KODIFIKASI HADIS NABI
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Hadis
Dosen Pengampu :
.
Disusun
Oleh :
Firda Laila Shufiana (933801215)
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN
DAN TAFSIR JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayahnya sehingga saya sebagai penulis dapat menyusun makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Qur’an"
Sholawat
serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad SAW,
yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang
yakni addinul islam wal iman.
Dan tak
lupa saya sebagai penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah
ini. saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna maka dari itu kritik dan saran sangat saya harapkan untuk memperbaiki
penyusunan makalah berikutnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Kediri, 3 Oktober 2016
penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang…………..1
B.
Rumusan
Masalah…….1
C.
Tujuan
Penulisan……….1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi kodifikasi hadis……2
B.
sejarah mengkodifikasi
hadist………..3
C.
Persoalan tentang mengkodifikasi hadis……………11
D.
Analisa terhadap tertundanya penulisan hadis……..12
E.
Penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya……………..14
BAB III PENUTUPAN
A.
Kesimpulan………….16
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini banyak sekali ditemukan
orang-orang yang mengaku sebagai pemeluk Agama Islam, akan tetapi
pengetahuannya begitu dangkal terhadap Agama. Bahkan pemahaman akan kehidupan
Nabinya pun begitu sempit.
Untuk mengatasi adanya degradasi
pengetahuan akan agama tersebut, diperlukan pengkajian pembahasan-pembahasan
sejarah, yang memuat tentang sejarah Agama dan juga Nabinya,. sehingga
memperluas wawasan pemeluk Agama. Misalnya, pembahasaan tentang proses
terbukukannya hadis Nabi saw.
Hadis
sendiri telah mengalami perkembangan dari masa kemasa dimulai pada zaman
Rasulallah saw. sampai sekarang. Apabila dikaji dan dipelajari secara seksama
keadaan yang melingkupi perkembangan
hadis sangatlah penting dan banyak sekali manfaat yang bisa diambil..
Maka
dari itu, disini saya akan menyajikan pembahasan tentang mengkodifikasi hadis
mulai dari sejarahnya dan juga ulama yang terlibat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi kodifikasi hadis?
2.
Bagaimana sejarah mengkodifikasi hadist?
3.
Apa persoalan tentang mengkodifikasi hadis?
4.
Bagaimana analisa terhadap tertundanya penulisan hadis?
5.
Siapa penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di
dalamnya?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui maksud dari kodifikasi
hadis
2.
Untuk mengetahui sejarah mengkodifikasi hadis
3.
Untuk mengetahui persoalan
tentang mengkodifikasi hadis
4.
Untuk mengetahui analisa terhadap tertundanya penulisan hadis
5. Untuk
mengetahui siapa penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di
dalamnya
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kodifikasi Hadis
Kata
kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Tadwin yang berarti codification,
yaitu mengumpulkan dan menyusun.[1]
Sedangkan secara istilah berarti penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara
resmi berdasar perintah kholifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli
dalam bidang ini. Jadi pengertian tadwin al-hadist ( kodifikasi hadist)
adalah penghimpunan, penulisan, pembukuan hadist Nabi atas perintah resmi dari
penguasa Negara (khalifah) bukan dilakukan atas inisiatif perorangan atau untuk
keperluan pribadi.
Kodifikasi
hadis dimaksudkan untuk menjaga hadis Nabi dari kepunahan dan kehilangan baik
dikarenakan banyaknya periwayatan penghafal hadis yang meninggal maupun karena
adanya hadis-hadis palsu yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis
Nabi. Kodifikasi hadis secara resmi ada pada masa pemerintahan ‘Umar Bin Abdul
Aziz’.
Ada seorang nama yang sangat berperan,
ketika seorang khalifah yang agung memerintahkan kepada ahli hadis untuk
menuliskan dan membukukan hadis, yaitu Az-Zuhri, lengkapnya Muhammad ibn Muslim
ibn U’bayd Allah ibn Abd Allah ibn Syihab ibn Abd Allah ibn al-Harist ibn Zahrah
ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi az-Zuhri. Beliau inilah yang nantinya
menjalankan program ‘Umar bin Abdul Aziz’. Ada data sejarah yang mengatakan
bahwa Ibn Syihab berani melakukan hal ini karena adanya pemaksaan dari Amir
yang berkuasa pada saat itu. Hal ini memberikan indikasi bahwa munculnya nama
Ibnu Syihab dalam khazanah hadis tidak dapat dilepaskan dari adanya campur
tangan dari penguasa yang ada pada saat itu dan hadis dapat dibukukan secara
resmi pada masa pemerintahan ‘Umar Bin
Abdul Aziz’ ( 99-101 H/717-720 M).
B.
Sejarah Kodifikasi Hadist
Dalam mencermati persoalan hadis
ini, perlu adanya pemetaan atau penjabaran tentang periodisasi yang tentunya
tiap-tiap periode akan ditemukan perbedaan yang signifikan dari segi
karakteristiknya.
1.
Zaman Nabi dan Sahabat
Pada permulaan
dakwah Nabi menurut pandangan umum ditemukan larangan penulisan hadis. Berdasarkan
pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:
لا تكتبوا عنى شيئا إلا القران. ومن كتب عنى شئا غير القران. فليمحه
وحدثواعنى ولا حرج .ومن كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من االنار ).رواه مسلم(
,”janganlah kamu menulis apa-apa dariku selain al-Qur’an. Barang
siapa menulis apa-apa dariku selain al-Qur’an, hendaklah hal itu dihapus .
ceritakan saja yang kamu dengar dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang
menyengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di
neraka”[2]
Akan tetapi
ketika melihat riwayat yang lain, disana ditemukan bahwa riwayat tentang pelarangan
Nabi tersebut bersifat temporal dan berlaku sementara pada saat itu. Diantaranya
juga ada riwayat yang menyatakan diperbolehkan penulisan hadis, misalnya riwayat
tentang pemberian izin kepada Abi Syah untuk menuliskan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah pada saat berpidato. Bunyi hadisnya :
يا رسول الله. اكتبوالي, فقال: اكتبواله
“ Ya Rosulullah! Tulislah untukku! Jawab Rosul: “Tulislah oleh
kamu sekalian untuknya!”[3]
Bila melihat
dua riwayat diatas, yaitu pelarangan penulisan dan pemberian izin penulisan,
maka disinilah nampak jelas bahwa pelarangan penulisan itu berlaku dikalangan
umum. Sedangkan dikalangan tertentu diperbolehkan menulis hadis. Jadi ada
pengecualian dan penentuan penulisan hadis dikalangan sahabat dan tidak seluruh
sahabat dapat menulis hadis Nabi.
Ada dua
indikasi penting mengapa dua kelompok ini muncul, yaitu pertama, supaya tidak
terjadi pencampuran al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an. Hal ini mengandung
maksud bahwa sahabat-sahabat yang asing dengan gaya bahasa al-Qur’an nantinya
sulit untuk membedakan mana yang merupakan gaya bahasa al-Qur’an dengan yang
bukan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua, kemungkinan yang terbesar, diantara sahabat
belum banyak yang pandai dan piawai dalam tradisi tulis-menulis. Selain itu,
yang mahir hanya diperuntukkan untuk menulis al-Qur’an saja.[4]
Selain itu ada
indikasi yang kuat tentang tradisi tulis-menulis sudah ada pada masa Nabi dan
sahabat dengan adanya suhuf-suhuf, antara lain: a. Shahifah Sa’ad Ibnu Ubaidah
Al-Ansari, b. Nukhsas yang memuat hadis-hadis milik Samurah bin Jundab (w.
60H), c. Shahifah milik Jabiribn Abdullah (w. 78H), d. Shahifah as-Shadiqah milik Amr bin Ash. Dengan
bulti-bukti diatas maka jelaslah bahwa penulisan hadis pada masa nabi dan
sahabat telah dimulai dan sudah ada tradisi penulisan. Hal ini sudah cukup
untuk meyakinkan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa pada masa nabi
belum ada tradisi penulisan hadist.[5]
2.
Zaman Khulafaur Rasyidin (abad pertama hijriyah termasuk didalamnya
penulisan hadist pada masa Umar bin Abdul Aziz)
Pada masa yang
kedua ini, terlebih pada masa pra penulisan resmi masa Khulafaur Rasyidin sikap
hati-hati menjadi prioritas utama. Belum ada indikasi yang jelas terhadap perintah
penulisan secara resmi. Abu Bakar misalnya, meskipun ia memiliki beberapa Hadis
yang dihimpun, ia malah membakarnya. Demikian juga Umar bin Khattab, yang
semula bermaksud untuk mencatat hadis, kemudian secara terus-menerus ia
mempertimbangkannya. Hanya saja pada masa Umar baru menerima riwayat hadis,
setelah sahabat lain menyatakan pula pernah mendengarnya.[6]
Pada masa dua
khalifah terakhir, sikap kehati-hatian tetap menjadi prioritas utama, walaupun
tidak sekeras yang dilakukan Umar bin Khattab. Secara keseluruhan, mereka hanya
menerima melalui riwayat-riwayat sahabat yang lainnya. Sekiranya mereka tidak
mengetahui hadis yang disampaikan oleh sahabat, sahabat tersebut disuruh
bersumpah atau mendatangkan saksi guna memastikan bahwa hadis itu benar.
Pada
pemerintahan Ali masa pertikaian antar Ali dan Muawiyah membawa dampak yang
sangat signifikan seputar periwayatan hadis. Pada masa inilah kegiatan
pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang. Pada mulanya, faktor yang
mendorong seorang memalsukan hadis adalah kepentingan politik-pertentangan
politik antara Ali dan Muawiyah ibn Abi Sofyan. Para pendukung mereka berusaha
untuk memenangkan perjuangan mereka, salah satunya dengan membuat hadis palsu.
Selanjutnya
adalah kepentingan ekonomi, keinginan untuk menyenangkan hati pejabat dan
lain-lain. Telah ikut juga menyemarakkan pembuatan hadis-hadis palsu. Bahkan,
sejumlah mubaliq pada masa itu baranggapan bahwa untuk kepentingan dakwah dapat
juga dilakukan dengan pembuatan hadis palsu.[7]Bersamaan
dengan keadaan tersebut, kegiatan periwayatn hadis pada masa sesudah khulafaur
rasyidin terus berlangsung. Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis tidak lagi
menjadi ciri yang menonjol. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa
periwayatan hadis dalam meriwayatkan hadis secara hati-hati tidak sedikit
jumlahnya.
Kebebasan yang
masih dalam garis periwayatan, terus berlangsung sampai pada masa penulisan
hadis yang resmi dan masal di masa Umar Bin Abdul Aziz (99H-101H). Dikatakan
resmi karena kegiatan penghimpunan hadis merupakan kebijaksanaan dari kepala
negara. Dan dikatakan massal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada
para gubernur dan ulama hadis pada masa itu.
Berbeda dengan
apa yang dikatakan oleh Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib dalam disertasi maupun tesisnya
bahwa penulisan hadis secara resmi berlangsung pada masa Abdul Aziz ibn Marwan.
Asumsi ini didasarkan pada saat ia menjadi gubernur, melalui sebuah surat ia
meminta kepada Kasir ibn Murrah, seorang tabi;in di Hims, untuk mencatat
berbagai hadis yang diriwayatkan oleh sahabat selain Abu Hurairah, karena ia
telah memiliki catatannya. Namun apa yang diungkapkan oleh ‘Ajjaj Al-Qur’an
Khatib tidak seluruhnya benar, bahkan dari sisi lain, pendapat ini memiliki
kelemahan dalam beberapa hal.[8]
Walaupun
demikian bukan berarti bahwa antara surat perintah yang diberikan oleh Abdul
Aziz ibn Marwan dan Umar Bin Abdul Aziz ini tidak ada hubungan sama sekali.
Sangat mungkin, surat Abdul Aziz itu memberikan inspirasi atau setidaknya
menambah dorongan kepada Umar bin Abdul Aziz selaku kepala negara untuk membuat
surat perintah dalam penulisan hadis.
Ada hal yang
juga menjadikan pertimbangan, yaitu keinginannya untuk menghimpun hadis telah
ada ketika Umar Bin Abdul Aziz menjadi gubernur di Madinah pada saat
pemerintahan Al-Walid ibn Abd Al-Walid (86-96H=705-715M). Pada saat itu, ia
menyadari bahwa hanya berbekal kedudukan sebagai gubernur, ia belum mampu
mengatasi perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan penulisan hadis. Selain
dari pada itu, daerah jangkauan perintahnya tidak akan meluas jika hanya
berbekal kedudukan sebagai gubernur.
Pada waktu Umar
Bin Abdul Aziz memerintah sebagai khalifah (99-101H), secara resmi
memerintahkan para ulama diseluruh penjuru dunia islam untuk menuliskan dan
membukukan hadis Nabi. Semua pegawai dan qadi dibebani tugas ini guna menjaga hadis-hadis Nabi supaya tidak
hilang sesudah wafatnya para ulama yang ahli dalam bidang ilmu hadis.
Ada beberapa
sebab yang melatar belakangi penulisan hadis, salah satu sebab diantara
beberapa sebab adalah kekhawatiran akan punahnya pengetahuan hadis dan wafatnya
para ahli hadis. Itu terlihat dari perkataan beliau kepada penduduk kota
Madinah yang berbunyi, “Unzhuru ma kana min hadis Rasulullah Faktubuhu fa
‘inni Khiftu durus al-‘ilm wa dhihab Al-‘ahlih”[9].
Maka sejak diedarkannya perintah ini, secara resmi penulisan hadis dimulai.
Sebelum
khalifah Umar Bin Abdul Aziz wafat (w. 101H), orang yang pertama kali memenuhi
dan mewujudkan keinginannya adalah seorang ahli hadis di Hijaz yang bernama
Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab az-Zuhri Al-Qur’an Madani (w. 124H).[10]
Ia menghimpun hadis dalam sebuah kitab, dan oleh khalifah dikirimkan catatannya
itu ke setiap penjuru wilayah. Dalam perkataannya, ia menyatakan bahwa tiada
seorang pun yang membukukan ini sebelum aku.
Dari sini
muncul persoalan apakah ada muatan politik dibalik penulisan yang dilakukan
oleh Ibn Syihab terhadap pemegang kekuasaan yang ada pada saat itu?. Untuk
menjawab pertanyaan ini, perlulah untuk mengacu terhadap apa yang dikatakan Ibn
Syihab seperti apa yang telah dikutip oleh Ibn Sa’ad menyatakan,”Kami benci
ilmu (ilmu hadis), sampai para ‘Amir memaksa kami menulisnya. Selanjutnya kami
sadar, tak ada seorang pun dikalangan kaum muslimin yang menentangnya.
Meskipun dalam
perkataan diatas secara khusus tertuju pada Ibn Syihab, tetapi secara umum
berlaku pada seluruh sahabat dan tabi’in yang ada pada saat itu untuk
menuliskan hadis. Selain dari faktor pemaksaan penguasa untuk pelaksanaan penulisan hadis, ada faktor yang lain, yaitu
untuk membedakan hadis-hadis Nabi dari ucapan palsu yang diatas namakan
padanya. Dalam hal ini, Ibn Shihab mengatakan,”Seandainya hadis-hadis tidak
datang kepada kami dari arah timur yang tidak kami ketahui, maka aku tidak akan
menulis hadis dan tidak pula mengizinkan penulisannya.[11]
Pendapat
Az-Zuhri ini mencerminkan pendapat sebagian besar ulama pada saat itu.
Keinginan agar sabda Nabi tidak terlantar sama besarnya dengan kekhawatiran
terhadap hadis Nabi yang tersampaikan secara tidak benar. Apa yang dilakukan
oleh Az-Zuhri dan sahabat-sahabatnya pada saat itu, menjadi dasar pijakan
terhadap penulisan hadis pada generasi berikutnya.
3.
Abad kedua Hijriyah
Meskipun
khalifah Umar Bin Abdul Aziz telah wafat, setelah priode Abu Bakar bin Hazm dan
Ibnu Syihab berlalu kegiatan penulisan hadist terus berlangsung. Dengan
berdasarkan landasan pada hasil yang dicapai pada akhir abad yang pertama, para
alim dalam bidang hadis meneruskan kerja penulisan dan pembukuan hadis yang
dirintis sebelumnya. Mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa
sahabat dan tabi’in juga dimasukkan kedalam kitab-kitab mereka, sehingga dalam
kitab-kitab itu terdapat hadis marfu’, mawquf dan maqtu’.
Diantara para
alim yang muncul pada abad kedua dengan disertai kitab susunannya, antara lain:
a.
Di Makkah: Ibn Juraij Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz (w. 150H).
b.
Di Madinah: Muhammad ibn Ishaq dengan kitabnya al-Maghazi wa
al-Syiar (w. 151H) dan Imam Malik dengan kitabnya al-muwaththa’ ( w 179
H).
c.
Di Basrah: Ar-Rabih bin Sabih (w. 160H) dan Hammad bin Salamah ( w.
176 H).
d.
Di Kufah: Sufyan As-Saury (w. 167H).
e.
Di Syam: Al-Qur’an Awza’i Abd Rahman ibn ‘Amr (w. 153H).
f.
Di Khurasan: ‘Abdullah ibn Mubarak (w. 175H).
4.
Abad ketiga Hijriyah ( Metode Penyaringan Al-Hadis dari
Fatwa-Fatwa)
Di permulaan
abad ketiga para ahli hadis berusaha menyisihkan Al-hadis dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in. mereka berusaha membukukan hadis Rosulullah semata. Untuk
tujuan yang mulia itu mereka mulai menyusun kitan-kitab Musnad yang bersih dari
fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulam ahli hadis seperti : Musa al-Abbasyi,
Musaddad Al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Hammad Al-Khaza’iy yang
menyusun kitab Musnad.
Pendewaan hadis shahih semata-mata pada pertengahan abad ketiga :
a.
Muhammad bin Ismail Al-Bukhory ( 194-256 H) dengan kitab hadisnya
yang terkenal Shahihul Bukhori atau Al-Jami’us Shahih
b.
Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim AL-Qusyairy ( 204-261 H) dengan
kitabnya bernama Shahihul Muslim atau Al-Jami ush shahih
Disamping kitab-kitab
Musnad, muncul pula pada abad ketiga ini kitab-kitab Sunan ( yang mencangkup
seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dhlaif dan Mungkar), seperti Sunan Abu
Dawud, Sunan At-Turmudzy, Sunan An-Nasaiy dan Sunan Ibnu Majah.
5.
Abad keempat (Periode menghafadh dan mengisnadkan hadist
mutaqoddimin)
Pada abad ini ulama
mutaakhirin ( ulama abad ke 4 dan seterusnya) menghafal dan menyelidiki
sanadnya. Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadis yang
telah terdewan itu, hingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup
menghafal berates-ratus ribu hadis. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam
gelar keahlian dalam bidang ilmu Hadis, seperti
gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidz[12].
a.
Kitab –kitab yang masyhur hasil ulama karya abad keempat,
1). Mu’jamul Kabir
2). Mu’jamul Ausath
3). Mu’jamush shahir, ketiganya adalah karya Imam Sulaiman
bin Ahmad at-Thabarany (w. 360 H)
4). Sunan Ad-Daruquthny, karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar
bin Ahmad ad-Daruquthny ( 306-385 H)
5). Shahih
Abi Auwanah karya Abu Auwanah Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim AL-Asfarayniy (
w.354 H)
6). Shahih
ibn Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq ( w 316 H)
6.
Abad kelima dan seterusnya ( Masa Penyempurnaan
Sistem Kodifikasi Hadits)
Pada masa-masa
sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun ketahun semakin
menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari
para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan
hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam
membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang
menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada
masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih menyempurnakan susunan
pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis
dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu
mereka memberikan
pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh
ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah
kepada pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi
terhadap kita-kitab yang sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
a. kitab-kitab hadis tentang hukum[13]. Meliputi:
1). Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali
al-Baihaqi (384-458 H.)
2. Muntaqal Akhbar, karya Majdudin
al-Harrany (652 H).
3. Nailul Authar, sebagai syarah
(penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali as-Syaukani
(1172-1250 H).
b. kitab-kitab hadis
tentang targhib wattarhib, Meliputi:
1). Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin
Abd Adzim al-Mundziry (656 H).
2). Dalil al-Fatihin, sebagai Syarah
dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu Allan al-Siddiqy (1057 H).
c. kamus-kamus hadis
untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:
1) Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin
Suyuthi (849-911 H).
2). Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala
Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul Ghani.
3). Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr.
J.F. Mensing
C.
Persoalan Tentang Kodifikasi Hadis
Bila melihat dari periodisasi dari
penulisan hadis, maka akan dapat diketahui bahwa kodifikasi hadis secara resmi
pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz (w. 101H) dengan hasil monomental
prestasi az-Zuhri. Menurut sebagian pendapat bahwa hadis yang dihimpun oleh
Az-Zuhri adalah hadis-hadis yang berkisar tentang perang (Maghazi). Kaum
orientalis mengatakan bahwa hadis-hadis yang berkisar tentang perang, adalah
suatu legitimasi terhadap kekuasaan yang ada.[14]
Bahkan mereka menyoroti az-Zuhri sebagai pengumpul hadis Maghazi, berusaha
untuk melegitimasi kekuasaan bani
Umayyah yang bertengger pada masa itu. Terlepas dari benar salahnya analisa
orientalis, yang jelas kebijaksanaan penguasa terhadap suatu keputusan, membawa
unsur politik kekuasaan yang ada pada saat itu.
Perlu diingat bahwa kodifikasi hadis
yang ada pada masa Umar Ibn Abdul Aziz tidak berupa sebuah kumpulan kitab yang
utuh, akan tetapi masih berupa catatan-catatan yang terpisah dan masih
mengalami proses yang lama. Usaha-usaha ini berlangsung terus-menerus sampai
pada masa pemerintahan Abbasiyyah.[15]
Pada masa pemerintahan Abbasiyyah
pergolakan politik serta usaha-usaha untuk memalsukan hadis kian marak dan
sebagai puncaknya banyak muncul kitab-kitab yang menerangkan tentang adanya
hadis maudhu’. Selain dari itu, hadis-hadis yang terkumpul pada masa itu, belum
terpisah secara baik. Masih banyak diantara karya-karya hadis, kitab Muwatta’
karya Imam Malik misalnya, masih memuat hadis-hadis yang bercampur. Dalam kitab
ini, masih banyak ditemukan hadis-hadis yang bercampur, baik itu hadis shahih,
mauquf, maqthu’ ataupun fatwa sahabat. Berdasarkan pada kenyataan ini, Imam
Syafi’i berusaha untuk memisahkan dan membedakan antara hadis-hadis yang
shahih, mauquf, maqthu’ maupun fatwa sahabat. Ia berusaha untuk menjadikan
hadis ahad sebagai hujjah dan menempatkannya sebagai sumber hukum kedua setelah
al-Qur’an. Upaya ini berlaku sebagai jembatan antara ahli ra’yu dan ahli hadis.[16]
D.
Analisa Terhadap Tertundanya Penulisan Hadis
Ada dua hal yang penting yang perlu
dicermati, yaitu: menurut pendapat yang umum bahwa tradisi periwayatan hadis
secara lisan berlangsung selama kurang lebih seratus tahun. Demikian juga
perintah Umar Bin Abdul Aziz terhadap az-Zuhri untuk mencatatkan hadis-hadis.
Pada bagian yang pertama, bahwa
tradisi periwayatan secara lisan dalam masa kurang lebih seratus tahun kurang
beralasan. Hal ini disebabkan tradisi tulis-menulis sudah terjadi pada masa
Nabi atau bahkan sebelum itu. Demikian pula ketika Nabi memerintahkan untuk
tidak menulis selain al-Qur’an, bukankah itu merupakan indikasi bahwa banyak
diantara sahabat yang sudah pandai menulis.
Demikian juga anggapan umum tentang
terlambatnya pencatatan hadis yang juga bersumber dari hadis-hadis yang
melarang kitabah (penulisan hadis). Memang terhadap hadis yang melarang kitabah
segala sesuatu yang selain al-Qur’an pada umumnya dan hadis-hadis pada
khususnya. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat, yaitu: Abu
Sa’id Al-Khudry, Abu Hurairah, Zayd Ibn Tsabit tentang larangan penulisan
hadist masih dipertentangkan derajat validitasnya. Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Za’id Bin Tsabit mempunyai cacat, sedangkan
hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudry digugat oleh pakar setingkat
al-Qur’an Bukhari.[17]
Selain dari itu, ada faktor intern
yang berasal dari kalangan muhaddisin yang salah memberi informasi tentang nama pengumpul pertama hadis, yang
sebenarnya hidup pada pertengahan paruh
abad kedua atau akhir abad kedua hijriyah.
Disamping itu adanya miskonsepsi dan
misinterpretasi atas istilah-istilah semacam tadwin (pengumpulan), tasnif
(klasifikasi), dan kitabah (penulisan). Juga terjadi misinterpretasi
tentang kata haddasana (ia meriwayatkan kepada kami), akhbarana
(ia mengabarkan kepada kami), dan ‘an (diriwayatkan dari kami), yang
pada umumnya dipahami dalam pengertian secara lisan. Padahal menurut M.M Azami
ketiganya digunakan dalam metode dokumentasi, yang mengambil beberapa bentuk,
seperti penyalinan dari bentuk tertulis, penulisan dari guru ke murid,
periwayatan dokumen secara lisan dan diterima atau direkamnya secara lisan oleh
murid-muridnya.[18]
Sedangkan pada bagian yang kedua,
yaitu perintah Umar Ibn Abdul Aziz kepada az-Zuhri, buka berarti bahwa ia tidak
mempunyai catatan hadis atau sebagaimana dituduhkan beberapa ahli tentang
hilangnya catatannya. Yang perlu menjadi catatan adalah sebelum az-Zuhri
diperintah oleh pihak penguasa, ia telah mempunyai catatan-catatan hadis. Hanya
saja, catatan hadis koleksi pribadi itu tidak berminat untuk dikonsumsi umum.
Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain ketika ia memiliki beberapa catatan
yang lain.
Ringkasnya, tidak ada bukti bahwa
larangan penulisan hadis didasarkan atas perintah Nabi. Hal ini hanya
didasarkan pada presepsi pribadi. Meskipun begitu, para sahabat atau tabi’in
yang semula menolak penulisan, justru terlibat langsung dalam penulisan hadis.
E.
Penentu Kebijakan Kodifikasi dan Ulama yang Terlibat di dalamnya
1.
Umar bin Abdul Aziz dan Kebijakannya
Nama Lengkapnya adalah Umar ibn Abd
al-A’ziz ibn Marwan ibn al-Hakam Ibn Abi al-Ats ibn Umayah ibn Abi al-Syams
al-Quraysyi al-Amani atau disebut juga dengan Abu Hafsh al-Madani al-Dimasyqi,
ia seorang Khalifah Bani Umayah yang kedelapan.
Khalifah yang sangat memerhatikan kesatuan umat islam dan sangat
memerhatikan Hadis-hadist Nabi ini umurnya tidak panjang sekitar 41 Tahun.
Dilahirkan tahun 61 Hijriyah dan meninggal pada bulan Rajab tahun 101 Hijriyah,
dan menjadi khalifah hanya dalam jangka waktu tiga tahun ( mulai 99-101
Hijriyah). Perannya dalam sejarah perkembangan hadis, disamping terkenal
sebagai khalifah pelopor yang memberikan intruksi untyk membukukan hadis,
secara pribadi ia juga merupakan asset dan mengambil bagian dalam kegiatan ini.
Menurut beberapa riwayat, Umar bin Abdul Aziz turut terlibat
mendiskusikan hadis-hadis yang sedang dihimpun, disamping ia sendiri memiliki
beberapa tulisan tentang hadis-hadis yang diterimanya.
Untuk keperluan hadis ini Umar memberikan intruksi kepada Abu Bakar
ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah, agar mengumpulkan dan
menghimpun hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abd- Rohman al-Ansari
dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Intruksi ini juga disampaikan kepada
Muhammad ibn Syihab az-Zuhry. Al-Zuhri menggalang agar para ulama hadis untuk
mengumpulkan hadis-hadis dimasing-masing daerah mereka, dan ia berhasil
menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang
kemudian dikirimkan oleh khalifah keberbagai daerah, untuk bahan penghimpunan
hadis selanjutnya.
2.
Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm dan Kiprahnya.
Nama lengkapnya
adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm al-Anshari al-Khazraj al-Najari
al-Madani. Nama panggilannya Abu Bakar atau Abu Muhammad. Ia meninggal tahun
117 Hijriyah ada pula yang mengatakan tahun 120 Hijriyah.
Dalam sejarah perkembangan hadis, ibn Hazm yang pada saat itu
sebagai gubernur Madinah, mendapat intruksi dari Umar ibn Abd al-A’ziz untuk menulis dan mengumpulkan hadis-hadis
Nabi
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Abu
Bakar ibn Muhammad ibn Hazm mendapat intruksi dari Umar ibn Abd al-A’ziz untuk menulis dan mengumpulkan hadis-hadis
Nabi yang ada pada Amrah binti binti Abd- Rohman al-Ansari dan al-Qasim ibn
Muhammad ibn Abu Bakar. Karena hanya menghimpun sebagian hadis yang ada pada
orang diatas, maka kitab hadis yang disusun oleh Abu Bakar ibn Muhammad ibn
HazmKurang lengkap dalam menghimpun hadis-hadis Nabi[19],
terutama hadis-hadis yang ada di Madinah. Sungguh pun demikian, kitab ini
merupakan kitab hadis pertama yang ditulis oleh perintah khalifah, tetapi
sayang tidak sampai ketangan kita.
3.
Muhammad ibn Syihab al-Zuhri
dan aktifitas kodifikasinya
Nama lengkapnya
Muhammad ibn Muslim ibn U’bayd Allah ibn Abd Allah ibn Syihab ibn Abd Allah ibn al-Harist ibn Zahrah
ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi az-Zuhriri . lahir tahun 50 Hijriyah dan
meninggal pada bulan Romadhon tahun 125 Hijriyah. Menurut penilaian Umar ibn
Abd al-A’ziz , ayyub, laytz, tidak ada
ulama yang lebih tinngi kemampuannya khususnya dibidang hadis dari pada
Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Karena kemampuannya dibidang ilmu agama, ia
mendapat gelar, yaitu al-faqih, al-hafizh al-madani, alim al-Hijaz wa
al-syam, dan salah seorang dari pemimpin dunia.
Dalam
sejarah perkembangan hadis, sebagaimana Abu Bakar ibn Hazm, al-Zuhry mendapat
kepercayaan dari khalifah untuk mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Hasil karyanya oleh para ulama dinilai baik dan lengkap.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN :
1. Adanya larangan dan perintah menulis hadis oleh Nabi pada priode
awal yang terkesan sangat rancu dan bertolak belakang, bukanlah merupakan
nash-nash yang saling bertentangan. Sebenarnya larangan menulis hadis pada periode
Nabi bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan kepada para sahabat pada
umumnya. Namun diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik hafalannya,
dan ada yang bagus tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, Rasulullah
memberi izin khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan
akan situasi, kondisi dan sifat pribadi sahabat.
2. Kegigihan para sahabat, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam
menjaga, melestarikan, dan menyebarkan dua wasiat yang diwariskan oleh nabi
yang berupa al-qur’an dan hadis.
3. Dalam setiap perubahan dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai
titik yang lebih sempurna.
4. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan
melestarikan kedua pusaka itu dan mengajarkannya kepada generasi sesuadah kita.
DAFTAR
ISI
Idri. Studi
Hadist . Jakarta:
Kencana, 2010.
Yusof , Ismail. Kodifikasi
Hadis dan Sunnah Nabi: Sebuah Tinjauan Historis Singkat, “Jurnal Studi Islam Al-Hikmah” XV. Vol. VI/1996
Ismail , M.
Syuhudi. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah . Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Salam , Muhyiddin
Abdus. Pola
Pikir Imam Syafi’i . Jakarta:
Fikahati Aneska, 1995.
Rohman, Fatchur. Ikhtisar Mushthala
Hadis . Bandung : PT AL-Ma’arif,1970.
[1] Idri, Studi
Hadist (Jakarta: Kencana, 2010), 93.
[2]
Fatchur Rohman, Ikhtisar Mushthala Hadis (
Bandung : PT AL-Ma’arif,1970),46
[3]
Ibid.,47
[4] Ismail Yusof,” Kodifikasi Hadis dan Sunnah Nabi: Sebuah Tinjauan Historis Singkat, “Jurnal Studi
Islam Al-Hikmah” XV. Vol. VI/1996, 37.
[5] Seorang
Orientalis yang bernama Ignas Goldziher telah menggunakan kata sepakat bahwa
pada masa awal ini terdapat banyak data tentang suhuf, tetapi ia skeptis apakah
suhuf itu ditulis generasi
belakangan atau tidak. Lihat I. Goldziher, Muslim Studies, Edit, S.M.
StrenTrans. C.R. Barber (Chicago, 1971), Jilid II, p. 22ff.
[6] M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 41.
[7] Mustafa
As-Siba’iy, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasri’ Al-Islami ([t.tp],
ad-Dar Al-Qaumiyyah, 1966), 83-84.
[8] Ada tiga
alasan yang menjadikan lemah pendapat ini. Pertama, Jabatan Abdul Aziz bukanlah
kepala negara, melainkan seorang Gubernur. Kedua, tidak ada hubungan kedinasan
antar yang mengirim surat dan yang menerima surat, karena surat itu ditujukan
kepada ulama yang berada diluar Mesir. Ketiga, permintaan itu lebih bersifat
pribdi daripada kedinasan. Lihat Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 17.
[9] Ahmad Ibn.
‘Ali Ibn. Hajar Al-‘Asqalani, Fath Al-Bari’ fi Syarah Al-Bukhori
(Beirut: Dar Al-Fikr,[t.th]), Juz.I, 194-195.
[10] Ulama berbeda
pendapat tentang tahun kelahiran az-Zuhri. Ada yang mengatakan pada tahun
50,51,56,58H. Lihat Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahzib at-Tahzib (Beirut:Dar
al-Fikr, 1984), Juz. IX. 445.
[11] Al-Khatib
Al-Baqdadi, Taqyi Al-‘ilm. Tahqiq Yusuf Al-Isy (Damaskus:[t.tp],
1949), 108.
[14] M.M Azami, Studies
in Early Hadith Literature (Indiana Polis Indiana. 1978), 345.
[15] Mahmud Abu
Rayyah, ‘Adwa’ Ala Sunnah Al-Muhamadiyyah (Makar: Dar Al-Ma’arif,
[t.th]), 258-262.
[16] Muhyiddin
Abdus Salam, Pola Pikir Imam Syafi’i (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995),
95.
[17] M.M Azami, Studies
in Hadith Methodology and Literature (Indiana Polis Indiana: 1977), 45.
[18] Ibid.,
293-300. Sprenger, ahli hadis paling awal dikalangan orientalis, setuju dengan
pada penggunaan kata tersebut sebagai metode dokumentasi. Misalnya, kata haddasana,
tidak berarti mesti menggunakan lisan, karena sejak awal islam sudah menjadi
kebiasaan dikalangan kaum muslimin untuk mengacu pada pengarang daripada karya
A. Sprenger,” On The Origin And Progessof Writing down Historical Facts
Among the Musulman,” JASB, 25 (1856), 109.
[19]
Kodifikasi Hadis Nabi
No comments:
Post a Comment