Blog Archive

Thursday, October 13, 2016

IAT3 “Hadits Mutawatir dan Hadis Ahad” FATISA RUSDIANA (933805115)



MAKALAH
Hadits Mutawatir dan Hadis Ahad”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ulumul Hadits 3”
Dosen Pengampu: Qoidatul Marhumah, M. Th. I
                                                                                      

STAIN Kediri (1)



Disusun oleh :

FATISA RUSDIANA     (933805115)



PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
TAHUN 2016




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hadits dapat ditinjau dari segi jumlah perawinya (kuantitasnya), semakin banyak orang yang meriwayatkan suatu hadits maka semakin valid hadits tersebut dari segi kuantitas. Kuantitas perawinya mulai dari sahabat, tabi’in sampai kepada perawi yang meriwayatkan suatu hadits dalam jumlah yang seimbang pada setiap tingkatan(thabaqat). Dengan jumlah yang banyak dan seimbang tersebut, maka mustahil mereka menurut kebiasaan akan berbohong,
Namun ada juga hadits yang diriwayatkan oleh sedikit orang, sehingga mengurangi validitas hadits tersebut. Maka berdasarkan jumlah perawinya ini, hadits menjadi bertingkat- tingkat, mulai dari tingkat atas yang paling diterima sampai yang cukup hanya diterima.
Hadits-hadits yang mutawattir yang tergolong hadits yang maqbul dan wajib diterima dan diamalkan, sedangkan hadits masyhur atau hadits Ahad, maka ia bisa saja berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif, tergantung kualitas masing-masing hadits tersebut. Adapun makalah ini terbatas hanya membahas hadits dari segi kuantitas perawinya, yakni pembahasan tentang Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian dari Hadis Mutawair?
Ø  Apa sajakah syarat-syarat yang harus ada dalam Hadis Mutawatir?
Ø  Klasifikasi dan Faedah yang dimiliki Hadis Mutawatir?
2.      Apakah pengertian dari Hadis Ahad?
Ø  Klasifikasi Hadis Ahad
Ø  Ketentuan Umum hadis Ahad



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’, yakni sesuatu yang dating berikut dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1]
Secara definitive Hadis Mutawatir itu ialah:
هُوخَيْرٌعَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌجَمٌّ يَجِبُ فِى الْعَادَةِاِحَالَةُ إِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهَمْ عَلَى الْكَذِبِ.                                                                                      

Suatu hadis hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.”[2]

Ada juga mengatakan:
ألْحَدِيْثُ الْمُتَوَاتِرُ هُوَالذَى رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌيُؤْمشنُ وَاطُنُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِالسَّنَدِوَكَانَ مُسْتَنَدُهُمُ الْحِسُّ                                                      
“Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawiyang tidak mungkin bersepakat untuk berdustadari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra.”[3]
      Hasby As-Shiddiqie dalam bukunya iIlmu Mustalah Al-Hadits mendefinisikan sebagai berikut.
      Hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orang banyak yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dosa.[4]



1.      Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
Dengan memperhatikan pengertian Hadis Mutawatir di atas, maka suatu hadis, baru dapat dikatakan dengan mutawatir, bila telah memenuhi tiga syarat seperti di bawah ini:
a.       Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra.[5] Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[6]
b.      Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Para ulama berbeda-beda pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.[7]
1.      Abu’t-Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak member vonis kepada terdakwa.
2.      Ash-habu’sy-Syafi’iy menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskannya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulu’l-‘azmi.
3.      Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam surah Al-Anfal 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang.
4.      Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah:


يَاايُّهَاالنَّبِىُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ                                
“ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin mengikutimu (menjadi penolongmu).” (Al-Anfal: 64)
c.       Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya.[8] Dengan demikian, bila suatu dahabat hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi’in dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.

2.      Klasifikasi dan Faedah Hadis Mutawatir
Para ahli Ushul membagi Hadis Mutawatir kepada dua bagian. Yakni Mutawatir lafdhy dan Mutawatir ma’nawy.[9]
     Yang dimaksud dengan hadis Mutawatir lafdhy adalah:
مَاتَوَافَّرَتْ رِوَايَتُهُ عَلَى لَفَظِ وَاحِدٍ                                                         
Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafal.[10]
zHadis yang mutawatir periwayatannya dengan suatu reaksi yang sama atau hadis yang mutawatir lafal dan maknanya.[11]
     Berat dan ketatnya kriteria hadis Mutawatir lafdhyi ini menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi, Ibnu Ash-Shahih yang diikuti oleh An-Nawawi menetapkan  bahwa hadis Mutawatir lafdhy sedikit sekali dan sukar diketemukan contohnya.[12]
     Hadis Mutawatir ma’nawy, ialah hadis mutawatir  yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.[13]
Abu Bakar As-Suyuthi mendefinisikan sebagai berikut:
هُوَأَنْ تَنْقثلُ جَمَاعَهُ يَسْتَحِيلُّ عَادَةً تَوَاطُنُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً إِشْتَرَكَتْ فِى أَمْرِيَنَوَاتَرُذِلَكَ الْقَدْرُالْمُشْتَرَكُ                                                              
Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada titik persamaan.[14]

Faedah Hadis Mutawatir
     “Hadis Mutawatir” itu memberi faedah ilmu-dlarury, yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberikan oleh hadis mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’y (pasti).
Rawi-rawi Hadis Mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentng keadilan dan kelabithannya (kuatnya ingatan), karena kualitas rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. nabi Muhammad s.a.w benar-benar menyabdakan atau mengerjkan sesuatu, sebagaiman yang diberikan oleh rawi-rawi mutawatir.
Segenap umat Islam telah sepakat pendapatnya tentang faedah hadis Mutawatir yang demikian ini. bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu-dlarury yang berdasarkan khabar mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu-dlarury yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indra).

B.     Pengertian Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Ulama’ Muhadditsin menta’rifkannya dengan:
هُوَمَالَايَنْتَهِى إِلَى التَّوَاتُرِ.                                                               
            “Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir”.
Sebagian ulama’ mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sebenarnya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan yakin.


1.      Klasifikasi hadis Ahad
Para Muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadis Mansyur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.
a.       Hadis Mansyur
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ.                                   
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir”.
Menurut ulama fiqhi, Hadis Masyhur itu adalah muradlif dengan Hadis-Mustafid. Sedang ulama’ yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadis dikatakan dengan mustafidl bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang hadis Mansyur lebih umum daripada hadis Mustafidl.
Macam-macam hadis Mansyur
1.      Mansyur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
2.      Mansyur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya mansyur di kalangan ahli hadis saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
3.      Mansyur di kalangan orang-orang umum saja.[15]
b.      Hadis ‘Aziz
 مَاجَاءَ فِي طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ رُوَاتِهِ أَوْاَكْثَرَ مِنْ طَبَقَةِ إِثْنَانِ                
Hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad.
     Kemudian, definisi tersebut dijelaskan oleh Mahmud At-Tahan bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, hal ini tidak menjadi masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Definisi ini mirip dengan definisi Ibnu Hajar. Ada juga yang mengatakan bahwa hadis Aziz adalah hadis diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.
c.       Hadis Gharib
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib sebagai berikut:
اَلْحَدِيْثُ الْغَرِيْبُ هُوَالْحَدِيْثُ الَّذِى انْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌفِى أَيِّ مَوْضِعِ وَقْعَ التَّفَرُّدَ مِنَ السَّنَدِ                                                       
Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya di mana penyendirian dalam sanad itu terjadi.[16]
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adlah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya.[17]

2.      Ketentuan Umum Hadis Ahad
Pembagian hadis Ahad kepada Masyhur, ‘Aziz dan Gharib, tidak bertentangan dengan pembagian hadis Ahad kepada Shahih, Hasan dan Dla’if. Sebab membagi hadis Ahad kepada tiga macam tersebut, bukan bertujuan langsung untuk menentukan makbul dan mardudnya suatu hadis, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad. Sedang membagi hadis Ahad kepada Shahih, Hasan dan Dla’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadis.
‘Ali bin Al-Husain berpendapat, bahwa yang dikatakan hadis yang baik itu, ialah yang telah dikenal dan dipopulerkan dalam pembicaraan oleh masyarakat.

Imam Ahmad bin Hanbal, melarang seseorang mencatat hadis-hadis hgarib, ujarnya:
لَاتَكْتُبُواهذِهِ الْأَحَادِيْثَ الْغَرَائِبَ فَإِنَّهَا مَنَاكِيْزُ وَعَامَّتُهَاعَنِ الضُّعَفَاءِ             
“Jangan kamu mencatat hadis-hadis gharib, lantaran hadis-hadis gharib itu munkar-munkar, dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah.[18]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawiyang tidak mungkin bersepakat untuk berdustadari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra
Klasifikasi Hadis Mutawatir dibagi menjadi dua bagian. Yakni Mutawatir lafdhy (Hadis yang mutawatir periwayatannya dengan suatu reaksi yang sama atau hadis yang mutawatir lafal dan maknanya) dan Mutawatir ma’nawy (ialah hadis mutawatir  yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.
Hadis Ahad adalah suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Para Muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadis Mansyur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.



DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Fatchur. Ikhtishar Mushthalahu’l hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits Bogor: Ghalia Indonesia, 2002.
Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir, M. Ulumul hadis Bandung: Pustaka Setia, 2004.





                                                       


[1] H. A. Djalil Afif, Op. Cit., halaman 30.
[2] Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahu’l hadits. (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 78.
[3] H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 87.
[4] Hasby Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 90.
[5] Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahu’l hadits. (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 79.
[6] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
[7] Syarah Alfiyatu’s-Suyuthy, Ahmad Muhammad Syakir, hal 46; Manhaj Dzawi’n-Nadhar, Muh. Mahfudh At-Tarmusy, hal 68-69.
[8] Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahu’l hadits. (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 79-80.
[9] Ibid., 81.
[10] H. Munzier Suparta, Op. Cit., 101.
[11] H. A. Djalil Afif, Op. Cit., 33.
[12] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
[13] Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahu’l hadits. (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 83.
[14] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 89.
[15] Fatchur Rahman, ikhtishar Mushthalahu’l hadits. (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 84-88.
[16] H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 96.
[17] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 97-99.
[18] Syarah-Alfiyah, Muhyi’ddin ‘Abdu’l-Hamid, 99; At-Tarmusy, 67.



No comments:

Post a Comment