QIRO’AT AL-QUR’AN, TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
Dosen
Pembimbing :
Qo’idatul Marhumah, M. Th.I
Disusun
oleh :
1.
Ferine Artamefitria A.
2.
Geta Wahyu A.
3.
Jihan Yumna
4.
Ulfatul Azizah
5.
Dina Feronica
6.
Vika wulansari
7.
Ratna Putri
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KEDIRI
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
PRODI PSIKOLOGI ISLAM 1/E
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT, yang telah
memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada manusia
sebagai amanah di muka bumi. Shalawat sertasalamsenantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah menyampaikan wahyu
kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam hingga akhir zaman.
Berkat rahmat
dan inayah Allah SWT akhirnya Makalah ini dapat terselesaikan meskipun masih
banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah‘’Studi Qur’an’’.
Kediri,18 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................
1
1.3 Tujuan...................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
2
2.1 Qira’at..................................................................................................
2
2.2
Tafsir....................................................................................................
4
2.3 Takwil..................................................................................................
6
2.4
Terjemah..............................................................................................
9
BAB III PENUTUP.................................................................................
10
3.1 Kesimpulan.........................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
11
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia
sekaligusmenjadi penjelasan dari petunjuk sehingga kemudia mampu menjadi
pembeda antara yang baik dan yang buruk. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadzh dan
ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan
ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini
adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat
memahami makna-makna yang dhohir dan pengertian ayat-ayatnya secara global,
sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari
pandangan makna-makna yang menarik. Diantara cendekiawan kelompok ini terdapat
aneka ragam dan tingkat pemahaman yang berbeda maka tidaklah mengherankan jika
Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umat melalui pengkajian terutama
dalam rangka merafsirkan kata-kat ghorib (aneh) atau mentakwil tarkib (susunan
kalimat)dan menerjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
1.2 Rumusan Masalah
a. apa yang di maksud qira’at ?
b. apa yang di maksud tafsir ?
c. apa yang di maksud takwil ?
d. apa yang di maksud terjemah ?
1.3 Tujuan
- Agar pembaca dapat memahami dan mengerti tentang
qira’at.
- Agar pembaca dapat memahami dan mengerti tentang
tafsir.
- Agar pembaca dapat memahami dan mengerti tentang
takwil.
- Agar pembaca dapat memahami dan mengerti tentang
terjemah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Qira’ah Al-Qur’an
A. Pengertian Qira’at
Qira’at
menurut bahasa adalah bentuk jamak dari qira’ah. Sedangkan menurut
terminologi qira’ah adalah perbedaan lafazh-lafazh wahyu yang
disebutkan (Al-Qur’an) dalam penulisan huruf, atau cara mengucapkan lafazh-lafazh
Al-Qur’an seperti ringan dan berat serta lainnya.
Sebagian ulama
mendefinisikan qira’ah sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat
Al-Qur’an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada
penutur asal dan aslinya secara mutawatir.”
Berdasarkan
definisi kedua ini, maka yang dimaksud dengan “kalimat-kalimat Al-Qur’an”
adalah kalimat atau kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an mulai dari awal
A-Fatihah sampai akhir An-Nas. Tata cara mengucapkan kata-kata tersebut harus
berdasarkan kaidah yang telah ditentukan, seperti membaca saktah
(berhenti sejenak tanpa bernafas) pada kata ‘iwaja surat Al-Kahfi dan
sebagainya.
Qira’at
bukan ciptaan para imam qira’at, tapi ia datang dari Rasulullah SAW. Qira’ah
diturunkan bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, artinya qira’ah itu termasuk
dalam Al-Qur’an. Kemudian qira’ah dinisbahkan kepada seorang Imam qira’ah yang
meneliti dan menyeleksinya, maka jika ada orang yang mengatakan qira’ah Qalun,
berarti qira’ah tersebut adalah hasil penelitian dan penyeleksian Imam Qalun,
bukan qira’ah hasil ciptaan dan rekayasa Qalun.
B. Perbedaan Sab’atu
Ahruf dengan Qira’ah Tujuh
Untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan keduanya, maka akan
dijelaskan terlebih dahulu pengertian sab’atu ahruf. Sab’atu ahruf terdiri dari dua kata yaitu sab’ah yang
artinya tujuh dan ahruf yang
memiliki banyak makna antara lain: huruf hujaiyah, bahasa, ujung dari sesuatu,
segi.
Sebagian
ulama berpendapata bahwa, sab’atu ahruf adalah tujuh bahasa dari
bahasa-bahasa yang terkenal di kalangan bangsa Arab, tetapi maknanya berbeda.
Ketujuh bahsa tersebut yaitu Quraisy, Hudzayl, Saqif, hawazin, Kinanah, Tamim
dan Yaman.
Sementara istilah qira’ah as-sab’
(tujuh bacaan) ini muncul pada abad keempat hijriyah di tangan Imam Ahmad bin
Musa bin al-Abbas yang masyhur dengan sebutan Ibnu Mujahid (w.324 H).
Berdasarkan hasil berkembang waktu itu,
Ibnu Mujahid menyimpulkan bahwa hanya ada tujuh macam qira’ah yang
dianggap memenuhi syarat dan layak diterima sebagai Qira’ah Al-Qur’an. Tujuh
macam qira’ah itu adalah Imam Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim,
Hamzah, dan Kisa’i. Maka sejak itulah qira’ah tujuh melembaga dan dikenal oleh
generasi setelahnya dengan istilah qira’at as-sab’.
Jadi
qira’at as-sab’ qira’ah yang diriwayatkan oleh imam tujuh, sedangkan qira’at
sab’atu ahruf adalah tujuh bentuk bacaan yang dibacakan oleh malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad atau yang disebut oleh hadis dengan istilah sab’atu
ahruf.
C. Klasifikasi Qira’ah
Para
ulama mengklasifikasi qira’ah menjadi enam yaitu :
a. Qira’ah mutawatirah,
yaitu qira’ah yang diriwayatkan oleh banyak
perawi yang tidak mungkin melakukan dusta hingga sampai rawi paling atas
(RasulullahSaw). Qira’ah mutawatir wajib diterima dan dipakai untuk membaca
Al-Qur’an.
b. Qira’ah masyhurah, yaitu qira’ah
yang sanadnya sahih, tapi tidak mencapai derajat mutawatir sesuai dengan kaidah
bahasa Arab, dan sesuai dengan salah satu rasm utsmani. Seperti qira’ah yang
dinisbatkan kepada tida iman di atas, walaupun jumhur ulama memasukkan ketiga
imam tersebut kepada qira’ah mutawatir.
c. Qira’ah ahad, yaitu qira’ah
yang sanadnya sahih, tapi menyalahi salah satu rasm utsmani atau menyalahi
kaidah bahasa Arab.
d. Qira’ah sydzhzah, yaitu qira’ah
yang tidak sahih sanadnya, walaupun sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm
utsmani.
e. Qira’ah mudrajah, yaitu kata atau
kalimat yang ditambahkan atau diselipkan pada ayat Al-Qur’an.
f. Qira’ah maudhu’ah, yaitu
qira’ah yang tidak bersumber dari Nabi, hanya merupakan buatan seseorang.
2.2 Tafsir
A.
Pengertian Tafsir
Tafsir
menurut bahasa berarti menjelaskan dan menyingkapk makna. Jadi tafsir adalah
menyingkap makna yang tersembunyi, menyingkap maksud dari lafadh yang
sulit.
Az-Zarkasyi
mendefinisikan tafsir sebagai berikut: Tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat
Al-Qur’an, Surat-suratnya, kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang turun
bersamaanya, makkiyah dan madaniyyahnya, muhkam dan mutasyabihatnya, nasikh dan
mansukhnya, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayyadnya serta mujmal dan
mufashalnya, dan lain-lain.
B.
klasifikasi Tafsir
Para
ulama mengklasifikasi tafsir menjadi tiga macam yaitu tafsir bi al-ma’tsur,tafsir
bi ar-ra’yi, tafsir bi al-isyarah. Berikut penjelasannya:
1. Tafsir
bi al-Ma’tsur
Al-ma’tsur
berarti sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir bi al ma’tsur
adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan hadis
Nabi SAW., penafsiranAl-Qur’an dengan perkataan sahabat, penafsiran Al-Qur’an
dengan tabi’i.
Tafsir Thabari
misalnya, sekalipun di dalamnya dia berijtihad dengan menggunakan bahasa, sya’ir
Arab, qira’at,Ilmu nahwu, fiqh, namun dia selalu memihak pada
pendapat ulama salaf dan kembali
pada nash Al-Qur’an, maka tafsirnya masih dikategorikan sebagai tafsir bi
al-ma’tsur.
2. Tafsir
Bi ar-Ra’yi
Secara bahasa bi
ar-ra’yu berarti al-i’tiqadu (keyakinan), al’alqu (akal) dan at-tadbiru
(perenungan). Ahli fiqih sering berijtidah, biasa disebut sebagai ashab
ar-rayi. Karena itu tafsir bi ar-ra’yi
disebut juga sebagai tafsir bi
al-‘aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
Menurut istilah, tafsir
bi
ar-ra’yu adalah upaya
untuk memahami nash Al-Qur’an tas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir)
yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafazh-lafazhnya
dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan,
mengetahui betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh
didalam Al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.
Ijtihad yang
dimaksudkan di tafsir bi ar-ra’yu adalah kesungguhan seorang mufassir
untuk memehami makna nash Al-Qur’an, mengungkapkan maksud kata-katanya
dan makna yang terkandung didalamnya. Contoh keteladanan dan lain sebagainya.
Macam-macam
tafsir bi ar-ra’yi
a. Tafsir
bi ar-ra’yi al-mahmud (terpuji)
Tafsir
bi ar-ra’yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan
pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, dan sejalan dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab
dalam memahami nash Al-Qur’an.
b. Tafsir
bi ar-ra’yi al-madzmum (tercela)
Tafsir
bi ar-ra’yi dianggap tercela bila menafsirkan Al-Qur’an menurut selera
penafsir sendiri, di samping tidak menetahui kaidah-kaidah bahasa dan hukum,
atau membawa Firman Allah SWT kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau
kepada bid’ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT.
3.
Tafsir bi al-isyarah
Tafsir bi al-isyarah
adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang
terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hati.
2.3Takwil
A. Pengertian
Pengertian takwil
menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Kata takwil diambil dari kata
awwala-yu’awwilu-takwilan. Al Qaththan dan Al Jurjani berpendapat bahwa arti
takwil menurut lughat adalah aru-ruju’ ila al-ashl (kembali pada pokoknya)
Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqani adalah sama dengan arti tafsir.
Adapun mengenai arti takwil menurut
istilah, banyak para ulama memberikan pendapat, antara lain sebagai berikut :
a. Imam
Ghazali dalam kitab Al Mustashfa
Sesungguhnya
takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh bersifat
probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari
makna yang ditunjukan oleh lafazh zhahir.
b. Imam
Al Amudi dalam kitab Al Mustashfa :
Membawa
makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain
yang didukung dalil
c. Para
muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang dikemukakan
oleh ushul fiqih, yaitu :
·
Menurut Wahab
Khalaf :
Memalingkan
lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil
·
Menurut Abu
Zahrah
Takwil adalah mengeluarkan lafazh
dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan zhahirnya
d. Menurut
ulama salaf :
·
Menafsirkan dan
menjelaskan makna suatu ungkapan, baik yang bersesuaian dengan makna lahirnya
ataupun bertentangan.
·
Hakekat
sebenarnya yang dikehendaki oleh suatu ungkapan .
e. Menurut
ulama khalaf :
Mengalihkan
suatu lafazh dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada
indikasi untuk itu
B. Objek Takwil
1.
Kajian takwil, sebagaimana ijtihad dengan ra’yu, tidak menyangkut nash-nash
yang qath’i, baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah –
kaidah syara’ yang bersifat umum atau kaidah – kaidah fiqih yang berguna untuk
menentukan ketetapan hukum permasalahan furu’, sehingga para imam dapat
menerima dan mengamalkannya.
2.
Takwil juga tidak menyangkut hukum – hukum agama penting lainnya yang mudah
atau sulit untuk dipahami yang merupakan dasar – dasar syariat.
3.
Takwil juga tidak menyangkut peraturan – peraturan syari’at yang bersifat umum,
diantaranya bahan –bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena
maksud syara’ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’i agar
terhindar dari munculnya arti spekulatif.
4.
Kebanyakan takwil mengkaji tentang furu’ sebagaimana pendapat Imam
Asy-syaukani.
5.
Membahas hal – hal yang jelas dan nash .
6.
Membahas lafazh – lafazh yang musytarak, karena lafazh musytarak merupakan
suatu lafazh yang ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan
sengaja berdasarkan hakikatnya.
7.
Menurut Hanafi takwil mencakup nash dan zahir.
Dalil – dalil penunjang takwil (2)
1.
Nash dari
AlQuran dan Asshunah
2.
Ijma’
3.
Kaidah – kaidah
umum syariat yang diambil dari Alquran dan Sunah
4.
Kaidah – kaidah
fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan hal – hal yang
bersifat juz’i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan
menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’ya
5.
Hakikat
kemaslahatan hukum
6.
Adat yang
diucapkan dan diamalkan
7.
Hikmah syariat
atau tujuan dari syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang
berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan akhlak.
8.
Qiyas
Landasan Umum Takwil
Mengamalkan dalil sesuai konteks
kebahasaanya dan mengambil ketetapan hukumnya karena sesungguhnya takwil itu
mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari
bahasa . karena takwil itu mengubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa, dan
tidak ada takwil jika tidak ada dalil. Dan Alquran jugadalam penjelasannya
mengikuti perkembangan bahasa dan teksnya, begitu pula sunah dan setiap
perundang – undangan yang ditulis dengan bahasa Arab
Syarat – syarat takwil
1.
Lafazh yang
ditakwili, harus benar benar memenuhi kriteria dan masuk dalam kajian
Menurut
hanafiyah takwil itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang
berhubungan dengan syariat Islam
2.
Takwil itu harus
berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil.
3.
Lafazh mencakup
arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
Penakwilan
menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, konstekstual, atau majaz. Bisa
juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenal atau adat
syara’.
4.
Takwil tidak
boleh bertentangan dengan nash yang qath’i karena nash tersebut bagian dari
aturan syara’ yang umum.
Takwil
adalah metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat
melawan qath’i .
5.
Arti penakwilan
nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.4Jika ada
pertentangan antara nash dan zhahir, maka tidak diragukan lagi kalau nash itu
mentaksis yang zhahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu
seperti ucapan yang membutuhkan arti asli, maka nash juga harus diutamakan.
6.
Takwil Ba’id
Jika suatu
penakwilan tidak memenuhi pesyaratan yang sebelumnya(poin 1 sampai 5), maka
penakwilan itu termasuk takwil Ba’id
Perbedaan
Tafsir, Takwil, dan Terjemah[1](1)
Perbedaan
tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di lain pihak adalah tafsir dan
takwil berupaya menjelaskan makna setiap kata di al quran sedangkan terjemah
hanya mengalih bahasa al Quran dari bahasa arab ke dalam bahasa Arab.
Tafsir
|
Takwil
|
Lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan
kosa kata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab – kitab lainnya
Menerangkan makna lafazh yang tak
menerima
selain
dari
satu
arti
Menetap kenapa yang dikehendaki
ayat
dan
menetapkan
seperti yang dikehendaki
Allah
Menerangkan makna lafazh, baik
berupa
hakikat
atau
majaz
|
Lebih banyak dipergunakan
makna
dan
kalimat
dalam
kitab – kitab yang
diturunkan Allah saja
Menetapkan makna yang dikehendaki
suatu
lafazh yang dapat
menerima
banyak
makna
karena
didukung
oleh
dalil
Menyeleksi salah satu makna yang mungkin
diterima
oleh
suatu
ayat
tanpa
meyakinkan
bahwa
itulah yang dikehendaki
Allah
Menafsirkan batin lafazh.
|
2.4 Terjemah
Terjemah menurut bahasa
adalah salinandari suatubahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin,
memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Adapun terjemah AlQur’an
menurut Ash – Shabuni adalah memindahkan Al Quran ke bahasa lain yang bukan
bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah untuk dibaca
orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah
SWT, dengan perantara terjemahan ini.
Terjemahan di bagi menjadi berikut :
1.
Maknawiyyah
Tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, namun
tidak terikat oleh leterleknya, melainkan oleh makna dan tujuan kaliamat
aslinya.
2.
Harfiyyah bi al
Mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata – kata dari bahasa asli dengan kata
sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya
3.
Harfiyyah bi
dzuni al Mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata – kata bahasa asli ke dalam
bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya, menurut
kemampuan bahasa baru serta kemampuan penerjemahnya.[2]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a)
qira’ah sebagai
“ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an dengan berbagai macam
variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya secara
mutawatir.
b)
Tafsir adalah
ilmu tentang turunnya ayat Al-Qur’an, Surat-suratnya, kisah-kisahnya,
isyarat-isyarat yang turun bersamaanya, makkiyah dan madaniyyahnya, muhkam dan
mutasyabihatnya, nasikh dan mansukhnya, ‘am dan khasnya, muthlaq dan
muqayyadnya serta mujmal dan mufashalnya, dan lain-lain.
c)
takwil itu
merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh bersifat probabilitas
yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukan oleh lafazh zhahir.
d)
Terjemah adalah
salinandari suatubahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan
kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
tolong berikan contoh untuk tafsir, takwil dan terjemah agar tampak jelas perbedaan antara ketiganya?
ReplyDeleteContoh Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 148
ReplyDelete{وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (148) }
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat), sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu".
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan pengertian 'tiap-tiap umat mempunyai kiblatnya yang ia menghadap kepadanya' ialah semua pemeluk agama. Dengan kata lain, tiap-tiap kabilah mempunyai kiblatnya sendiri yang disukainya, dan kiblat yang diridai oleh Allah ialah kiblat yang orang-orang mukmin menghadap kepadanya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya, dan orang-orang Nasrani mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya. Allah memberikan petunjuk kepada kalian, hai umat Muhammad, kepada kiblat yang merupakan kiblat yang sesungguhnya.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal dengan pendapat Abul Aliyah tadi.
Mujahid mengatakan dalam riwayat yang lain —begitu pula Al-Hasaiy— bahwa Allah memerintahkan kepada semua kaum agar salat menghadap ke arah Ka'bah.
Contoh takwil
ReplyDeleteالرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Artinya : Ia itu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arsy.(Ta Ha 20:5)
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud ‘bersemayam’ tersebut dan kita serahkan maknanya kepada Allah.Akan tetapi mustahil Allah daripada mengambil tempat dan mustahil zatNya itu daripada bersentuh dengan arasy.
Takwil khalaf – Maksud bersemayam itu ialah memerintah dan menguasai.Maka jadilah makna ayat tersebut Allah itu memerintah dan menguasai arasy
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteApa yang dimaksud pengikut tarekat ?
ReplyDeleteAsal kata tarekat dalam bahsa arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, kedaan, aliran atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan-jalan yang ditempuh para sufi. Dapat pula digambrkan sebagai jalanyang berpangkal dari syariat sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan tersebut thariq. Kata turun ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin jika ada anak jalan bila tidak ada jalan utama tempat berpangkal; pengalaman mistik tidak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati.
ReplyDeleteMunurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah, yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seseorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Tariqoh kemudian mengandung arti organisasi (tarikat). Tiap tarikat mempunyai syaikh, upacara ritual, dan bentuk ziir sendiri. Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk mengacu pada organisasi yang menyatukan pengikut-pengikut “jalan” tertentu. Di timur tengah, istilah “ta’ifdah” terkadang sering di sukai oleh organisasi. Sehingga lebih mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Akan tetapu di Indonesia kata tarekat mengacu pada keduanya.
jadi orang yang mengikuti tarekatlah yang disebut pengikut tarekat. InsyaAllah seperti itu
Di pondok saya dulu, ada tarekat yaitu tarekat qodiriyah wa naqsabandiyah. Di pimpin oleh alm. Kiyai Dimyati Romli. Banyak pengikut tarekat dari berbagai macam wilayah datang saat sewelasan(sebutan yg biasa kami ucapkan) dan saya juga pernah bertanya kepada salah satu mbah mbah yang saat itu sedang mengikuti acara sewelasan. Saya bertanya "mbah tarikat itu apa?" mbahnya menjawab "tarikat itu ilmu untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara yang biasanya tidak kebanyakan orang melakukan hal yang kami lakukan" inti dari perkataan mbah tersebut menurut saya adalah, ajaran atau ilmu untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Jadi orang orang yang mengikuti ajaran tarikat adalah pengikut tarikat. Dan tarikat di Indonesia tidak hanya satu. Tetapi ada beberapa ajaran tarekat dan dipimpin oleh orang yang berbeda
ReplyDeleteTilawah , qiroaty itu apa sama dengan qiroah?
ReplyDelete