir, bila telah memenuhi tiga syarat seperti di bawah
ini:
a. Pewartaan yang disampaikan oleh
rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindra.[5]
Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri.[6]
b. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu
ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Para ulama
berbeda-beda pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.[7]
1. Abu’t-Thayyib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang
diperlukan hakim untuk tidak member vonis kepada terdakwa.
2. Ash-habu’sy-Syafi’iy menentukan minimal
5 orang, karena mengqiyaskannya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar
ulu’l-‘azmi.
3. Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
dalam surah Al-Anfal 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang
pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan
orang kafir sejumlah 200 orang.
4. Ulama yang lain menetapkan jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman
Allah:
يَاايُّهَاالنَّبِىُّ
حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“ya
Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin mengikutimu (menjadi penolongmu).”
(Al-Anfal: 64)
c. Adanya keseimbangan jumlah antara
rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam
thabaqah berikutnya.[8]
Dengan demikian, bila suatu dahabat
hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh
tabi’in dapat digolongkan sebagai
hadis mutawatir, sebab jumlah
perawinya tidak seimbang antara thabaqat
pertama dengan thabaqat seterusnya.
2.
Klasifikasi dan Faedah Hadis Mutawatir
Para ahli Ushul membagi Hadis Mutawatir kepada dua bagian. Yakni Mutawatir
lafdhy dan Mutawatir ma’nawy.[9]
Yang dimaksud dengan hadis Mutawatir
lafdhy adalah:
مَاتَوَافَّرَتْ رِوَايَتُهُ عَلَى لَفَظِ
وَاحِدٍ
Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafal.[10]
zHadis yang mutawatir periwayatannya dengan suatu
reaksi yang sama atau hadis yang mutawatir lafal dan maknanya.[11]
Berat dan ketatnya kriteria
hadis Mutawatir lafdhyi ini menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit.
Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi, Ibnu Ash-Shahih yang diikuti oleh An-Nawawi
menetapkan bahwa hadis Mutawatir
lafdhy sedikit sekali dan sukar diketemukan contohnya.[12]
Hadis Mutawatir ma’nawy,
ialah hadis mutawatir yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam
menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya
itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.[13]
Abu Bakar As-Suyuthi mendefinisikan sebagai berikut:
هُوَأَنْ تَنْقثلُ جَمَاعَهُ يَسْتَحِيلُّ عَادَةً
تَوَاطُنُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً إِشْتَرَكَتْ فِى
أَمْرِيَنَوَاتَرُذِلَكَ الْقَدْرُالْمُشْتَرَكُ
Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut
adat mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi
bertemu pada titik persamaan.[14]
Faedah Hadis Mutawatir
“Hadis Mutawatir” itu memberi
faedah ilmu-dlarury, yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat
sesuatu yang diberikan oleh hadis mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan
yang qath’y (pasti).
Rawi-rawi Hadis Mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentng keadilan
dan kelabithannya (kuatnya ingatan), karena kualitas rawi-rawinya sudah
menjamin dari persepakatan dusta. nabi Muhammad s.a.w benar-benar menyabdakan
atau mengerjkan sesuatu, sebagaiman yang diberikan oleh rawi-rawi mutawatir.
Segenap umat Islam telah sepakat pendapatnya tentang faedah hadis
Mutawatir yang demikian ini. bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu-dlarury
yang berdasarkan khabar mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu-dlarury
yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indra).
B.
Pengertian Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah suatu hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Ulama’ Muhadditsin menta’rifkannya
dengan:
هُوَمَالَايَنْتَهِى إِلَى
التَّوَاتُرِ.
“Hadis yang tidak
mencapai derajat mutawatir”.
Sebagian
ulama’ mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang sanadnya sah dan
bersambung hingga sampai kepada sebenarnya (Nabi) tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan
yakin.
1.
Klasifikasi hadis Ahad
Para Muhadditsin memberikan
nama-nama tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang
berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadis Mansyur, Hadis ‘Aziz dan Hadis
Gharib.
a.
Hadis Mansyur
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ
دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ.
“Hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat
mutawatir”.
Menurut ulama fiqhi, Hadis Masyhur itu adalah muradlif dengan Hadis-Mustafid.
Sedang ulama’ yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadis dikatakan dengan
mustafidl bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari
thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang hadis Mansyur lebih
umum daripada hadis Mustafidl.
Macam-macam hadis Mansyur
1.
Mansyur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan
orang umum).
2.
Mansyur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya mansyur di
kalangan ahli hadis saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau
ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
b.
Hadis ‘Aziz
مَاجَاءَ فِي طَبَقَةٍ مِنْ
طَبَقَاتِ رُوَاتِهِ أَوْاَكْثَرَ مِنْ طَبَقَةِ إِثْنَانِ
Hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua
thabaqat sanad.
Kemudian, definisi tersebut
dijelaskan oleh Mahmud At-Tahan bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat
terdapat perawinya tiga orang atau lebih, hal ini tidak menjadi masalah,
asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah
perawinya hanya dua orang. Definisi ini mirip dengan definisi Ibnu Hajar. Ada
juga yang mengatakan bahwa hadis Aziz adalah hadis diriwayatkan oleh dua atau
tiga orang perawi.
c.
Hadis Gharib
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib
sebagai berikut:
اَلْحَدِيْثُ الْغَرِيْبُ هُوَالْحَدِيْثُ الَّذِى
انْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌفِى أَيِّ مَوْضِعِ وَقْعَ التَّفَرُّدَ
مِنَ السَّنَدِ
Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkannya di mana penyendirian dalam sanad itu terjadi.[16]
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adlah
hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya.[17]
2.
Ketentuan Umum Hadis Ahad
Pembagian hadis Ahad kepada
Masyhur, ‘Aziz dan Gharib, tidak bertentangan dengan pembagian hadis Ahad
kepada Shahih, Hasan dan Dla’if. Sebab membagi hadis Ahad kepada tiga macam
tersebut, bukan bertujuan langsung untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu
hadis, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad. Sedang
membagi hadis Ahad kepada Shahih, Hasan dan Dla’if adalah bertujuan untuk
menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadis.
‘Ali bin Al-Husain berpendapat, bahwa
yang dikatakan hadis yang baik itu, ialah yang telah dikenal dan dipopulerkan
dalam pembicaraan oleh masyarakat.
Imam Ahmad bin Hanbal, melarang seseorang mencatat hadis-hadis hgarib,
ujarnya:
لَاتَكْتُبُواهذِهِ الْأَحَادِيْثَ الْغَرَائِبَ
فَإِنَّهَا مَنَاكِيْزُ وَعَامَّتُهَاعَنِ الضُّعَفَاءِ
“Jangan kamu
mencatat hadis-hadis gharib, lantaran hadis-hadis gharib itu munkar-munkar, dan
pada umumnya berasal dari orang-orang lemah.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Hadis
Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawiyang tidak mungkin
bersepakat untuk berdustadari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya
sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra
Klasifikasi Hadis Mutawatir dibagi menjadi dua bagian.
Yakni Mutawatir lafdhy (Hadis yang mutawatir periwayatannya dengan suatu reaksi yang sama atau
hadis yang mutawatir lafal dan maknanya)
dan Mutawatir ma’nawy (ialah hadis mutawatir yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam
menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain-lainan susunan
redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.
Hadis Ahad adalah suatu hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Para Muhadditsin memberikan nama-nama
tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada
tiap-tiap thabaqat dengan Hadis Mansyur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fatchur. Ikhtishar
Mushthalahu’l hadits. Bandung: PT
Alma’arif, 1974.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits Bogor:
Ghalia Indonesia, 2002.
Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir, M. Ulumul hadis Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
[2] Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahu’l hadits.
(Bandung: PT Alma’arif, 1974), 78.
[7] Syarah
Alfiyatu’s-Suyuthy, Ahmad Muhammad Syakir, hal 46; Manhaj Dzawi’n-Nadhar, Muh.
Mahfudh At-Tarmusy, hal 68-69.
No comments:
Post a Comment