Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
“Hadits 4”
Dosen Pengampu
Qoidatul
Marhumah, M.Th.I.
Disusunoleh:
Siti Aminah (933200214)
PRODI
ILMU HADITS
JURUSAN
USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Apa saja
yang telah terjadi di permukaan bumi ini telah ditulis oleh Allah dalam
kitab-Nya yang tersimpan rapi di Lauh al-Mahfuzh, bahkan sebelum terjadi
ataupun sebelum diciptakannya. Jadi, semua itu telah digariskan oleh Allah Swt.
dalam ketetapan-Nya. Pemahaman kelompok yang mengakui bahwa setiap kejadian
merupakan takdir yang disandarkan hanya kepada Allah Swt. adalah kelompok yang
keimanan mereka sangat sempurna. Adapun kelompok lain yang tidak beranggapan
seperti itu, maka mereka adalah kelompok yang menyimpang dan tersesat dari
jalan-Nya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan takdir ?
2.
Apa
saja yang tergolong dalam takdir ?
3.
Bagaimana
implikasi iman kepada taqdir ?
4.
Bagaimana
saja tingkatan taqdir ?
5.
Bagaimana
hikmah beriman kepada taqdir ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
memahami tentang takdir
2.
Untuk
memahami pembagian takdir
3.
Untuk
memahami implikasi iman kepada taqdir
4.
Untuk
memahami tingkatan-tingkatan dalam taqdir
5.
Untuk
memahami hikmah beriman kepada taqddir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Takdir
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ ح و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ
وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبِي وَأَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالُوا
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
حَدَّثَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ
الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ
يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي
ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ
الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ
وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ
جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ ح و حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَاه عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا
أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ قَالَ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ إِنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي
بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً و قَالَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ عَنْ شُعْبَةَ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَأَمَّا فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ وَعِيسَى
أَرْبَعِينَ يَوْمًا
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki';
Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin 'Abdullah bin Numair Al Mahdani dan lafazh ini miliknya; Telah
menceritakan kepada kami Bapakku dan Abu Mu'awiyah dan Waki' mereka berkata;
Telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Zaid bin Wahb dari 'Abdullah dia
berkata; Telah menceritakan kepada kami Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
yaitu -Ash Shadiq Al Mashduq-(seorang yang jujur menyampaikan dan berita yang
disampaikannya adalah benar): 'Sesungguhnya seorang manusia mulai diciptakan
dalam perut ibunya setelah diproses selama empat puluh hari. Kemudian menjadi
segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Lalu menjadi segumpal daging
pada empat puluh hari berikutnya. Setelah empat puluh hari berikutnya, Allah
pun mengutus seorang malaikat untuk menghembuskan ruh ke dalam dirinya dan
diperintahkan untuk menulis empat hal; rezekinya, ajalnya, amalnya, dan
sengsara atau bahagianya.' Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sungguh ada
seseorang darimu yang mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak
antara dirinya dan surga hanyalah satu hasta, namun suratan takdir rupanya
ditetapkan baginya hingga ia mengerjakan amal perbuatan ahli neraka dan
akhirnya ia pun masuk neraka. Ada pula orang yang mengerjakan amal perbuatan
ahli neraka, hingga jarak antara ia dan neraka hanya satu hasta, namun suratan
takdir rupanya ditetapkan baginya hingga kemudian ia mengerjakan amal perbuatan
ahli surga dan akhirnya ia pun masuk surga.' Telah menceritakan kepada kami
'Utsman bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim keduanya dari Jarir bin 'Abdul
Hamid; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus;
Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku
Abu Sa'id Al Asyaj; Telah menceritakan kepada kami Waki'; Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakannya kepada kami
'Ubaidullah bin Mu'adz; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah
menceritakan kepada kami Syu'bah bin Hajjaj seluruhnya dari Al A'masy melalui
jalur ini, dia berkata di dalam Hadits Waki'; sesungguhnya penciptaan salah
seorang dari kalian dimulai dari perut ibunya selama empat puluh malam. Dan di
sebutkan di dalam Hadits Mu'adz dari Syu'bah empat puluh malam, kemudian empat
puluh hari. Sedangkan di dalam Hadits Jarir, empat puluh hari. (HR. Muslim, no.4781)[1]
Sesungguhnya
tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari
berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu
menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat
untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata :
rizki, ajal atu kematian, amal dan celaka atau bahagianya. kalian yang
mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga
kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia
melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang
mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan
neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia
melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.
Takdir adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dimana setiap
diri manusia tidak akan bisa luput dari-Nya. Takdir ini sudah tertulis di
Lauhul Mahfudh dan meliputi 3 hal besar sesuai kehendak Allah. Walaupun takdir
itu sudah tertulis, namun kita sebagai manusia bukanlah seperti sebuah wayang
yang digerakkan oleh dalang. Allah menetapkan pula takdir yang terkait dengan
keputusan jalan mana yang kita pilih. 3 misteri takdir terbesar manusia yang
sudah tertera di Lauhul Mahfudh tersebut adalah: rezeki, ajal atau kematian dan
jodoh.[2]
B.
Pembagian
Takdir
1.
Rezeki
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ
الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ وَقَالَ يَدُ اللَّهِ مَلْأَى لَا تَغِيضُهَا
نَفَقَةٌ سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَقَالَ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ
مُنْذُ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَغِضْ مَا فِي يَدِهِ
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ وَبِيَدِهِ الْمِيزَانُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ
{ اعْتَرَاكَ
}
افْتَعَلَكَ
مِنْ عَرَوْتُهُ أَيْ أَصَبْتُهُ وَمِنْهُ يَعْرُوهُ وَاعْتَرَانِي
{ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا }
أَيْ
فِي مِلْكِهِ وَسُلْطَانِهِ عَنِيدٌ وَعَنُودٌ وَعَانِدٌ وَاحِدٌ هُوَ تَأْكِيدُ
التَّجَبُّرِ
{ اسْتَعْمَرَكُمْ
}
جَعَلَكُمْ
عُمَّارًا أَعْمَرْتُهُ الدَّارَ فَهِيَ عُمْرَى جَعَلْتُهَا لَهُ
{ نَكِرَهُمْ
}
وَأَنْكَرَهُمْ
وَاسْتَنْكَرَهُمْ وَاحِدٌ
{ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
}
كَأَنَّهُ
فَعِيلٌ مِنْ مَاجِدٍ مَحْمُودٌ مِنْ حَمِدَ سِجِّيلٌ الشَّدِيدُ الْكَبِيرُ
سِجِّيلٌ وَسِجِّينٌ وَاللَّامُ وَالنُّونُ أُخْتَانِ وَقَالَ تَمِيمُ بْنُ
مُقْبِلٍ وَرَجْلَةٍ يَضْرِبُونَ الْبَيْضَ ضَاحِيَةً
ضَرْبًا
تَوَاصَى بِهِ الْأَبْطَالُ سِجِّينَا
Telah
menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib
Telah menceritakan kepada kami Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah Azza wa Jalla berfirman: 'Berinfaklah, maka aku akan berinfak
kepadamu.' Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sesungguhnya tangan
Allah terisi penuh, pemberian-Nya siang maupun malam tidak pernah
menguranginya." Juga beliau bersabda: "Tidakkah kalian melihat
bagaimana Allah telah memberikan nafkah (rezeki) semenjak Dia mencipta langit
dan bumi. Sesungguhnya Allah tidak pernah berkurang apa yang ada pada tangan
kanan-Nya." Beliau bersabda: "Dan 'Arsy-Nya ada di atas air, di tangan-Nya
yang lain terdapat neraca, Dia merendahkan dan meninggikan." (HR. Bukhari,
no.4316)[3]
Hakikat rezeki sebenarnya adalah segala sesuatu yang bisa dan telah
kita nikmati. Misalnya sepiring nasi yang sudah dimakan di pagi hari, pakaian
yang kita kenakan, oksigen yang kita hirup dan lain sebagainya. Jadi, rezeki
itu bukan hanya uang yang menumpuk di bank, bukan pula emas perhiasan yang
disimpan berkotak-kotak di lemari. Dengan kata lain rezeki adalah segala
kenyamanan hidup yang bisa kita rasakan. Banyak atau sedikitnya rezeki dan
kapan rezeki itu di dapat menjadi rahasia-Nya yang tidak bisa kita ketahui
walaupun bertanya dengan Nabi sekalipun. Ketidakpastian itu berlaku juga bagi
para karyawan perusahaan dengan sistem gaji bulanan.
Ia tidak dapat mengetahui apakah bulan esok ia tetap akan
mendapatkan gaji yang sama atau justru berubah seiring peraturan perusahaan. Ia
pun tidak dapat mengetahui apakah esok hari jasanya masih diperlukan lagi atau
justru diberhentikan oleh perusahaan tersebut. Bisa saja karena alasan
tertentu, ia menjadi korban dari pemberhentian karyawan secara sepihak. Kerahasiaan
dan ketidakpastian ini menjadi alasan untuk kita, bahwa dalam menjemput
rezeki-Nya kita tidak boleh duduk berdiam diri. Memang benar, ada rezeki-rezeki
tertentu yang walaupun kita berdiam diri, dia datang menghampiri.[4]
Namun, ada rezeki-rezeki
lain yang kedatangannya terkait dengan amal usaha yang kita lakukan. Namun
tetap saja kapan, dimana dan berapa besarnya rezeki yang diperoleh tergantung
pada kehendak-Nya. Intinya manusia hanya terlibat dalam proses, manusia hanya
berkewajiban untuk berusaha, masalah hasil Allah lah yang menentukan. Satu hal
lagi yang hendaknya kita rubah yakni pola pandang kita dalam memandang rezeki.
Rezeki tidak selalu terkait materi, bisa tidur nyenyak di malam hari kemudian
bangun dengan tubuh segar di pagi hari pun sebenarnya adalah rezeki yang sangat
besar. Jadi, bersyukurlah Allah memberikan rezeki berupa kesehatan.[5]
2.
Ajal/kematian
حَدَّثَنَا
مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي
عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ قَالَ
كُنْتُ
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَسُولُ
إِحْدَى بَنَاتِهِ وَعِنْدَهُ سَعْدٌ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَمُعَاذٌ أَنَّ
ابْنَهَا يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَبَعَثَ إِلَيْهَا لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلِلَّهِ مَا
أَعْطَى كُلٌّ بِأَجَلٍ فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada kami
Israil dari 'Ashim dari Abu Utsman dari Usamah menuturkan; kami pernah di dekat
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba salah seorang utusan puteri beliau
mendatanginya, ketika itu beliau tengah bersama Sa'd, Ubay bin Ka'b dan Mu'adz,
utusan itu mengabarkan bahwa anak dari puteri beliau telah meninggal. Nabi
kemudian mengutus seorang utusan dan menyampaikan pesan dengan kalimat;
"milik Allah yang diambil-Nya, dan milik Allah yang diberikan-Nya,
kesemuanya telah ditakdirkan ajalnya, maka hendaklah engkau bersabar dan
mengharap memperoleh pahala." (HR. Bukhari, no.6112)[6]
Jika ada orang yang mengatakan bahwa ia bisa meramal kapan
terjadinya kiamat maka ia adalah pembohong besar. Ia bahkan tidak bisa
mengetahui tentang kematiannya sendiri, kematian adalah misteri terbesar
selanjutnya dalam tahapan kehidupan manusia. Kapan manusia mati, dimana ia mati
dan bagaimana caranya kematian menghampiri tetapi tidak akan pernah bisa ia
ketahui. Kerahasiaan ini seharusnya menjadi cambuk bagi manusia untuk selalu
siap sedia dalam menyambutnya karena bisa saja kematian itu menjemput bahkan
setelah kita membaca tulisan ini.
Namun sayang, kita sebagai
manusia justru sering melupakannya. Bahkan kita menyangka dengan sangkaan penuh
keyakinan bahwa kematian akan menjemput setelah usia kita renta, dimana kulit
kita sudah begitu penuh dengan kerutan dan rambut kita telah putih beruban.
Kita begitu yakin bahwa kematian tidak akan mendatangi kita di saat usia masih
belia. Keyakinan ini tentunya sangat salah dan dapat mendatangkan kerugian yang
begitu besar. Dengan keyakinan tersebut kita sering terlena dengan dunia dan
tidak mempersiapkan ending yang khusnul khotimah bagi akhir hayat kita.
Memang Allah SWT yang
memegang rahasia kapan, dimana dan bagaimana kematian menghampiri, namun
kitalah yang memegang peranan amal apakah yang sedang kita perbuat saat
kematian itu menjemput. Jika kita ingin mati dalam keadaan baik, maka kita
harus mengisi setiap detik kehidupan dengan amal shaleh. Hingga kapan pun
malaikat maut menjemput, kita selalu dalam keadaan siap sedia. [7]
3.
Jodoh
حَدَّثَنَا
هَاشِمٌ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ
لِي جَارِيَةً وَهِيَ خَادِمُنَا وَسَايِسَتُنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا
أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ قَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا
مَا قُدِّرَ لَهَا قَالَ فَلَبِثَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ
الْجَارِيَةَ قَدْ حَمَلَتْ قَالَ قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا
قُدِّرَ لَهَا
Telah
bercerita kepada kami Hasyim telah bercerita kepada kami Zuhair telah bercerita
kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir berkata; Telah datang seorang laki-laki
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu dia berkata; saya memiliki
seorang jariyah (budak perempuan), dia adalah pembantu kami dan pelayan yang
memberi minum kendaraan kami, saya mendatanginya (menyetubuhinya) namun saya
tidak suka dia hamil. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ber'azllah (mengeluarkan air sperma di luar kemaluan wanita) jika kamu
mau!, sesungguhnya akan terjadi apa yang telah ditakdirkan untuknya",
(Jabir bin Abdullah Radliyallahu'anhuma) berkata; lalu laki-laki itu pergi
kemudian datang lagi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali,
lalu berkata; sesungguhnya budak perempuanku hamil. (Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam) bersabda: "Bukankah saya telah memberitahukan kepadamu,
bahwa akan terjadi padanya apa yang telah ditakdirkan?". (HR. Ahmad,
no.13826)[8]
و
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَسْأَلْ
الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا وَلِتَنْكِحَ
فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah seorang wanita meminta talak atas saudarinya sesama perempuan
agar ia bisa 'mengosongkan piringnya' dan menikah, karena baginya apa yang
telah ditakdirkan untuknya."(HR. Malik, no.1399)[9]
Jodoh atau pasangan hidup juga merupakan misteri bagi manusia.
Banyak para pemuda dan pemudi yang begitu menginginkan si dia yang rupawan atau
si dia yang hartawan menjadi jodohnya, namun seringkali takdir berkata lain.
Betapa pun kuatnya ia berusaha, entah itu dengan cara meminta tolong kepada
murobi atau melakukan pendekatan kepada orang tua si calon pasangan, jika
takdir berkehendak lain maka iapun tidak akan pernah bisa berjodoh dengannya.
Di sisi lain, banyak pula orang yang mempunyai jodoh lebih dari satu. Entah
karena jodoh yang pertama dipisahkan oleh maut, atau memang karena ia adalah
seorang laki-laki yang mengambil haknya untuk berpoligami.
Itu baru jodoh di dunia, apalagi perkara jodoh di surga. Hal itu
menjadi misteri besar yang tidak akan pernah bisa diungkap. Semuanya tertera
atau tercatat di Laukhul Mahfudz. [10]
C.
Implikasi
Iman Kepada Taqdir
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan
dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah
ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan
terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan,
proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya
tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah
terjadi.[11]
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani
hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk
mengubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil
seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai
hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan
bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan,
maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (QS.
Al Hadiid: 23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan
takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk
mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam
menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu
Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.[12]
D.
Tingkatan
Taqdir
Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang
disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah
pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman
kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang
sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui
semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya
kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya
atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak. Berikut
tingkatan-tingkatan taqdir:
1. Al-‘Ilmu
(Ilmu)
Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai
apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik
secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di
antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum
mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta
mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.
Allah Ta’ala
telah berfirman,
ألم تعلم أن
الله يعلم ما فى السـماء والأرض ۗإن ذلك فى
كتـب ۚإن ذلك على الله يسر
“Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs.
Al-Hajj: 70)[13]
وعنده, مفاتح
الغيب لا يعلمها إلا هو ۚ ويعلم ما فى
البر والبحر ۚوما تسقـط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة
فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا يا بس إلا فى كتب مبين
“Dan pada
sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan
tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)
إن الله بكل
شيء عليم
“Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)[14]
2. Al-Kitaabah
(Penulisan)
Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang
telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam
al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya,
semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga
hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.[15]
Allah Ta’ala
berfirman,
و كل شيء
أحصينه فى إمام مبـين
“Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs.
Yaasiin: 12)
ما أصاب من
مصيبة فى الأرض ولا فى أنفسكم إلا فى كـتب من قبل أن نبرأهاۚۚإن ذلك على
الله يسر
“Tidak ada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs.
Al-Hadiid: 22)
Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كتب الله
مقادير الخلا ئق قبل أن يخلق السماوات زالأرض بخمسبن ألف سنة
“Allah telah
menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum
Allah menciptakan langit dan bumi.”
(Shahih,
riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no.
2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))[16]
Dalam
sabdanya yang lain,
إن أول ما
حلق الله القلم, قل له: أكتب! قل: رب وماذا أكتب؟ قل: أكتب مقادير كل شيء حتى تقوم
الساعة
“Yang
pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman,
‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah
berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.'”(Shahih,
riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no.
2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah
(no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu
‘anhu)
Oleh karena
itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan
apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya,
sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.
3. Al-Iraadah
dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah
sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang
berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya
dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya
karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya
yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya,
لايسئل عما
يفعل وهم يسئلون
“Dia tidak
ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs.
Al-Anbiyaa’: 23)[17]
Kehendak
Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala
sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya
untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan
terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya
.
Allah Ta’ala berfirman,
فمن يردالله
أن يهديه يشرح صدره للإسلام ۚومن يرد أن
يضله يجعل صدره ضيقاحرجا
“Barang
siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)
وَمَا
تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu
tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,
Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)[18]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
إن قلوب بني
أدم كلها بين إصبعـين من أصا بع الرحمن, كـقلب وا حد, يصرفه حيث يشاء
“Sesungguhnya
hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan
seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah
al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))
Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah
ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik
maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang
banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak
terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia
menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga)
dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa
saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka).
Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu
yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad,
hal. 15)
4. Al-Khalq
(Penciptaan)
Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada
pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain
Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الله خـلق كل
شىء ۖوهو على كل شىء وكيل
“Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs.
Az-Zumar: 62)[19]
Meskipun
Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa
hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan
qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk
mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai
tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar
manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab
hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan
kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal
perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang
menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya,
والله حلقكم
وما تعملون
“Padahal
Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs.
Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,
لا يكلف الله
نفسا إلا وسعها
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs.
Al-Baqarah: 286)[20]
E.
Hikmah
Beriman Kepada Taqdir
Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah
penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan.
Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya,
demikian pula sebaliknya. [21]Apabila
kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan
keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita
tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah
datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan
menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh
kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada
henti.
Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya
mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan
meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh
Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa
hasil atas kehendak Allah.
Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang
kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa
yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena
sedikit ‘sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang
akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إحرص على ما
ينفعك, واستعن بالله ولا تعجز, فإن أصا بك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا لكن
كذا وكذا, ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل, فإن (لو) تفتح عمل الشيطان
“Berusahalah
untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah
dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu,
janganlah engkau berkata ‘seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan
begini dan begitu.[22] Akan
tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah
mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya). Karena
sesungguhnya (kata) ‘seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))
Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah
Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi
sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini
adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena
telah terangkat dan lembaran telah kering.
Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan,
namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan
kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa
melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh
karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.
Sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya,
وتوكل على
الله ۚ إنه هو السميع العليم
“Dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs.
Al-Anfaal: 61)
ومن يتو كل
على الله فهو حسبه
“Barang
siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs.
Ath-Thalaq: 3)
Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari
rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. [23]Karena
sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan
kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah
musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
إذا أصاب
أحدكم مصيبة فليذكر مصيبة بى, فإنها من أعظم المصائب
“Jika salah
seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku,
sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.”
(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi
(I/40))
Apabila hati
kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi
lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul
dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala
urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena
kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan
kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.[24]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Takdir adalah
ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dimana setiap diri manusia tidak akan bisa
luput dari-Nya. Allah ta’ala mengetahui tentang keadaan
makhluknya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk
masalah kebahagiaan dan kecelakaan. Tidak
mungkin bagi manusia di dunia ini untuk memutuskan bahwa dirinya masuk surga
atau neraka, akan tetapi amal perbutan merupakan sebab untuk memasuki keduanya.
Amal perbuatan dinilai di
akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini,
justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang
baik (husnul khotimah).
Disunnahkan
bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa. Tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima)
dengan mengambil sebab-sebab serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan
mencurahkan hatinya karenanya. Kehidupan ada di tangan Allah. Seseorang tidak akan
mati kecuali dia telah menyempurnakan umurnya. Sebagian ulama dan orang bijak berkata bahwa
dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur
adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu. Karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya
sekaligus.
Manusia hanya
merencanakan tapi segala ketentuan berada
di tangan Allah, itu kalimat yang sering kita dengar bahkan kita ucapkan
yang menggambarkan kelemahan manusia dan keperkasaan Allah. Memang manusia
sangat tidak berdaya terhadap ketentuan hidupnya karena semuanya berada dalam
genggaman yang Maha Kuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiono. Agama Ramah
Lingkungan, Jakarta: Paramadina, 2001.
Al-Gazali, Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad. Ihya’ ‘Ulumuddin.terj, Surabaya: Al-Hidayah, 1987.
Al-Hambali, Abu Al-Faraj bin
Abdurrahman. Jami’u al-‘Ulum wa al-Hikam, Jakarta: Darul Ma’arif, 2001.
Al-Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman
bin Abdurrahim. Tuhfatu al-Ahwadzi, Jakarta: Darul ‘Alamiyah, 2001.
Nadjat, Usman. Psikologi dalam
Tinjauan Hadits, Jakarta: Mustakim, 2003.
Said, M. Hadits Tentang Budi
Luhur, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.
Yusuf, Ahmad Muhammad. Himpunan
Dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits jilid 1, Jakarta: Media Suara Agung, 2008.
[1] HR. Muslim,
no.4781.
[2] Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Gazali, Ihya’ ‘Ulumuddin.trj, (Surabaya:Al-Hidayah,
1987), 28.
[3] HR. Bukhari,
no.4316.
[4] Abu al-Faraj
bin Abdurrahman Al-Hambali, Jami’u al-‘Ulum wa al-Hikam, (Jakarta: Darul
Ma’arif, 2001), 286.
[5] Ibid, 287.
[6] HR. Bukhari,
no.6112.
[7] Muhammad
Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfatu Al-Ahwadzi, (Jakarta:
Darul ‘Alamiyah, 2001), 19.
[8] HR. Ahmad,
no.13826.
[9] HR. Malik, no.
1399.
[10] Usman Nadjati, Psikologi
dalam Tinjauan Hadits, (Jakarta:
Mustakim, 2003), 94.
[11] Ibid, 95
[12] M. Said, Hadith
Tentang Budi Luhur, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), 199.
[13] Ahmad Muhammad
Yusuf, Himpunan Dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits.jilid 1, (Jakarta:
Media Suara Agung, 2008), 194.
[14] Ibid, 195.
[15] Ibid, 196.
[16] Ibid, 197.
[17] Ibid, 198.
[18] Ibid, 199.
[19] Ibid, 120.
[20] Ibid, 121.
[21] Mujiyono
Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, (Jakarta: Paramadina, 2001), 200.
[22] Ibid, 201.
[23] Ibid, 202.
[24] Ibid, 203.
No comments:
Post a Comment