Blog Archive

Tuesday, October 25, 2016

IAT3 INGKAR SUNAH Septiani Sirojatul Khikmati (933801315)



INGKAR SUNAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits 3


Dosen Pengampu :
Qoidatul Marhumah, M.Th.I



Disusun Oleh :

Septiani Sirojatul Khikmati                             (933801315)






JURUSAN USHULUDIN PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) KEDIRI
2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Umat Islam, baik yang ahli naql maupun yang ahli aql telah sepakat bahwa hadits atau sunah merupakan dasar hukum Islam, yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa memahami dan menguasai hadits, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Quran. Sebaliknya, siapapun tidak bisa memahami hadis tanpa memahami A-Quran karena Al-Quran merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadis merupakan dasar hukum ke dua, yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Quran. Dengan demikian, antara hadis dan Al-Quran memiliki kaitanyang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Karena keberadaannya sebagai sumber ajaran Islam. Alquran dan Sunnah telah menjadi fokus perhatian umat Islam sejak zaman Nabi sendiri sampai sekarang. Namunberbeda dengan Alquran, perkembangan Sunnah tidak semulus Alquran. Berbagai keraguan bahkan penolakan muncul seiring pertumbuhan studi terhadap Sunnah itu sendiri. Keraguan  tersebut  lebih  memuncak  ketika  munculnya  golongan yang mengingkari Sunnah (inkarussunnah). Kelompok ini  memiliki argumentasi sendiri atas sikap mereka itu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ingkar sunah?
2.      Bagaimana sejarah ingkar sunah?
3.      Bagaimana pokok-pokok ajaran ingkar sunah?
4.      Bagaimana argumen-argumen naqli?
5.      Bagaimana argumen-argumen aqli?




KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah  yang  berjudul “INGKAR SUNAH” inii dengan baik.
Disamping itu Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W. beserta keluarganya dan para shahabatnya yang dengan penuh kesetiaan telah mengobarkan syi’ar Islam yang manpaatnya masih terasa hingga saat ini.
Makalah ini sebagai syarat untuk  memenuhi tugas Ulumul Hadits 3. Penyusun menyadari bahwa makalah  ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun  harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan segala bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun. Juga tak lupa penyusun  sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kediri,  05 Oktober 2016



Penyusun
  
       




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian ingkar sunah
Arti bahasa “ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “ingkar dan sunnah”. Kata Ingkar sendiri berasal dari bahasa Arab Ankara,yunkaru, yang memiliki beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak menerima baik lisan dan di hati, bodoh dan tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati[1]. dalam firman Allah Q.S Yusuf : 38
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَآئِـي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَن نُّشْرِكَ بِاللّهِ مِن شَيْءٍ ذَلِكَ مِن فَضْلِ اللّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ -٣٨-
Artinya: “Dan saudara-saudara yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya”[2].
Al Askari memebedakan antara makna An Inkar dan Al Juhdu. kata An Inkar terdpat pada sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai dengan pengetahuan, Sedangkan Al Juhdu kebalikan dari An Inkari yaitu sesuatu yang tampak dan disertai dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu bisa jadi orang yang menolak sunnah atau mengikari sunnah tidak banyak mengetahui ilmu tentang ulumul hadist. Dan dapat disimpulkan dari beberapa kata ingkar diatas bahwa ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik itu lahir maupun lisan dan dilatarbelakangi dengan faktor ketidaktauannya atau ada faktor lain.
Selain itu orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadist disebut ahli bid’ah[3]. Mereka itu adalah kaum khawarij, mu’tazilah, dan lain-lain karena mereka itu umumnya menolak sunnah.
Adapun definisi ingkar sunnah menurut istilah yang sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya antara lain sebagai berikut :
1.      Paham yang timbul dalam masyarakat islam yang menolak hadist dan sunnah sebagai sumber ajaran agama islam kedua setelah Al-Qur’an.
2.      Paham yang timbul pada sebagian minoritas Umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari Sunnah shahih baik sunnah shahih baik sunah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir ataupun ahad dan mungkin sebagian saja, tanpa disertai dengan alasan yang dapat diterima.
Paham ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan baik sunnah baik sunnah mutawatir maupun ahad, atau menolak yang ahad saja dan atau sebagian saja. demikian penolakan sunnah tidak didasari oleh alasan yang kuat, jika dengan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh akal sehat, seperti para mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadist yang didapatkan, atau hadist itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhoifannya, atau karena ada tujuan yang syar’i yang lain[4]. maka itu tidak akan digolongkan ingkar sunnah.

B.     Sejarah ingkar Sunnah
Dalam sejarah ingkar sunnah hanya terjadi dalam 2 masa, yaitu masa klasik dan masa modern.
1.      Ingkar Sunnah Klasik
Ingkar sunnah Klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) abad ke 2H/ 7 M. Imam syafi’i yang dikenal sebagai nashir sunnah (pembela sunnah) pernah didatangi oleh seoramg yang disebut sebagi ahli mazhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik itu mutawatir atau ahad. Dia datang untuk berdebat atau berdiskusi dengan imam Asy-Syafi’i secara panjang lebar  dengan berbagai argumentasi yang diajukan[5] . Namun segala argumentasinya dapat dipatahkan oleh As-Syafi’i, dan akhirnya ia bertekuk lutut dan mau mengakui kehujjahan sunnah.
Muhammad Abu Zahra menarik kesimoulan secara garis besar da 3 kelompok yang mengingkari sunnah dan berhadapan dengan Asy-syafi’i.
yaitu :
1)      Menolak Al-Qur’an secara keseluruhan, golongan ini hanya mau mengakui Al-Qur’an yang dapat dijadikan hujjah.
2)      Tidak menerima sunnah kecuali, yang semakna dengan Al-Qur’an.
3)      Hanya menerima sunnah mutawatir saja dan menolak selain mutawatir yakni sunnah Ahad[6].
Dan dari beberpa penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa formulasi ingkar sunnah adalah mereka yang menolak sunnah secara total dan mereka yang menolak hadis ahad dan menerima hadist mutawatir. Para ahli hadist menyebut para kelompok ini sebagai kelompok ingkar sunnah, seperi yang dikatakan oleh imam syafi’i sebagai kelompok snnah klasikdan untuk membedakan antara kelompok ingkar sunnah yang muncul pada abad ke-14 yang disebut kelompok ingkar sunnah di abad modern[7].
2.      Ingkar Sunnah modern
Al Mawdudi yang dikutip oleh khadim Husen Ilahi Najasy seorang guru besar fakultas Tarbiyah Jamiah Ummi Al Qura Thaif, demikian juga dukutip dari beberapa ahli hadist juga mengatakan bahwa ingkar sunnah lahir kembali di India, setelah kelahirannya pertama di Irak masa Klasik. Tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan (w. 1897 M). Ciragh Ali (w.1898 M), Maulevi Abdullah Jakralevi (w.1918 M), Ahmad Ad-din Amratseri (w.1933 M), Aslam Cirachburri (w.1955 M). Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah, Sayyid Ahmad Khan sebagai penggagas sedangkan Ciragh Ali dan alinnya sebagai pelanjut ide-ide Abu Al-Hudzail pemikiran ingkar sunnah tersebut.
Sebab utamanya pada awal timbulnya Ingkar Sunnahmodern ini ialah akibat adanya pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam. Terutama di India setelah terjadinya pemberontakan melawan colonial Inggris 1857 M berbagai usaha dilakukan kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum, pemyimpangan aqidah melalui pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya mereka terhadap teori-teori barat untuk memberikan interpretasi hakekat islam.
C.     Pokok-Pokok Ajaran Ingkar Sunah
Diantara ajaran-ajaran pokoknya adalah sebagai berikut:
a.       Tidak percaya kepada semua hadits Nabi SAW
b.      Dasar hukum islam hanya Al-Qur’an
c.       Syahadat
Syahadat mereka : Isyhadu bi anna muslimun
d.      Shalat
Shalat mereka juga bermacam-macam, ada yang shalatnya dua rakaat-dua rakaat dan ada yang hanya eling saja
e.       Puasa Wajib
f.       Haji
Haji boleh dilakukan selama empat bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqa’idah, dan Zulhijah.
g.       Pakaian Ihram
Pakaian Ihram adalah pakaian Arab daj membuat repot. Oleh karena itu oara pengingkar sunnah berpendapat waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa.
h.      Rasul tetap di utus sampai hari kiamat
i.        Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran Al-Qur’an
j.        Orang yang meninggal dunia tidak di shalatkan karena tidak ada perintah dalam Al-Qur’an.
D.     Argumen-argumen Naqli
Secara totalitas banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan menguntip ayat-ayat Al-Qur’an. diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah.
Q.S An-Nahl ayat 89 :
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيداً عَلَى هَـؤُلاء وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ -٨٩-

artinya: “(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Lalu di lanjut Q.S Al-Anam ayat 38:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيداً عَلَى هَـؤُلاء وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ -٨٩-

Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tidaklah kami alpakan sesuatu dalam Al-Kitab[8] , kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
sunnah kedua ayat tersebut menunjukan bahwa Al-Qur’an telah mencangkup segala sesuatu berkenan dengan agama. Menurut mereka shalat lima waktu sehari semalam yang wajib didirikan dan yang sehubungan dengannya. Dasarnya bukanlah Sunnah atau hadits, melainkan ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya QS.Al-Baqarah :238, Al-Hud: 144, Al-isra: 78 dan 110, Taha: 130, Al-Hajj : 7, An-Nur: 58, Ar-Rum: 17-18.
Dalam kaitannya dengan tata cara shalat Kassim Ahmad pengingkar sunnah dari Malaysia menyatakan dalam bahasa Malaysia
kita telah membuktikan”
bahwa perintah sembahyang telah diberi oleh Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan kaumnya dan amalan ini telah diperuntukkan generasi demi generasi, hingga Muhammad dan umatnya.
E.      Argumen Aqli
a.       Al-Qur’an diwayuhkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui malaikat jibril) dalam bahasa Arab mampu memahami Al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan demikian hadits Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Al-Qur’an.
b.      Dalam sejarah umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat islam mundur karena umat Islam terpecah pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadits Nabi merupakan sumber kemunduran umat Islam; Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadits Nabi.
c.       Asal muasal hadits Nabi yang terhimpun dalam kita-kitab hadits adalah dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Dalam sejarah, sebagian hadits baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’ al  tabi’in (dibaca atba’ut-tabi’in), yakni sekitar empat puluh atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Kitab-kitab hadits yang terkenal, misalnya shahih al-Bukhari dan shahih Muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu. Disamping itu, banyak matan hadits yangt termuat dalam berbagai kita hadits, isinya bertentangan dengan Al-Qur’an ataupun logika.
d.      Menurut dikter Taufiq Sidqi, tiada satupun hadits Nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan hadits terjadi swetelah Nabi Wfat. Dlam masa itu tertulisnya hadits itu, manusia  berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits sebagai mana yang telah terjadi.
e.       Menurut pengikar sunnah, ktritik sanad yanng terkenal daalam ilmu haidits sangat lemah untuk menentukan keshahihan hadits dengan alasan sebagai berikut:
1)      Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah ‘Ilm al-jarh wa al-Ta’dil (Ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian pada periwayat hadits), baru muncul setelah satu setengah abad Nabi , al-tabi’in, dan atba’ al-tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
2)      Seluruh sahabat Nabi  sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad ke-4 H. Dengan Konsep ta’dil al shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan hadits.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat Al-Qur’an sebagai dalil yaitu[9], Q.S Yunus Ayat 36:
وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانَ قَالَ أَحَدُهُمَا إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً وَقَالَ الآخَرُ إِنِّي أَرَانِي أَحْمِلُ فَوْقَ رَأْسِي خُبْزاً تَأْكُلُ الطَّيْرُ مِنْهُ نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ -٣٦-

Artinya:”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali hanya persangkaan belaka, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai..”
Surat Al-Najm Ayat 28:
 وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً –٢٨-
Artinya: “Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.












BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain-lain.
Namun perlu ditekankan bahwa adanya Ingkar Sunnah setidaknya mengharuskan dilakukannya suatu pembelajaran kembali yang lebih matang mengenai tafsir Qur’an yang benar dan adanya peninjauan kembali untuk menghadirkan analisa-analisa terhadap kebenara-kebenaran penyampain hadits/sunnah yang tidak menekankan keterbukaan pemikiran yang sebenarnya dapat membantu kehidupan. Sehingganhidup yang dilandaskan pada Al-Qur’an dapat benar-Benar terrealisasikan tanpa adanya kekakuan pemikiran yang tidak terbuka terhadap pemahaman Al-Qur’an itu sendiri, sebab didalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang memerlukan penjelasan dari penerima wahyu itu sendiri.























DAFTAR PUSTAKA

Ali,ghafur. Hadist-hadits dan penerapannya, 2005. Jakarta:  Graamatia Publishing
H.Abdul, Khon. Ulumul Hadits . 2012. Jakarta: Amzah
Hasbi, Ash-shiddieqy, Teungku Muhammad. Sejarah dan pengantar ilmu hadits.2014.        Palembang:                  Pustaka Rizki Putra.
Nur, muhammad Susanto. Ulumul hadits dan makannya. 2007. Yogyakarta: Citra.
Suyitno. Studi ilmu-ilmu Hadits. 2008. Palembang: IAIN Raden Fatah Press


[1] Abdul Majid Khon, Ulumu Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal 27.
[2] Menurut sejarah ketika terjadi musim paceklik di Mesir dan sekitarnya, Maka atas anjuran Ya’qub, saudara-saudara yusuf datang dari kanaan ke Mesir menghadap pembesar-pembesar Mesir untuk meminta bantuan bahan makanan.
[3] Ibid, hlm 28.
[4] Abdul Muhdi, Al-madhkal ila, hlm. 323-328
[5] Asy-Syafi’i, A-umun, hlm. 220-255
[6] Ibid., Hlm. 31-32                              
[7] Rifat, Fauzi. Al-madkhal ila Tautsiq al-sunnah, (Mesir: Maktaba’an al sa’adah, 1987), hlm. 188
[8] sebagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. Dan ada pula yanng menafsirkannya dengan Al-Qur’an dengan arti: dalam Al-Qur’an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagian makhluk pada umumnya.
[9] Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Palembang: Iain Raden Fatah, 2008), hlm 227-228

No comments:

Post a Comment