Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas matakuliah
Ulumul Hadith 3
Dosen pengampu:
Qoidatul Marhumah. M. Th. I
Disusun oleh:
Haris Linailis Syafaat
IAT-A
NIM: (933803415)
JURUSAN
USULUDDIN
PROGRAM
STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
KEDIRI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadits, oleh
umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah Al-Qur’an. Dalam
tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan
dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara
struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat
global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai
problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada
hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki
kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau
dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits
yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak
sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan
Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits
Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas
keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat.
Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu
hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian hadits Shahih,?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih
Hasan dan Dhoif?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta
macam-macamnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadith Shahih
1.
Pengertian.
Sahih menurut bahasa berarti “ضِدُّ
السَّقِيْمِ” lawan dari sakit, secara hakikat kata ini digunakan untuk
bahasa sesuatu yang memlikiajsam, dan secara majas kata
ini digunkan dalam ilmu hadith dan
selainnya. Menurut istilahberarti : “satu hadits yang sanadnya bersambung dari
permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki
kemampuan mengapal yang sempurna dhabith. terpercaya darisyaddan
tidak ada illat.[1]
2.
Ciri-ciri Hadith Shahih.
Yang
dimaksud sanadnya bersambung yaitu bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadits
menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya keadaan itu berlangsung
seperti itu sampai akhir sanad dari hadits itu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadts shahih sejak perawi terakhir sampai
kepada para sahabat yang menerima hadits langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Bersambung dalam periwayatannya.
b.
Perawinya
adil.
Kata
adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak
meyimpan, tulus, dan jujur. Seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya
terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa
melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangannya, dan terjaganya sifat
muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya. Maka
yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam periwayatan sand hadits adalah
bahwa semua perawinya disamping harus islam dan balig, juga harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan
semua larangannya.
2. Senantiasa menjauhi dosa-dosa kecil.
3. Senantiasa memeliharaucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.
c. Para perawi bersifat dhabith (dhabith ar-ruwah)[3]
Maksudnya para perawi itu memiliki daya ingat hapalan yang kuat dan
sempurna. Daya ingat dan hapalan kuat sangat diperlukan dalam rangka menjaga
otentitas hadits, mengingat tidak seluruh hadits tercatat pada masa awal
perkembangan islam. Sifat dhabith ini ada dua macam :
· Dhabith dalam dada adh-dhabth fi as-shudur, artinya memiliki daya
ingat dan hapal yang kuat sejak ia menerima hadits dari seorang syaikh atau
seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya kepada orang lain atau
ia memiliki kemampuan untuk menyampaikannya kapan saja diperlukan kepada orang
lain.
· Dhabith dalam tulisan adh-dhabth fi suthur), artinya tulisan
haditsnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian,
dan kekurangan. Singkatnya tidak terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian
diubah dan diganti. Karena hal demikian akan mengundang keraguan atas ke-dhabith-an
seseorang.
d.
Tidak
syadz (janggal)
Tidak terjadi
kejanggalan syadadz, syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing,
atau menyalahi aturan. maksud syadadz disini adalah periwayatan orang yang
lebih tsiqah (terpercaya yakni adil dan dhabith) bertentangan dengan
periwayatan orang yang lebih tsiqah.
e.
Tidak
berillat (ghairu
mu’allal)
Ilat adalah suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai keshahihan
suatu hadith. Misalnya meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung)
terhadap hadith mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkanya) atau
terhadap hadith munqathi’ (yang gugur salah satu rawinya) dan
sebaliknya. Demikian juga, dapat dianggap suatu illat hadits, yaitu suatu
sisipan yang terdapat pada matan hadith.[4]
3.
Contoh
hadits shahih :[5]
مَا
أَخْرُجَهُ البخارى قال حدّثنا مسدد حدثنا معتمر قال : سمعت أبي قال : سمعت أنس بن
مالك رضي الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول : اللهم إني أعوذ بك
من العجز والكسل, والجبن والهرم, أعوذ بك من فتنة المحيا والممات, وأعوذ بك من
عذاب القبر.
Artinya : Hadits yang diriwayatkan oleh Al-bukhari, ia berkata
memberitakan kepada kami musaddad. Memberitakan kepada kami mu’tamir ia
berkata, : aku mendengar ayahku berkata : aku mendengar anas bin Malik berkata
: Nabi Muhammad SAW berdoa :“Ya Allah sesungguhnya mohon perlindungan kepada
Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan
kepada Engkau dari fitnah hidup dan menegaskan dengan dan aku mohon perlidungan
kepada Engkau dari adzab kubur.”
Hadits di atas dinilai
berkualitas shahih karena telah memenuhi beberapa lima kriteria, yaitu sebagai
berikut :
a.
Sanadnya
harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir. Contoh :
Anas seorang sahabat yang mendengar hadits ini dari nabi langsung. Sulaiman bin
Tarkhan bapaknya Mu’tamir menegaskan dengan kata as-sama’ (mendengar) dari
anas. Demikian juga Mu’tamir menegaskan dengan as-sama’ dari ayahnya. Musaddad
syaikhnya Al-bukhari juga menegaskan dengan kata as-sama’ dari Mu’tamir,
sedangkan Al-Bukhari menegaskan dengan as-sama’ dari syaikhnya.
b.
Semua
para perawi dalam sanad hadits diatas menurut ulama al-jarh wa at-ta’dil telah
memenuhi persyaratan adil dan dhabith.
c.
Hadits
diatas tidak syadz (janggal), karena tidak bertentangan dengan periwayatan
perawi lain yang lebih tsiqah.
d.
Tidak
terdapat illatghayru mu’allal.
e.
Para
perawi dalam sanadnya harus bersifat dzabit
4. Macam-Macam Hadits Shahih
Macam-macam hadits
shahih ada dua macam, yaitu :[6]
a. Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi 5
kriteria hadits shahih sebagaimana defenisi, contoh, dan keterangan diatas.
Yang dimaksud hadits lidzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna
persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hapalan perawi.
b. Shahih lighayrih (shahih karena yang lain), yaitu :
هُوَ اْلحَسَنُ لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ
آخَرَ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Artinya : Hadits shahih lighayrih adalah
hadits hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau
lebih kuat dari padanya.
Yaitu ingatan perawinya kurang sempurna (qalil ad-dhabt). Maka biasa
dikatakan bahwa sebenarnya hadits shahih asalnya bukan hadits shahih melainkan
hadits hasan lidzatih. Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya.
Contoh hadits shahih lighayrih adalah hadits riwayat Turmudzi melalui
jalur Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَ ةٍ
”seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan ku perintahkan
bersiwak setiapkali hendak melaksanakan shalat.”
5. Kehujjahan Hadits Shahih
Kehujjahan hadits
shahih yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib
diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama
hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih yang berkaitan dengan penetapan halal
atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah.
Ada beberapa pendapat ulama yang memperkuat kehujahan hadits shahih,
diantaranya sebagai berikut :[7]
a. Hadits shahih memberi faedah qhath’i (pasti kebenarannya) yang
terdapat didalam kitab shahihayn (Al-Bukhari dan Muslim).
b. Wajib menerima hadits shahih sekalipun tidak ada seorangpun yang
mengamalkannya, pendapat Al-Qasimi dalam qawa’id at-tahdits.
6. Martabat Hadith Shahih[8]
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Ø
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad
yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin
Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Ø
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad
hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti
periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ø
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad
hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan
Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi
dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan
muslim (muttafaq ‘alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
saja,
3) Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits
yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
5) Hadits
yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6) Hadits
yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits
yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan
lain-lain.
B. HADITH HASAN.
1. Pengertian.
Hasan menurut bahasa artinyasifat musbihat
dari kata hasan yang mengandung arti jamal keindahan. Menurut
istilah para ulama’ berbeda pendapat
mengenai ta’rif pengertian hadits hasan secara istilah karena melihat bahwa
hadits hasan itu berad di tengah-tengah antara hadits shahih dan dhaif.[9]
Definisi jami’ lagi mani’ serta melengkapi
segala unsurnya, ialah definisi yang dikemukakan jumhurul muhadditsin, yaitu :
hadits yang dinuqil oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatanya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ’illat serta kejanggalan pada
matanya.[10]
2. Ciri–ciri Hadith Hasan.
Dari definisi-definisi tersebut di atas
dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja
terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih, ingatan atau
daya hapalannya harus sempurna, sedangkan pada hadits hasan, ingatan atau daya
hapalannya kurang sempurna, dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadits hasan
dapat dirinci sebagai berikut :
a. Sanadnya bersambung.
b. Perwawinya adil.
c. Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an
perawi hadits hasan.
d. Tidak dapat kejanggalan (syadz).
e. Tidak ada cacat (illat).
3. Contoh Hadith Hasan.
Contoh hadith hasan misalnya: [11]
(الترمذي) حَدَّثَناَ محمد بن بشر
حدثنا عبد الرحمن بن مهذي حدثنا سفيان عن عبد الله بن محمد بن عقيل عن محمد بن
حنفية عن علي عن النبى صل الله عليه وسلم قال : مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ
وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
“Imam
Tirmidzi” : menceritakan kepada kami Muhammad bin Bassyar, menceritakan kepada
kami ’Abdurrahman bin Mahdi, menceritakan kepada kami Sufyan, dari ’Abdullah
bin Muhammad bin ’Aqil, Dari Muhammad Hanafiyyah, dari ’Ali r.a dari Nabi
shallahu Alaihi Wassalam bersabda : Kunci shalat ialah bersuci, dan yang
mengharamkan (memasukkan kedalam shalat) adalah takbir, dan yang menghalalkan
(mengeluarkan dari shalat adalah) salam.
Penjelasan :
·
Susunan hadith diatas dari perawi terahir
ialah :
1. Imam Tirmidzi
2. Muhammad bin Bassyar
3. Abdurrahman bin Mahdi
4. Sufyan
5. Abdullah bin Muhammad bin ’Aqil
6. Muhammad bin Al Hanafiyah
7. Ali r.a
8. Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam
·
Bila kita periksa sanad ini akan kita temukan
bahwa seluruh rijalul hadits yang tergabung didalamnya tergolong tsiqah (terpercaya),
hanya saja mengenai hafalan Abdullah bin Muhammad ’Aqil para ahli hadith masih
mempermasalahkannya.
·
Hadith diatas terhindar dari syadz maupun ’illat. Dengan demikian statusnya adalah hasan.
4. Macam-macam Hadith Hasan.
Sebagaimana hadith shahih terbagi menjadi dua macam, hadith
hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayrih.[12]
a. Hasan lidzatih
Hadith hasan lidzatih adalah hadits hasan
dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang
telah ditentukan. Hadith hasan lidzatih sebagaimana definisi dan
penjelasannya diatas.
b. Hadithhasan lighayrih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ
طَرِيْقٍ أٌخْرَى مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
“Hadits dhaif
jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرْكُهُ وَلَمْ
يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِى أَوْ كِذْبَهُ
“Hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab ke-dha’if-an
bukan karena fasik atau dustanya perawi.”
Dari
dua definisi diatas dapat difahami bahwa hadits dhaif bisa naik menjadi hasan
lighayrih dengan dua syarat, yaitu :
1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2. Sebab ke-dhaif-an hadits tidak berat seprti dusta dan fasik, tetapi
ringan seperti hafalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui
dengan jelas (majhul) identitas perawi.
Contoh
hadith hasan li ghairihi :[13]
(الترمذي) حَدَّثَناَ محمد بن بشر حدثنا يحيى بن سعيد و عبد الرحمن
بن مهذي و محمد بن جعفر قالوا حدثنا شعبة عن عاصم ابن عبيد الله قال سمعت عبيدالله
قال سمعت عبدالله بن عامر بن ربيعة عن ابيه أَنَّ إِمْرَأَةً مِنْ بَنِيْ فِرَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى
نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُالله صل الله عليه وسلم :أَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ
وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ قاَلَتْ نَعَمْ. قَالَ فَأَجاَزَهُ
Artinya : (Imam Tirmidzi) : menceritakan kepada kami Muhammad bin
Bassyar, menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi dan
Muhammad bin Ja’far, mereka berkata; menceritakan kepada kami Syubah dari
‘Ashim bin ‘ubaidillah ia berkata, aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah
dari Bapaknya : Bahwa seseorang perempuan dari bani fazarah menikah dengan
mahar dua terompah, kemudian Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam bersabd : Apakah engkau rela dirimu dan
hartamu dengan dua terompah ? perempuan itu menjawab : Ya. ‘Amir bin Rabiah
berkata : Kemudian Nabi Mengizinkanya.
Penjelasan :
·
Berikut ini urutan sanad hadits diatas :
1. Imam Tirmidzi
2. Muhammad bin Bassyar
3. Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi Muhammad bin Ja’far
4. Syubah
5. Ashim bin ‘Ubaidillah
6. Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah
7. Bapaknya (‘Amr bin Rabi’ah)
·
Dalam menilai hadith diatas, perhatian para
kritikus hadits lebih tertuju pada susunan personalia rjalnya, sebab disitu ada
‘Ashim bin Ubaidillah, salah seorang perawi yang dinyatakan lemah (dhaif)
oleh para ahli.
·
Imam Tirmidzi menyatakan hasan pada hadits
diatas engan memandang banyaknya jalur sanad lain yang mendukungnya.
5. Kehujjahan Hadith Hasan.
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah
walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin
dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat
ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukannya kedalam ahadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah.[14]
Tingkatan hadits hasan berada dibawah
tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukannya sebagai sumber ajaran islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum
apalagi dalam bidang akidah.
6. Kitab-kitab yang mengandung Hadits Hasan
Hadits hasan banyak kita dapatkan pada
sebagian kitab, diantaranya :[15]
-
Kitab jami’ At-Turmudzi
-
Sunan Abu Daud
-
Sunan Daruqhuti
C. Hadith Dhoif
1. Pengertian Hadits Dhoif
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari
Qawiyyu yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat
yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya:“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits
hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah
barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[16]
Para ulama memberikan
batasan bagi hadits dha’if :
الحديث
الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya: “hadits
dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.[17]
Jadi dapat
diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah,
yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal
dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits
hasan.
2. Tingkatan Hadith Dhoif
Dalam hadith dhoif ditemukan beberapa susunan sanad yang dipandang
sebagai “auhal asani” (sanad-sanad paling dha’if). Dalam hal ini al
Hakim mngutarakannya sebagai berikut :
a. Sanad yang paling dha’if bila di
nisbatkan pada Ibnnu Abbas r.a. adalah riwayat as Saudi as Shaghir
Muhammad bin Marwan dari al Kalbi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas r.a.
IbnuHajsr mengatakan ” susunan sanad ini adalah sililatul
kadzib (rantai pendusta) bukan silsilatul dzahab (rantai emas)”.
b. Sanad paling dhaif bila dinisbatkan pada ahli bait adalah riwayat ‘Amr
bin Syammar al Kufi dari Jabir bin Yazid al Ju’fi dari Harits bin Abdillah al
A’war dari Ali r.a.
c. Sanad paling dhaif bila di nisbatkan pada Abi Hurairah r.a. adalah
riwayat al Busri bin Isma’il dari Dawud bin Yazid al Audi dari bapaknya (Yazid)
dari Abu Hurairah r.a.[18]
3. Macam-macam Hadith Dhaif
a. Kedhaifan suatu hadis sebab tidak memenuhi syarat ketersambungan sanad
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Ø
Mu’allaq
Ø
Munqathi’
Ø
Mu’dhal
Ø
Mursal
Ø
Mudallas
b. Ketika syarat “keadilan rawi” tidak terpenuhi maka lahir bentuk
hadith-hadith dhaif berupa
Ø
Maudhu’
Ø
Matruk
Ø
Mungkar
Ø
Mubham
Ø
Majhul
Ø
Dhaif sebab perawinya ahli bid’ah atau
fasiq
c. Hadith-hadith dhaif sebab “sifat dhabith” tidak melekat pada perawinya,
berbentuk:
Ø
Mudraj
Ø
Maqlub
Ø
Mudhtharib
Ø
Mushahhaf
Ø
Muharraf
d. Bila persyaratan “selamat dari unsur Syad” tidak terpenuhi maka muncul
istilah hadith syadz
e. Bila yang tidak terpenuhi adalah syarat “ bebas dari ‘illat” maka lahir
hadith Mu’allal.[19]
4. Kehujjahan Hadith Dhoif.
Para ulama’ sepakat melarang meriwayatkan
hadith dhaif yang maudhu’ tanpa menyebutkan kemaudhu’annya.
Adapun kalau hadith dhaif itu bukan hadith
maudhu’ , maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk
berhujjah, hal ini dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
a. Melarang secara muthlak, meriwayatkan segala macam hadits dhaif, baik
untuk menetapkan hokum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini
dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu’ l’Araby.
b. Membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan
sebab-sebab kelemahanya, untuk memberi sugesti amalan utama, menerangkan
keutamaan amal (fadailul a’mal) dan cerita-cerita, seperti halal dan haram, dan
bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah (keinginan-keinginan).
c. Dalam mengamalkanya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut
benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkanya hanya semata-mata untuk
ikhtiyath (hati-hati) belaka.[20]
5.
Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if.
1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul
Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579 H)
2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits
Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti (911 H)
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An
Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad
Bun Iraq Al-Kannani (963 H)
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi,
karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( 751 H )
5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya
Ali Al-Qari ( 1014 H ).[21]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits ditinjau
dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, yaitu terbagi dalam tiga macam,
yaitu shahih, hasan, dhaif.
Hadits shahih
ialah hadits yang sempurna dari sanad dan matannya, dinukil (diriwayatkan) oleh
rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak
berillat dan tidak janggal.
Hadits hasan
ialah khobar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna
hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Hadits dhoif adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih
memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau
bukan.
DAFTAR PUSTAKA
Sholahudin, M. Agus. Dkk, Ulumul Hadits.
Bandung, Pustaka Setia. 2008
Ahmad, H. Muhammad. Dkk, Ulumul Hadits bandung
pustaka setia 2000.
Mudasir, Ilmu hadits, Pustaka Setia
: Bandung 1999
Khon, Abdul Majid,.Ulumul Hadits, Jakarta,Amzah. 2010
Mahmud Thahan, Taysir Musthalah Al
Hadith, markaz al madi liddirasah, 1415 H
Misbah A.B., Mutiara Ilmu Hadis,
Gresik: Mitra Pesantren, 2014
Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul
Hadits, Bandung: Al Ma’arif, 1974
[1]Mahmud Thahan, Taysir Musthalah Al Hadith,
(markaz al madi liddirasah, 1415 H) 30
[3]Misbah A.B., Mutiara Ilmu Hadis, (Gresik: Mitra
Pesantren, 2014), 53.
[4]Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (
Bandung: Al Ma’arif, 1974),122
[6]Ibid, 154
[7]Ibid, 155
[8]Mahmud Thahan, Taysir Musthalah Al Hadith,
(markaz al madi liddirasah, 1415 H) 37-38
[9]Ibid, 39
[13]Misbah A.B., Mutiara Ilmu Hadis70
[16]M. Anwar Br, Ilmu Musthalahul Hadits,
(Surabaya: Al- Ikhlas, 1981). 93
No comments:
Post a Comment