Blog Archive

Thursday, October 27, 2016

IAT3 INKAR AL-SUNNAH Tutut Fatmawati (933801115)




INKAR AL-SUNNAH
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ULUMUL HADIS 3”
Dosen Pembimbing
Qaidatul Marhumah, M.Th.I
Description: Description: Description: index
Oleh:
Tutut Fatmawati (933801115)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
JAWA TIMUR

2016




KATA  PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum  Wr, Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat,taufik serta hidayahnya sehingga saya sebagai penulis dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits 3”.
Sholawat serta serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW,yang telah menuntun kita dari jalan kegelapan menuju jalan terang benerang yakni Addinul islam.
Dan tak lupa kami sebagai penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini.
Kami sadar dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saransangat kami harapkan untuk memperbaiki penyusunan makalah berikutnya.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.





Kediri, 04 Oktober 2016
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam adalah sistem nilai dan ajaran illahiyah yang bersifat transendental. Sebagai suatu sistem universal, Islam akan selalu hadir dinamis dan menyegarkan serta akan selalu mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Hal ini didasarkan pada sumber ajaran Islam yang kokoh yaitu Alquran, Hadits, dan Ijtihad.
Alquran adalah firman Allah SWT yang di dalamnya terkandung ajaran pokok untuk keperluan seluruh aspek kehidupan. Sunnah adalah segala sesuatu yang diidhafah-kan kepada Muhammad Saw yang berisi petunjuk  (pedoman) untuk kemaslahatan hidup umat manusia.
Karena keberadaannya sebagai sumber ajaran Islam. Alquran dan Sunnah telah menjadi fokus perhatian umat Islam sejak zaman Nabi sendiri sampai sekarang. Namun berbeda dengan Alquran, perkembangan Sunnah tidak semulus Alquran. Berbagai keraguan bahkan penolakan muncul seiring pertumbuhan studi terhadap Sunnah itu sendiri.
Keraguan  tersebut  lebih  memuncak  ketika  munculnya  golongan yang mengingkari Sunnah (inkarussunnah). Kelompok ini  memiliki argumentasi sendiri atas sikap mereka itu. Berdasar dengan argumen di atas maka dibuatlah makalah ini agar kita dapat memahami tentang sunnah  menurut para pengingkarnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Inkar al-Sunnah ?
2.      Bagaimana perkembangan Inkar al-Sunnah ?
3.      Bagaimana argumentasi kelompok inkar al-Sunnah ?
4.      Bagaimana Inkar al-Sunnah di wilayah regional ?
5.      Apa penyebab terjadinya Inkar al-Sunnah ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Inkar al-Sunnah ?
2.      Untuk mengetahui perkembangan Inkar al-Sunnah ?
3.      Untuk mengetahui argumentasi kelompok inkar al-Sunnah ?
4.      Untuk mengetahui Inkar al-Sunnah di wilayah regional ?
5.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya Inkar al-Sunnah ?























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Inkar Al-Sunnah
Inkar al-Sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar, menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan sunnah, menurut bahasa, mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak, “ suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik.
Secara definitif Inkar al-Sunnah dapat diartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sebagai sumber dan dasar syariat islam[1].
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Inkar Sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain-lain.
Sunnah yang diingkari adalah sunnah yang shahih baik secara substansial yakni sunnah praktis, pengalaman Al-Quran (Sunnah ‘amaliyah) maupun sunnah formal yaitu sunnah dikodifikasikan para ulama meliputi perbuatan, perkataan, dan persetujuan Nabi SAW, bisa jadi mereka menerima sunnah secara substansial tetapi menolak sunnah formal atau menolak seluruhnya[2].
B.     Sejarah Perkembangan Inkar Al-Sunnah
Sejarah perkembangan Inkar Sunnah hanya terjadi dua masa, yaitu masa klasik dan masa modern. Menurut Prof. Dr. M. Mushthafa Al-Azhami sejarah Inkar Sunnah klasik terjadi pada masa Asy-Syafi’i (w. 204 H) abad ke-2 H/7 M, kemudian hilang dari peredarannya selama kurang lebih 11 abad.
Kemudian pada abad modern inkar sunnah timbul kembali di India dan  Mesir dari abad 19 M./13 H sampai pada masa sekarang. Sedangkan pada masa pertengahan inkar sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluaskan kolonialisme ke negara-negara Islam dengan menaburkan fitnah dan mencoreng-coreng agama islam.[3]
a.       Inkar Sunnah Klasik
Inkar Sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i, yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum islam baik mutawatir atau pun ahad. Imam Syafi’i yang dikenal sebagai Hashir As-Sunnah (pembela sunnah) pernah didatangi oleh seseorang yang disebut sebagai ahli tentang madzhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik mutawatir maupu ahad. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’i dengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehinnga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi[4].
 Begitulah, jika kita jauh dari Nabi saw, semakin banyak orang-orang yang mencari pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi hanya dengan Al-Quran saja. Sampai tokoh ahli Hadis Ayyub al-Syakhtiyani berkta: “ Apabila anda mengajarkan hadis kepada seseorang, kemudian ia berkata, “Ajarilah kami dengan Al-Quran saja, tidak usah memakai hadis”, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah sesat dan menyesatkan”.[5]
Ada beberapa golongan yang menyikapi sunah Nabi secara universal, dan ada pula yang menolak hadis karena diriwayatkan oleh sahabat tertentu. Golongan yang pro dan kontra terhadap sunah ialah golongan Khawarij, golongan Mu’tazilah, dan golongan Syi’ah. Mengenai sikap-sikap glongan tersebut di bawah ini akan diuraikan secara sekilas, yaitu sebagai berikut:[6]
1.      Golongan Khawarij
Dari bentuk kebahasaan, kata khawarij adalah bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti (sesuatu yang keluar). Sementara menurut pengertian terminologis, khawarij adalah kelompok atau golongan yang keluar dan tidak loyal kepada pemimpinnya yang sah. Dan yang dimaksud khawarij di sini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Apakah khawarij menolak sunnah? Menurut Musthfa al-Siba’i menuturkan bahwa Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah) diterima oleh kelompok khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi sudah keluar dari islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu ditolak oleh kelompo khawarij.[7]
2.      Golongan Syi’ah
Sebagian besar golongan Syi’ah, yang dimaksudkan di sini ialah mereka yang masih berbeda dalam lingkungan islam, mendiskualifikasikan (menanggap tidak cakap dan mampu) kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, serta umumnya para sahabat yang menjadi pengikut mereka ini, Mu’awiyah dan Amr ibnu ‘Ash, serta sahabat lain yang terlibat dalam perampasan kekhalifahan Ali.
Lebih jauh, kaum Syi’ah sesungguhnya mendiskualifikasikan umumnya para sahabat, kecuali beberapa orang yang dikenal kecintaannya kepada Ali. Mereka menolak al-sunnah umumnya dari sahabat, kecuali yang diturunkan oleh para pengikut Ali. Jadi jelas, bahwa sejak masa lalu, umat islam sepakat untuk menerima hadis dan dijadikannya sebagai sumber hokum islam yang wajib dipatuhi.
Pada masa lalu juga sudah terdapat sejumlah orang atau kelompok yang menolak hadis, tetapi hal itu lenyap pada akhir abad ke-3. Penolakan hadis ini muncul kembali pada abad ke-13 hijriah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan Barat.[8]
3.      Golongan Mu’tazilah
Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah “sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksud di sini adalah golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat islam karena mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir.
Apakah mu’tazilah menolak sunnah? Syeikh Muhammad al-Khudhari Bik berpendapat bahwa mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam al-Syafi’i dengan kelompok yang mengingkari Sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Bashrah Iraq adalah Mu’tazilah. Imam syafi’i memang menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa orang yang menolak sunnah itu.
Sementara sumber-sumber yang mnenerangkan sikap mu’tazilah terhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mu’tazilah menerima sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima sebagian saja.[9]
Dalam kajian Ilmu Kalam, mu’tazilah dikenal sebagai aliran akidah rasional. Karenanya tidak mengherankan bila kelompok yang tidak senang dengan kelompok mu’tazilah menuduh bahwa aliran ini mengingkari sunah Rasul. Ulama mu’tazilah yang tampaknya menolak sunah, yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar, yang populer dengan sebutan al-Nazham, al-Nazham mengingkari kemu’jizatan Al-Quran dari segi susunan bahasanya, mengingkari kemu’jizatan Nabi Muhammad, dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at islam.[10]
b.      Inkar Sunnah Modern
Pada abad ke-4 hijriah inkar sunnah muncul kembali, kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari inkar sunah klasik. Apabila inkar sunah klasik muncul di Bashrah Iraq akibat ketidaktahuan sebagian orang terhadap fungsi dan kedudukan hadis, maka inkar sunah modern muncul di Cairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia islam.[11]
Inkar Sunnah Modern banyak yang bersifat kelompok yang teroganisir, sementara tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu. Para penginkar sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun mereka telah diterangkan urgensi sunnah dalam islam. Bahkan diantara mereka ada yang tetap menyebarkan pemikirannya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.
 Syeikh Muhammad Abduh adalah salah seorang yang pertama kali melontarkan gagasan Inkar Sunnah pada masa modern. Beliau pernah berkata, “ umat islam pada masa sekarang ini tidak mempunya imam (pemimpin) selain al-Quran, dan islam yang benar adalah islam pada masa awal sebelum terjadinya fitnah”. Beliau juga berkata, “ umat islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kirab-kitab ini (kitab-kitab yang diajarkan di al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat islam tidak mungkin maju tanpa dengan semangat yang menjiwai umat islam abad pertama, yaitu al-Quran. Dan semua hal selain al-Quran akan menjadi kendala yang menghalangi antara al-Quran, ilmu serta amal.[12]
C.    Argumentasi Inkar Al-Sunnah
Memang  pemahaman Inkar Sunnah mempunyai beberapa argument yang dikemukakan untuk meyakinkan alirannya, baik pada zaman imam Syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argument itu ada yang berupa argument-argumen naqli (al-quran dan hadis) dan ada pula yang berupa argument aqli (selain al-quran dan hadis).[13]
a.       Naqli
Yang dimaksud dengan argument-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat al-quran saja. Tetapi, juga berupa sunnah atau hadis Nabi. Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berfaham inkar sunnah ternyata mengajukan sunnah dan hadis sebagai arguemen untuk membela faham mereka. Dari argument naqli yang mereka ajukan  salah satunya ialah:
1.      Al-Quran surat an-Nahl ayat 89:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

Artinya: “dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
2.      Dan Al-Quran surat al-An’am ayat 38
Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa semua persiapan agama telah tercakup, terperinci dan telah dijelaskan di dalam al-quran. Sehingga untuk menjelaskan agama tidak diperlukan keterangan dari selain al-quran yaitu sunnah atau hadis.
 Kalau masih  memerlukan keterangan yang lain selain al-quran, maka bertentangan dengan kandungan surat al-An’am diatas.[14] Menurut pengingkar sunnah, tata cara shalat tidaklah penting, jumlah rakaat, cara duduk, sujud, bacaan yang dibaca diserahkan kepada masing-masing pelaku shalat. Jadi, ibadah shalat boleh saja dilakukan dengan bahasa daerah.
 Dari argument yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa para pengingkar sunnah yang mengajarkan argument tersebut adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan al-quran kepada umatnya.
 Dalam al-quran dinyatakan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan unutk patuh kepada Rasulullah. Hal itu menurut para penginkar sunnah hanyalah berlaku pada zaman Rasulullah masih hidup, yakni ketika menjabat Ulul Amri berada di tangan beliau. Setelah beliau wafat, maka jabatan ulul amri berpindah kepada orang lain. Dan karenanya, kewajiban orang-orang yang beriman patuh kepada Nabi Muhammad menjadi gugur.[15]
b.      Aqli
Argument aqli adalah argument yang selain al-quran dan hadis. Walaupun sebagian dari argumen itu ada yang menyinggung sisi tertentu dari ayat-ayat al-quran ataupun hadis Nabi, namun karena yang dibahasnya bukanlah ayat ataupun matan hadisnya secara khusus, atau argument-argumen tersebut dimasukkan dalam argument aqli. Salah satunya adalah sebagai berikut:
1.      Al-Quran diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril dalam bahasa arab. Orang-orang yang memilik pengetahuan bahasa arab maupun memahami al-quran secara langsung, tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari hadis Nabi. Dengan demikian, hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk al-quran.
2.      Menurut Kasim Ahmad yang mengutip pernyataan Juynbol seorang orientalis. Bahwasannya banyak matan-matan hadis itu isinya bertentangan dengan al-quran, dan logika.
3.      Sedangkan menurut Taufiq Sidqi, tidak satupun hadis pada masa Nabi yang tercatat. Pencatatan terjadi setelah Nabi wafat, dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk memainkan dan merusak hadis sebagai mana yang telah terjadi.[16]
D.    Inkar Al-Sunnah di berbagai wilayah regional
a.       India
Pada abad yang lalu, india seluruhnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Kaum muslimin india pernah mengumumkan jihad untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Meskipun perjuangan dapat dipatahkan, namun agaknya Inggris waspada terhadap bahaya semangat jihad senjata. Oleh karena itu, inggris lalu membentuk kelompok ulama muslimin yang fatwanya antara lain mengingkari adanya jihad dengan senjata dalam islam.
 Caranya adalah dengan mengkritik dan menolak hadis-hadis yang membicarakan masalah jihad. Tokoh-tokoh kelompok muslimin ini adalah Garragh Ali dan Mirza Ghulam Ahmad.
b.      Mesir
Paham inkar sunnah pada masa modern ini lahir di Mesir dan India, dimana dua negeri tersebut merupakan pusat-pusat penyebaran ilmu dan peradaban islam pada masa modern. Sejak Baghdad di hancurkan oleh Hulagu pada abad ke-7 H, Cairo merupakan pusat penyebaran ilmu dan peradaban islam sampai sekarang. Karenanya agar ilmu dan peradaban islam itu tidak tersiar ke seluruh dunia, maka “Menara Pemancar” itu harus diruntuhkan lebih dulu.
c.       Indonesia
Faham inkar sunnah ini muncul di Indonesia sekitar tahun 1980-an yang lalu dengan mengadakan pengajian yag mereka sebut dengan kelompok Qur’ani (kelompok pengikut al-quran). Pengajian tersebut dipimpin oleh Haji Abdurrahman, yang bertempat tinggal di Pedurenan, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pengajian dimulai setelah maghrib. Pengikutnya banyak, lama kelamaan pengajian tersebut tidak mau memakai adzan dan iqamah karena menurut mereka tidak ada rujukannya dalam al-quran, serta seluruh  shalat menjadi dua rakaat saja.
Ajaran lain kelompok tersebut adalah tidak mau berpuasa pada bulan ramadhan kecuali bagi mereka yang langsung melihat bulan, berdadasarkan pemahaman mereka tentang ayat
Karena itu, barang siapa diantara kamuhadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (al-baqarah:185).
Mereka memahami ayat tersebut bahwa yang wajib berpuasa hanyalah orang yang melihat bulan saja (kemunculan bulan baru yang menunjukkan awal Ramadhan), sedangkan bagi yang tidak melihat bulan tidak wajib berpusa.
Akhirnya mereka tidak ada yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena mereka tidak melihat bulan. Pengajian tersebut, ternyata setelah dilacak tokohnya adalah orang Indonesia, yaitu saudara Lukman Saad yang bersasal dari Padang Panjang Sumatera Barat dan lulusan IAIN Yogyakarta.[17]
E.     Penyebab Inkar Al-Sunnah
Dalam uraian tentang perkembangan inkar sunnah, latar belakang timbulnya inkar sunnah adalah karena beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1.      Salah paham terhadap penafsiran al-quran
2.      Faktor dari sebab-sebab adanya inkar sunnah ialah terkait dengan adanya larangan Nabi, yang notabenya adalah sabda Nabi saw.
3.      Mereka merasa angkuh dan gengsi.[18]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Secara definitif Inkar al-Sunnah dapat diartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sebagai sumber dan dasar syariat islam.
2.      Sejarah inkar sunnah terjadi dua masa yaitu:
a.       Masa klasik
b.      Masa modern
3.      Argument-argumen inkar sunnah
a.       Aqli
b.      Naqli
4.      Inkar sunnah sudah terjadi di wilayah regional yaitu:
a.       India
b.      Mesir
c.       indonesia








DAFTAR PUSTAKA

Akib Muslim, Moh. Ilmu Mustalahul Hadis (kajian historis metodologis). Jawa Timur: Stain       Kediri Press, 2010.
Khaeruman, Badri. Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Mustafa Yaqub, Ali. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2008.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi .Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.
Sulaiman, Noor. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia, 2015.
Ismail, Syuhudi.  Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya . Jakarta: Gema Insani Press, 1995.





[1] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 200.
[2] Moh. Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis (Jawa Timur: Stain Kediri Press, 2010), 229.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2008),  29.
[4] Ibid, 30.
[5] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 40.
[6] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), 145.
[7] Moh. Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis, 238.
[8] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, 146.
[9] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 42.
[10] Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis, 239.
[11] Ibid, 240.
[12] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 47.
[13] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 15.
[14] Muh Zuhri, Hadis Nabi  (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 18.
[15] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, 17.
[16] Ibid, 18.

[17] Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis, 243.
[18] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, 14






















1 comment:

  1. mengapa dibedakan menjadi inkar sunnah klasik dan modern?

    ReplyDelete