Blog Archive

Thursday, October 27, 2016

IAT3 Periwayatan hadis



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Kaum muslimin memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadis Nabi. Mereka (para ulama khususnya) sangat bersemangat untuk menghafal, memindahkan dan menyampaikannya sejak masa-masa awal Islam. Di samping itu, mereka juga bersemangat untuk menghimpun dan mengkodifikannya.
Penghimpunan dan periwayatan hadis dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan ka’idah-ka’idah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadis tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadis Rasulullah  kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan: “Ilmu-ilmu hadis itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama”.
Didalam karya-karyanya ulama telah menjelaskan keilmuan yang berpengaruh besar dalam masalah hadis. Sehingga masing-masing ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan. Sebagai hasil penerapan keilmuan hadis ini, dibuat pengklasifikasian istilah-istilah pembahasan yang lebih khusus , agar masing-masing bisa dikaji secara lebih tuntas. 
Sedangkan dalam pembahasan periwayatan hadis yang bermuara pada Ulumul Hadis, ia mencakup; Tahammul dan Ada’ hadis, syarat-syarat dan metode-metodenya, dan sebagainya yang menyangkut dalam masalah ini.

B.         Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian periwayatan hadis?
2.      Bagaimana Tata-Tata Cara Penerimaan dan Penyampaian Hadis (kaifiyah tahammul wa ada’)?
BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Periwayatan Hadis
Dalam bahasa Arab, Kata ar-riwayat  adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti an-naql (penukilan), al-zikir (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al-istiqa (pemberian minum sampai puas).  Dan dalam bahasa Indonesia, kata riwayat yang berasal dari bahasa Arab itu mempunyai arti antara lain : cerita, sejarah dan tambo.
Secara istilah, atau menurut ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu pada pada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka ia tidak disebut sebagai orang yang melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis kepada orang lain, tetapi tidak menyebutkan rangkiaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dinyatakan sebagai orang yang melakukan periwayatan hadis.
Fachrur Rahman, dalam bukunya ikhtisar mushthalah al-hadis mendefenisikan periwayatan hadis adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadis oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.[1]
Hadis bersumber dari Nabi Muhammad SAW, yang disebut sebagai shahib ar-riwayah, di-wurud kan kepada sahabat sebagai rawi pertama atau thabaqah pertama dan kemudian thabaqah kedua, tabiin. Dan seterusnya, akhirnya di-tadwin oleh mudawwin sebagai rawi terahir pada diwan.

Jadi, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadis, yaitu :
1.   Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis.
2.   Kegiatan menyampaikan hadis tersebut kepada orang lain.
3.   Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.
Orang yang melakukan periwayatan hadis dinamai ar-rawi (periwayat), apa yang diriwayatkan disebut dengan al-marwiy, susunan rangkaian periwayatnya dinamai sanad atau biasa juga disebut isnad, dan kalimat yang disebutkan setelah sanaad adalah matn. Seperti hadis yang dicatat oleh para periwayat dan penghimpun hadis, misalnya al-Bukhariy, Muslim dan Abu Dawud, yang mereka catat bukan hanya sabda, perbuatan, taqrir, atau hal ihwal Nabi semata, melainkan juga rangkaian nama-nama periwayatnya (sanaad). Hadis yang dikemukakan secara lengkap matn dan sanaad biasa disebut dengan hadis musnad.
وحَدَّثَنَاأَبُوبَكْرِبْنُأَبِيشَيْبَةَحَدَّثَنَاغُنْدَرٌعَنْشُعْبَةَحوحَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُالْمُثَنَّىوَابْنُبَشَّارٍقَالَاحَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُجَعْفَرٍحَدَّثَنَاشُعْبَةُعَنْمَنْصُورٍعَنْرِبْعِيِّبْنِحِرَاشٍأَنَّهُسَمِعَعَلِيًّارَضِيَاللَّهُعَنْهُيَخْطُبُقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَاتَكْذِبُواعَلَيَّفَإِنَّهُمَنْيَكْذِبْعَلَيَّيَلِجْالنَّارَرواهمسلم         
Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu'bah (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Rib'i bin Hirasy bahwasanya dia mendengar Ali berkhuthbah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena siapa yang berdusta atas namaku niscaya dia masuk neraka." HR. Muslim[5]
Hubugan yang terjadi antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad  adalah hubungan penerimaan dan penyampaian riwayat hadis. Kedua kegiatan ini dalam istilah ilmu hadis disebut dengan tahammul wa ada’ al-hadis.[2]
B.         Tata-Tata Cara Penerimaan dan Penyampaian Hadis ( kaifiyah tahammul wa ada’)
1.      Pengertian Tahammul dan Ada.
Definisi tahammul ( تحمل ).Tahammul, menurut etimologis, adalah menerima , me-nanggung , penerimaan . Tahammul al-hadis ( تحملالحديث ), menurut terminologis, yaitu suatu kegiatan menerima, mendengar, dan mengambil hadis dari seorang guru (syaikh) dengan menggunakan beberapa metode-metode atau “cara-cara penerimaan hadis” (thuruq at-tahammul).
Definisi ada’ ( أداء ).  Ada’, menurut etimologis, adalah penyampaian , menyampaikan atau meriwayatkan . Ada’ al-hadis ( أداءالحديث ), menurut terminologis, yaitu suatu kegiatan menyampaikan dan meriwayatkan hadis kepada orang lain atau muridnya, dengan menggunakan lafadz-lafadz serta “bentuk penyampaian” (shighah al-ada’) yang digunakan oleh ahli hadis .
2.      Syarat-Syarat Tahammul
Ulama hadis telah membahas syarat-syarat umum sahnya seorang periwayat menerima dan menyampaikan hadis. Dalam hal ini dibedakan antara orang yang menerima hadis dan menyampaikannya.
Jumhur ulama Hadis menetapkan, dalam masalah tahammulul hadis[8] , tentang orang kafir yang menerima hadis sebelum Islam, sesudah itu ia Islam, lalu meriwayatkan Hadis yang ia dengar sebelum Islam, diterima riwayatnya. Diantaranya dalil ada orang kafir yang menerima hadis semasih kekafirannya, lalu meriwayatkan sesudah Islam ialah Jubair ibn Math’im. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Jubair mendengar Nabi SAW, membaca dalam shalatnya surat at-thur. Jubair  datang ke Madinah sebelum masuk Islam.
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُيُوسُفَقالأَخْبَرَنَامَالِكٌعَنْاِبنشهابعَنْمُحَمَّدِبْنِجُبَيْرِبْنِمُطْعِمٍعَنْأَبِيهِرَضِيَاللَّهُعَنْهُقَالَسَمِعْتُرسولاللهصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقراَفِيالْمَغْرِبِبِالطُّورِ
Artinya : Abdullah ibn Yusuf telah bercerita kepada kami, dia berkata : Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya dia berkata : saya mendengar Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam membaca surat “at Thur” di waktu shalat Maghrib”.
Demikian juga anak kecil dan orang fasiq. Jumhur Ulama berdalil dengan alasan bahwa kebanyakan ulama Islam menerima riwayat-riwayat shahabat  muda, seperti Al-Hasan, Al-Husin, Abdullah ibn Az-Zubair, Ibnu Abbas, An-Na’man ibn Busyair, As-Saib ibn Yazid,  Al-Miswar ibn Makhtamah dan lain-lain.
Dalam hal ini jumhur ulama memberi batasan umur anak kecil yang menerima riwayat, adalah anak kecil yang sudah bagus pendengarannya. Jumhur ulama lain pun berpendapat Menurut nukilan Al-Qadly ‘Iyadh, bahwa ahlul hadis membatasi dengan umur 5 tahun. Ibnush Shalah mengatakan bahwa : “ inilah yang berlaku diantara Ahlul Hadis, yakni menulis hadis yang diriwayatkan anak-anak yang berumur lima tahun”.
Dalil mereka, iyalah riwayat Bukhari dari Mahmud Rabie’ :
عَقَلْتُمِنَالنَّبِيصممَجَّةًمَجَّهَافِيوَجْهِيمِنْدَلْوٍوَاَنَاابْنُخَمْسِسِنِينَ
Artinya :  “Aku masih ingat siraman Nabi  dari timba kemukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kata Allamah Al-Alini dalam syarah Bukhari ; “maksud perkataan Bukhari bagus pendengaran bukan menjadi syarat”.
Namun demikian, para ulama berselisih pendapat shahnya batasan umur anak kecil yang mendengar hadis. Menurut Musa ibn Harun Al-Hammal apabila ia telah dapat membedakan antara lembu dan keledai.  Menurut Ahmad, apabila ia telah dapat memahami sesuatu.
Menurut Yahya ibn Ma’in, sekurang-kurang umur untuk menerima hadis ialah 15 tahun, karena Ibnu Umar ditolak oleh Nabi Muhammad untuk ikut dalam peperangan Uhud, sewaktu itu Ibnu Umar masih dalam umur 15 tahun.
Sebagai kesimpulan dari perselisihan itu, batasan umur anak kecil yang diterima hadisnya adalah : tamyiz, idrak, dan faham. Apabila ketiga itu telah ada dalam diri anak kecil sebelum berumur 15 tahun, diterimalah hadisnya.[3]
3.      Syarat-syarat ada’ (menyampaikan hadis)
Semua ulama Hadis, Ushul dan Fiqh, mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan riwayatnya, baik ia laki-laki maupun perempuan, syaratnya tersebut adalah:
a.      Beragama Islam
Dengan dalil :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. QS. Al-Hujuraat 6.
b.      Sudah Sampai Umur
Tidak dapat diterima riwayat anak-anak belum sampai umur, mengingat hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dari umar dan Ali :
diangkat kalam dari tiga orang : dari orang orang gila, yang digagahi akalnya hingga ia sembuh, dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa”.
Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadi akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali bagi dirinya.

c.       Keadilan
Menurut bahasa adalahmardli, maqbulusy syahadah. (orang yang diterima kesaksiannya).
Secara istilah, pendapat ulama diantaranya : orang yang terkumpul dalam ketententuan I         ni ; Islam, Taklif, sejahtera dari sebab-sebab yang merusak muruah dan ke fasikan.
d.      Kedhabitan
تَيَقُظُالرَّاوِىحِيْنَتَحَمُّلِهِوَفَهْمِهِلِمَاسَمِعَهُوَحَفِظَهُلِذَالِكَمِنْوَقْتِالتــَّحَمُّلِاِلَىوَقْتِاْلاَدَاءِ
Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.”
Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang didengarnya, dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak ia menerima sampai ia menceritakan kembali pada orang lain.

4.      Cara Penerimaan Dan Penyampaian Hadis
Pada umumnya, Ulama Hadis membagi kaifiyah tahammul wa ada’ kepada delapan macam. Yaitu :
a.      Sama’ Min Lafazh Asy-Syaikh
Ara sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih menyakinkan tentang terjadinya   pengungkapan riwayat. Yakni mendengarkansendiri perkataan gurunya, baik secara dikte (imlak), atau bukan. Baik dar hafalannya maupun dibaca tulisannya, walaupun mendengar dibalik hijab, asalkan berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah gurunya. Kemudian ia menyampaikan pada orang lain.[4]
Inilah mazhhab jumhur.
Menurut  pendapat Abu Bashtham Syu’bah Ibn Al-Hajjaj : “apabila seorang muhaddis menerangkan sesuatu hadis sedang engkau tak melihat mukanya, maka janganlah engkau meriwayatkan hadis itu, karena boleh jadi ia itu syetan yang merupakan diri dengan ahli hadis. Dia berkat : diceritakan kepada kami dan dikhabarkan kepada kami”.
Pendapat ini dibantah oleh jumhur, An-Nawawy menerangkan, bahwa ; “ Para shabat mendengar hadis dari Aisyah dan dari istri-istri Rasul yang lain, yang duduk dibelakang hijab dan mereka sahabat berpegang pada suara”.[5]

b.      Al-Qiraah ‘Ala Asy-Syaikh (‘aradh)
Murid membaca hadis di hadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan maupun ia mendengar dari orang yang meriwayatkannya.
c.       Al-Ijazah
Rekomendasi, yakni seorang ahli hadis membolehkan atau memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: Saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku.
d.      Al-Munawalah
Penyerahan, seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa hadis, atau sebuah kitab kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya agar sang murid meriwayatkan dari-nya.
e.       Al-Mukatabah
Penulisan, seorang guru/ahli hadis menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
f.       I’lâm Asy-Syeikh
Pemberitahuan guru, maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya
g.      Al-Washiyyah
wasiat, yaitu seorang guru mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Ulama sebagian membolehkan dan yang lain tidak membolehkan.
h.      Al-Wijâdah
Penemuan, yaitu seorang rawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syeikh itu, sedangkan hadis-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh siperawi.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orangyang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan susuna matan hadist,serta periwayatan secara makna harus secara lafadz.





DAFTAR PUSTAKA

Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, Bandung; Pustaka Setia
Hasbi Ash-Shadieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,jilid II, Jakarta; Bulan Bintang
Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut; Dar al-Masyriq
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Dan Hadis, Jakarta; PT Bulan Bintang
Maktabah syamilah
W.J.S Poerwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka
















KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PERIWAYATAN HADIS”
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada Akhirnya penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran demi kebaikan karya tulis ini pada masa mendatang sangat membantu penulis. Apabila ada kekurangan dari karya tulis ini, penulis mohon maaf. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Kediri,    Oktober 2016
Penyusun




Text Box: ii

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................        i
KATA PENGANTAR...........................................................................        ii
DAFTAR ISI..........................................................................................        iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................        1
A.    Latar Belakang......................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.................................................................        1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................        2
A.    Pengertian Periwayatan Hadis..............................................        2
B.     Tata-Tata Cara Penerimaan dan Penyampaian Hadis
( kaifiyah tahammul wa ada’)................................................        4         

BAB III PENUTUP...............................................................................        10
A.    Kesimpulan............................................................................        10

DAFTAR PUSTAKA



Text Box: iii

 



MAKALAH
PERIWAYATAN HADITS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
ULUMUL HADITS III

Dosen Pengampu:M.ThI.Qoidatul Marhumah


251685_230568223649742_6346369_n.jpg



Disusun Oleh:
ASRAR AMIN : 933805415

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016


[1][4] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, ( Bandung; Pustaka Setia) hlm. 84
[2]M. Syhudi Ismail, Opcit, hlm. 56
[3]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 40
[4]Badri Khaeruman, opcit. Hlm. 85
[5]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 42

No comments:

Post a Comment