Blog Archive

Monday, October 17, 2016

IAT3 KODIFIKASI HADIS NABI Firda Laila Shufiana (933801215)



KODIFIKASI HADIS NABI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ulumul Hadis
Dosen Pengampu :
.
Disusun Oleh :
Firda Laila Shufiana   (933801215)



PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR          JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016



KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
            Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga saya sebagai penulis dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Qur’an"
            Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang yakni addinul islam wal iman.
            Dan tak lupa  saya sebagai penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini. saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran sangat saya harapkan untuk memperbaiki penyusunan makalah berikutnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

                                                                                                                                                                                     Kediri, 3 Oktober  2016

                                                                                                                     penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang…………..1
B.     Rumusan Masalah…….1
C.     Tujuan Penulisan……….1
BAB II PEMBAHASAN
A.  Definisi kodifikasi hadis……2
B.   sejarah mengkodifikasi hadist………..3
C.  Persoalan tentang mengkodifikasi hadis……………11
D.  Analisa terhadap tertundanya penulisan hadis……..12
E.   Penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya……………..14
BAB III PENUTUPAN
A.    Kesimpulan………….16
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Saat ini banyak sekali ditemukan orang-orang yang mengaku sebagai pemeluk Agama Islam, akan tetapi pengetahuannya begitu dangkal terhadap Agama. Bahkan pemahaman akan kehidupan Nabinya pun begitu sempit.
Untuk mengatasi adanya degradasi pengetahuan akan agama tersebut, diperlukan pengkajian pembahasan-pembahasan sejarah, yang memuat tentang sejarah Agama dan juga Nabinya,. sehingga memperluas wawasan pemeluk Agama. Misalnya, pembahasaan tentang proses terbukukannya hadis Nabi saw.
Hadis sendiri telah mengalami perkembangan dari masa kemasa dimulai pada zaman Rasulallah saw. sampai sekarang. Apabila dikaji dan dipelajari secara seksama keadaan yang melingkupi perkembangan  hadis sangatlah penting dan banyak sekali manfaat yang bisa diambil..
Maka dari itu, disini saya akan menyajikan pembahasan tentang mengkodifikasi hadis mulai dari sejarahnya dan juga ulama yang terlibat.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa definisi kodifikasi hadis?
2.    Bagaimana sejarah mengkodifikasi hadist?
3.    Apa persoalan tentang mengkodifikasi hadis?
4.    Bagaimana analisa terhadap tertundanya penulisan hadis?
5.    Siapa penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui maksud dari kodifikasi hadis
2.    Untuk mengetahui sejarah mengkodifikasi hadis
3.    Untuk mengetahui  persoalan tentang mengkodifikasi hadis
4.    Untuk mengetahui analisa terhadap tertundanya penulisan hadis
5.    Untuk mengetahui siapa penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya



BAB 11
PEMBAHASAN
A.  Definisi Kodifikasi Hadis
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Tadwin yang berarti codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun.[1] Sedangkan secara istilah berarti penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi berdasar perintah kholifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam bidang ini. Jadi pengertian tadwin al-hadist ( kodifikasi hadist) adalah penghimpunan, penulisan, pembukuan hadist Nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara (khalifah) bukan dilakukan atas inisiatif perorangan atau untuk keperluan pribadi.
Kodifikasi hadis dimaksudkan untuk menjaga hadis Nabi dari kepunahan dan kehilangan baik dikarenakan banyaknya periwayatan penghafal hadis yang meninggal maupun karena adanya hadis-hadis palsu yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis Nabi. Kodifikasi hadis secara resmi ada pada masa pemerintahan ‘Umar Bin Abdul Aziz’.
Ada seorang nama yang sangat berperan, ketika seorang khalifah yang agung memerintahkan kepada ahli hadis untuk menuliskan dan membukukan hadis, yaitu Az-Zuhri, lengkapnya Muhammad ibn Muslim ibn U’bayd Allah ibn Abd Allah ibn  Syihab ibn Abd Allah ibn al-Harist ibn Zahrah ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi az-Zuhri. Beliau inilah yang nantinya menjalankan program ‘Umar bin Abdul Aziz’. Ada data sejarah yang mengatakan bahwa Ibn Syihab berani melakukan hal ini karena adanya pemaksaan dari Amir yang berkuasa pada saat itu. Hal ini memberikan indikasi bahwa munculnya nama Ibnu Syihab dalam khazanah hadis tidak dapat dilepaskan dari adanya campur tangan dari penguasa yang ada pada saat itu dan hadis dapat dibukukan secara resmi  pada masa pemerintahan ‘Umar Bin Abdul Aziz’ ( 99-101 H/717-720 M).


B.  Sejarah Kodifikasi Hadist
Dalam mencermati persoalan hadis ini, perlu adanya pemetaan atau penjabaran tentang periodisasi yang tentunya tiap-tiap periode akan ditemukan perbedaan yang signifikan dari segi karakteristiknya.

1.    Zaman Nabi dan Sahabat
Pada permulaan dakwah Nabi menurut pandangan umum ditemukan larangan penulisan hadis. Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:
لا تكتبوا عنى شيئا إلا القران. ومن كتب عنى شئا غير القران. فليمحه وحدثواعنى ولا حرج .ومن كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من  االنار ).رواه مسلم(
,”janganlah kamu menulis apa-apa dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menulis apa-apa dariku selain al-Qur’an, hendaklah hal itu dihapus . ceritakan saja yang kamu dengar dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang menyengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka”[2]
Akan tetapi ketika melihat riwayat yang lain, disana ditemukan bahwa riwayat tentang pelarangan Nabi tersebut bersifat temporal dan berlaku sementara pada saat itu. Diantaranya juga ada riwayat yang menyatakan diperbolehkan penulisan hadis, misalnya riwayat tentang pemberian izin kepada Abi Syah untuk menuliskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat berpidato. Bunyi hadisnya :
يا رسول الله. اكتبوالي, فقال: اكتبواله
“ Ya Rosulullah! Tulislah untukku! Jawab Rosul: “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”[3]
Bila melihat dua riwayat diatas, yaitu pelarangan penulisan dan pemberian izin penulisan, maka disinilah nampak jelas bahwa pelarangan penulisan itu berlaku dikalangan umum. Sedangkan dikalangan tertentu diperbolehkan menulis hadis. Jadi ada pengecualian dan penentuan penulisan hadis dikalangan sahabat dan tidak seluruh sahabat dapat menulis hadis Nabi.
Ada dua indikasi penting mengapa dua kelompok ini muncul, yaitu pertama, supaya tidak terjadi pencampuran al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an. Hal ini mengandung maksud bahwa sahabat-sahabat yang asing dengan gaya bahasa al-Qur’an nantinya sulit untuk membedakan mana yang merupakan gaya bahasa al-Qur’an dengan yang bukan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua, kemungkinan yang terbesar, diantara sahabat belum banyak yang pandai dan piawai dalam tradisi tulis-menulis. Selain itu, yang mahir hanya diperuntukkan untuk menulis al-Qur’an saja.[4]
Selain itu ada indikasi yang kuat tentang tradisi tulis-menulis sudah ada pada masa Nabi dan sahabat dengan adanya suhuf-suhuf, antara lain: a. Shahifah Sa’ad Ibnu Ubaidah Al-Ansari, b. Nukhsas yang memuat hadis-hadis milik Samurah bin Jundab (w. 60H), c. Shahifah milik Jabiribn Abdullah (w. 78H), d.  Shahifah as-Shadiqah milik Amr bin Ash. Dengan bulti-bukti diatas maka jelaslah bahwa penulisan hadis pada masa nabi dan sahabat telah dimulai dan sudah ada tradisi penulisan. Hal ini sudah cukup untuk meyakinkan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa pada masa nabi belum ada tradisi penulisan hadist.[5]
2.      Zaman Khulafaur Rasyidin (abad pertama hijriyah termasuk didalamnya penulisan hadist pada masa Umar bin Abdul Aziz)
Pada masa yang kedua ini, terlebih pada masa pra penulisan resmi masa Khulafaur Rasyidin sikap hati-hati menjadi prioritas utama. Belum ada indikasi yang jelas terhadap perintah penulisan secara resmi. Abu Bakar misalnya, meskipun ia memiliki beberapa Hadis yang dihimpun, ia malah membakarnya. Demikian juga Umar bin Khattab, yang semula bermaksud untuk mencatat hadis, kemudian secara terus-menerus ia mempertimbangkannya. Hanya saja pada masa Umar baru menerima riwayat hadis, setelah sahabat lain menyatakan pula pernah mendengarnya.[6]
Pada masa dua khalifah terakhir, sikap kehati-hatian tetap menjadi prioritas utama, walaupun tidak sekeras yang dilakukan Umar bin Khattab. Secara keseluruhan, mereka hanya menerima melalui riwayat-riwayat sahabat yang lainnya. Sekiranya mereka tidak mengetahui hadis yang disampaikan oleh sahabat, sahabat tersebut disuruh bersumpah atau mendatangkan saksi guna memastikan bahwa hadis itu benar.
Pada pemerintahan Ali masa pertikaian antar Ali dan Muawiyah membawa dampak yang sangat signifikan seputar periwayatan hadis. Pada masa inilah kegiatan pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang. Pada mulanya, faktor yang mendorong seorang memalsukan hadis adalah kepentingan politik-pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah ibn Abi Sofyan. Para pendukung mereka berusaha untuk memenangkan perjuangan mereka, salah satunya dengan membuat hadis palsu.
Selanjutnya adalah kepentingan ekonomi, keinginan untuk menyenangkan hati pejabat dan lain-lain. Telah ikut juga menyemarakkan pembuatan hadis-hadis palsu. Bahkan, sejumlah mubaliq pada masa itu baranggapan bahwa untuk kepentingan dakwah dapat juga dilakukan dengan pembuatan hadis palsu.[7]Bersamaan dengan keadaan tersebut, kegiatan periwayatn hadis pada masa sesudah khulafaur rasyidin terus berlangsung. Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis tidak lagi menjadi ciri yang menonjol. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa periwayatan hadis dalam meriwayatkan hadis secara hati-hati tidak sedikit jumlahnya.
Kebebasan yang masih dalam garis periwayatan, terus berlangsung sampai pada masa penulisan hadis yang resmi dan masal di masa Umar Bin Abdul Aziz (99H-101H). Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan hadis merupakan kebijaksanaan dari kepala negara. Dan dikatakan massal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur dan ulama hadis pada masa itu.
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib dalam disertasi maupun tesisnya bahwa penulisan hadis secara resmi berlangsung pada masa Abdul Aziz ibn Marwan. Asumsi ini didasarkan pada saat ia menjadi gubernur, melalui sebuah surat ia meminta kepada Kasir ibn Murrah, seorang tabi;in di Hims, untuk mencatat berbagai hadis yang diriwayatkan oleh sahabat selain Abu Hurairah, karena ia telah memiliki catatannya. Namun apa yang diungkapkan oleh ‘Ajjaj Al-Qur’an Khatib tidak seluruhnya benar, bahkan dari sisi lain, pendapat ini memiliki kelemahan dalam beberapa hal.[8]
Walaupun demikian bukan berarti bahwa antara surat perintah yang diberikan oleh Abdul Aziz ibn Marwan dan Umar Bin Abdul Aziz ini tidak ada hubungan sama sekali. Sangat mungkin, surat Abdul Aziz itu memberikan inspirasi atau setidaknya menambah dorongan kepada Umar bin Abdul Aziz selaku kepala negara untuk membuat surat perintah dalam penulisan hadis.
Ada hal yang juga menjadikan pertimbangan, yaitu keinginannya untuk menghimpun hadis telah ada ketika Umar Bin Abdul Aziz menjadi gubernur di Madinah pada saat pemerintahan Al-Walid ibn Abd Al-Walid (86-96H=705-715M). Pada saat itu, ia menyadari bahwa hanya berbekal kedudukan sebagai gubernur, ia belum mampu mengatasi perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan penulisan hadis. Selain dari pada itu, daerah jangkauan perintahnya tidak akan meluas jika hanya berbekal kedudukan sebagai gubernur.
Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz memerintah sebagai khalifah (99-101H), secara resmi memerintahkan para ulama diseluruh penjuru dunia islam untuk menuliskan dan membukukan hadis Nabi. Semua pegawai dan qadi dibebani tugas ini  guna menjaga hadis-hadis Nabi supaya tidak hilang sesudah wafatnya para ulama yang ahli dalam bidang ilmu hadis.
Ada beberapa sebab yang melatar belakangi penulisan hadis, salah satu sebab diantara beberapa sebab adalah kekhawatiran akan punahnya pengetahuan hadis dan wafatnya para ahli hadis. Itu terlihat dari perkataan beliau kepada penduduk kota Madinah yang berbunyi, “Unzhuru ma kana min hadis Rasulullah Faktubuhu fa ‘inni Khiftu durus al-‘ilm wa dhihab Al-‘ahlih[9]. Maka sejak diedarkannya perintah ini, secara resmi penulisan hadis dimulai.
Sebelum khalifah Umar Bin Abdul Aziz wafat (w. 101H), orang yang pertama kali memenuhi dan mewujudkan keinginannya adalah seorang ahli hadis di Hijaz yang bernama Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab az-Zuhri Al-Qur’an Madani (w. 124H).[10] Ia menghimpun hadis dalam sebuah kitab, dan oleh khalifah dikirimkan catatannya itu ke setiap penjuru wilayah. Dalam perkataannya, ia menyatakan bahwa tiada seorang pun yang membukukan ini sebelum aku.
Dari sini muncul persoalan apakah ada muatan politik dibalik penulisan yang dilakukan oleh Ibn Syihab terhadap pemegang kekuasaan yang ada pada saat itu?. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlulah untuk mengacu terhadap apa yang dikatakan Ibn Syihab seperti apa yang telah dikutip oleh Ibn Sa’ad menyatakan,”Kami benci ilmu (ilmu hadis), sampai para ‘Amir memaksa kami menulisnya. Selanjutnya kami sadar, tak ada seorang pun dikalangan kaum muslimin yang menentangnya.
Meskipun dalam perkataan diatas secara khusus tertuju pada Ibn Syihab, tetapi secara umum berlaku pada seluruh sahabat dan tabi’in yang ada pada saat itu untuk menuliskan hadis. Selain dari faktor pemaksaan penguasa untuk pelaksanaan  penulisan hadis, ada faktor yang lain, yaitu untuk membedakan hadis-hadis Nabi dari ucapan palsu yang diatas namakan padanya. Dalam hal ini, Ibn Shihab mengatakan,”Seandainya hadis-hadis tidak datang kepada kami dari arah timur yang tidak kami ketahui, maka aku tidak akan menulis hadis dan tidak pula mengizinkan penulisannya.[11]
Pendapat Az-Zuhri ini mencerminkan pendapat sebagian besar ulama pada saat itu. Keinginan agar sabda Nabi tidak terlantar sama besarnya dengan kekhawatiran terhadap hadis Nabi yang tersampaikan secara tidak benar. Apa yang dilakukan oleh Az-Zuhri dan sahabat-sahabatnya pada saat itu, menjadi dasar pijakan terhadap penulisan hadis pada generasi berikutnya.
3.      Abad kedua Hijriyah
Meskipun khalifah Umar Bin Abdul Aziz telah wafat, setelah priode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu kegiatan penulisan hadist terus berlangsung. Dengan berdasarkan landasan pada hasil yang dicapai pada akhir abad yang pertama, para alim dalam bidang hadis meneruskan kerja penulisan dan pembukuan hadis yang dirintis sebelumnya. Mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan kedalam kitab-kitab mereka, sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadis marfu’, mawquf dan maqtu’.
Diantara para alim yang muncul pada abad kedua dengan disertai kitab susunannya, antara lain:
a.         Di Makkah: Ibn Juraij Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz (w. 150H).
b.        Di Madinah: Muhammad ibn Ishaq dengan kitabnya al-Maghazi wa al-Syiar (w. 151H) dan Imam Malik  dengan kitabnya al-muwaththa’ ( w 179 H).
c.         Di Basrah: Ar-Rabih bin Sabih (w. 160H) dan Hammad bin Salamah ( w. 176 H).
d.        Di Kufah: Sufyan As-Saury (w. 167H).
e.         Di Syam: Al-Qur’an Awza’i Abd Rahman ibn ‘Amr (w. 153H).
f.         Di Khurasan: ‘Abdullah ibn Mubarak (w. 175H).
4.      Abad ketiga Hijriyah ( Metode Penyaringan Al-Hadis dari Fatwa-Fatwa)

Di permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha menyisihkan Al-hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. mereka berusaha membukukan hadis Rosulullah semata. Untuk tujuan yang mulia itu mereka mulai menyusun kitan-kitab Musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulam ahli hadis seperti : Musa al-Abbasyi, Musaddad Al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Hammad Al-Khaza’iy yang menyusun kitab Musnad.
Pendewaan hadis shahih semata-mata pada pertengahan abad ketiga :
a.    Muhammad bin Ismail Al-Bukhory ( 194-256 H) dengan kitab hadisnya yang terkenal Shahihul Bukhori atau Al-Jami’us Shahih
b.    Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim AL-Qusyairy ( 204-261 H) dengan kitabnya bernama Shahihul Muslim atau Al-Jami ush shahih
Disamping kitab-kitab Musnad, muncul pula pada abad ketiga ini kitab-kitab Sunan ( yang mencangkup seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dhlaif dan Mungkar), seperti Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzy, Sunan An-Nasaiy dan Sunan Ibnu Majah.
5.      Abad keempat (Periode menghafadh dan mengisnadkan hadist mutaqoddimin)
Pada abad ini ulama mutaakhirin ( ulama abad ke 4 dan seterusnya) menghafal dan menyelidiki sanadnya. Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadis yang telah terdewan itu, hingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal berates-ratus ribu hadis. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam bidang ilmu Hadis, seperti  gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidz[12].
a.    Kitab –kitab yang masyhur hasil ulama karya abad keempat,
1). Mu’jamul Kabir
2). Mu’jamul Ausath
3). Mu’jamush shahir, ketiganya adalah karya Imam Sulaiman bin Ahmad at-Thabarany (w. 360 H)
4). Sunan Ad-Daruquthny, karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad ad-Daruquthny ( 306-385 H)
5). Shahih Abi Auwanah karya Abu Auwanah Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim AL-Asfarayniy ( w.354 H)
6). Shahih ibn Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq ( w 316 H)
6.      Abad kelima dan seterusnya ( Masa Penyempurnaan Sistem Kodifikasi Hadits)
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu mereka               memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
a.  kitab-kitab hadis tentang hukum[13]. Meliputi:
1).  Sunan al-Kubra,  karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458 H.)
2.  Muntaqal Akhbar, karya Majdudin al-Harrany (652 H).
3.    Nailul Authar,  sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
b. kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, Meliputi:
1).    Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry (656 H).
2).    Dalil al-Fatihin, sebagai  Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu Allan al-Siddiqy (1057 H).
c. kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:
1)   Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin Suyuthi (849-911 H).
2).   Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul Ghani.
3). Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing
4) Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc.
C.  Persoalan Tentang Kodifikasi Hadis
Bila melihat dari periodisasi dari penulisan hadis, maka akan dapat diketahui bahwa kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz (w. 101H) dengan hasil monomental prestasi az-Zuhri. Menurut sebagian pendapat bahwa hadis yang dihimpun oleh Az-Zuhri adalah hadis-hadis yang berkisar tentang perang (Maghazi). Kaum orientalis mengatakan bahwa hadis-hadis yang berkisar tentang perang, adalah suatu legitimasi terhadap kekuasaan yang ada.[14] Bahkan mereka menyoroti az-Zuhri sebagai pengumpul hadis Maghazi, berusaha untuk melegitimasi kekuasaan  bani Umayyah yang bertengger pada masa itu. Terlepas dari benar salahnya analisa orientalis, yang jelas kebijaksanaan penguasa terhadap suatu keputusan, membawa unsur politik kekuasaan yang ada pada saat itu.
Perlu diingat bahwa kodifikasi hadis yang ada pada masa Umar Ibn Abdul Aziz tidak berupa sebuah kumpulan kitab yang utuh, akan tetapi masih berupa catatan-catatan yang terpisah dan masih mengalami proses yang lama. Usaha-usaha ini berlangsung terus-menerus sampai pada masa pemerintahan Abbasiyyah.[15]
Pada masa pemerintahan Abbasiyyah pergolakan politik serta usaha-usaha untuk memalsukan hadis kian marak dan sebagai puncaknya banyak muncul kitab-kitab yang menerangkan tentang adanya hadis maudhu’. Selain dari itu, hadis-hadis yang terkumpul pada masa itu, belum terpisah secara baik. Masih banyak diantara karya-karya hadis, kitab Muwatta’ karya Imam Malik misalnya, masih memuat hadis-hadis yang bercampur. Dalam kitab ini, masih banyak ditemukan hadis-hadis yang bercampur, baik itu hadis shahih, mauquf, maqthu’ ataupun fatwa sahabat. Berdasarkan pada kenyataan ini, Imam Syafi’i berusaha untuk memisahkan dan membedakan antara hadis-hadis yang shahih, mauquf, maqthu’ maupun fatwa sahabat. Ia berusaha untuk menjadikan hadis ahad sebagai hujjah dan menempatkannya sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Upaya ini berlaku sebagai jembatan antara ahli ra’yu dan ahli hadis.[16]
D.  Analisa Terhadap Tertundanya Penulisan Hadis
Ada dua hal yang penting yang perlu dicermati, yaitu: menurut pendapat yang umum bahwa tradisi periwayatan hadis secara lisan berlangsung selama kurang lebih seratus tahun. Demikian juga perintah Umar Bin Abdul Aziz terhadap az-Zuhri untuk mencatatkan hadis-hadis.
Pada bagian yang pertama, bahwa tradisi periwayatan secara lisan dalam masa kurang lebih seratus tahun kurang beralasan. Hal ini disebabkan tradisi tulis-menulis sudah terjadi pada masa Nabi atau bahkan sebelum itu. Demikian pula ketika Nabi memerintahkan untuk tidak menulis selain al-Qur’an, bukankah itu merupakan indikasi bahwa banyak diantara sahabat yang sudah pandai menulis.
Demikian juga anggapan umum tentang terlambatnya pencatatan hadis yang juga bersumber dari hadis-hadis yang melarang kitabah (penulisan hadis). Memang terhadap hadis yang melarang kitabah segala sesuatu yang selain al-Qur’an pada umumnya dan hadis-hadis pada khususnya. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat, yaitu: Abu Sa’id Al-Khudry, Abu Hurairah, Zayd Ibn Tsabit tentang larangan penulisan hadist masih dipertentangkan derajat validitasnya. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Za’id Bin Tsabit mempunyai cacat, sedangkan hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudry digugat oleh pakar setingkat al-Qur’an Bukhari.[17]
Selain dari itu, ada faktor intern yang berasal dari kalangan muhaddisin yang salah memberi informasi  tentang nama pengumpul pertama hadis, yang sebenarnya hidup pada pertengahan  paruh abad kedua atau akhir abad kedua hijriyah.
Disamping itu adanya miskonsepsi dan misinterpretasi atas istilah-istilah semacam tadwin (pengumpulan), tasnif (klasifikasi), dan kitabah (penulisan). Juga terjadi misinterpretasi tentang kata haddasana (ia meriwayatkan kepada kami), akhbarana (ia mengabarkan kepada kami), dan ‘an (diriwayatkan dari kami), yang pada umumnya dipahami dalam pengertian secara lisan. Padahal menurut M.M Azami ketiganya digunakan dalam metode dokumentasi, yang mengambil beberapa bentuk, seperti penyalinan dari bentuk tertulis, penulisan dari guru ke murid, periwayatan dokumen secara lisan dan diterima atau direkamnya secara lisan oleh murid-muridnya.[18]
Sedangkan pada bagian yang kedua, yaitu perintah Umar Ibn Abdul Aziz kepada az-Zuhri, buka berarti bahwa ia tidak mempunyai catatan hadis atau sebagaimana dituduhkan beberapa ahli tentang hilangnya catatannya. Yang perlu menjadi catatan adalah sebelum az-Zuhri diperintah oleh pihak penguasa, ia telah mempunyai catatan-catatan hadis. Hanya saja, catatan hadis koleksi pribadi itu tidak berminat untuk dikonsumsi umum. Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain ketika ia memiliki beberapa catatan yang lain.
Ringkasnya, tidak ada bukti bahwa larangan penulisan hadis didasarkan atas perintah Nabi. Hal ini hanya didasarkan pada presepsi pribadi. Meskipun begitu, para sahabat atau tabi’in yang semula menolak penulisan, justru terlibat langsung dalam penulisan hadis.
E.   Penentu Kebijakan Kodifikasi dan Ulama yang Terlibat di dalamnya

1.    Umar bin Abdul Aziz dan Kebijakannya
Nama Lengkapnya adalah Umar ibn Abd al-A’ziz ibn Marwan ibn al-Hakam Ibn Abi al-Ats ibn Umayah ibn Abi al-Syams al-Quraysyi al-Amani atau disebut juga dengan Abu Hafsh al-Madani al-Dimasyqi, ia seorang Khalifah Bani Umayah yang kedelapan.
Khalifah yang sangat memerhatikan kesatuan umat islam dan sangat memerhatikan Hadis-hadist Nabi ini umurnya tidak panjang sekitar 41 Tahun. Dilahirkan tahun 61 Hijriyah dan meninggal pada bulan Rajab tahun 101 Hijriyah, dan menjadi khalifah hanya dalam jangka waktu tiga tahun ( mulai 99-101 Hijriyah). Perannya dalam sejarah perkembangan hadis, disamping terkenal sebagai khalifah pelopor yang memberikan intruksi untyk membukukan hadis, secara pribadi ia juga merupakan asset dan mengambil bagian dalam kegiatan ini. Menurut beberapa riwayat, Umar bin Abdul Aziz turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis yang sedang dihimpun, disamping ia sendiri memiliki beberapa tulisan tentang hadis-hadis yang diterimanya.
Untuk keperluan hadis ini Umar memberikan intruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah, agar mengumpulkan dan menghimpun hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abd- Rohman al-Ansari dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Intruksi ini juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab az-Zuhry. Al-Zuhri menggalang agar para ulama hadis untuk mengumpulkan hadis-hadis dimasing-masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah keberbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.
2.    Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm dan Kiprahnya.
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm al-Anshari al-Khazraj al-Najari al-Madani. Nama panggilannya Abu Bakar atau Abu Muhammad. Ia meninggal tahun 117 Hijriyah ada pula yang mengatakan tahun 120 Hijriyah.
     Dalam sejarah perkembangan hadis, ibn Hazm yang pada saat itu sebagai gubernur Madinah, mendapat intruksi dari Umar ibn Abd al-A’ziz  untuk menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi
     Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm mendapat intruksi dari Umar ibn Abd al-A’ziz  untuk menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi yang ada pada Amrah binti binti Abd- Rohman al-Ansari dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Karena hanya menghimpun sebagian hadis yang ada pada orang diatas, maka kitab hadis yang disusun oleh Abu Bakar ibn Muhammad ibn HazmKurang lengkap dalam menghimpun hadis-hadis Nabi[19], terutama hadis-hadis yang ada di Madinah. Sungguh pun demikian, kitab ini merupakan kitab hadis pertama yang ditulis oleh perintah khalifah, tetapi sayang tidak sampai ketangan kita.
3.    Muhammad ibn Syihab al-Zuhri  dan aktifitas kodifikasinya
Nama lengkapnya Muhammad ibn Muslim ibn U’bayd Allah ibn Abd Allah ibn  Syihab ibn Abd Allah ibn al-Harist ibn Zahrah ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi az-Zuhriri . lahir tahun 50 Hijriyah dan meninggal pada bulan Romadhon tahun 125 Hijriyah. Menurut penilaian Umar ibn Abd al-A’ziz  , ayyub, laytz, tidak ada ulama yang lebih tinngi kemampuannya khususnya dibidang hadis dari pada Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Karena kemampuannya dibidang ilmu agama, ia mendapat gelar, yaitu al-faqih, al-hafizh al-madani, alim al-Hijaz wa al-syam, dan salah seorang dari pemimpin dunia.
     Dalam sejarah perkembangan hadis, sebagaimana Abu Bakar ibn Hazm, al-Zuhry mendapat kepercayaan dari khalifah untuk mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi. Hasil karyanya oleh para ulama dinilai baik dan lengkap.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN :
1.    Adanya larangan dan perintah menulis hadis oleh Nabi pada priode awal yang terkesan sangat rancu dan bertolak belakang, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan. Sebenarnya larangan menulis hadis pada periode Nabi bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan kepada para sahabat pada umumnya. Namun diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik hafalannya, dan ada yang bagus tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, Rasulullah memberi izin khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan akan situasi, kondisi dan sifat pribadi sahabat.
2.    Kegigihan para sahabat, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga, melestarikan, dan menyebarkan dua wasiat yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis.
3.    Dalam setiap perubahan dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih sempurna.
4.    Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan mengajarkannya kepada generasi sesuadah kita.



DAFTAR ISI
Idri. Studi Hadist . Jakarta: Kencana, 2010.  
Yusof , Ismail. Kodifikasi Hadis dan Sunnah Nabi: Sebuah Tinjauan Historis Singkat, “Jurnal Studi Islam Al-Hikmah” XV. Vol. VI/1996
Ismail , M. Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah . Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Salam , Muhyiddin Abdus.  Pola Pikir Imam Syafi’i . Jakarta: Fikahati Aneska, 1995.
Rohman, Fatchur. Ikhtisar Mushthala Hadis . Bandung : PT AL-Ma’arif,1970.







[1] Idri, Studi Hadist (Jakarta: Kencana, 2010), 93.
[2] Fatchur Rohman, Ikhtisar Mushthala Hadis ( Bandung : PT AL-Ma’arif,1970),46
[3] Ibid.,47
[4] Ismail Yusof, Kodifikasi Hadis dan Sunnah Nabi: Sebuah Tinjauan Historis Singkat, “Jurnal Studi Islam Al-Hikmah” XV. Vol. VI/1996, 37.
[5] Seorang Orientalis yang bernama Ignas Goldziher telah menggunakan kata sepakat bahwa pada masa awal ini terdapat banyak data tentang suhuf, tetapi ia skeptis apakah suhuf  itu ditulis generasi belakangan atau tidak. Lihat I. Goldziher, Muslim Studies, Edit, S.M. StrenTrans. C.R. Barber (Chicago, 1971), Jilid II, p. 22ff.
[6] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 41.
[7] Mustafa As-Siba’iy, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasri’ Al-Islami ([t.tp], ad-Dar Al-Qaumiyyah, 1966), 83-84.
[8] Ada tiga alasan yang menjadikan lemah pendapat ini. Pertama, Jabatan Abdul Aziz bukanlah kepala negara, melainkan seorang Gubernur. Kedua, tidak ada hubungan kedinasan antar yang mengirim surat dan yang menerima surat, karena surat itu ditujukan kepada ulama yang berada diluar Mesir. Ketiga, permintaan itu lebih bersifat pribdi daripada kedinasan. Lihat Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 17.
[9] Ahmad Ibn. ‘Ali Ibn. Hajar Al-‘Asqalani, Fath Al-Bari’ fi Syarah Al-Bukhori (Beirut: Dar Al-Fikr,[t.th]), Juz.I, 194-195.
[10] Ulama berbeda pendapat tentang tahun kelahiran az-Zuhri. Ada yang mengatakan pada tahun 50,51,56,58H. Lihat Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahzib at-Tahzib (Beirut:Dar al-Fikr, 1984), Juz. IX. 445.
[11] Al-Khatib Al-Baqdadi, Taqyi Al-‘ilm. Tahqiq Yusuf Al-Isy (Damaskus:[t.tp], 1949), 108.
[13] Rohman, Ikhtisar Mushthala .,59.
[14] M.M Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indiana Polis Indiana. 1978), 345.
[15] Mahmud Abu Rayyah, ‘Adwa’ Ala Sunnah Al-Muhamadiyyah (Makar: Dar Al-Ma’arif, [t.th]), 258-262.
[16] Muhyiddin Abdus Salam, Pola Pikir Imam Syafi’i (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 95.
[17] M.M Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indiana Polis Indiana: 1977), 45.
[18] Ibid., 293-300. Sprenger, ahli hadis paling awal dikalangan orientalis, setuju dengan pada penggunaan kata tersebut sebagai metode dokumentasi. Misalnya, kata haddasana, tidak berarti mesti menggunakan lisan, karena sejak awal islam sudah menjadi kebiasaan dikalangan kaum muslimin untuk mengacu pada pengarang daripada karya A. Sprenger,” On The Origin And Progessof Writing down Historical Facts Among the Musulman,” JASB, 25 (1856), 109.
[19]  Kodifikasi Hadis Nabi

No comments:

Post a Comment